Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM

Disusun Oleh:

Atika Fadilah

201103030307

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

RADEN INTAN LAMPUNG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT serta shalawat

dan salam saya sampaikan hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi Muhammad

SAW. Diantara sekian banyak nikmat Allah SWT yang membawa kita dari

kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat

bagi seluruh umat manusia, sehingga oleh karenanya saya dapat menyelesaikan

tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk

memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pada mata kuliah. Selain

itu, makalah ini disusun dengan sistematis dan deskriptif.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................7
C. Tujuan...................................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................8
A. Pengertian Pendekatan Studi Islam....................................................................8
B. Pendekatan Teologis..........................................................................................10
C. Pendekatan Sosiologis........................................................................................14
D. Pendekatan Filosofis..........................................................................................18
E. Pendekatan Antropologis...................................................................................22
F. Pendekatan Fenomenologis...............................................................................25
G. Pendekatan Psikologis....................................................................................28
H. Pendekatan Feminis.......................................................................................29
BAB III KESIMPULAN................................................................................................31
A. Kesimpulan.........................................................................................................31

3
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Charles Joseph Adams lahir pada tanggal 24 April 1924 di Houston,

Texas. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui sistem sekolah umum. Pada

permulaan belajar di sekolah dasar ini Adams telah menunjukkan kegemaran

menulis. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas John H. Reagen pada tahun

1941, dia meneruskan di Baylor University di Waco, Texas. Adams juga pernah

bergabung dengan Angkatan Udara Amerika Serikat dari tahun 1942 sampai

dengan 1945 sebagai operator radio dan mekanis. Setelah perang, tahun 1947

Adams memperoleh gelar Sarjana dan pada tahun yang sama memasuki Graduate

School di Universitas Chicago bersama dengan Joachim Wach. Karir akademisi

Adams adalah profesor dalam bidang Islamic Studies dan pada tahun 1963

diangkat menjadi director Institute of Islamic Studies McGill University selama

20 tahun. Adams menerima Ph. D dalam History of Religion dari University of

Chicago pada tahun 1955 dengan disertasi berjudul “Nathan Soderblom as an

Historian of Religions”. Adams telah menulis banyak tentang Islam, salah satu

karya terbesarnya yang dijadikan teks penting bagi dosen dan mahasiswa agama

adalah A Reader’s Guide to the Great Religions (1977). Adams juga menjadi

kontributor artikel untuk The Encyclopedia Britannica, dan the World Book

Encyclopedia, dan Encyclopedia Americana. Beberapa karya lainnya adalah The

Encyclopedia of Religion (1987), “The Authority of the Prophetic Hadith in the

Eye of Some Modern Muslims, in Essays on Islamic civilization presented to

Niyazi Berkes (1976), the Ideology of Maulana Maududi, in South Asian Politics

4
and Religion, Ed. Donald E. Smith (1966), dan Islamic Religious Tradition, dalam

Leonard Binder, The Study of the Middle East, Ed. (1976).

Burning issues and questions yang mengganggu nurani akademik Adams

mengenai metode dan pendekatan studi Islam adalah adanya kegagalan ahli

sejarah agama memperluas pengetahuan dan pemahaman kita tentang Islam

sebagai agama, dan ahli tentang Islam (Islamists) juga telah gagal untuk

menjelaskan secara tepat fenomena keberagamaan Islam. 1Untuk menjawab

kegelisahan akademik itu adalah dengan menggunakan dua disiplin yaitu sejarah

agama dan studi Islam sebagai kerangka teoritis atau kerangka pikir (conceptual

tool) untuk menganalisis lebih tajam tradisi Islam dan untuk memperoleh

pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara unsur yang bermacam-macam

termasuk hubungan struktural dengan tradisi lainnya..

Hal mendasar yang penting dipahami dalam studi Islam adalah definisi

Islam dan Agama. Bagi Adams sangat sulit dicapai sebuah rumusan yang dapat

diterima secara umum mengenai apakah yang disebut Islam itu? Islam harus

dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang

dan terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon secara mendalam

realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah “an on going process of

experience and its expression, which stands in historical continuity with the

message and influence of the Prophet. Sedangkan konsep agama menurut Adams

melingkupi dua aspek yaitu pengalaman-dalam dan perilaku luar manusia (man’s

inward experience and of his outward behavior).2


1
Charles J. Adams, “Foreword” dalam Richard C Martin (ed), Approaches to Islam in Religious
Studies (USA: The Arizona Board of Regents, 1985), vii – x
2
Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,” dalam The Study of the Middle East: Research
and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: John

5
Dalam melihat dan mendefinisikan agama Islam, Adams menggunakan

kerangka teoritis dari Wilfred Cantwell Smith yang membedakan antara tradition

dan faith.3 Agama apapun, termasuk Islam, memiliki aspek tradition yaitu aspek

eksternal keagamaan, aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi

dalam masyarakat, dan aspek faith yaitu aspek internal, tak terkatakan, orientasi

transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama. Dengan pemahaman

konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami dan mengerti

pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Studi agama harus berupaya

memiliki kemampuan terbaik dalam melakukan eksplorasi baik aspek

tersembunyi maupun aspek yang nyata dari fenomena keberagamaan4 . Karena

dua aspek dalam keberagamaan ini (tradition and faith, inward experience and

outward behavior, hidden and manifest aspect) tidak dapat dipisahkan antara satu

dengan yang lain.

Menurut Adams tidak ada metode yang canggih untuk mendekati aspek

kehidupan-dalam individu dan masyarakat beragama, tetapi sarjana harus

menggunakan tradisi atau aspek luar keberagamaan sebagai landasan dalam

memahami dan melakukan studi agama. Sebagai tantangan dalam mengkaji Islam

sebagai sebuah agama harus melampui dimensi tradisi atau aspek luar agar

mampu menjelaskan dimensi kehidupan-dalam dari masyarakat Islam.

Wiley & Sons, 1976), 32 – 33.


3
Manifestasi agama menurut W.C. Smith dapat dikelompokkan menjadi ajaran, simbol, praktek,
dan lembaga. WC. Smith, “Comparative Religion, Whither and Why”, dalam Mircea Eliade and
Joseph M. Kitagawa (Ed), The History of Religions (Chicago and London: University of Chicago
Press, 1973), 35
4
Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder (Ed)., The Study of the
Middle East, 33

6
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Studi islam?

2. Sebutkan dan jelaskan Pendekatan Studi Islam?

C. Tujuan

Untuk memahami dan memaparkan mengenai macam-macam Pendekatan

Studi Islam

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Studi Islam

Kata “pendekatan”, termasuk dalam konteks studi Islam, pada umumnya secara

bahasa dinamakan dengan madkhal dalam istilah Arab dan approach dalam

bahasa Inggris. Di luar dua term tersebut, sebenarnya ada sejumlah istilah lain,

7
yang juga sudah begitu popular dalam tradisi ilmiah, yang bermakna relatif sama

(mirip) dan menunjuk pada tujuan yang hampir sama pula dengan pendekatan,

yaitu: theoretical framework, conceptual framework, perspective, point of view

(sudut pandang) dan paradigm (paradigma). Tegasnya, semua istilah itu dapat

diartikan sebagai “cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau

peristiwa”. 5 Lebih jauh dijelaskan oleh Khoiruddin Nasution bahwa menyangkut

makna pendekatan masih diperdebatkan dan melahirkan dua kategori lagi.

Pertama, dan masih dibagi pula atas dua hal: pendekatan diartikan sebagai

“dipandang atau dihampiri dengan” dan “cara menghampiri atau memandang

fenomena (budaya dan atau sosial)”. Jika diartikan sebagai “dipandang dengan”

maka keberadaan pendekatan itu lebih merupakan suatu “paradigma”, dan kalua

dimaknai sebagai “cara memandang atau menghampiri” maka keberadaan

pendekatan lebih merupakan suatu “perspektif” atau “sudut pandang”. Kedua,

pendekatan dapat pula bermakna sebagai suatu “disiplin ilmu”, sehingga ketika

dikatakan “studi Islam dengan pendekatan sosiologi, misalnya, maka maknanya

adalah menstudi atau mengkaji Islam dengan menggunakan disiplin ilmu

sosiologi itu, dan implikasinya mestilah pendekatan di sini menggunakan teori

atau teori-teori dari disiplin ilmu sosiologi yang dijadikan sebagai sebuah

pendekatan itu. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi tersebut berarti

fenomena sosial studi Islam didekati dengan sebuah teori atau teori-teori

sosiologi.6 Dan ditegaskan oleh Khoiruddin Nasution7, pendekatan (approach),

5
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2007), 146-
147; Dede Ahmad Ghazali, Heri Gunawan, Studi Islam, Suatu Pengantar dengan Pendekatan
Interdisipliner (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), 64.
6
Nasution, Pengantar Studi Islam, 152.
7
Nasution, Pengantar Studi Islam, 152.

8
tentu terutama dalam konteks studi Islam, mempunyai pengertian yang sangat

kompleks mencakup semua pengertian yang disampaikan di atas.

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan dapat dimaknai sebagai suatu

perspektif atau paradigma dengan mempergunakan disiplin ilmu tertentu, sesuai

dengan fenomena yang menjadi fokus kajian atau studinya. Dikatakan oleh

Sartono Kartodirdjo, penggambaran mengenai sesuatu sangat tergantung pada

pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya, dimensi apa yang

diperhatikan, unsure-unsur mana yang diungkapkan dan lain sebagainya. 8Hasil

penggambarannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai.

Sejalan dengan pemaknaan pendekatan sebagai sebuah disiplin ilmu, Jamali

memberikan keterangan sebagai berikut ini:

Istilah pendekatan merupakan kata terjemahan dari bahasa Inggris

approach. Maksudnya, adalah suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian

sebuah studi atau penelitian. Pendekatan dalam aplikasinya lebih mendekati

disiplin ilmu karena tujuan utama pendekatan ini untuk mengetahui sebuah kajian

dan langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam pengkajian atau penelitian

itu sendiri. Setiap disiplin ilmu memiliki kekhususan metodologi sebab tidak ada

sebuah metode yang dapat digunakan dalam semua disiplin ilmu. Jika seorang

pengkaji telah menentukan pendekatan yang digunakannya, akan dengan mudah

terbaca langkah-langkah metodologis yang digunakannya.9

8
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992), 4.
9
Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana
Orientalis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 64-65

9
B. Pendekatan Teologis

Secara etimologi, teologi (theologi) berasal dari kata Yunani, yaitu theos,

artinya tuhan (god), dan logos, yang berarti pengetahuan. 10Jadi teologi berarti

ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan. Dalam ensyklopedia Everyman’s,

disebutkan tentang Teologi sebagai pengetahuan tentang agama, yang karenanya

membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan.11

Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang

menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama

yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang

lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis normatif dalam

memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama

dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu suatu

keyakinan bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling

benar dibandingkan dengan yang lainnya.12

Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah

mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan

masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan

demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak

pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial

kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Dari situ, kemudian muncul

terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam

10
Mukafi Fahal & Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern (Surabaya : Gitamedia Press, 1999),
11.
11
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru), 1.
12
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam..., 65.

10
budaya tertentu secara lebih obyektif lewat pengamatan empirik faktual, serta

paranata-pranata sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.13

Berkenaan dengan hal di atas, maka saat ini muncul apa yang disebut

dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami

penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-

sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini. Yaitu

teologi yang bergerak antara dua kutub, yaitu teks dan situasi, masa lampau dan

masa kini. Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis

ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial

dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya).14

Pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup,

tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada

akhirnya pengkotak-kotakan ummat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya

kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologi ini agama menjadi buta terhadap

masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak

memiliki makna.

Dengan demikian pendekatan teologis dalam memahami agama

menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari

keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari

Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu,

melainkan dimula dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil

13
Amin Abdullah, Studi Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 31.
14
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001), 30-31.

11
dan argumentasi. Pendekatan teologis telah menunjukkan adanya kekurangan

yaitu bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan

sebagainya. Kekurangan ini dapat diatasi dengan cara melengkapinya dengan

pendekatan sosiologis.15 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mukti Ali bahwa

dalam mempelajari Islam dengan segala aspeknya tidaklah cukup dengan jalan

doktriner saja. Menurutnya pendekatan doktriner dan ilmiah harus digunakan

bersama.16

Pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu

suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan

asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.

Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari

Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan

ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk

agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur.17

Adapun ciri-ciri pendekatan teologis sebagai berikut :

a. Loyalitas terhadap diri sendiri

Loyalitas terhadap diri sendiri timbul bila kebenaran keagamaan dimaknai

dengan kebenaran sebagaimana dipahami oleh pibadi itu sendiri. Kebenaran

sebagaimana diyakini oleh seseorang merupakan kebenaran yang tidak bisa

diungkit-ungkit. Sebagai konsekuensinya, kebenaran yang ditunjukkan oleh

orang lain dianggap kurang benar atau salah sama sekali.


15
Ibid., 32-34
16
A. Mukti Ali, ,Metode Mamahami..., 32.
17
Abudin Nata, Metodologi Studi..., 35.

12
b. Komitmen

Pendekatan nomatif-teologis menghasilkan individu yang berkomitmen

tinggi terhadap kepercayaan. Individu yang meyakini suatu kebenaran akan

siap berjuang mempertahankannya, serta siap menghadapi tantangan dari

pihak-pihak lain yang mencoba menyerang kebenaran yang telah diyakini

secara mutlak.

c. Dedikasi

Hasil dari loyalitas dan komitmen yang besar akan menghasilkan dedikasi

yang tinggi dari penganut agama sesuai dengan kebenaran yang diyakini.

Dedikasi itu diwujudkan dalam bentuk ketaatan terhadap ritual keagamaan,

antusias dalam menjalankan keyakinan dan menyebarkannya, serta kerelaan

untuk berkorban demi pengembangan keyakinan yang dianut.20

Kemudian ada tiga pendekatan Teologi jika ditinjau dalam konteks pluralisme

beragama yaitu :

a. Pendekatan Teologi Normatif

Pendekatan teologi normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat

diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan ketuhanan

yang bertolak dari suatu keyakinan dalam wujud empirik dari suatu agama

yang dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.

b. Pendekatan Teologi Dialogis

13
Pendekatan teologi dialogis merupakan metode pendekatan terhadap

agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing aliran agama. Oleh

karena itu, perlu adanya keterbukaan antara satu agama dengan agama

lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan saling pengertian di antara

pemeluk agama.

c. Pendekatan Teologis Konvergensi

Pendekatan teologi konvergensi adalah upaya untuk memahami agama

dengan melihat intisari persamaan atau titik temu dari masing-masing agama

untuk dapat diintegrasikan.18

C. Pendekatan Sosiologis

Hasan Shadily mendefinisikan sosialogi sebagai “ilmu yang mempelajari

hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia

yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud

hidup bersama, cara terbentuknya dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-

perserikatan hidup itu serta pada kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat

tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.19

Sementara itu Soerjono Soekanto memaknai sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu

pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak

menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi

petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijakan masyarakat dan proses kehidupan

bersama tersebut. Di dalam itu juga dibahas tentang proses-proses social,

mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup

18
Muhtadin Dg. Mustafa, Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks Pluralisme Beragama.
www.jurnalhunafa.org.article.viewFile.
19
Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1993), 1.

14
untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari

manusia.20

Berdasarkan dua definisi tersebut Abuddin Nata kemudian memberikan

simpulan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang membahas keadaan masyarakat

dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang berkaitan.21

Relevan dengan pemaknaan sosilogi seperti itu kemudian ada yang memahami

sosiologi Islam, sebagai disampaikan Bustaman, dengan mengutip Sulaiman

Khalid, sebagai “concepts are drawn from the Qur’an and Sunnah, and then we

move ahead to consider what this implies at a theoretical level. The theory then

becomes the means by which wr formulate the definition which gives shape to our

observation of the established facts”.22 Dalam konteks studi Islam, pendekatan

sosilogi melihat fenomena keagamaan masyarakat atau komunitas Muslim

terutama dilihat dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku

itu.23 Dengan sosiologi ini keberadaan suatu fenomena sosial dapat dianalisis

dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan social, mobilitas sosial

serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses sosial tersebut. Sekedar untuk

semakin menperjelas wilayah dan sasaran kajian sosilogi, utamanya dalam

konteks studi Islam, sekaligus distingsinya dengan jangkauan antropologi sebagai

akan diuraikan di bawah, kutipan berikut ini penting disimak dan diperhatikan:

Dalam kehidupan umat beragama, diketahui adanya posisi dan peranan-

peranan tertentu dari seseorang. Posisi dan peranan-peranan itu menyatakan diri

20
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 1982), 18 dan 53.
21
Nata, Metodologi Studi Islam, 39.
22
Mattulada, “Studi Islam Kontemporer” dalam Abdullah dan Karim (ed.), Metodologi Penelitian
Agama, 1.
23
Mattulada, “Studi Islam Kontemporer” dalam Abdullah dan Karim (ed.), Metodologi Penelitian
Agama, 1.

15
dalam kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial itu dapat terselenggara,

melalui hubungan-hubungan fungsional dalam masyarakat, yang bersumber dari

kedudukan dan peranannya dalam kehidupan umat beragama.24

Sebagai sebuah disiplin ilmu, sosiologi dapat dimanfaatkan untuk

menstudi agama, dan memang relatif sudah begitu sering dipergunakan oleh

beberapa ahli. Tentu saja pemanfaatan sosiologi sebagai pendekatan untuk

menstudi suatu agama dapat dimengerti, karena memang ajaran agama, termasuk

Islam, banyak sekali yang menyangkut persoalan sosial. Dan sudah barang tentu

hal seperti itu baru dapat dipahami secara proporsional dan memadai apabila

dipergunakan sosiologi sebagai sebuah pendekatan dalam menstudinya.

Jalaludin Rahmat menunjukkan sejumlah bukti (alasan) menyangkut

begitu besarnya perhatian agama dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial,

sehingga menjadi urgen dipergunakan pendekatan sosilogis dalam studi Islam.

Pertama, isi al-Qur’an dan as-Sunnah sebagian besar menyangkut ajaran sosial

(muamalah). Merujuk keterangan Khomaeni, Rahmat memberikan penegasan

bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dengan ayat yang menyangkut

kehidupan sosial adalah satu berbanding serratus untuk satu ayat ibadah,

misalnya, terdapat seratus ayat muamalah (masalah sosial). Lebih jauh diangkat

kasus ayat tentang karakteristik orang-orang mukmin sebagai terapat dalam Qs.

al-Mukminun ayat 1-9, misalnya, adalah orang yang shalatnya khusyu’ demensi

ibadah menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat, memelihara

amanah dan janjinya serta menjaga kehormatannya dari perilaku maksiat masalah

atau dimensi sosial-muamalah. Kedua, ketika urusan ibadah bersamaan waktu


24
Mattulada, “Studi Islam Kontemporer”, dalam Abdullah dan Karim (ed.), Metodologi Studi
Agama, 7.

16
pelaksanaannya dengan masalah muamalah (sosial) maka ajaran Islam

memperbolehkan pelaksanaan ibadah dipersingkat atau ditangguhkan

pelaksanaannya (tentu bukan ditinggalkan, melainkan tetap dikerjakan

sebagaimana mestinya). Ketiga, ibadah yang mengandung nilainilai sosial

diberikan pahala dengan bobot yang lebih besar ketimbang ibadah yang

dilaksanakan secara perorangan, sehingga berjama’ah dinilai lebih tinggi nilainya

ketimbang shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu

berbanding dua puluh tujuh derajat. Keempat, dalam ajaran Islam ada ketentuan

bahwa ada sejumlah ibadah yang bila dilaksanakan tidak sempurna atau batal,

karena melanggar pantangan (larangan) tertentu, maka kifarat atau tebusannya

adalah melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Seorang

perempuan menyusui misalnya, ketika tidak mampu berpuasa, maka kifaratnya

adalah membayar fidyah (denda pengganti sebagai tebusan) yakni memberi

makan kepada orang miskin. Kelima, ajaran Islam menetapkan bahwa amal

kebaikan dalam bidang sosial-kemasyarakatan (muamalah) mendapatkan pahala

lebih besar daripada ibadah sunnah.25

Pendekatan sosiologis, sebagaimana diuraikan oleh Atha’ Mudzhar, dapat

digunakan dalam studi atau penelitian terhadap agama Islam, dengan mengambil

beberapa tema-tema berikut ini: (1) studi pengaruh agama terhadap masyarakat;

(2) studi pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran

Islam atau konsep Islam; (3) studi tentang tingkat pengamalan ajaran agama Islam

oleh masyarakat; (4) studi pola interaksi sosial dalam masyarakat Muslim; (5)

studi gerakan masyarakat yang membawa faham yang dapat melemahkan atau

25
Nata, Metodologi Studi Islam, 40-41.

17
menunjang kehidupan beragama dalam masyarakat Islam. Setelah itu, Atha’

mencoba merakit bagaimana pendekatan tersebut digunakan dalam studi hukum

Islam.26 Tentu saja hukum Islam dipandang sebagai gejala sosial. Karena itu,

konteks (realitas sosial) dihadapkan (vis-à-vis) teks yang pada gilirannya hasil

penelitian ini mampu menjelaskan fenomena sosial menurut hukum Islam.27

D. Pendekatan Filosofis

Sebagai pengantar betapa pentingnya pendekatan filosofis dalam studi

Islam, kiranya perlu direnungkan pernyataan Fajlur Rahman. Menurut

pengamatan dalam penelitian Fajlur Rahman, salah satu penyebab tidak

berkembangnya disiplin keilmuan kalam khususnya atau studi-studi keislaman

pada umumnya, lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya

dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis dalam batang tubuh

kerangka keilmuan kalam. Menurutnya, disiplin keilmuan filsafat dan pendekatan

filosofis pada umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan, bahkan

jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apa pun. Lebih lanjut dikatakan:

Bagaimanapun juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang

terusmenetus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh berkembang secara alamiah,

baik untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan

disiplin-disiplin keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami karena filsafat

menanamkan kebiasaan dan melatih akal-fikiran untuk bersifat kritis-analitis dan

mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan

demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-ilmu yang

26
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam
27
Bustaman, Islam Historis, 11.

18
lain, tidak terkecuali agama dan teologi (Kalam). Oleh karenanya, orang yang

menjauhi filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan energi, dan

kelesuhan darah—dalam arti kekurangan ide-ide segar—dan lebih dari itu, ia telah

melakukan bunuh diri intelektual.28

Yang dimaksudkan kajian keislaman dengan pendekatan filosofis ini

adalah pembahasan terhadap agama Islam, yang umumnya berupa dogma, ajaran

dan teks-teks yang berkembang di dunia Islam, dengan menggunakan filsafat,

dengan orientasi yang lebih mengarah pada bentuk elaborasi atau eksplanasi

tentang ajaran dan doktrin yang ada dalam Islam. Tentu saja kecenderungan

pembahasan dalam pendekatan filosofis lebih bersifat analitiskritis atau

diistilahkan sebagai “Islam Kritis”. Sebagai sebuah pendekatan, sebenarnya

filsafat dapat dibedakan atas filsafat sebagai disiplin keilmuan dan sebagai faham

atau aliran tertentu seperti esensialisme, perennialisme, eksistensialisme,

pragmatisme, progresivisme dan sebagainya. Dijelaskan oleh Amin Abdullan,

perbedaan wilayah kajian filsafat kategori pertama dengan yang kedua,

bahwasannya wilayah pertama bersifat “keilmuan” dan “terbuka” serta “dinamis”,

sedang wilayah yang kedua bersifat “ideologis” dan “tertutup” serta “statis”. Yang

pertama bersifat “inklusif”, tidak tersekat-sekat dan tidak terkotak-kotak,

sedangkan yang kedua bersifat “eksklusif”, tersekat-sekat dan terkotak-kotak oleh

tradisi sendiri-sendiri. Cara berfikir ideologis yang tertutup itu biasanya

melupakan keterbatasan-keterbatasan dan keurangan yang melekat pada dirinya

sendiri. Menurut hemat Amin Abdullah, jenis filsafat pertama yakni filsafat

sebagai sebuah keilmuan yang lebih cocok untuk membantu memecahkan

28
M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam”, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.),
Problem dan Prospek IAIN, Antologi Pendidikan Tinggi Islam, 222-223.

19
persoalan keagamaan kontemporer, terutama menyangkut ketumpang-tindihan

antara normativitas dan historisitas dalam keberagamaan antara sakralitas dan

profanitas. Pendekatan filsafat di sini lebih dimaksudkan untuk mencari klarifikasi

keilmuan hubungan antara “ide-ide” yang mendasar atau fundamental tentang

religiositas dan “kenyataan” kongkrit pengalaman dan pengamalan religiositas

manusia pada wilayah kultural empiris.29

Lebih lanjut disampaikan oleh Amin Abdullah, penempatan filsafat

sebagai sebuah pendekatan, termasuk dalam studi Islam, ditandai oleh adanya tiga

ciri utama berikut ini: (1) Lebih memberikan penekanan pada upaya pencarian

idea-idea mendasar-fundamental (fundamental idea), yang dalam konteks

keragaman atau pluralitas (keagamaan), akan menjadi titik temunya. Maksudnya,

titik temu antara agama yang satu dengan agama lainnya, atau antara satu faham

dengan faham lainnya; (2) Pengenalan dan pendalaman terhadap berbagai idea

fundamental itu kemudian dapat membentuk cara berfikir yang bersifat kritis

(critical thought); dan (3) Kajian terhadap Islam membentuk mentalitas, cara

berfikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual, sekaligus

mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang

berbeda-beda serta bebas dari dogmatism dan fanatisme berlebihan. 30 Dalam

rangka semakin memperjelas karakteristik atau ciri khusus filsafat sebagai sebuah

pendekatan studi agama, tentu studi terhadap agama Islam utamanya, dipertegas

oleh Amin Abdullah dengan melakukan komparasi dengan teologi sebagaimana

tercermin dalam kutipan berikut ini:

29
Abdullah, Mencari Islam, 6-7
30
Bustaman, Islam Historis, 11.

20
Pendekatan filsafat lebih menekankan dimensi keberagamaan yang paling

dalam-esoteris dan transendental-abstrak. Sedangkan pendekatan teologi dan

Kalam sering kali lebih menekankan dimensi lahiriyah-eksoteris dan final-

kongkrit. Pendekatan filsafat keagamaan lebih menekankan ketenangan dan

kedalaman jiwa, sedang pendekatan teologi lebih menekankan keramaian (syi’ar)

yang bersifat ekspresif-keluar. Pendekatan kefilsafatn lebih menggarisbawahi

betapa pentingnya comprehension (pemahaman ‘aql atau akal), sedang

pendekatan teologi atau keagamaan lebih menekankan pada “transmission”

(pemindahan, pewarisan atau yang biasa disebut naql). Pendekatan kefilsafatan

lebih bercorak prophetic philosophy, sedang pendekatan agama (baca, teologi)

lebih bercorak priesthy religion (kependetaan, kebhiksuan, kepausan, keulamaan,

kenabian). Pendekatan kefilsafatan menekankan dimensi being religious, sedang

pendekatan keagamaan (baca, teologi) lebih menekankan dimensi having a

religion. Dalam realitas kehidupan sehari-hari perbedaan state of mind seperti itu

sangat mudah diamati.31

Pendekatan filosofis, untuk kajian Islam di kalangan sarjana orientalis

Barat, secara intens telah diterapkan dalam kajian-kajian penelitiannya atas

doktrin dan masyarakat Muslim. Sebagai misal adalah karya-karya para

orientalis dalam bidang kajian Islam yang menggunakan filsafat sebagai

landasan berfikirnya, utamanya adalah karya-karya sarjana dari kalangan

orientalis dengan memperkenalkan pendekatan hermeneutik. Sebagaimana

dijelaskan dalam Webster’s Third New International Dictionary, bahwa


31
Abdullah, Mencari Islam, 9-10.

21
hermeneutik merupakan “studi tentang prinsip-prinsip metodologis tentang

interpretasi dan eksplanasi; khususnya kajian tentang prinsip-prinsip umum

interpretasi Bibel”,54 yang kemudian oleh sebagian pihak tradisi ini diterapkan

E. Pendekatan Antropologis

Meskipun sama-sama sebagai ilmu sosial, antropologi berbeda dengan

sosiologi dalam melihat perilaku manusia, termasuk fenomena keagamaan dalam

suatu masyarakat. Jika sosiologi melihat fenomena keagamaan dari sudut posisi

manusia yang membawanya kepada perilaku itu, maka antropologi lebih melihat

dari sisi terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam

kehidupan manusia. 32Dawam Rahardjo menegaskan, bahwa antropologi adalah

“ilmu yang menyelidiki manusia, dari segi fisik maupun budayanya”. 33 Pada

tempat lain dikatakan bahwa pendekatan antropologis dalam memahami agama

dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara

melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu

masyarakat.34 Melalui pendekatan antropologis ini, agama tampak akrab dan

begitu dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dan berupaya

menjelaskan serta memberikan jawabannya. Atau dengan kata lain, bahwa cara-

cara yang dipergunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu

masalah dipergunakan pula untuk memahami agama.

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Karena sifat

universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak


32
Mattulada, “Studi Islam Kontemporer” dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi
Penelitian Agama, 1.
33
M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Abdullah
dan Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama, 17.
34
Sahrodi, Metodologi Studi Islam, 139.

22
akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktor determinannya.

Pernyataan bahwa agama merupakan suatu fenomena universal berarti

memberikan patunjuk bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas

di sekelilingnya, karena agama tidak pernah hadir dalam ruang atau realitas yang

vakum atau kosong. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat

dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan

lingkungan budaya tertentu. Pertemuan antara doktrin agama dengan realitas

budaya terlihat begitu jelas dalam praktik ritual agama. Kenyataan yang demikian

itu sekaligus memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam suatu

masyarakat baik dalam bentuk wacana pemikiran maupun praksis sosialnya

menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu harus segera

diberikan catatan bahwa pernyataan ini sedikit pun tidak sampai berpretensi pada

pemahaman bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan

yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang tergelar dalam

kitab-kitab suci dan konstruksi manusia terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai

suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat

manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi

oleh lingkungan budaya primordial yang telah melekat di dalam dirinya. Kajian

komparatif Islam di Indonenesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertj

misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di

Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di

Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan

manifestasi agama itu betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan

23
budaya. 35Dengan demikian sesungguhnya perbedaan dan perdebatan yang terjadi

dalam masyarakat Islam adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan

merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai

dengan konteks budaya dan sosial.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi

sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang

manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan

kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen

antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi

merupakan ilmu yang penting untuk memepelajari agama dan interaksi sosialnya

dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid pernah menegaskan bahwa

pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena

konsep manusia sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan

simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

F. Pendekatan Fenomenologis

Di samping melalui pendekatan yang telah disebutkan, seseorang dapat

mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam

bentuk Religionswissenschaft.36 Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara

formal memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam

seperempat akhir abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan

pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang


35
Lihat, Jamhari, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”, dalam Hidayat dan Prastyo (ed.),
Problem dan Prospek IAIN, 169-170.
36
Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia
menggunakan istilah ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat
agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad
Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 - 127

24
universal dan sangat penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini

dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama. Adams dalam

tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi Religionswissenschaft

seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi sebagai salah

satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit

mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang

menyebut fenomenologi agama.

Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi.

Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk

memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan

preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi

dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam

tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan

pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.

Aspek fenomenologi pertama ini epoche sangatlah fundamental dalam

studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik,

marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (interested approaches)

dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan

Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Kontribusi terbesar

dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama

adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi

bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat

reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan

kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan

25
dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang

dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta

bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi

fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial,

doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.

Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk

menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi,

sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang

fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan

investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar

data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi obyek

kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus

dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai

kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana

mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka

apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan

Islam. Dalam hal ini, Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang

menyarankan bahwa pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar

(outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan “ya” terhadap

deskripsi tersebut.37 .

Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi

rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama,

budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data


37
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin
(ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 190.

26
sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan

bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam

pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam

membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.

Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam

beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya,

namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini

untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi

lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan

terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi

lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.

G. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis dalam studi Islam mempunyai peran signifikan

untuk menjelaskan gejalagejala lahiriah orang beragama. Berbekal teori-toeri

psikologi akan mudah mengetahui tingkat keagamaan yang difahami, dihayati dan

diamalkan seseorang. Manusia adalah makhluk Tuhan yang dalam perkembangan

jasmaniah dan ruhaniahnya selalu memerlukan bimbingan dan pengarahan

melalui proses pendidikan. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa

dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian bahwa pendidikan tidak dapat

dipisahkan dari psikologis.38

Psikologi Islami memandang bahwa manusia selalu dalam proses

berhubungan dengan alam, manusia, dan Tuhan. Hubungan manusia dengan alam

38
Arifin M., 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.

27
sangat diperlukan untuk menghargai dan menghormati terhadap ciptaannya

sehingga manusia mampu menjaga lingkungan yang baik. Sedangkan hubungan

manusia dengan sesamanya yaitu menjaga dan melindungi harga dan martabat

sebagai manusia, karena manusia diciptakan sama, maka sikap dan tindakan

jangan sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Sementara manusia

dengan Tuhan tiada lain untuk menciptakan hubungan penghambaan yang baik,

karena manusia diciptakan oleh Allah Swt., dengan penuh kasih sayang.

Dalam pandangan psikologis humanistik, manusia mempunyai potensi

untuk berbuat baik dari aspek kemauan, kebebasan, perasaan, dan pikiran untuk

mengungkap makna hidup dengan berdasarkan nilai-nilai ketauhidan sehingga

manusia mampu mengembangkan potensi dan kualitas hidup yang Islami. Oleh

karena itu, konsep tersebut mengintegrasikan hubungan piramida antara nafsu,

akal, dan hati ke dalam konteks psikologis manusia dengan berdasarkan pada

ajaran-ajaran wahyu. Hubungan konsep psikologis humanistik tersebut, akan

melahirkan kreatifitas hidup sebagaimana yang telah dipesankan Tuhan dalam al-

Qur'an yaitu semangat untuk berpikir, kemauan berbuat kebaikan dan

menciptakan nilai-nilai spritualitas yang tinggi demi kualitas hidup manusia

secara universal.

Ketika manusia menghadapi alam semesta yang mengagumkan dalam

lubuk hatinya yang terdalam, maka manusia telah dapat mengetahui adanya dzat

yang maha suci lagi maha segalanya. Untuk mengetahui dzat yang Maha Pengasih

dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu wahyu turun. Namun, dari

pengalaman-pengalaman yang pernah dia alami dan bahkan dapat dirasakan oleh

28
siapa pun, merupakan salah satu cara untuk mengenal dzat tersebut. Pengalaman-

pengalaman batin yang mendalam inilah yang dinamakan ilmu al-hudury.39

H. Pendekatan Feminis

Pendekatan feminis dalam studi agama merupakan suatu transformasi

kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan jender sebagai

kategori analisis utamanya. Feminis religius berkeyakinan bahwa feminisme dan

agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan

kontemporer pada umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberikan

perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling

dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner, baik dari antropologi,

teologi, sosiologi maupun filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah

mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan

pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang

paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain. Berpijak dari uraian

ini, untuk mempermudah pembahasan maka tidak ada salahnya jika pendekatan

feminis disamakan dengan upaya-upaya dari para feminis untuk mengkaji Islam

dari perspektif jender.

Term "transformasi kritis" mengindikasikan adanya dua aspek pendekatan

feminis yang berbeda namun saling terkait. Dimensi kritis menentang

pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama dan praktik-praktik

eksklusioner yang melegitimasi superioritas laki-laki dalam setiap bidang sosial.

Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali symbol-simbol sentral, teks

39
Abdullah M. Amin, 2010, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan
IntegratifInterkonektif , Yogyakarta: Pustaka Pelajar

29
dan ritual-ritual tradisi memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan

yang terabaikan.

Adanya kesadaran akan ketertindasan dalam dimensi kritis di atas,

menjadikan pendekatan feminis terkesan memihak dan tidak jarang menggugat.

Keberpihakan feminis terhadap nasib kaum perempuan dianggap sebagai ancaman

bagi kaum laki-laki yang berusaha untuk mempertahankan status quo, sehingga

bagi sebagian masyarakat pendekatan feminis dianggap sebagai sesuatu yang

kontroversial.

BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Jadi teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan. Dalam

ensyklopedia Everyman’s, disebutkan tentang Teologi sebagai pengetahuan

tentang agama, yang karenanya membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam

pertaliannya dengan Tuhan.

Hasan Shadily mendefinisikan sosialogi sebagai “ilmu yang mempelajari

hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia

yang menguasai hidupnya itu.

Yang dimaksudkan kajian keislaman dengan pendekatan filosofis ini

adalah pembahasan terhadap agama Islam, yang umumnya berupa dogma, ajaran

dan teks-teks yang berkembang di dunia Islam, dengan menggunakan filsafat,

dengan orientasi yang lebih mengarah pada bentuk elaborasi atau eksplanasi

tentang ajaran dan doktrin yang ada dalam Islam.

30
Antropologi lebih melihat dari sisi terbentuknya pola-pola perilaku itu

dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia. Dawam Rahardjo

menegaskan, bahwa antropologi adalah “ilmu yang menyelidiki manusia, dari segi

fisik maupun budayanya”

Karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa

fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam

perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk

mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain

tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche),

dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan

pandangan orang lain tersebut.

Pendekatan psikologis dalam studi Islam mempunyai peran signifikan

untuk menjelaskan gejalagejala lahiriah orang beragama. Berbekal teori-toeri

psikologi akan mudah mengetahui tingkat keagamaan yang difahami, dihayati dan

diamalkan seseorang.

Pendekatan feminis dalam studi agama merupakan suatu transformasi

kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan jender sebagai

kategori analisis utamanya.

31

Anda mungkin juga menyukai