Anda di halaman 1dari 16

TUGAS TERSTUKTUR DOSEN PENGAMPU

FIQIH H. AGUS SALIM, Lc, M. H. I

SYARAT SAH SHOLAT

Disusun Oleh:

Eva Tri Cahyana 180101010376


Muhammad Faisal 180101010390
M. Hasbi Ash Shiddiqy 180101010388
Nurhidayah 180101010371

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Syarat Sah Shalat” ini.

Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Saw yang telah membawa kita semua dari alam kejahilan kealam yang
terang benderang yang disinari oleh ilmu pengetahuan, iman dan islam.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang telah


membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sadar dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun.

Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi setiap yang membacanya.

Banjarmasin, 30 September 2019

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Pengertian Shalat ................................................................................... 2
B. Syarat-syarat Shalat ............................................................................... 3
1. Syarat Wajib Shalat ........................................................................... 3
2. Syarat Sahnya Shalat ......................................................................... 5
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11
A. Simpulan ............................................................................................ 11
B. Saran ................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya
dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah ada bermacam-macam,
seperti sholat, puasa, naik haji, membaca Al-quran, jihad dan lain sebagainya.
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Sholat
merupakan salah satu kewajiban kaum muslimin yang sudah baligh berakal dan
harus dikerjakan seorang mukmin. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah
satunya adalah sholat, sehingga barang siapa yang mendirikan sholat, maka ia
telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan sholat, maka ia
meruntuhkan agama (Islam).
Di dalam shalat, terdapat rukun dan syarat sholat yang harus dilakukan agar
sholat yang kita laksanakan tersebut sah dan sempurna. Di dalam makalah ini,
penyaji akan membahas mengenai pengertian sholat, dan Penjelasan syarat-syarat
shalat

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Shalat?
2. Penjelasan tentang Syarat-Syarat Shalat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Shalat.
2. Mengetahui Penjelasan tentang Syarat-syarat Shalat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat
Shalat merupakan ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan secara khusus,
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat dalam Islam menempati posisi yang tidak bisa disamai dengan ibadah yang
lain. Shalat adalah tiang agama yang dengan tanpa shalat, Islam tidak dapat berdiri.
Rasulullah Saw bersabda, “Pangkal setiap sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah
shalat dan puncaknya adalah berjuang dijalan Allah”.
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah Swt, dimana
perintahnya disampaikan secara langsung pada malam Mi'raj dengan ada perantara.
Anas berkata“Pada mulanya, shalat difardhukan kepada Rasulullah Saw. Pada malam
Mi'raj sebanyak lima puluh kali. Kemudian, dikurangi hingga menjadi lima kali.
Kemudian Allah menyeru, “Wahai Muhammad!” Shalat merupakan satu ketetapan
yang tidak dapat dirubah lagi disisi-Ku. Dengan mengerjakan shalat lima waktu ini,
engkau tetap memperoleh pahala yang sama sebagaimana engkau melakukannya
sebanyak lima puluh kali”. HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dia menyatakan bahwa
hadits ini shahih.
Shalat merupakan amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat.
Abdullah bin Qurth berkata, Rasulullah saw bersabda, “Amalan pertama yang
akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya
baik, maka seluruh amalnya (dinyatakan) baik, jika shalatnya rusak, maka seluruh
amalnya (dinyatakan) rusak”. (HR. Thabrani).
Shalat adalah pesan terakhir yang selalu diingatkan oleh Rasulullah Saw kepada
umatnya menjelang beliau wafat. Saat hembusan napas untuk terakhir kalinya,
beliau berwasiat, “Jagalah shalat, jagalah shalat. Dan berhati-hatilah terhadap
hamba sahayamu”.1

1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008), h. 158-159
2
B. Syarat-syarat Shalat
Syarat ialah sesuatu tempat tergantung sahnya shalat, namun bukan merupakan
bagiannya. Pembahasan syarat lebih sesuai didahulukan daripada pembahasan rukun,
sebab syarat wajib dipenuhi dahulu sebelum shalat, dan tetap terpenuhi selama shalat.2
Syarat shalat adalah hal yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah ibadah shalat.
Syarat ini harus ada sebelum ibadah shalat dilakukan. Bila salah satu dari syarat ini
tidak terdapat, maka shalat itu tidak sah hukumnya.
Syarat shalat itu ada dua macam, pertama, syarat wajib. Yaitu syarat yang bisa
terpenuhi, maka seseorang diwajibkan untuk melakukan shalat. Kedua, syarat sah.
Yaitu syarat yang harus terpenuhi agar ibadah shalat itu menjadi sah hukumnya.
1. Syarat Wajib Shalat
Bila semua syarat wajib terpenuhi, maka wajiblah bagi seseorang yang telah
memenuhi syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat. Sebaliknya, bila salah satu
dari syarat wajib itu tidak terpenuhi, maka dia belum diwajibkan untuk melakukan
shalat.
Adapun yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah hal-hal berikut ini:
a. Beragama Islam

Seseorang harus beragama Islam terlebih dahulu agar punya beban kewajiban
shalat. Selama seseorang belum menjadi seorang muslim, maka tidak ada beban
kewajiban shalat baginya.

b. Suci dari Haid dan Nifas

Syarat ini diberlakukan bagi perempuan sebagaimana sabda Nabi saw.


Rasulullah Saw bersabda kepada Fathimah binti Hubaisy: “apabila datang haid
maka tinggalkanlah shalat.” (HR. Bukhari)

2
A’liy As’ad, Fathul Mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), h. 17
3
c. Berakal Sehat

Orang yang tidak waras seperti gila tidak wajib mengerjakan shalat. Sebab orang
yang demikian tidak sadar diri dan tidak mampu berpikir, maka tidak ada beban
kewajiban beribadah atas dirinya. Kewajiban shalat hanya ada pada saat mereka
sadar dan waras, dimana terkadang memang seseorang tidak selamanya gila atau
hilang akal. Namun begitu ketidaksadaran atas dirinya datang, maka dia tidak wajib
mengerjakan shalat.

d. Baligh (Dewasa)

Seorang anak kecil yang belum mengalami baligh tidak wajib shalat. Dasarnya
adalah sabda Rasulullah Saw:

Dari Ali r.a dan Umar r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Pena telah diangkat
dari tiga orang, dari seorang yang tidur hingga terjaga, dari seorang anak kecil
hingga mimpi dan dari seorang gila hingga waras.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Al-
Hakim).

Adapun tanda-tanda kedewasaan (baligh) diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Telah berusia 15 tahun bagi laki-laki, atau


2) Telah mimpi bersetubuh (keluar mani) atau
3) Telah mengalami haid bagi perempuan.
e. Dakwah (seruan) telah sampai kepadanya
Orang yang belum menerima seruan (dakwah) Rasulullah Saw, berarti orang
tersebut belum menerima perintah Rasulullah Saw, untuk shalat dan dengan
demikian ia tidak dapat dituntut hukum. Firman Allah Swt:

ۚ ‫س ِل‬ ُّ َ‫َّللاِ ُح َّجةٌ َب ْعد‬


ُ ‫الر‬ َّ ‫علَى‬ ِ َّ‫َي ُكونَ ِللن‬
َ ‫اس‬

4
“Agar tidak ada alasan bagi manusia, terhadap Allah sesudah mengutus
Rasul-Nya”. (QS. An-Nisa: 165). 3

2. Syarat Sahnya Shalat

Syarat sah shalat adalah hal-hal yang harus terpenuhi sebelum seseorang
mengerjakan shalat agar shalatnya menjadi sah hukumnya. Diantaranya adalah:

a. Mengetahui masuknya waktu shalat

Tidak sah solat seseorang apabila tidak mengetahui waktunya secara yakin atau
secara zhan (dugaan) yang didasarkan atas ijtihad. Oleh sebab itu, siapa saja yang
melakukan sholat tetapi dia tidak tahu waktunya , maka sholat nya tidak sah meski
dilakukan dalam waktunya. Karena, ibadah sholat harus dilakukan dengan
keyakinan dan kepastian. Oleh sebab itu, apabila masuknya waktu sholat
diaragukan, maka sholat yang dilakukan itu tidak sah, karenakeraguan berbeda
dengan keyakinan yang pasti. Dalil nya dalam firman Allah SWT:

‫علَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِكتَابًا َم ْوقُوتًا‬ ْ ‫ص ََلة َ َكان‬


َ ‫َت‬ َّ ‫ِإ َّن ال‬

“Sungguh sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang
orang yang beriman”. ( An-Nisa (4) : 103) .

Maksudnya, sholat adalah sesuatu kewajiban yang waktunya telah ditentukan, kita
telah membicangkan waktu sholat dan ijtihad untuk menentukan waktu sholat pada
pembahasan sebelum ini.

b. Suci dari Hadas Kecil maupun Hadas Besar

Bersuci dari hadats kecil dan besar (junub haid nifas) adalah dengan cara
berwudhu, mandi, dan tayammum. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT

3
Labib Mz dan Muflihun Hs, Menghafal Materi Hukum-hukum Thaharah dan Shalat,
(Surabaya: Bintang Usaha Jaya), h.61-63.
5
ِ ِ‫ص ََلةِ فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬
‫ق‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا قُ ْمت ُ ْم إِلَى ال‬
ۚ ‫اط َّه ُروا‬ َّ َ‫س ُحوا ِب ُر ُءو ِس ُك ْم َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْال َك ْع َبي ِْن ۚ َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا ف‬
َ ‫َو ْام‬

“Hai Orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah.” (Al-Maidah: 6).

Rasulullah SAW. Juga bersabda,

َ ‫ث َحتَّى َيت َ َوضَّأ‬


َ َ‫صَلة َ أ َ َح ِد ُك ْم إذَا أ َ ْحد‬ َّ ‫ال يَ ْق َب ُل‬
َ ُ‫َّللا‬
“Allah tidak menerima sholat tanpa bersuci”

Dalam riwayat lain disebutkan

“Allah tidak menerima sholat yang dilakukan oleh salah seorang kalian jika dalam
berada dalam keadaan hadats hingga ia berwudhu”

Bersuci dari hadats adalah syarat yang harus dipenuhi setiap melakukan sholat, baik
sholat tersebut sholat fardhu maupun sunnah, baik sholat yang lengkap maupun tidak
lengkap seperti sujud tilawah (sujud dalam tempat tempat tertentu dalam bacaan
Alquran) dan sujud syukur oleh sebab itu, jika seseorang tidak bersuci maka sholatnya
tidak sah.

Menurut pendapat yang disepakati para ulama (ijma) apabila ada orang sengaja
berhadats ketika sholat, maka sholatnya batal, tetapi menurut pendapat ulama mahzab
hanafi, kejadian tersebut tidak membatakalkan sholat apabila terjadinya di akhir sholat.

6
Adapun pendapat ulama mahzab syafi’I dan hambali, jika berlaku hadats, maka
sholat seseorang menjadi batal dengan seketika hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW.

“Jika seseorang dari kalian kentut ketika sholat, hendaklah ia berpaling (berhenti dari
sholat) dan mengambil air wudhu dan hendaknya mengulangi sholatmya lagi”

Tetapi menurut pendapat ulama madzhab hanafi, shalat tersebut tidak batal dengan
seketika, kecuali jika orang tersebut berdiam diri setelah satu rukun setelah terjadinya
hadats tersebut, dan ini dilakukan nya dalam keadaan sadar, tanpa udzur apapun, maka
shalatnya batal jika ada udzur, seperti keluar darah melalui hidung ia boleh
menyambung lagi sholatnya selepas bersuci, dan boleh juga memulai sholat dari awal
jika dia memang mengkehandakinya. Dalam keadaan dalam hidung berderah ini,
hendaklah dia keluar dari sholat dengan cara menutupinya dengan tangan.

1) Tidak berlumuran darah lebih dari ukuran uang satu dirham, jika lebih
hendaklah memutuskan sholatnya.
2) Tidak melewati tempat yang paling dekat untuk menyucikan darah. Jika
melebihi tempat terebut, maka batallah sholatnya.
3) Jarak tempat bersuci itu dekat. Jika tempatnya jauh maka batal lah sholatnya
4) Tidak membelakangi kiblat tanpa udzur, jika membelakangi kiblat tanpa sebab
maka batal sholatnya
5) Tidak meminjak najis semasa bergerak untuk bersuci jika terpijak maka batal
lah sholatnya
6) Tidak bercakap ketika bergerak untuk bersuci, jika bercakap sekalipun terlupa.
Maka sholatnya batal.4

c. Suci dari Berbagai Najis

Syarat sah sholat adalah suci dari berbagai najis yang dimaafkan oleh syara’ baik
najis tersebut terletak pada pakaian,badan,termasuk tempat berpijaknya kedua telapak

4
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 605.
7
kaki, tangan dan lutut, juga dahi. Ini menurut pendapat yang ashah dikalangan ulama
madzhab Hanafi, pendapat ini berdasarkan dirman Allah SWT.

َ ‫َو ِث َيا َب َك َف‬


‫ط ِه ْر‬

“dan bersihkanlah pakaian mu” (al-mutdatsir : 4).

Ibnu Sirin menafsirkan ayat “yaitu basuh dengan air”. Pendapat ini juga berdasarkan
kepada dua hadits shahih yang sebelum ini sudah disebutkan

“apabila perempuan datang haid , maka hendaknya ia meninggalkan sholat. Apabila


haidnya habis, hendaklah mandi dan sholat”

Dan juga hadis tentang seorang arab yang kencing didalam masjid, “siramkan setimba
air diatas air kencing nya itu”

Ayat Al-qur’an diatas menunjukan bahwa pakaian haruslah bersih. Hadis yang
pertama menunjukan badan juga harus bersih, dan hadis yang kedua menunjukkan
tempat shalat harus bersih.

Menurut pendapat yang mahsyur dikalang madzhab Maliki, suci dari najis adalah
sunnah muakad. Adapun ulama yang menganggap suci itu sebagai syarat, seperti asy
Syaikh Khalil dan para ulama yang mensyarahi kitabnya, mereka mengatakan
bahwasuci dari najis adalah wajib, apabila memang orang tersebut ingat dan mampu
menyucikan diri dari najis. 5

d. Menutup Aurat dengan pakaian yang suci

Allah Swt berfirman:

ٍ‫ْجد‬
ِ ‫َمس‬ ‫يَا َبنِي آدَ َم ُخذُوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْندَ ُك ِل‬

5
Ibid, h. 607.
8
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) mesjid”. (QS.
Al-A’raf: 31).

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksud ayat diatas adalah pakaian-pakaian ketika
shalat.

Imam Tirmidzi (377) meriwayatkan dan beliau menghasankannya dari Aisyah r.a,
ia menyatkan bahwa:

“Tidak diterima shalat wanita yang sudah baligh kecuali dengan mengenakan
kerudung”

“Khimar” atau kerudung adalah pakaian yang digunakan wanita untuk menutup kepala.
Apabila hukum menutup kepala saja sudah wajib, tentu menutup anggota tubuh yang
lain lebih utama. Hal ini dipertegas oleh hadis riwayat Bukhari (365) dari Aisyah ra, ia
berkata: “Dahulu, saat Rasulullah Saw shalat subuh dimesjid, beberapa wanita
mukminat ikut berjamaah bersama beliau, mereka menyelimuti seluruh tubuh mereka
dengan kain-kain seraya berjalan dengan langkah cepat, sehingga ketika pulang tidak
ada seorangpun yang mengenali mereka.”6

e. Menghadap Kiblat

Para Ulama telah sepakat bahwa orang yang mengerjakan shalat itu wajib
menghadap kearah Masjidilharam, Allah Swt berfirman:

َٰٓ ‫س َع َٰى فِي خ ََرا ِب َه ۚا َٰٓ أ ُ ْو َٰلََٰٓئِكَ َما َكانَ لَ ُه ۡم أَن َي ۡد ُخلُو َها‬ ۡ ‫ٱَّللِ أَن ي ُۡذ َك َر فِي َها‬
َ ‫ٱس ُم ۥهُ َو‬ َ َٰ ‫َو َم ۡن أ َ ۡظلَ ُم ِم َّمن َّمنَ َع َم‬
َّ َ‫س ِجد‬
َ ٌ‫عذَاب‬
‫يم‬ٞ ‫ع ِظ‬ ۚ ‫ِإ َّال َخآَٰئِف‬
َ ِ‫ي َو َل ُه ۡم فِي ۡٱۡل َٰٓ ِخ َرة‬ٞ ‫ِينَ َل ُه ۡم فِي ٱلد ُّۡن َيا ِخ ۡز‬

“Maka Palingkanlah mukamu kearah Masjidilharam, dan dimanapun kamu berada


hadapkanlah mukamu kearahnya”. (QS. Al-Baqarah: 144).

6
Mustafa Dieb al-Bigha, Fikih Sunnah Imam Syafi’i, (Sukmajaya: Fathan media Prima), h.
64-65.
9
Dan diterima dari Barra’, katanya:

“Kami shalat bersama Nabi Saw, 16 atau 17 bulan menghadap ke Baitul Makdis,
kemudian dialihkan kepada Ka’bah”. (HR.Muslim).7

7
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Kairo: PT. Al –Ma’Arif, 1365 H), h.276.
10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Shalat merupakan ibadah yang dalam Islam menempati posisi yang tidak bisa
disamakan dengan ibadah lain. Terdiri dari perkataan dan perbuatan secara khusus,
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat dalam Islam
menempati posisi yang tidak bisa disamai dengan ibadah yang lain. Shalat adalah
tiang agama yang dengan tanpa shalat, Islam tidak dapat berdiri. Rasulullah Saw
bersabda, “Pangkal setiap sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan
puncaknya adalah berjuang dijalan Allah”.

Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah Swt, dimana
perintahnya disampaikan secara langsung pada malam Mi'raj dengan ada perantara.
Shalat merupakan amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat. Shalat
adalah pesan terakhir yang selalu diingatkan oleh Rasulullah Saw kepada umatnya
menjelang beliau wafat.

Dalam sholat adapula terdapat syarat-syaratnya. Syarat shalat adalah hal yang
harus terpenuhi untuk sahnya sebuah ibadah shalat. Syarat shalat itu ada dua macam,
syarat wajib dan syarat sah.
Hal-hal yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah sebagai berikut:
1. Beragama Islam
2. Suci dari Haid dan Nifas
3. Berakal Sehat
4. Baligh (Dewasa)
5. Dakwah (seruan) telah sampai kepadanya

Sedangkan hal-hal yang harus terpenuhi dalam syarat sah sholat sebelum
seseorang mengerjakan shalat tersebut adalah:

11
1. Mengetahui masuknya waktu shalat
2. Suci dari Hadas Kecil maupun Hadas Besar
3. Suci dari Berbagai Najis
4. Menutup Aurat dengan pakaian yang suci
5. Menghadap Kiblat

B. Saran

Menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih banyak
kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki oleh kami, maka dari itu kami sangat
berharap bahwa pembaca bisa memberikan kritik dan saran kepada kami agar kami
bisa menjadikan kritikan dan saran yang diberikan sebagai bahan evaluasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

As’ad, A’liy, Fathul Mu’in, Yogyakarta: Menara Kudus, 1979,

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2010,

Dieb al-Bigha, Mustafa, Fikih Sunnah Imam Syafi’i, Sukmajaya: Fathan media Prima,

Mz, Labib dan Muflihun Hs, Menghafal Materi Hukum-hukum Thaharah dan Shalat, Surabaya:
Bintang Usaha Jaya,

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008,

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Kairo: PT. Al –Ma’Arif, 1365 H.

13

Anda mungkin juga menyukai