Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat
di dalam sumber ajarannya, Al-qur’an dan Hadits tampak amat ideal dan agung. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi
kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai
waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-
feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan
bersikap positif lainnya.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah,
melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam
memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab mana kala pemahaman
agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual,
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu
dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan
oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis, normative,
antropologis, sosiologis, psikologis, historis dan pendekatan filosofis, serta pendekatan-
pendekatan lainnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam
memahami agama.
Dan disini kami mengajak anda untuk mengetahui lebih lanjut seperti apa itu saja
pendekatan dalam studi Islam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pendekatan Normative dalam studi Islam ?
2. Bagaimana pendekatan Antropologis dalam studi Islam ?
3. Bagaimana pendekatan Sosiologis dalam studi Islam ?
4. Bagaimana pendekatan Fenomenologis dalam studi Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan Normative
Secara harfiah, pendekatan teologis dapat diartikan sebagai upaya pemahaman agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suaru keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan
dengan yang lainnya yang dipandang melalui sudut Legal-Formal. Legal-formal adalah
hukum yang ada hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya.
Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian,
pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas sebab seluruh pendekatan yang
digunakan oleh ahli usul fikih (usuliyin), ahli hokum islam (fuqaha), ahli tafsir (mufassirin)
danah lihadits (muhaddithin) ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta ajaran islam
dari sumbernya termasuk pendekatan normatif.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada dua teori yang dapat digunakan
bersama pendekatan normatif-teologis. Teori yang pertama adalah hal - hal yang bertujuan
untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Teori
yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Untuk hal-
hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan
dengan ra’yi (penalaran).1
Sedangkan masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya
diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk
menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi
sehingga menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu
dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.
Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya dapat terjadi
kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu tersebut bagi
pengembangan teologinya. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena
bagi dalam teologi. Ilmu sosial dmembantu untuk mengkaji akar ketidakadilan dan
kemiskinan. Dengan demikian, teologi ini bukan hanya berhenti pada pemahaman mengenai
ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi sosial.

1
Lubis, adi mansah. 2011. Studi Islam dengan Pendekatan Normatif.
http://bujangsetia.blogspot.com/2011/11/makalah-studi-islam-dengan-pendekatan.html. diakses pada
tanggal 12 desember 2011.
Adapun beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif
disamping teori-teori yang digunakan oleh para fuqaha’,usuluyin,muhaddithin dan mufassirin
diantara adalah teori teologis-filosofis yaitu pendekatan memahami Al Qur’an dengan cara
menginterpretasikannya secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai objektif dari
subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis atau sosiologis seperti yang ditawarkan
Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad yakni dalam memahami nash (Al Qur’an dan
sunah Nabi Muhammad SAW.) selain itu ada pemisahan antara nash normatif dengan nash
sosiologis. Nash normatif adalah nash yang tidak tergantung pada konteks. Sementara nash
sosilogis adalah nash yang pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks waktu, tempat
dan lainnya.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang berarti
ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru
akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan
diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya
ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,seperti
slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami
agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan
yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan
dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukan
adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau mengakui adanya
paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya.Namun demikian melalui
pendekatan norrmatift tektualis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama
sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa
memandang dan meremehkan agama lainya.
Pendekatan normatif secara islam pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk
bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
ketidaksetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat, dan sebagainya.
Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan
saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong
pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya,
menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan,
lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang
dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan. 2

2.2 Pendekatan Antropologis


Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui ini pendekatan agama tampak akrab dan dekat
dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya.
a. Antropologi Sebagai Bidang Ilmu Humaniora
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisipasi yang luas
tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa
yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode komgeratifi. Tugas utama antropologi,
studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan
memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara
esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang berusaha
menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat kepada
penghidupan dan eksitensis manusia menurut Elwood mendefinisikan ”Humaniora” sebagai
seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan
pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique)
dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri
bahkan merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat,
sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan
pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.
Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang kesemuanya
memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi
para humanis bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa mengenai
kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam sebagai macam mite dan
folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi
subjek analisa bagi para humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.

2
Nata, Abbudin, Metedeologi Studi Islam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,1998, hlm 28-35
b. Ilmu-ilmu Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu perkembangan
yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya yang luas itu
menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus:
1) Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis.
2) Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-
ciri tumbuhnya.
3) Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka warna bahasa yang
diucapkan manusia diseluruh dunia.
4) Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia
di seluruh dunia.
5) Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari
semua suku bangsa yang tersebar diseluruh bumi masa kini.

c. Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam


Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat
dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan
langsung bahkan sifatnya partisipatif.

2.3 Pendekatan Sosiologis


Beberapa pendekatan yang digunakan oleh para sarjana dalam mengkaji agama-
agama termasuk islam adalah pendekatan sosiologis. Pada awalnya, penerapan metode
sosiolog mengikuti metode sosiologis umumnya seperti yang dikemukakan oleh A. Comte
dan L. Von Stein, yang berkaitan dengan penafsiran ekonomi yang diusulkan oleh Lasalle
dan Marx. Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh para pendiri sosiologi agama modern:
Fustel de Coulanges dan Emile Durkheim, Max Weber dan Ernst Troelsch, Wenwr Sombart
and Max Scheler.
Pendekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji agama-agama, namun juga
salah jika kita memandang bahwa pendekatan ini diyakini dapat menyajikan kunci universal
untuk memahami fenomena keagamaan. Para ideology seperti Comte, Marx, dan Spencer
adalah contoh sarjan yang menganut keyakinan tersebut. Banyak para pengikut mereka
cenderung menggantikan persoalan tentang makna, nilai dan kebenaran,dengan
menggantikan persoalan mengenai usul-usul sosial, struktur sosiologis, manfaat sosial dari
kelompok atau gerakan keagamaan.
Pendekatan sosiologis untuk mengkaji agama-agama telah memberikan jasa besar.
Sesudah berlalunya masa individualism agama, kita dihadapkan pada suatu agama komnal
yang juga penting. Agama komunal membantu mengoreksi prasangka rasionalistik yang
hanya mempertimbangkan ekspresi intelektual dari pengalaman keagamaan. Penemuan
kembali tempat pusatperibadatan dalam setiap agama membutuhkan penanaman yang hanya
dapat dijawab oleh kajian sosiologi.
Kajian tentang pengaruh stratifikasi sosial atas pengelompokan sosial dan atas
struktur dan pembentukan komunitas keagamaan kini mendapat dukungan dari upaya-upaya
yang dilakukan oleh sejarahwan dan ahli hukum. Kajian ini terjadi di jerman, prancis, dan
amerika yang telah menghasilkan temuan-temuan menarik. Sama pentingnya adalah
pendekatan sosiologis untuk mengkaji kelompok agama yang diorganisir secara
sistematis.dan tipologis, sehingga melengkapi penelitian sejarah dan psikologi. Dalam
agama-agama Kristen dan non Kristen salah satu kepedulian tama adalah komuni,jamaah.
Pengalaman keagamaan itu sendiri pada umumnya mengungkapkan diri dalam tiga
cara: dalam pemikiran, tindakan dan perkumpulan/jamaah. Tiga bentuk ekspresi ini menyatu
dan hanya dalam ekspresi perkumpulan/jamaah inilah dua hal yang lain –ekspresi intelektual
dan praktikal –memperoleh makna sejatinya. Mitos dan doktrin merupakan artikulasi
pemikiran tentang apa yang dialami dalam berhadapan dengan Realitas Ultim; dan kultus
merupakan hidup diluar konfrontasi ini dalam bentuk tindakan. Keduanya memberikan arah
bagi komunitas, yang dibentuk oleh merekayang bersatu dalam pengalaman keagamaan, dan
komunitas ini aktif mementuk dan mengembangkan pengalaman keagamaannya dalam
pemikiran dan tindakan.
Ada empat faktor yang membuat perbedaan didalam komunitas keagamaan.
1. Diferensiasi fungsi
2. Dalam kelompok-kelompok keagamaan terdapat diferensiaai menurut karisma
3. Diferensiasi dalam kelompok-kelompok keagamaan terjadi karena pembagian secara
ilmiah berdasarkan usia, jenis kelamin dan keturunan
4. Komunitas keagamaan terdiferensiasi menurut status.

2.4 Pendekatan fenomenologis

Fenomenologi adalah sebuah studi Islam dalam bidang filsafat yang mempelajari
manusia sebagai sebuah fenomena.
Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan agama dengan cara membandingkan
berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama (Dhavamony,
1995).
Tokoh fenomenologi adalah Edmund Hussert dan Alfred Schulta, mereka
mengungkapkan bahwa ”Diam merupakan tindakan untuk mengungkapkan pengertian
sesuatu yang sedang diteliti, dengan diam akan mengetahui perilaku orang lebih lanjut”.
Tujuan fenomenologi:
a) Menginterprestasikan suatu teks berkenaan dengan persoalan agama dengan setepat- tepatnya.
b) Merekonstruksi suatu kompleks tempat suci kuno/menerangkan permasalahan suatu cerita
dari mitos.
c) Memahami struktur dan organisasi dari suatu kelompok masyarakat religius dengan
kehidupan sekitar.3

secara harfiah istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang memiliki
arti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi
merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938).
Dengan demikian secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’
dalam meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi,
maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar
(fenomena).4 Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam operasionalnya pendekatan fenomenologi
membutuhkan perangkat lain, seperti sejarah, filologi, arkeologi, psikologi, sosiologi,
antropologi, dan sebagainya.

3
http://stitattaqwa.blogspot.co.id/2013/01/pendekatan-studi-islam_24.html

4
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005), h. 234-239.
Dimyati, dengan mengutip dari beberapa gagasan Husserl, menyatakan bahwa
fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang kedalaman dari semua
bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang meliputi inderawi, konseptual, moral,
estetis dan religius. Fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal
pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.5

Karenanya, manusia sebagai makhluk yang selalu melakukan komunikasi, interaksi,


partisipasi dan penyebab yang bertujuan. Kekhususan manusia terletak pada intensionalitas
psikisnya yang ia sadari, yang dikaitkan dengan dunia arti dan makna. Maka, dunia makna
manusia dapat diteliti dengan metode fenomenologi.

Pada prakteknya, Husserl hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam


fenomenologi, yakni: reduksi fenomenologis dan konstitusi. Reduksi fenomenologis
merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju “kesadaran”. Dalam arti, jika
sikap natural terhadap fenomena alam “menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis
berarti penangguhan “kepercayaan” terhadap dunia riil. Namun sikap tersebut tidak berarti
menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam upaya “netralisasi”—
Husserl mengistilahkan hal ini dengan diberi tanda kurung (bracketing). Di sini Husserl
membedakan antara reduksi fenomenologis dan reduksi eidetik. Perbedaannya adalah,
reduksi fenomenologis mengindahkan alam riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’.
Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna.
Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”.

Selanjutnya, reduksi eiditis merupakan tahapan reduksi kedua dalam penelitian


berperspektif fenomenologi. Reduksi ini bertujuan memperoleh intisari dari hakikat yang
telah ada. Biasanya dalam reduksi ini, peneliti menempuh langkah pengabstraksian
(menggambarkan secara imajinatif) tentang peristiwa sosial yang hidup. Selain itu, peneliti
melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap data-data yang bersifat tetap atau tidak
menunjukkan perubahan dalam berbagai variasi situasi dan kondisi. Melalui cara
interpretative understanding ini diharapkan dapat mempermudah bagi peneliti secara
langsung membuat klasifikasi dan identifikasi perolehan data di lapangan. Dalam kegiatan ini

5
Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode dan
Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000), h. 70
pencatatan data dan informasi dengan menggunakan field notes, dilakukan sesegera mungkin
setelah wawancara naturalistic (naturalistic interview) berlangsung, misalnya di rumah.
Selanjutnya dari hasil observasi, perilaku tindakan masyarakat dipilah-pilah untuk dilakukan
pendalaman lebih lanjut melalui wawancara mendalam sehingga diperoleh makna dan
pemahaman. Proses pengumpulan data dihentikan setelah dianggap jenuh yaitu setelah tidak
ada jawaban baru lagi dari lapangan. Artinya, peneliti selalu memperoleh informasi atau
jawaban yang sama atau sejenis dari informan-informan baru. Situasi ini ditandai dengan data
yang terkumpul selalu menunjukkan hal yang sama dari berbagai situasi dan sumber yang
berbeda.

Untuk melakukan epoche dalam rangka mendapatkan kemurnian fenomena maka


ketika peneliti memasuki lapangan harus melepaskan segala atribut seperti adat istiadat,
jabatan, agama, dan pandangan ilmu pengetahuan. Padahal, tugas fenomenologi adalah
menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dari kegiatan
dimana pengalaman dan pengetahuan berakar. Di sini fenomenologi merupakan bentuk
idealisme yang tertarik pada struktur-struktur dan cara bekerjanya kesadaran manusia, yang
secara implisit meyakini bahwa dunia yang kita alami, diciptakan atas dasar kesadaran. Dunia
eksternal tidak ditolak keberadaannya, tetapi dunia luar hanya dapat dimengerti melalui
kesadaran kita. Kita hanya tertarik dengan dunia sejauh dia memiliki makna, maka kita harus
memahami dengan membuatnya bermakna. Cara memahaminya harus mengesampingkan apa
yang sudah kita asumsikan tahu, lalu menelusuri proses untuk memahaminya.
Pengesampingan ini sering pula diistilahkan dengan reduksi fenomenologis.

Sementara itu, konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena terhadap


“kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi fenomenologi; tampaknya
fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya
kemudian disebut “pelaku kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai
relasi antara subyek dan kesadaran.

Martin Heidegger dalam bukunya menyinggung fenomenologi Husserl, bahwa


manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, suatu tempat,
panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi
bersifat duniawi. Atau “ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi
bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan “kesadaran” sendiri tak
pernah berinteraksi langsung dengan realitas jika eksistensi tidak menyeruak menembus
“kesadaran”. Titik akhirnya, ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan
dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Disini terlihat jelas bahwa Heidegger
hendak menyatukan antara fenomenologi dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan
fenomena “ada”. Dalam arti, bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi
“tidak ada”? Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini
Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan kesadaran”. Tampaknya
Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa eksistensi yang selalu hidup
dalam diri manusia adalah “kesadarannya” sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas
suatu realitas adalah pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”.

Menurut hemat penulis, dari uraian di atas dapat dikatahui bahwa pendekatan
fenomenologi memiliki ciri dan karakter tersendiri. Fenomenologi berangkat dari pola pikir
sub-subyektivisme, yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi
berusaha menggali makna dibalik gejala itu. Selain itu, intensional obyektifikasi berarti
mengarahkan data (yang merupakan bagian integral dari aliran kesadaran), kepada obyek-
obyek intensional. Fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat
dalam aliran kesadaran. Husserl melihat, dalam pengarahan intensional ada struktur yang
kompleks dan dalam struktur tersebut data digunakan sebagai bahan mentah dan
diintegrasikan dalam obyek yang membentuk kutub obyektifnya. Kemudian, intensionalitas
sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan peristiwa
kemudian pada obyek hasil obyektivikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai
aspek dari dalam, seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun intelektual.

Ciri selanjutnya adalah intensionalitas korelasi, menghubung-hubungkan setiap aspek


dari obyek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang menjadi horizonnya. Bagian
depan sebuah obyek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek
yang menjadi horizon dari obyek memberi pengharapan pada subyek untuk mengalaminya
kembali di kemudian hari. Aspek atau bagian-bagian tersebut selalu dibayangi oleh obyek
identik yang sudah tampak lebih awal.

Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas intensional berfungsi


mengkonstitusikan obyek-obyek intensional. Obyek intensional tidak dipandang sebagai
sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri.
Obyek intensional sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas intensional.
Selanjutnya, selain memiliki ciri dan karakter tersendiri, tentu saja pendekatan fenomenologi
memiliki kekuatan dan kelemahan. Diantara kekuatan dari pendekatan fenomenologi yang
dapat penulis ungkapkan adalah;

Pertama, sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan


fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau
kebenaran yang benar-benar objektif.

Kedua, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak
terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang
holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek
yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak
dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian
keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

Adapun yang menjadi kelemahan dalam pendekatan ini adalah sebagaimana tujuan
dari fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh
berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan sesuatu yang absurd. Selain itu, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek
untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang
diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi
tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran
yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

2. Fenomenologi Agama

Dalam hal ini Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya
menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan
eidetic vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama
dengan makna “pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan
mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-
konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai
sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan
kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan
epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah fenomena,
namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap
benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa
dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.6

Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi
filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.

1) Watak deskriptif, yakni Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak


fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada
dasar pengalaman manusia.

2) Antireduksionisme, yaitu pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang


menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan
ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-
deskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman ini.

3) Intensionalitas, yaitu cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk


fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah
fenomena, seorang fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari
datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang
diinginkan.

4) Pengurungan (epoché), diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya dengan


mengurung keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan
alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan
memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.

5) Eidetic vision, adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali


dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi

6
Peter Connolly (ed), Op.cit, h. 76-77
universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang
penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali
fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.

a. Kemunculan Fenomenologi Agama

Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19
dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disipli-disiplin keilmuan yang
berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul
seperti antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai
Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari kelimuan tersebut pada masa-masa
awal adalah untuk memberikan deskripsi yang objektif, khususnya untuk komunitas
akademis Barat, tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya
untuk membuat perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya
dan agama Barat ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.

Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan
disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-
asumsi dan penilaian-penilaian subjektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan
otoritas eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar
pengetahuan objektif yang akurat.

Namun, kajian agama awal mereka dibentuk oleh asumsi-asumsi, praduga-praduga


dan penilaian-penilaian apologetis, religius, politis dan ekonomi. Kajian komparatif terhadap
agama lebih memaparkan superioritas agama dan budayanya sendiri, dan jarang melihat dan
mengkajinya dari perspektif orang lain. Misalnya, kajian awal tentang agama-agama
“animistik”, yang dilakukan oleh E.B. Taylor, mencoba menentukan perkembangan
evolusioner mereka dengan satu pandangan untuk memaparkan watak “primitif” dari ritus-
ritus dan keyakinan-keyakinan mereka. Selain itu, pendekatan dan metode penelitian agama
yang digunakan mengadopsi pandangan positivistik tentang “fakta-fakta” empiris dan
pengetahuan “objektif” yang bisa diamati. Para ilmuan agama mengadopsi gagasan evolusi-
nya Darwin dan menerapkannya pada bahasa, agama, budaya, dan isu-isu lainnya. Secara
tipikal, mereka mengorganisir data agama dalam suatu kerangka yang telah ditentukan
sebelumnya, unilinear, yang dimulai dari tingkatan agama-agama primitif yang terendah,
tidak berkembang dan berevolusi pada puncak monoteisme Barat khususnya Kristenitas.
Dalam kerangka ilmiah, manusia berevolusi melampaui semua agama hingga tahap
perkembangan yang lebih tinggi yang ilmiah dan rasional. Pendekatannya bersifat sangat
normatif, dengan menerapkan standar-standar mereka untuk membuat penilaian-penilaian
ilmiah. Sebagai contohnya, biasanya manusia berulang kali mengklaim bahwa mereka
mempunyai “pengalaman-pengalaman tentang Tuhan”. Para psikolog agama berupaya
menganalisa dan menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut dan fenomena-fenomena
religius dengan penjelasan psikologis. Para sosiolog agama menjelaskannya dalam terma-
terma kebutuhan, fungsi dan struktur sosial. Para filosof mengajukan pertanyaan-pertanyaan
filosofis normatif.

Fenomenologi agama muncul berupaya untuk menjauhi pendekatan- pendekatan


sempit, etnosentris dan normatif. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman
agama seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya
untuk menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia
berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang
muncul dalam pengalaman keberagamaan orang lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek
formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang
bersifat lahiriah. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk
melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin
dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus
digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches)
ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat
banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan
normative, antropologis, sosiologis, fenomenologis, serta pendekatan-pendekatan lainnya.
Adapun pendekatan yang dimaksud disini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahman mendasarkan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu
tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian filosofi,
atau penelitian legalistik.

3.2 Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Banyak kekurangan disana-sini untuk itu mohon kiranya para pembaca sekalian
mau memberikaan masukan kritik dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

http://bujangsetia.blogspot.com/2011/11/makalah-studi-islam-dengan-pendekatan.html
Nata, Abbudin, Metedeologi Studi Islam, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,1998
http://stitattaqwa.blogspot.co.id/2013/01/pendekatan-studi-islam_24.html
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet. IV, 2005)
Mochammad Dimyati, Penelitian Kualitatif: Paradigma Epistemologi, Pendekatan, Metode
dan Terapan, (Malang: PPS Universitas Negeri Malang, 2000)
Peter Connolly (ed), Op.cit,

Anda mungkin juga menyukai