Anda di halaman 1dari 16

PENDEKATAN NORMATIF TEOLOGIS

Mata kuliah : Metodelogi islam


Dosen Pengampu : Jiyanto,M.pdi

Disusun oleh :
Kelompok 6
1.SHELSA AURELLIA
2.SHOFIYYAH IBNATU ARIF
3.VIA ANGGI AMELIA
4.QOONIA’H NAYYIRATUL JANAN A

INSTITUT ISLAM MAMBA’UL 'ULUM [IIM]


SURAKARTA
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam perkembangan jaman yang semakin kompleks permasalahan yang dihadapi

manusia memerlukan pendekatan yang juga kompleks. Terkadang satu permasalahan

belum tuntas diatasi atau dipecahkan sudah bermunculan permasalahan yang lain, susul-

menyusul dan bertambah banyak permasalahan yang dihadapi manusia di jaman ini dan

di jaman yang akan datang.

Oleh sebab itu sebuah keniscayaan memahami agama sesuai dengan jamannya.

Dengan demikian berbagai pendekatandalam memahami agama yang bersumber dari Al

Quran dan Al Hadits merupakan peran yang sangat strategis, sehingga pemahaman umat

islam dan pemerhati agama akan semakin komprehensif serta akan sangat toleran

dengan perbedaan pemahaman.

Akhir-akhir ini agama kehadirannya selain menjadi simbol ketaatan dan

kesalihan yang disampaikan dalam ceramah atau khotbah namun juga diharapkan

kehadirannya bisa ikut secara aktif dalam memecahkan berbagai permasalahan yang

dihadapi manusia.

Berbagai harapan selama ini terhadap kehadiran agama seperti tersebut di atas

dapat dijawab apabila pemahaman agama yang banyak menggunakan pendekatan

teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakanpendekatan

lain secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan


yang muncul, namun pemahaman keagamaan setiap orang berbeda tergantung dari

mana pendekatannya dan sudut pandangnya.

Pada beberapa dekade terakhir studi agama mengalami perkembangan yang

cukup pesat, seiring dengan semakin beragamnya objek kajian dan metode kajiannya.

Sebagai objek kajian, agama islam dapat digunakan sebagai doktrin atau dogma, realitas

sosial atau fakta sosial.

Kajian yang meletakkan agama sebagai doktrin menggunakan pendekatan

normatif teologis, sedangkan kajian yang meletakkan agama sebagai fakta sosial lebih

tepat menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, sejarah,

dan lain lain.

Ada beberapa peristilahan yang hampir sama dan menunujukkan tujuan dan arah

yang sama dengan pendekatan, yakni kerangka teoritis, kerangka konseptual, perspektif,

sudut pandang, dan paradigma. Semua istilah itu dapat diartikansebagai cara

memandang dan cara menjelaskan sesuatu gejala atau peristiwa.

Sehubungan dengan pemikiran diatas, maka pada lamgkah pertama kita akan

diajak untuk mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami

agama. Hal ini perlu dilakukan dengan asumsi melalui berbagai pendekatan, kehadiran

agama secara fungsional dapat dirasakan oleh Penganutnya dan begitu sebaliknya tanpa

mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka agama tidak mungkin dapat dijangkau

atau didekati oleh masyarakat dan pada akhirnya masyarakat menemukan solusi

pemecahan permasalahan selain dari agama.


B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang diangkat disini

adalah :

1. Apakah Pengertian Pendekatan Normatif – Teologis itu ?

2. Bagaimanakah Karakteristik Pendekatn Normatif–Teologis ?

3. Bagaimanakah Signifikansi Pendekatan Normatif–Teologis?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

Tujuan Pembahasan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah

Metodologi Studi Islam yang sekaligus untuk mengetahui :

1. Pengertian Pendekatan Normatif – Teologis;

2. Karakteristik Pendekatan Normatif – Teologis;

3. Signifikansi Pendekatan Normatif – Teologis.


PEMBAHASAN

A.Pengertian Pendekatan Normatif-Teologis

Pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi pokok
asli dari ajaran Tuhan didalamnya dan dapat diartikan sebagai hal-hal yang mengikuti
norma-norma atau aturan tertentu.Dalam konteks ajaran islam,pendekatan normatif
merupakan ajaran agama yang belum pernah tercampur dengan pemahaman dan
penafsiran manusia.Pendekatan normatif dapat dikatakan pendekatan yang memiliki
domain bersifat keimanan yang mengasumsikan seluruh ajaran islam [dalam al-
quran,hadist dan ijtihad]

Pendekatan normatif ini dapat disebut juga sebagai legal-forma .Sebagaimana


diketahui bahwa pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama .Maksud legal-
formal adalah hubungannya dengan halal-haram,boleh atau tidak dan
sejenisnya.Sementara normatif adalah seluluruh ajaran yang terkandung dalam nash.

Adapun pendekatan teologis ialah pendekatan yang menekankan pada simbol-simbol


keagamaan atau bentuk formal,dimana masing-masing simbol keagamaan tersebut
mengklaim dirinya yang paling benar.Pendekatan teologis ini dalam memahami agama
cenderung bersifat tertutup,tidak ada dialog,parsial dan saling menyalahkan.

Secara harfiah,pendekatan normatif-teologis dalam memahami agama[islam]dapat


diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan lainnya.Amin Abdullah
mengatakan,bahwa teologi,sebagaimana kita ketahui pasti mengacu pada agama
tertentu.

Hal ini memberikan dampak yang besar terhadap perilaku pengikut teologi normatif
ini.Pemikiran teologi yang keras mendorong pengikutnya menjadi agresif,sementara
teologi yang kalem cenderung menggiring pengikutnya bersikap deterministik dan
pasrah.

B. Ciri dan Aplikasi Pendekatan Normatif-Teologis

Pendekatan normatif-teologis secara umum menggunakan cara berpikir deduktif,

yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang mutlak adanya, dimana ajaran

yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar dan tidak perlu dipertanyakan terlebih

dahulu. Dimulai dari keyakinan lalu diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.

Pendekatan normatif-teologis mempunyai ciri-ciri yang melekat sebagai sebuah

pendekatan, yaitu terdiri atas :

1. Loyalitas terhadap diri sendiri

Loyalitas terhadap diri sendiri timbul bila kebenaran keagaaman dimaknai

dengan kebenaran sebagaimana yang dipahami oleh pribadi itu sendiri.

Kebenaran yang diyakini oleh seseorang merupakan kebenaran yang tidak bisa

lagi diungkit-ungkit. Sebagai konsekuensinya, kebenaran yang ditunjukkan

oleh orang lain dianggap kurang benar atau salah sama sekali.

2. Komitmen

Pendekatan normatif-teologis menghasilkan individu yang berkomitmen tinggi

terhadap kepercayaan. Individu yang meyakini suatu kebenaran akan siap

berjuang mempertahankannya, serta siap menghadapi tantangan dari pihak-

pihak lain yang mencoba menyerang kebenaran yang telah diyakini secara

mutlak.

3. Dedikasi
Hasil dari loyalitas dan komitmen yang besar akan menghasilkan dedikasi yang

tinggi dari penganut agama sesuai dengan kebenaran yang diyakini. Dedikasi

itu diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap ritual keagamaan, antusias

dalam menjalankan keyakinan dan menyebarkannya, serta kerelaan untuk

berkorban demi pengembangan keyakinan yang dianut.

Pendekatan normatif-teologis dalam aplikasinya tidak menemui kendala yang

cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam yang bersifat qoth’i.

Persoalannya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada

realita dalam al-Qur’an maupun Hadis yang tidak tertulis secara eksplisit, namun

kehadirannya diakui dan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas. Contoh

yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam masyarakat yang sudah

menjadi tradisi turun-temurun, seperti tahlilan atau kenduri.

Agama Islam dilihat secara normatif pasti benar serta menjunjung tinggi nilai-nilai

luhur. Untuk bidang sosial, agama menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,

kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, rasa persamaan derajat dan

sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan,

kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Sedang untuk bidang ilmu

pengetahuan, agama tampil mendorong umatnya agar memiliki pengetahuan dan

keahlian serta menguasai teknologi yang setinggi-tingginya. Demikian pula untuk

bidang kesehatan, kehidupan, kebudayaan, politik dan lainnya, agama tampil sangat

ideal dan dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama.
C. Signifikansi Pendekatan Normatif

Sebuah ajaran agama dapat dipastikan kebenarannya karena ia diyakini berasal dari
Tuhan yang disebut wahyu. Namun mungkinkah ajaran agama atau wahyu dari
Tuhan tersebut dapat dipahami tanpa ada penalaran dari akal sebagai metode untuk
mengerti terhadap ajaran tersebut?. Dan siapakah yang mempunyaiotoritas
penjabarannya?, dan dengan cara apa?.

Qodri Azizi mengatakan: Dalam tradisi mempelajari Islam, tujuan utamanya adalah
untuk memahami Islam. Di tingkat Perguruan Tinggi, satu pertanyaan timbul:
“Belajar Islam tersebut lewat siapa?”. Apakah lewat guru/ulama atau penulis itu
tepat dalam memahami Islam?. Nah, disinilah letak kajian akademik terhadap Islam
yang dilakukan oleh sarjana Muslim sendiri, yaitu kajian akademik terhadap
pemikiran ulama terdahulu dalam memahami Islam.

Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu-ilmu keagamaan sering disebut al-‘ulumal-


naqliyah atau “ilmu-ilmu naqli”, yakni ilmu yang didasarkan kepada “naql” atau
kutipan dari Kitab dan Sunnah. Sedangkan filsafat dan kaitan-kaitannya sering
dirujuk sebagai al-‘ulum al-‘aqliyah atau “ilmu rasional.”

Nurcholish Madjid mengatakan, dalam karya-karyanya al-Musahibi banyak


menuturkan hadits-hadits tentang akal yang sangat mengesankan. Ia menolak
pandangan sebagian ulama bahwa hadits-hadits tentang akal itu palsu, bikin-

(maudhu’) atau dhaif. Baginya hadits-hadits itu adalah absah, karena maknanya

sejalan dengan berbagai gambaran dan ajaran alquran. Karena hadits-hadits itu

cukup menggambarkan suasana yang memberikan dorongan kepada kaum Muslim

klasik untuk menjunjung tinggi akal dan pemikiran rasional.

Menurut Harun Nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu Dalam Islam (yang

dijadikan fokus dalam tulisan ini). Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita

jumpai kata 'aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat

serban,terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di

Arab Saudi dan lain-lain, disebut 'iqal ( ‫ ) عقال‬dan menahan orang di dalam penjara

disebuti'taqala ( ‫ ) اعتقل‬dan tempat tahanan mu'taqal (‫)معتقل‬.

Lisan Al-'Arab ( ‫) لسان العرب‬, umpamanya menjelaskan bahwa al'aql berarti alhijr(

‫ ) الحجر‬menahan dan al-'aqil ( ‫ ) العاقل‬ialah orang yang menahan ( ‫ ) يحبس‬diri dan

mengekang hawa nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-'aql mengandung

arti kebijaksanaan (alnuha- ‫) النهى‬, lawan dari lemah pikiran (al-humq- ‫) الحمق‬.

Selanjutnya disebut bahwa al-'aql juga mengandung arti kalbu (al-qalb- ‫) القلب‬.

Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kata 'aqala mengandung arti memahami.
Asli dari kata 'aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan orang yang

'aqil di zaman jahiliyyah, yang dikenal dengan hamiyah ( ‫ ) حمية‬yaitu orang yang

dapat menahan amarahnya, dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan

tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Dalam pemahaman Izutzu, kata 'aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti

kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern

disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving cavacity). Orang

berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk

menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya

dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini

amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyyah.

Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama

adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat

untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sejalan dengan agama

Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt yang penjabarannya

dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw22. Di dalam Alquran surat An-Nisa ayat 156

kita dianjurkan agar mentaati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (pemimpin).

Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ini mengandung konsekuensi ketaatan

kepada ketentuan-Nya yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan Nabi


Muhammad Saw yang terdapat dalam Haditsnya. Selanjutnya ketaatan kepada ulil

amri sifatnya kondisional, atau tidak mutlak, karena betapapun hebatnya ulil amri

itu, ia tetap manusia yang memiliki kekurangan dan tidak dapat dikultuskan. Atas

dasar inilah ketaatan kepada ulil amri sifatnya kondisional, jika produk dari ulil

amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka wajib diikuti;

sedangkan jika produk dari ulil amri tersebut bertentangan dengan kehendak Tuhan,

maka tidak wajib mentaatinya.

Harun Nasution mengatakan: kata 'aqala mengandung arti mengerti, memahami

dan berpikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pengertian, pemahaman dan

pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala?. Dalam Al-Qur’an

dijelaskan bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu

yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut menjelaskan demikian:

Artinya : Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)

kebanyakandari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak

dipergunakannya untuk memahami (ayat ayat Allah) dan mereka mempunyai mata

(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan

mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-

ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.

mereka Itulah orangorang yang lalai. (Q.S. Al-A'raf : 179)26

Artinya : Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-

orangyang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. mereka

rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah Telah
mengunci mati hati mereka, Maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan

mereka). (Q.S. At-Taubah : 93)27

Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka

terkunci? (Q.S. Muhammad : 24)28

Ayat-ayat Alquran maupun uraian kamus yang diberikan di atas tidak menyebut bahwa

akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-'aql malahan dikatakan sama dengan

al-qabl yang berpusat di dada.

Tentang wahyu, Harun Nasution selanjutnya menerangkan. Wahyu berasal dari kata

Arab al-Wahy ( ‫) الوحي‬, dan al-Wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari

bahsa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan, disamping itu ia juga

mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung

arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal

dengan arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”. Dalam kata wahyu

dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya

agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu

mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam

perjalanan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau

sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw terkumpul semua dalam

Alquran.

Selanjutnya Harun Nasution menerangkan bahwa wahyu diturunkan melalui tiga cara;

pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir
sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa as, dan ketiga melalui utusann yang dikirim

dalam bentuk malaikat.

Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw adalah dalam bentuk

ketiga dan itu ditegaskan oleh Alquran yang salah satunya dalam surat Asy-Syu'ara :

Artinya : Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhansemesta

Alam, - Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), - Ke dalam hatimu

(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi

peringatan, - Dengan bahasa Arab yang jelas. (Q.S. Asy-Syua'ara : 192-195)32

Ayat tersebut dengan jelas menggambarkan bahwa firman Tuhan sampai kepada Nabi

Muhammad Saw melalui jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun

dari belakang tabir. Dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi

antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi. Falsafat dan

Tasawuf atau mistisisme dalam Islam mengakui adanya komunikasi itu.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Alquran memberikan penghargaan yang tinggi

terhadap akal. Oleh karena itu ayat Alquran mendorong manusia supaya banyak berpikir

dan mempergunakan akalnya dalam memahami segala ajaran atau wahyu yang

diturunkan-Nya.

Kata-kata yang dipakai dalam Alquran untuk menggambarkan perbuatan berpikir bukan

hanya 'aqala, tetapi juga Nazara yang berarti melihat secara abstrak dalam arti berpikir

dan merenungkan. Tadabbara yang berarti merenungkan. Tafakkara yang berarti


berpikir. Faqiha yang berarti mengerti, faham. Tadzakkara yang berarti mengingat,

memperoleh peringatan, mendapat pelajaran,memperhatikan dan mempelajari. Fahima

yang berarti memahami.Dan 'aqal itu sendiri.

Seperti kita ketahui, akal dalam Islam memperoleh kedudukan yang tinggi, bukan hanya

dalam soal-soal keduniaan saja, tetapi juga dalam soal-soal keagamaan itu sendiri. Dan

hal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akal dalam Islam adalah menuntut ilmu.

Selanjutnya peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan

dapat dijumpai dalam bidang filsafat, tauhid, fiqh dan tafsir,


BAB 3
PENUTUP

KESIMPULAN
Pengertian pendekatan normatif-teologis secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya

memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak

belakang dengan keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap

sebagai yang paling benar dibandingkan lainnya.Amin Abdullah dalam bukunya yang

berjudul metodologi studi islam mengatakan, bahwa teologi,sebagaimana kita

ketahui,pasti mengacu pada agama tertentu.

Perkembangan jaman yang demikian pesat dan disertai dengan munculnya berbagai

persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi sebuah tuntutan untuk lebih

memahami agama sesuai jamannya. Tuntutan terhadap agama dapat dijawab dengan

pemahaman agama yang menggunakan pendekatan normatif-teologis, serta dilengkapi

dengan pendekatan lain, dimana secara operasional konseptual dapat memberikan

jawaban terhadap masalah yang timbul. Jadi sebaiknya umat tidak memahami Islam

hanya melalui pendekatan normatif-teologis, agar pemahaman tentang Islam menjadi

lebih terintegrasi, universal dan komprehenshif.


DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. (2002). Metodologi Studi Islam. Jakarta:Raja Grafindo Persada

Mujamil, Qomar. (2020).Pendidikan Islam Multidisipliner Interdisipliner dan Transdisipliner.

MadaniMedia

Nurjanah, Enung. (2019). Metodologi Pendidikan Islam.Bandung:Alfabeta

Nasution, Harun. (2001).Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:UniversitasIndonesia

Press

Hilmi, Masdardan AkhMuzakki. (2005).Dinamika Baru Studi Islam. Surabaya:Arkola

Mansur.(2016).Makalah Pendekatan Normatif.Diakses

darihttp://menzour.blogspot.com/2016/03/makalah-pendekatan-normatif.html?m=1

Pransiska, T. (2017). Menakar Pendekatan Teologis-Normatif dalam Memahami Agama di Era

Pluralitas Agama di Indonesia. Turást: Jurnal Penelitian & Pengabdian, 5(1),4.

Diu, A. (2018). Pemikiran M. Amin Abdullah tentang Pendidikan Islam dalam Pendekatan

Integrasi-Interkoneksi.Jurnal Ilmiah AL-Jauhari (JIAJ). 3(1), 1-15.

Anda mungkin juga menyukai