Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HADITS MUTAWATIR DAN HADITS AHAD

Makalah Ini Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi AS-Sunnah

Dosen Pengampu: Dr. Oneng Nurul Bariyah, M.Ag

Disusun Oleh:

Rahmat Rido Kurniawan 20210520100018

Nuraida 20210520100024

Nurul Qodriah Royani 20200520100032

PROGRAM STUDI MEGISTER STUDI ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr.Wb

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik, dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran didunia dan
akhirat kepada umat manusia.

Makalah ini kami susun guna memenuhi Tugas mata kuliah Studi Al- Sunnah
sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan dan semaksimal mungkin.
Namun, saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu saya sebagai
penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca
makalah ini terutama dosen mata kuliah Studi Al- Sunnah yang kami harapkan
sebagai bahan koreksi untuk kami.

Wa‟alaikumsalam Wr.Wb

Bogor, 31 Oktober 2021

Penyusun,
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah Al-
Qur‟an, hadis menempati posisi penting dalam kajian studi Islam. Meskipun Al-
Qur‟an dapat menjelaskan dirinya sendiri, tidak dapat memberikan hasil yang
optimal dan propesional tanpa disertai kajian hadis di dalamnya. Terdapat
beberapa aspek ajaran Islam yang tidak tersurat dalam Al-Qur‟an.1

„Ajjaj al-Khathib menyatakan pula, al-Qur‟an dan hadis merupakan dua


sumber hukum Islam yang bersifat permanen. Tidaklah mungkin bagi umat Islam,
termasuk para mujtahid dapat mengetahui masalah-masalah syar‟iyyah tanpa
menoleh kepada keduanya.2

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan


persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama Islam. Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang
dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah
karena hadits yang ada sangat banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai
kalangan.

Kedudukan hadis yang istimewa tersebut, faktanya memang telah


mendapat tempat di hati umat islam, dalam arti benar-benar menerimanya sebagai
hukum atau ajaran Islam. Dari waktu ke waktu nyaris tidak lagi akan
mempersoalkan tentang kedudukannya itu. Dalam sejarah, hanya ada sekelompok

1
Mustafa as-Siba‟I (selanjutnya ditulis as-Siba‟i), As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasri‟ at-
Islami (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985), hlm. 376-385.
2
Lihat „Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits „Ulumuh wa Mushthalahuh, (Cet. III ; Damaskus:
Dar al-Fikr, 1975 M/137 H), h. 35.

1
kecil dari kalangan umat Islam telah menolak hadis Nabi sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Mereka dikenal dengan sebutan inkarus-sunnah.3

Dalam penentuan suatu hadis dilihat dari kualitas dan kuantitas rawi,
ulama berupaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadits yang
dikumpulkannya.dengan kedua aspek ini, upaya pembuktian shahih tidaknya
suatu hadis lebih dapat dipertimbangkan ketika orang membicarakan hadits yang
tidak mutawātir, maka saat itulah hadist dilihat dari kuantitas rawi sangat
diperlukan.

Pembagian hadits dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkan


menjadi dua bagian besar yaitu mutawātir dan ahad. Hadist mutawatir terbagi
menjadi mutawatir lafziy, mutawatir manawiy dan mutawatir amaliy. Ketiga
bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan Syariah, hadis ahad pula
terbagi menjadi tiga bagian yaitu masyhur, aziz dan Gharib.

Namun banyak yang menjadi permasalahan di kalangan umat Islam ialah


kriteria sebuah hadist untuk dapat menjadi hujjah. Oleh karena itu dalam makalah
ini, akan diuraikan kriteria penilaian kehujjahan hadist mutawātir dan hadist ahad.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini yaitu:

1. Bagaimana pengertian hadits mutawātir dan hadits Ahad ?


2. Bagaimana kedudukan/kehujjahan hadits Mutawātir dan hadits Ahad ?

3
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), h. 76.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir

Secara etimologis, kata mutawatir (mutawatir: merupakan bentuk isim


fa‟il dari bentuk mashdar, tawatur: berarti at-tatabi‟u: yakni datang berturut-
turut dan beriring-iringan satu dengan lainnya.4 Definisi mutawatir pertama
kali dikemukakan oleh al-Baghdadi. Sebenarnya, ulama sebelumnya
(semacam al-Syafi‟i) telah mengisyaratkan akan hal itu dengan istilah “khabar
„ammah”. Al-Baghdadi mendefinisikan hadits mutawatir sebagai “suatu hadits
yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang
menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya”. Sementara Ibn
Salah mendefinisikannya lebih lengkap bahwa “mutawatir adalah suatu
ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh
pengetahuan, yang kebenarannya dapat dipastikan dan sanadnya konsisten
memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya”.

Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah :

‫ىوخبرعن محسوس رواه عدم جم يجب في العادة احالة اجتماعهم وتو اطنهم على‬

‫الكتاب‬

Artinya: “khabar yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh


sejumlah orang yang mustahil menurut adat kebiasaan mereka bersepakat
(lebih dahulu) untuk mengabarkan berita itu dengan dusta.”5

4
Ahmad „Umar Hashim, Qawa‟id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h.143.
5
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 130.

3
2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir

Untuk dapat dikatakan berita itu mutawatir, harus memenuhi tiga


syarat yakni:

1) Berita atau pewartaan yang disampaikan oleh para rawi-rawi tersebut


harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri.6 Misalnya, “kami mendengar Nabi SAW bersabda demikian, atau
saya melihat Nabi SAW berbuat demikian.” Tetapi kalau mereka berkata
menurut pendapatnya/pikirannya seperti: “Karena Nabi SAW itu manusia,
maka Nabi SAW pun tentunya akan wafat dan akan menghadap kepada
tuhan pula”. Hal demikian tidak didasarkan atas pancaindra tetapi menurut
pikiran atau jalan logikanya, meskipun logika tersebut benar.
2) Jumlah rawinya banyak sehingga menurut adat kebiasaan mereka itu
tidak mungkin bersepakat lebih dahulu untuk berdusta memberitakan
tersebut, dan pula tidak mungkin terjadi dengan kesengajaan. Dengan
demikian jumlah rawinya adalah relatif, tidak ada batasan tertentu. Para
ulama berbeda-beda pendapat tentang batasan yang diperlukan untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta. a. Abu Ath-Thayyib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Karena diqiyaskan dengan banyaknya
saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada
terdakwa. b. Ashhab Asy-Syafi‟iyah menentukan minimal 5 orang, karena
mengqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam surah Al-Anfal ayat 65,
tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
hanya dengan berjulmlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir
sejumlah 200 orang. “jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.. d.

6
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 130.

4
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40
orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah surah Al-Anfal
ayat 64 yang artinya “Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin
yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”. Keadaan orang-orang
mukmin pada waktu itu baru 40 orang. Jumlah sekian itulah jumlah
minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai
suatu tujuan.7
3) Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah (lapisan)
pertama dan dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena
itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya,
kemudian diterima oleh lima tabi‟in dan seterusnya hanya diriwayatkan
oleh dua orang tabi‟it-tabi‟in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-
rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.

3. Klasifikasi Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi dua mutawatir lafdzi,


mutawatir maknawi.

a. Hadits Mutawatir Lafdzi


Hadits Mutawatir adalah:

‫ما انتفقت الفاظ الواة فيو ولو حكما وفي معناه‬


Artinya: “hadits yang lafadz-lafadz para perawi itu sama, baik hukum
ataupun maknanya”
Atau hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai, benar antara
riwayat yang satu dengan yang lainnya. Contohnya :

‫من كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من النار‬


7
Fatchur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif. 1974. h. 79-80.

5
Artinya:"barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia
bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka”.
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh
40 orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bawha hadits tersebut
diriwayatkan oleh 62 sahabat dengan lafadz dan makna yang sama.8

b. Hadits Mutawatir Ma’nawi

Hadits mutawatir ma‟nawi adalah hadits yang lafadz dan


maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi
terdapat persesuaian makna secara umum (kulli). Hal ini sebagaimana
dikatakan dalam kaidah ilmu hadits :

‫ما ختلفوا في لفظو ومعناه مع رجوعو لمعني كلي‬


Artinya: “hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat
diambil makna umum”.
Jadi dengan adanya beberapa hadits yang berlainan lafadz ataupun
ma‟nanya, tetapi dari berbagai hadits tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan atau suatu pengertian yang bersifat umum. Contohnya : hadits
yang mengatakan bahwa Nabi SAW berdoa dengan mengangkat tangan
dalam doa-doanya, kecuali dalam shalat istisqa. Banyak hadits yang
menceritakan hal demikian itu, bahwa kalau dikumpulkan mencapai
jumlah seratus hadits, tetapi kalau ditinjau dari satu-persatu maka hadits
itu berbeda-beda lafadz maupun perngertiannya dan berbeda-beda pula
nilainya. Dari berbagai hadits tersebut dapat diambil suatu pengertian
dengan jalan induksi bahwa Nabi SAW berdoa dengan mengangkat
tangan.9

8
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 131.
9
Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, Surabaya: Al-Ikhlas. 1981. h. 20.

6
4. Faedah Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu dharury yakni keharusan


untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits
mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qath‟y (pasti).

Rawi-rawi hadits mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentang


keadilan dan kedhabithannya (kuatnya ingatan), karena kuantitas rawi-
rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad SAW.
benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu sebagaimana yang
diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir.

Segenap umat islam sepakat pendapatnya tentang faedah hadits


mutawatir yang demikian ini. Bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu
dharury yang berdasarkan khabar nutawatir, sama dengan mengingkari hasil
ilmu dharury yang berdasarkan musyahadat (penglihatan pancaindra).10

5. Kehujjahan Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir mempunyai ilmu dharury yakni keharusan untuk


menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits
mutawatir tersebut. Hadits tersebut harus diyakini kebenarannya, sebagaimana
kita meyakini kebenaran ayat Al-Qur‟an. Petunjuk dari hadits mutawatir harus
diamalkan seperti keharusan mengamalkan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak
perlu diadakan pembahasan kembali tentang keadaan rawinya.

Menurut pendapat para ulama hadits, bahwa tidak ada keraguan


sedikitpun dalam memakai hadits mutawatir, hadits mutawatir harus di yakini
dan dipercayai sepenuh hati. Hal ini sama halnya dengan pengetahuan kita
tentang adanya udara, angin, panas, dingin, air, api, dan jiwa yang tanpa
membutuhkan penelitian ulang, kita sudah percaya akan keberadaannya, jadi
dengan kata lain hukum hadits mutawatir adalah qath‟i.

10
Fatchur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif. 1974. h. 84.

7
6. Kitab-Kitab Tentang Hadits Mutawatir

Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadita mutawatir dalam


sebuah kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

a) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-


Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
b) Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
c) Al-La‟ali‟ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah, karya Abu
Abdillah Muhammad Thulun Ad-Dimasyqi.
d) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya
Muhammad bin Ja‟far Al-Kattani.11

B. HADITS AHAD
1. Pengertian Hadits Ahad

Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada
jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai
derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits “hadits yang
tidak mencapai derajat mutawatir”.

Hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai jumlah perawi hadits


mutawatir disebut hadits Ahad. Baik perawi itu seorang, dua orang, tiga
orang, empat orang, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian
dengan jumlah tersebut masuk dalam hadits mutawatir, baik bilangan-
bilangan tersebut terdapat pada semua generasi/thabaqatnya maupun dari
sebagian thabaqotnya saja.12

2. Klasifikasi Hadits Ahad

11
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 133.
12
Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits, Surabaya: Al-Ikhlas. 1981. h. 22.

8
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua
orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat
mutawatir.

Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadist


ahad dapat dibagi menjadi dua macam yakni:

a. Hadits Masyhur

Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir yaitu sesuatu yang


sudah tersebar, sudah populer. Adapun menurut istilah hadits masyhur
adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap
thabaqah tidak mencapai derajat mutawatir.13

Menurut ulama fiqih hadits masyhur itu juga dapat disebut dengan
hadits mustafidh. Sedang ulama yang lain membedakannya. Yakni suatu
hadits dikatakan mustafidh bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih
sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir.
Sedang hadits masyhur lebih umum dari hadits mustafidh. Yakni jumlah
rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya
atau seimbang. Karena itu, dalam hadits masyhur bisa terjadi jumlah rawi-
rawinya dalam thabaqat pertama adalah sahabat, thabaqah kedua adalah
thabi‟in, thabaqah ketiga adalah thabi‟it-thabi‟in, dan thabaqah keempat
adalah orang-orang setelahnya, terdiri dari seorang saja. Baru kemudian
jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.14

Istilah masyhur yang diterapkan pada suatu hadits, kadang-kadang


bukan untuk memberikan sifat-sifat hadits menurut ketetapan di atas,
yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapkan
untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran di
kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai.

13
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 134.
14
Fatchur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif. 1974. h. 86.

9
Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang
dari tiga orang, bahkan ada hadits yang tidak bersanad sama sekali, dapat
dikatakan sebagai hadits masyhur.

Dari segi ini, maka hadits masyhur itu terbagi kepada:

1) Masyhur dikalangan para muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli


ilmu dan orang umum).
2) Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya masyhur
dikalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqih, ahli tasawwuf, ahli nahwu, atau
lain sebagainya.
3) Masyhur dikalangan masyarakat umum.
b. Hadits Ghairu Masyhur

Hadits masyhur terbagi menjadi dua bagian yakni:

1) Hadits Aziz

Hadits aziz menurut bahasa adalah sama dengan As-Syarif atau


Al-Qawiyyu yang artinya yang mulia atau yang kuat. Sedangkan
menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang,
walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,
kemudian orang-orang meriwayatkannya. Contoh hadits azis pada
thabaqah pertama: “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang
terdahulu pada hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan An-Nasa‟i).15 Contoh
hadits aziz pada thabaqah kedua adalah: “ Tidak sempurna iman
seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya daripada dirinya
sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya.”
(Muttafaqun Alaih).

15
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 136.

10
2) Hadits Gharib.

Menurut bahasa adalah yang jauh dari tanah air atau yang
sukar dipahami. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. Atau hadits yang
diriwayatkan oleh seorang saja.

Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu dapat


mengenai orangnya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan
selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi.
Artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan
rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadist tersebut. Contoh hadist
gharib, “Iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang dan malu itu
salah satu cabang dari iman.”(H.R. Bukhari).

Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadist gharib


terbagi pada dua macam, yaitu:

a) Gharib Mutlaq adalah hadist yang rawinya menyediri dalam


meriwayatkan hadist itu. Penyendirian rawi hadits gharib muthlaq
itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabi‟in bukan
sahabat. Sebab yang menjadi tujuan perbincangan penyendirian
rawi dalam hadits gharib disini ialah untuk menetapkan apakah ia
masih bisa diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali.
Sedang kalau yang menyendiri itu seorang sahabat, sudah tentu tidak
perlu diperbincangkan lagi karena sudah diakui oleh umum bahwa
sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.
b) Gharib Nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat
atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai
sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai
beberapa kemungkinan, antara lain:

11
1) Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
2) Kota atau tempat tinggal tertentu.
3) Meriwayatkannya dari orang tertentu.

Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah


terletak di sanad atau matan, hadist gharib terbagi lagi menjadi tiga
bagian, yaitu:

a) Gharib pada sanad dan matan


b) Gharib pada sanadnya saja.
c) Gharib pada sebagian matannya.

Untuk menetapkan suatu hadits itu gharib, hendaklah periksa


dulu pada kitab-kitab hadits, seperti kitab Jami‟ dan kitab Musnad,
apakah hadits tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi‟
dan atau matan lain yang menjadi syahid.16

3. Kehujjahan/Kedudukan Hadits Ahad dan Pendapat Ulama tentang


Hadits Ahad

Para ahli hadits berbeda pendapat tentang kedudukan hadits ahad.


Pendapat tersebut antara lain:
a) Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan
Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadits
ahad.
b) Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadits ahad memberi faedah
dhan. Oleh karena itu, hadits ahad wajib diamalkan sesudah diakui
keshahihannya.
c) Sebagian ulama menetapkan bahwa hadits ahad diamalkan dalam segala
bidang.

16
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia. 2008. h. 139.

12
d) Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib
diamalkan dalam urusan amaliyah, ibadah, kafarat, dan hudud, namun
tidak digunakan dalam urusan aqa‟id.
e) Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat menghapuskan
suatu hukum dari hukum-hukum Al-Qur‟an.
f) Ahlu Zahir (pengikut Daud Ali Al-Zahiri) tidak membolehkan men-
takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Qur‟an.

4. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Ahad


1. Kasyf al-Khifa wa Mazi‟l al-Ilbas karangan Ismail bin Muhammad al-
„Ajaluni (1162 H).
2. Al-Maqasid al-Hasanah fi bayani katsir min al-Ahadits al-Musytaharah
„ala al-Alsinah oleh Syams ad-Din Abu al-Khair Muhammad bin Abd ar-
Rahman as-Sakhawi (902 H).
3. Tamyiz ath-Thayib min al-Khabits fima Yaduru „ala Alsinah an-Nas min
al-Hadits oleh Ibn ad-Daiba‟ asy-Syaibani.
4. Gharib Malik dan al-Afrad karya ad-daruqutni, dan as-Sunan allati
tafarada bi kulli Sunnah minha Ahl Baldah karya Abu Daud as-Sijistani.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa: Dari
segi kuantitasnya hadits dibedakan menjadi dua yaitu Hadits Mutawatir dan Ahad.
Keduanya sama-sama diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi Hadits Ahad tidak
sampai pada derajat Hadits Mutawatir.

1. Hadist mutawatir adalah Khabar yang didasarkan pada pancaindra yang


dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat kebiasaan
mereka bersepakat (lebih dahulu) untuk mengabarkan berita itu dengan dusta.
Hadits mutawatir mempunyai ilmu dharury yakni keharusan untuk menerima
dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir
tersebut. Hadits tersebut harus diyakini kebenarannya, sebagaimana kita
meyakini kebenaran ayat Al-Qur‟an. Petunjuk dari hadits mutawatir harus
diamalkan seperti keharusan mengamalkan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak
perlu diadakan pembahasan kembali tentang keadaan rawinya.
2. Hadits Ahad yakni hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai derajat
mutawatir. Para ahli hadits berbeda pendapat tentang kedudukan hadits ahad.
Pendapat tersebut antara lain:
a. Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan
Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadits
ahad.
b. Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadits ahad memberi faedah
dhan. Oleh karena itu, hadits ahad wajib diamalkan sesudah diakui
keshahihannya
c. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadits ahad diamalkan dalam segala
bidang.

14
d. Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib
diamalkan dalam urusan amaliyah, ibadah, kafarat, dan hudud, namun
tidak digunakan dalam urusan aqa‟id.
e. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hadits ahad tidak dapat menghapuskan
suatu hukum dari hukum-hukum Al-Qur‟an.
f. Ahlu Zahir (pengikut Daud Ali Al-Zahiri) tidak membolehkan men-
takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Qur‟an.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan

Agus Solahudin, M dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Khatib, Ajjaj. Ushul al- Hadits „Ulumuh wa Mushthalahuh. Cet. II; Damaskus:
Dar al-al-Fikr, 1957 M/1375 H.

Anwar, Moh. 1981. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.

Ismail, M. Syuhudi. 1988. Kaedah- Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang.

Mustafa as-Siba‟I (selanjutnya ditulis as-Siba‟i), As-Sunnah wa Makanatuha fi at-


Tasri‟ at-Islami. (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985).

Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: Al-Ma‟arif.

Status Hadits, Cetakan I (Jakarta: Paramadina, 2000)

Umar Ahmad Hashim, Qawa‟id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)

16

Anda mungkin juga menyukai