Anda di halaman 1dari 8

KONSEP MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

Di susun oleh :

Kelompok 2

Diko Ivan Sanjaya (1920203045)

Dosen pengampuh : HIDAYAT, M.Pd.I.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PAELMBANG 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang Allah SWT. turunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. dinukil secara mutawatir kepada kita, dan isinya memuat
petunjuk bagi kebahagiaan orang yang percaya kepadanya. Al-Qur’an, sebuah
kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci juga
diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengatahui.1
Sekalipun turun di tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, misinya tertuju
kepada seluruh umat manusia, tidak berbeda antara bangsa Arab dengan bangsa
non Arab, atau satu umat atas umat lainnya.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka


bumi ini. Allah menjadikan manusi khalifah di bumi sebab manusia mempunyai
kecenderungan dengan Allah SWT. dan mendudukan manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya berupa jasmani dan rohani. Al-Qur'an memberi acuan konseptual
yang sangat mapan dalam memberi pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani
agar manusia berkembang secara wajar dan baik. Dalam surah al- kahfi ayat 110
di jelaskan tentang pentingnya bertauhid kepada Allah SWT, yang dalam isinya
menjelaskan tentang beribadah dan kesesaan Alla SWT.

Dalam surah Al-kahfi juga di jelaskan bahwa beribadah tidak lain hanya
untuk mengesaakan Allah dan tidak mensekutukanya, dan juga beribadah untuk
mendapatkan pahala dan juga ridho dari Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir surah al- kahfi ayat 110

surah al kahfi ayat 110.

ِ ‫{قُ ْل ِإ َّن َما أَ َنا بَش ٌَر ِمثْلُ ُك ْم يُو َحى ِإ َل َّي أَ َّن َما ِإ َل ُه ُك ْم ِإ َلهٌ َو‬
َ ‫اح ٌد فَ َم ْن ك‬
‫َان يَ ْر ُجو‬
} )110( ‫صا ِل ًحا َوال يُش ِْر ْك ِب ِعبَا َد ِة َر ِب ِه أَ َحدًا‬ َ ‫ع َمال‬ َ ‫ِلقَا َء َر ِب ِه فَ ْليَ ْع َم ْل‬
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti
kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah
Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.”

ImamTabrani telah meriwayatkan melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari


Ismail ibnu Ayyasy, dari Amr ibnu Qais Al-Kufi, bahwa ia pernah mendengar
Mu'awiyah ibnu Sufyan berkata, "Ayat ini merupakan ayat yang paling akhir
diturunkan ."
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman kepada Rasul-Nya, Nabi
Muhammad Saw.:

}ْ‫{قُل‬
Katakanlah. (Al-Kahfi: 110)

kepada orang-orang musyrik yang mendustakan kerasulanmu kepada mereka.

}‫{ ِإنَّ َما أَنَا َبش ٌَر ِمثْلُ ُك ْم‬


Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian. (Al-Kahfi: 110)

Maka barang siapa menyangka bahwa aku ini dusta, hendaklah ia


mendatangkan hal yang semisal dengan apa yang aku sampaikan ini. Karena
sesungguhnya aku tidak mengetahui hal yang gaib menyangkut berita masa silam
yang kusampaikan kepada kalian berdasarkan permintaan kalian, seperti kisah
tentang para pemuda penghuni gua, dan kisah Zulqarnain.

Kisah tersebut ternyata sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.


Seandainya bukan karena Allah yang telah memberitahukannya kepadaku,
tentulah aku tidak mengetahuinya. Dan sesungguhnya aku hanya memberitahukan
kepada kalian bahwa:

}‫{أَنَّ َما إِلَ ُه ُك ْم‬


Sesungguhnya Tuhan kalian itu. (Al-Kahfi: 110)

yang aku seru kalian untuk menyembah-Nya.

ِ ‫{إِلَهٌ َو‬
}ٌ‫احد‬
adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Kahfi: 110) tidak ada sekutu bagi-Nya.

َ ‫{فَ َم ْن ك‬
}‫َان َي ْر ُجو ِلقَا َء َر ِب ِه‬
Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)

Yakni ingin memperoleh pahala dan balasan kebaikan-Nya.

}‫صا ِل ًحا‬ َ ‫{فَ ْليَ ْع َم ْل‬


َ ‫ع َمال‬
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh. (Al-Kahfi: 110)

Yaitu segala amal perbuatan yang disetujui oleh syariat Allah.

}‫{وال يُش ِْر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِ ِه أَ َحدًا‬


َ
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada
Tuhannya. (Al-Kahfi: 110).
Yakni dengan mengerjakan amal yang semata-mata hanya karena Allah,
tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah syarat utama dari amal yang diterima oleh-
Nya, yaitu harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat yang
telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Ma'mar, dari Abdul Karim
Al-Jazari, dari Tawus yang mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengerjakan banyak amal perbuatan
karena menginginkan pahala Allah, tetapi aku suka juga bila amal perbuatanku
terlihat oleh orang-orang." Rasulullah Saw. tidak menjawab sepatah kata pun
kepadanya, hingga turunlah ayat ini, yaitu firman Allah Swt.: Barang siapa
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)

Hal yang sama telah diriwayatkan melalui Mujahid secara mursal, juga
melalui Tabi'in lainnya yang bukan hanya seorang.

Al-A'masy mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hamzah Abu


Imarah maula (bekas budak) Bani Hasyim, dari Syahr ibnu Hausyab yang
mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Ubadah ibnus Samit
r.a. Lelaki itu mengatakan, "Saya mau bertanya kepadamu, bagaimanakah
pendapatmu tentang seorang lelaki yang salat dengan mengharapkan pahala Allah,
tetapi ia suka bila dipuji. Ia juga mengerjakan saum karena mengharap pahala
Allah, tetapi ia suka bila dipuji.

Dan ia rajin bersedekah karena mengharapkan pahala Allah, tetapi ia suka


dipuji. Dan ia mengerjakan ibadah haji karena mengharapkan pahala Allah, tetapi
ia suka bila dipuji?". Ubadah menjawab, "Ia tidak mendapat apa-apa, karena
sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman, 'Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka
barang siapa yang melakukan suatu amal dengan mempersekutukan selain-Ku di
dalamnya, maka amalnya itu buat sekutuKu, Aku tidak memerlukan amalnya'."

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad


ibnu Abdullah ibnuz Zubair, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Zaid,
dari Rabih ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Sa'id Al-Khudri, dari ayahnya, dari
kakeknya yang menceritakan, "Dahulu kami bergantian menjaga Rasulullah Saw.
hingga kami menginap di dekat rumahnya, karena barangkali beliau mempunyai
suatu keperluan atau ada urusan penting di malam hari, maka beliau tinggal
menyuruh kami.

Orang-orang yang melakukan tugas berjaga cukup banyak. Pada suatu


ketika kami yang bertugas sedang berbincang-bincang, Rasulullah Saw. keluar
dari rumahnya (karena mendengar pembicaraan kami), lalu beliau
bersabda, 'Pembicaraan apakah yang sedang kalian bisikkan?'. Kami menjawab,
'Kami bertobat kepada Allah, hai Nabi Allah. Sesungguhnya kami sedang
membicarakan tentang Al-Masih Dajjal, kami merasa takut terhadapnya'.
Rasulullah Saw. bersabda, 'Maukah aku beri tahukan kepada kalian hal yang
seharusnya lebih kalian takuti daripada Al-Masih Dajjal menurutku?' Kami
menjawab, 'Tentu kami mau.' Rasulullah Saw. bersabda: 'Syirik tersembunyi,
yaitu bila seseorang berdiri mengerjakan salatnya karena ingin dilihat oleh orang
lain'.”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr,


telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bahram yang mengatakan
bahwa Syahr ibnu Hausyab pernah bercerita bahwa Ibnu Ganam pernah
mengatakan: Ketika kami memasuki Masjid Al-Jabiyah bersama Abu Darda, kami
bersua dengan Ubadah ibnus Samit. Maka Ubadah memegangkan tangan
kanannya ke tangan kiriku, dan tangan kirinya ke tangan kanan Abu Darda. Lalu
ia berjalan keluar dengan diapit oleh kami berdua, sedangkan kami berbisik-bisik,
hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang kami bisikkan.

Ubadah ibnus Samit berkata, "Jika usia seseorang dari kalian atau kalian
berdua panjang, tentulah dalam waktu yang dekat kamu akan melihat seorang
lelaki dari kalangan menengah qurra kaum muslim yang berbahasa sama dengan
Nabi Muhammad Saw. (yakni bahasa Arab). Lalu dia membacanya dan
mengartikannya, serta menghalalkan apa yang di halalkannya dan mengharamkan
apa yang diharamkannya. Ia juga menempatkan masing-masing dari hukum yang
dikandungnya pada tempat-tempatnya sesuai dengan latar belakang
penurunannya. Sehingga kalian tidak dapat memberikan komentar apa pun
terhadapnya." Ketika kami sedang asyik dalam keadaan berbincang-bincang,
muncullah Syaddad ibnu Aus r.a. dan Auf ibnu Malik. Keduanya ikut bergabung
dengan kami. Syaddad berkata, "Sesungguhnya hal yang paling saya khawatirkan
akan menimpa kalian, hai manusia, ialah setelah saya mendengar Rasulullah Saw.
bersabda, 'Hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah syahwat
yang tersembunyi dan syirik'." Ubadah ibnus Samit dan Abu Darda berkata, "Ya
Allah, ampunilah kami dengan ampunan yang luas.

Bukankah Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada kita bahwa setan telah
putus asa untuk disembah di Jazirah Arab ini? Mengenai syahwat yang
tersembunyi, kami telah mengetahuinya, yaitu syahwat duniawi, termasuk birahi
kepada wanita dan ketamakan untuk memiliki dunia. Lalu apakah yang dimaksud
dengan syirik yang engkau khawatirkan akan menimpa kami, hai Syaddad?".
Syaddad menjawab, "Tentu kalian mengerti bila kalian melihat seorang lelaki
mengerjakan salatnya karena orang lain, atau ia berpuasa karena orang lain, atau
dia bersedekah karena ingin dipuji orang lain. Bukankah menurut dia telah
berbuat syirik?" Kami menjawab, "Benar. Demi Allah, sesungguhnya orang yang
salat atau puasa atau bersedekah karena ingin dipuji oleh orang lain berarti telah
berbuat syirik." Syaddad berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:

‫ق‬ َ ‫ص َّد‬َ َ‫ َو َم ْن ت‬، َ‫صا َم يُ َرا ِئي فَقَ ْد أَش َْرك‬ َ ‫ َو َم ْن‬، َ‫صلَّى يُ َرا ِئي فَقَ ْد أَش َْرك‬ َ ‫َم ْن‬
‫َّللاُ إِلَى َما‬َّ ‫ أَفَ ََل يَ ْع ِم ُد‬: َ‫ف ْبنُ َمالِكٍ ِع ْن َد ذَ ِلك‬ ُ ‫يُ َرا ِئي فَقَ ْد أَش َْركَ ؟ " فَقَا َل ع َْو‬
َ‫ص لَهُ َويَ َدعُ َما أُش ِْرك‬ َ ‫ فَيَ ْقبَ ُل َما ُخ ِل‬،‫ا ْبت ُ ِغ َي ِب ِه َوجْ ُههُ ِم ْن ذَ ِلكَ ا ْلعَ َم ِل ك ُِل ِه‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِمعْتُ َر‬َ ‫ فَ ِإنِي‬: َ‫شدَّا ٌد ع َْن ذَ ِلك‬ َ ‫ِب ِه؟ فَقَا َل‬
‫ش ْيئًا‬ َ ‫ َم ْن أَش َْركَ ِبي‬،‫ِيم ِل َم ْن أَش َْركَ ِبي‬ ٍ ‫ أَنَا َخ ْي ُر قَس‬:‫َّللاَ يَقُو ُل‬َّ ‫ "إِ َّن‬:‫يَقُو ُل‬
ُ‫ع ْنه‬ َ ‫ َوأَنَا‬،‫ير ُه ِلش َِري ِك ِه الَّذِي أَش َْركَ ِب ِه‬ َ ِ‫ع َملَهُ قَ ِليلَهُ َو َكث‬َ ]‫فَ ِإ َّن [ َحشْده‬
"‫غ ِن ٌّي‬َ
Barang siapa yang salat dengan pamer, maka sesungguhnya dia telah
musyrik. Barang siapa yang berpuasa karena pamer, sesungguhnya dia telah
musyrik. Dan barang siapa yang bersedekah karena pamer, sesungguhnya dia
telah musyrik.
Pada saat itu juga Auf ibnu Malik berkata, "Apakah Allah tidak mau
menerima bagian dari apa yang dikerjakan karena mengharapkan pahalaNya dari
amal itu, lalu menolak bagian dari amal itu yang pelakunya mempersekutukan Dia
dengan yang lain?" Maka Syaddad saat itu juga menjawab bahwa dirinya pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah pernah berfirman,
'Aku adalah sebaik-baik pemberi terhadap orang yang berbuat syirik kepada-Ku.
Barang siapa yang mempersekutukan Aku dengan sesuatu, maka sesungguhnya
amal perbuatannya —baik yang banyak maupun yang sedikit— Aku berikan
kepada temannya yang dia persekutukan dengan Aku karena Aku tidak
memerlukannya.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan dari penjelasan tafsir surah al-kahfi di atas menurut penulis


adalah bahwsanya manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang hakikat
hidupnya adalah hanya untuk beribadah kepada allah SWT dan tidak
mensekutukanya, dan dalam beribadah manusia tidak boleh berharap kepada
selain Allah SWT karena jika ia beribadah untuk di lihat manusia lainya atau
hanya untuk di puji maka seperti yang sudah di jelaskan di atas pahalanya hanya
untuk orang yang memujinya dan tidak di terima oleh Allah SWT.

Dan barang siapa dalam perbuatanya mensekutukan Allah SWT, maka hendaklah
ia meminta pahala kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai