Makalah Ini Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi AS-Sunnah
Disusun Oleh:
Nuraida 20210520100024
1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik, dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran didunia dan
akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini kami susun guna memenuhi Tugas mata kuliah Studi Al- Sunnah
sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan dan semaksimal mungkin.
Namun, saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu saya sebagai
penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca
makalah ini terutama dosen mata kuliah Studi Al- Sunnah yang kami harapkan
sebagai bahan koreksi untuk kami.
Wa‟alaikumsalam Wr.Wb
Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah Al-
Qur‟an, hadis menempati posisi penting dalam kajian studi Islam. Meskipun Al-
Qur‟an dapat menjelaskan dirinya sendiri, tidak dapat memberikan hasil yang
optimal dan propesional tanpa disertai kajian hadis di dalamnya. Terdapat
beberapa aspek ajaran Islam yang tidak tersurat dalam Al-Qur‟an.1
1
Mustafa as-Siba‟I (selanjutnya ditulis as-Siba‟i), As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasri‟ at-
Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985), hlm. 376-385.
2
Lihat „Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits „Ulumuh wa Mushthalahuh, (Cet. III ; Damaskus:
Dar al-Fikr, 1975 M/137 H), h. 35.
1
kecil dari kalangan umat Islam telah menolak hadis Nabi sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Mereka dikenal dengan sebutan inkarus-sunnah.3
Dalam penentuan suatu hadis dilihat dari kualitas dan kuantitas rawi,
ulama berupaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadits yang
dikumpulkannya.dengan kedua aspek ini, upaya pembuktian shahih tidaknya
suatu hadis lebih dapat dipertimbangkan ketika orang membicarakan hadits yang
tidak mutawātir, maka saat itulah hadist dilihat dari kuantitas rawi sangat
diperlukan.
B. Rumusan Masalah
3
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), h. 76.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir
ىوخبرعن محسوس رواه عدم جم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتو اطنهم على
الكتاب
4
Ahmad „Umar Hashim, Qawa‟id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h.143.
5
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 130.
3
2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
6
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 130.
4
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40
orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah surah Al-Anfal
ayat 64 yang artinya “Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin
yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”. Keadaan orang-orang
mukmin pada waktu itu baru 40 orang. Jumlah sekian itulah jumlah
minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai
suatu tujuan.7
3) Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah (lapisan)
pertama dan dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena
itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya,
kemudian diterima oleh lima tabi‟in dan seterusnya hanya diriwayatkan
oleh dua orang tabi‟it-tabi‟in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-
rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.
5
Artinya:"barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia
bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka”.
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh
40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bawha hadits tersebut
diriwayatkan oleh 62 sahabat dengan lafadz dan makna yang sama.8
8
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 131.
9
Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, Surabaya: Al-Ikhlas. 1981. h. 20.
6
4. Faedah Hadits Mutawatir
10
Fatchur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif. 1974. h. 84.
7
6. Kitab-Kitab Tentang Hadits Mutawatir
B. HADITS AHAD
1. Pengertian Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada
jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai
derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits “hadits yang
tidak mencapai derajat mutawatir”.
11
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 133.
12
Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, Surabaya: Al-Ikhlas. 1981. h. 22.
8
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua
orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat
mutawatir.
a. Hadits Masyhur
Menurut ulama fiqih hadits masyhur itu juga dapat disebut dengan
hadits mustafidh. Sedang ulama yang lain membedakannya. Yakni suatu
hadits dikatakan mustafidh bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih
sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir.
Sedang hadits masyhur lebih umum dari hadits mustafidh. Yakni jumlah
rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya
atau seimbang. Karena itu, dalam hadits masyhur bisa terjadi jumlah rawi-
rawinya dalam thabaqat pertama adalah sahabat, thabaqah kedua adalah
thabi‟in, thabaqah ketiga adalah thabi‟it-thabi‟in, dan thabaqah keempat
adalah orang-orang setelahnya, terdiri dari seorang saja. Baru kemudian
jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.14
13
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 134.
14
Fatchur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif. 1974. h. 86.
9
Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang
dari tiga orang, bahkan ada hadits yang tidak bersanad sama sekali, dapat
dikatakan sebagai hadits masyhur.
1) Hadits Aziz
15
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 136.
10
2) Hadits Gharib.
Menurut bahasa adalah yang jauh dari tanah air atau yang
sukar dipahami. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. Atau hadits yang
diriwayatkan oleh seorang saja.
11
1) Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
2) Kota atau tempat tinggal tertentu.
3) Meriwayatkannya dari orang tertentu.
16
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 139.
12
d) Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib
diamalkan dalam urusan amaliyah, ibadah, kafarat, dan hudud, namun
tidak digunakan dalam urusan aqa‟id.
e) Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat menghapuskan
suatu hukum dari hukum-hukum Al-Qur‟an.
f) Ahlu Zahir (pengikut Daud Ali Al-Zahiri) tidak membolehkan men-
takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Qur‟an.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa: Dari
segi kuantitasnya hadits dibedakan menjadi dua yaitu Hadits Mutawatir dan Ahad.
Keduanya sama-sama diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi Hadits Ahad tidak
sampai pada derajat Hadits Mutawatir.
14
d. Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib
diamalkan dalam urusan amaliyah, ibadah, kafarat, dan hudud, namun
tidak digunakan dalam urusan aqa‟id.
e. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat menghapuskan
suatu hukum dari hukum-hukum Al-Qur‟an.
f. Ahlu Zahir (pengikut Daud Ali Al-Zahiri) tidak membolehkan men-
takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Qur‟an.
15
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin, M dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Khatib, Ajjaj. Ushul al- Hadits „Ulumuh wa Mushthalahuh. Cet. II; Damaskus:
Dar al-al-Fikr, 1957 M/1375 H.
Ismail, M. Syuhudi. 1988. Kaedah- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang.
Umar Ahmad Hashim, Qawa‟id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
16