Anda di halaman 1dari 10

Pentingnya Bermadzhab dan Sistem

Bermadzhab
PENGERTIAN MADZHAB
Secara
Bahasa :
Pendapat
MADZHAB

Secara terminologis :
Pokok pikiran atau Dasar
yang digunakan oleh
Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah
SEBAB TERJADINYA MADZHAB
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sebagian dari para sahabatnya pergi ke
beberapa wilayah atau negeri dengan maksud Untuk menyiarkan agama islam.

Para tabi’in yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda yang telah menerima hadis dari
para sahabat tersebut, mereka menyampaikan pula kepada tabi’it-tabi’in yang tinggal di
wilayah yang berbeda-beda pula. Imam yang empat yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan
Hambali adalah golongan tabi’in dan tabi’it-tabi’in, tempat tinggal mereka berbeda-beda.

Dengan demikian hadis yang sampai kepada Imam Maliki belum tentu sampai kepada Imam Hanafi, begitu
pula sebaliknya. Hadis yang sampai pada imam-imam tersebut juga belum tentu sampai kepada Imam Syafi'i
atau Imam Hambali. Oleh karena itu masingmasing Imam hanya bisa mencatat hadis-hadis yang sampai
kepadanya, dan dia beramal serta berfatwa dengan hadis-hadis yang diterimanya saja.
Kenapa ulama mazhab bisa
berbeda pendapat?

4
Jika ditelisik lebih dalam, kebenaran Al-Qur’an dan hadits mutawatir adalah sebuah
kebenaran mutlak (qath’iyyu tsubut), namun dalam Al-Qur’an-hadits sendiri terdapat ayat
yang bersifat qath’iyyud dilalah (ayat yang jelas dan tidak perlu interpretasi), dan juga ada
ayat yang dzanniyyud dilalah (interpretatif asumtif).   Perbedaan interpretasi kedua sumber
pokok di atas dilatarbelakangi oleh pemahaman, pemikiran dan penafsiran masing-masing
ulama yang berbeda. Di situlah ulama sekaliber imam mazhab dibutuhkan. Mereka yang
akan bisa menjelaskan duduk permasalah dan pengambilan hukumnya. Tidak bisa setiap
orang diberikan kebebasan menafsiri dalil-dalil agama karena tidak semua orang
mempunyai kepakaran (expertise) di bidang tersebut. Dengan proses yang sedemikian
rumit, sangat wajar apabila mereka berbeda pendapat dalam mendekati sebuah dalil hukum.
Meskipun demikian, mereka tetap toleran terhadap perbedaan.

5
Contoh
Toleransi antarmazhab juga biasa dilakukan oleh antarimam mazhab. Imam Ahmad bin Hanbal adalah orang yang
berpendapat jika bekam itu membatalkan wudhu. Namun ketika ia ditanya bagaimana kalau ada orang makmum kepada imam
yang habis bekam tanpa wudhu lagi, “Apakah sah makmum kepada imam tersebut?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab,
“Bagaimana aku tidak mau shalat di belakang orang yang mengikuti pendapatnya Imam Malik dan Sa’id bin al-Musayyab?”
Artinya, itu tidak masalah. Padahal nyata-nyata secara prinsip mereka berbeda pendapat.   Abu Hanifah dan ashab (murid-
muridnya) berpendapat bahwa mengeluarkan darah dari tubuh (misal: luka) atau sejenisnya hukumnya membatalkan wudhu,
tapi ketika Abu Yusuf (salah satu murid utama Abu Hanifah) melihat Harun ar-Rasyid bekam dan Imam Malik berfatwa tidak
perlu wudhu lagi, Abu Yusuf berkenan menjadi makmumnya Harun ar-Rasyid tanpa perlu wudhu lagi dan ia juga tidak
mengulangi shalatnya kembali.
Demikian pula Imam Syafii yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu sunnah. Namun ketika ia mengimami shalat shubuh
dengan makmum orang-orang bermazhab Hanafi di sebuah masjid Imam Hanafi, satu daerah di Baghdad, Irak, Imam Syafii
justru meninggalkan qunut shubuh. Menurut para ulama, sikap Imam Syafii yang seperti ini dalam rangka menjaga adab
dengan Imam Hanafi.
Konsep bermazhab yang otoritatif tapi tetap toleran ini ditolak oleh sebagian orang yang anti mazhab. Di antara
penolaknya adalah Khajandi dalam kitabnya Al-Karas yang menyatakan bahwa mazhab yang benar adalah mazhab
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dan madzhab Khulafaur Rasyidin. Dia juga menyatakan bahwa bermazhab dengan mazhab
tertentu merupakan sebuah tindakan bid’ah. Dia mengklaim, semua sahabat kembalinya kepada Al-Qur’an dan
hadits. Apabila sahabat tidak menemukan dalil dari Al-Qur’an maupun hadits, mereka menggali hukum secara
mandiri.
Syekh Said Ramadlan al-Buthi menjawab tuduhan tersebut dengan beberapa jawaban argumentatif. Di antara
argumentasi ulama asal Suriah ini, ia mengatakan:

“Sekarang coba letakkan kedua kitab shahih (al-Bukhari dan Muslim) di hadapan
mayoritas umat Islam pada hari ini. Suruh mereka memahaminya secara langsung dari
teks aslinya! Lihat bagaimana kebodohan, benturan, dan main-main berlangsung
dalam urusan agama. Apakah hal ini yang dikehendaki oleh Al-Khajandi dan Nashir?”

Pentingnya bermadzhab?

8
Melihat mayoritas umat yang cenderung awam, tidak mempunyai ilmu cukup dalam
menggali langsung dari sumbernya, itulah yang menjadikan konsensus bahwa
bermazhab sangat dibutuhkan. Contohnya secara mudah adalah misalnya ada ayat:
َ ‫الصل َا َة َوأَنْتُ ْم ُسك ََارى َحتّ َى تَ ْعل َُموا َما تَ ُقول‬
  ‫ االية‬....‫ُون‬ َ ّ ‫آمنُوا ل َا تَ ْق َربُوا‬ َ ‫يَاأَيُّ َها ال َّ ِذ‬
َ ‫ين‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS An-Nisa: 43)  

Apabila orang memahami Al-Qur’an secara langsung tanpa melalui ilmu dan ahwal
ulama sedangkan mayoritas umat ini adalah orang yang terbatas pengetahuan ilmu
agamanya, niscaya mereka akan mengartikan ayat ini dengan diperbolehkannya mabuk
selama tidak mendekati waktu shalat. Hal ini akan terjadi apabila mereka tidak
mengetahui ilmu naskh-mansukh dan perangkat yang lain. Sedangkan perangkat-
perangkat ini semua berkaitan dengan dunia mazhab. Sehingga bermazhab merupakan
sebuah keniscayaan yang susah dihindari meskipun yang mengambil ilmu tersebut
secara tidak sadar sebenarnya ia juga sedang bermazhab.

9
Keilmuan yang mengacu terhadap mazhab masih relevan hingga sekarang ini. Sampai kapan pun justru semua orang mukallaf yang tidak
sampai pada level mujtahid, harus mengekor kepada ulama mujtahid. Hal ini berdasarkan :

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.” (QS an-Nisa’: 83)

Sebagaimana sudah menjadi maklum, kalimat yastanbithu itu mempunyai arti menggali hukum. Yang bisa menggali hukum
tidak ada lain kecuali orang yang memang ahli atau pakar di bidangnya.

Imam Syafi’i menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan seorang pun setelah Rasulullah Muhammad ‫ ﷺ‬kecuali
sudah ada ilmu sebelumnya. Episentrum keilmuan itu adalah Al-Qur’an, hadits, ijma’, atsar, dan sesuatu yang diistilahkan
sebagai qiyas. Tidak seorang pun yang bisa mengqiyas kecuali orang yang mempunyai piranti cukup yaitu memahami
hukum-hukum yang ada di Al-Qur’an yang meliputi fardhu, adab, nasikh, mansukh, istilah perkataan orang arab, perkataan
orang-orang salaf (terdahulu), kesepakatan ulama, perbedaan pandangan antar ulama dan lain sebagainya. Orang yang
cerdas saja, namun tidak memenuhi kriteria yang saya sebutkan di atas, maka tidak akan bisa memasuki wilayah qiyas .

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bermazhab adalah sebuah kebutuhan pokok yang disepakati
semua ulama. Mengikuti mazhab hingga hari ini masih tetap relevan. Sedangkan slogan kembali kepada
Al-Qur’an dan sunnah secara langsung tanpa melalui perantara dan ilmu yang cukup adalah sebuah
tindakan yang seolah mustahil.

10

Anda mungkin juga menyukai