PENDAHULUAN
1
Lubis, adi mansah. 2011. Studi Islam dengan Pendekatan Normatif.
http://bujangsetia.blogspot.com/2011/11/makalah-studi-islam-dengan-pendekatan.html. diakses pada
tanggal 12 desember 2011.
Adapun beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif
disamping teori-teori yang digunakan oleh para fuqaha’,usuluyin,muhaddithin dan mufassirin
diantara adalah teori teologis-filosofis yaitu pendekatan memahami Al Qur’an dengan cara
menginterpretasikannya secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai objektif dari
subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis atau sosiologis seperti yang ditawarkan
Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad yakni dalam memahami nash (Al Qur’an dan
sunah Nabi Muhammad SAW.) selain itu ada pemisahan antara nash normatif dengan nash
sosiologis. Nash normatif adalah nash yang tidak tergantung pada konteks. Sementara nash
sosilogis adalah nash yang pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks waktu, tempat
dan lainnya.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang berarti
ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru
akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan
diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya
ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,seperti
slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami
agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan
yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan
dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukan
adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau mengakui adanya
paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.Namun demikian melalui
pendekatan norrmatift tektualis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama
sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa
memandang dan meremehkan agama lainya.
Pendekatan normatif secara islam pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk
bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
ketidaksetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat, dan sebagainya.
Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan
saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong
pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya,
menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan,
lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang
dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan. 2
2
Nata, Abbudin, Metedeologi Studi Islam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,1998, hlm 28-35
b. Ilmu-ilmu Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu perkembangan
yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu
menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus:
1) Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis.
2) Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-
ciri tumbuhnya.
3) Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka warna bahasa yang
diucapkan manusia diseluruh dunia.
4) Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia
di seluruh dunia.
5) Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari
semua suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi masa kini.
Fenomenologi adalah sebuah studi Islam dalam bidang filsafat yang mempelajari
manusia sebagai sebuah fenomena.
Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan agama dengan cara membandingkan
berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama (Dhavamony,
1995).
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Hussert dan Alfred Schulta, mereka
mengungkapkan bahwa ”Diam merupakan tindakan untuk mengungkapkan pengertian
sesuatu yang sedang diteliti, dengan diam akan mengetahui perilaku orang lebih lanjut”.
Tujuan fenomenologi:
a) Menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat- tepatnya.
b) Merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno/menerangkan permasalahan suatu cerita
dari mitos.
c) Memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religius dengan
kehidupan sekitar.3
secara harfiah istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang memiliki
arti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi
merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938).
Dengan demikian secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’
dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi,
maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar
(fenomena).4 Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi
membutuhkan perangkat lain, seperti sejarah, filologi, arkeologi, psikologi, sosiologi,
antropologi, dan sebagainya.
3
http://stitattaqwa.blogspot.co.id/2013/01/pendekatan-studi-islam_24.html
4
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005), h. 234-239.
Dimyati, dengan mengutip dari beberapa gagasan Husserl, menyatakan bahwa
fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang kedalaman dari semua
bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang meliputi inderawi, konseptual, moral,
estetis dan religius. Fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal
pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.5
5
Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan
Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000), h. 70
pencatatan data dan informasi dengan menggunakan field notes, dilakukan sesegera mungkin
setelah wawancara naturalistic (naturalistic interview) berlangsung, misalnya di rumah.
Selanjutnya dari hasil observasi, perilaku tindakan masyarakat dipilah-pilah untuk dilakukan
pendalaman lebih lanjut melalui wawancara mendalam sehingga diperoleh makna dan
pemahaman. Proses pengumpulan data dihentikan setelah dianggap jenuh yaitu setelah tidak
ada jawaban baru lagi dari lapangan. Artinya, peneliti selalu memperoleh informasi atau
jawaban yang sama atau sejenis dari informan-informan baru. Situasi ini ditandai dengan data
yang terkumpul selalu menunjukkan hal yang sama dari berbagai situasi dan sumber yang
berbeda.
Menurut hemat penulis, dari uraian di atas dapat dikatahui bahwa pendekatan
fenomenologi memiliki ciri dan karakter tersendiri. Fenomenologi berangkat dari pola pikir
sub-subyektivisme, yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi
berusaha menggali makna dibalik gejala itu. Selain itu, intensional obyektifikasi berarti
mengarahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran kesadaran), kepada obyek-
obyek intensional. Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat
dalam aliran kesadaran. Husserl melihat, dalam pengarahan intensional ada struktur yang
kompleks dan dalam struktur tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan
diintegrasikan dalam obyek yang membentuk kutub obyektifnya. Kemudian, intensionalitas
sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan peristiwa
kemudian pada obyek hasil obyektivikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai
aspek dari dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun intelektual.
Kedua, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak
terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang
holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek
yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak
dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian
keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Adapun yang menjadi kelemahan dalam pendekatan ini adalah sebagaimana tujuan
dari fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh
berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan sesuatu yang absurd. Selain itu, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek
untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang
diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi
tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran
yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
2. Fenomenologi Agama
Dalam hal ini Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya
menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan
eidetic vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama
dengan makna “pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan
mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-
konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai
sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan
kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan
epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah fenomena,
namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap
benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa
dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.6
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi
filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.
6
Peter Connolly (ed), Op.cit, h. 76-77
universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang
penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali
fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.
Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19
dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disipli-disiplin keilmuan yang
berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul
seperti antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai
Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari kelimuan tersebut pada masa-masa
awal adalah untuk memberikan deskripsi yang objektif, khususnya untuk komunitas
akademis Barat, tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya
untuk membuat perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya
dan agama Barat ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.
Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan
disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-
asumsi dan penilaian-penilaian subjektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan
otoritas eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar
pengetahuan objektif yang akurat.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek
formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang
bersifat lahiriah. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk
melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin
dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus
digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches)
ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat
banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan
normative, antropologis, sosiologis, fenomenologis, serta pendekatan-pendekatan lainnya.
Adapun pendekatan yang dimaksud disini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahman mendasarkan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu
tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian filosofi,
atau penelitian legalistik.
3.2 Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Banyak kekurangan disana-sini untuk itu mohon kiranya para pembaca sekalian
mau memberikaan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://bujangsetia.blogspot.com/2011/11/makalah-studi-islam-dengan-pendekatan.html
Nata, Abbudin, Metedeologi Studi Islam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,1998
http://stitattaqwa.blogspot.co.id/2013/01/pendekatan-studi-islam_24.html
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005)
Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode
dan Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000)
Peter Connolly (ed), Op.cit,