Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rasulullah SAW bersabda Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal.
Barangsiapa berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat untuk
selamanya, dua hal tersebut adalah Kitab Allah dan Sunnahku.1 Dengan
demikian setelah Al-Qur'an, umat muslim mengenal hadits sebagai sumber hukum
kedua. Peranan hadits menjadi amat signifikan karena pada kenyataannya, hadits
merupakan penjelas Al-Qur'an dalam bentuk segala perilaku dan ucapan Nabi,
sehingga Al-Qur'an tidak dapat terlepas dari Hadits.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidak semua apa yang dihadapi
oleh umat Islam dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur'an, sehingga para
sahabat maupun tabiin mencoba berusaha mengingat bagaimana Nabi pernah
bersabda atau bersikap apabila menghadapi suatu permasalahan.
Hadist biasa dijadikan dasar pijakan untuk memutuskan sebuah
permasalahan karena hadits sebagai penjelas dari Al-Qur'an. Oleh karenanya perlu
untuk mengklasifikasikan hadits, karena tidak semua hadits dapat dijadikan
hujjah atau pedoman dalam menyelesaikan suatu persoalan.
Dalam makalah ini mencoba menelaah pengklasifikasian hadits berdasar
kualitas sanad dan matan hadits, supaya jelas hadits-hadits mana yang dapat
dijadikan sebagai hujjah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan sanad?
2. Bagaimana pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad?
3. Apakah yang dimaksud dengan matan?
4. Bagaimana pembagian hadits berdasar matan?

1
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p. 9

1
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sanad
2. Mengetahui pembagian hadits berdasar kualitas sanad
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan matan
4. Mengetahui pembagian hadits berdasar kualitas matan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sanad
1. Pengertian Sanad
Menurut bahasa, sanad adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran.2 Sedangkan menurut istilah terdapat banyak pendapat diantaranya
adalah menurut Al-Badru bin Jamaah yang diungkapkan dalam Muzer Suparta
bahwa sanad adalah:

Berita tentang jalannya matan3
Yang lain menyebutkan:

Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang
menyampaikannya pada matan hadits4
Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu :


Jalan yang menyampaikan pada matan hadits5
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sanad adalah silsilah orang-orang
yang menyampaikan hadits (perawi) dari sumbernya yang pertama.
2. Kesahihan Sanad Hadits
Yang dimaksud dengan kesahihan sanad hadits menurut Subhi Shalih
dalam Noor Kholis yaitu segala syarat atau criteria yang harus dipenuhi oleh suatu
sanad hadits yang berkualitas shahih.6 Adapun criteria kesahihan sanad hadits
yaitu:
a. Ittishal as sanad (sanad bersambung). Yaitu tiap perawi dalam sanad
hadits dari perawi pertama sampai terakhir menerima riwayat hadits dari perawi
sebelumnya, yaitu sahabat.

2
Muhammad Ahmad dan Muzhakir. Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), p. 51
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 45
4
Ibid., p. 45
5
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul, p. 51
6
Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008). p/ 252

3
b. Perawi bersifat adil. Yaitu memenuhi kriteria mukallaf, beragama
Islam, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muruah.7
c. Perawi bersifat dhabit. Yaitu kuat hafalan atau hafal dengan sempurna.
d. Terhindar syudzudz (kejanggalan).
e. Terhindar dari illah (cacat).
3. Pembagian Hadits Berdasar Kualitas Sanad
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari sanad
(kuantitas/jumlah perawi), sebagian ulama membaginya menjadi 3 bagian yaitu
hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hal ini sesuai dengan ulama ushul yaitu Abu
Bakar Al Jasis yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri.8
Sedangkan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa hadits masyhur
bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadits
ahad. Maka ulama membagi hadits berdasar sanadnya menjadi hadits mutawatir
dan hadits ahad.
a. Hadits Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan
atau berturut-turut antara satu dengan yang lain tanpa jarak.9 Sedangkan menurut
istilah:

.



Hadits mutawatir ialah suatu hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut
seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan
jumlah pada setiap tingkatan.10
Sementara Nur ad-Din Atar mendefinisikan:

Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai dengan akhir sanad
dengan didasarkan panca indera.11
7
Syuhudi Ismail, Kaedah-Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT. Bulan BIntang, 1995), p.
129
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 59
9
Nur Kholis, Pengantar Studi, p. 268
10
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul, p. 65
11
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 97

4
Ulama lain menyatakan hadits mutawatir yaitu:

Suatu hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
untuk berdusta.12
Dari uraian pendapat di atas dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang memenuhi syarat tertentu
yang beriringan antara satu dengan yang lain dan mustahil untuk bersepakat dan
berdusta.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
1) Diriwayatkan oleh sejumlah perawi
Dalam hal ini bilangan perawi mencapai jumlah tertentu yang menurut
adat mustahil bersepakat untuk berdusta, mengenai batasan jumlah perawi
terdapat perbedaan diantara ulama yaitu:
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, hal ini
berdasarkan pengqiyasan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Al-Qodhi Al-Baqillani sekurang-kurangnya 5 orang, hal ini
diqiyaskan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
c) Al-Isthakhary menetapkan minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu
merupakan awal bilangan banyak.
d) Ulama lain menentukan minimal 12 orang berdasarkan pada firman
Allah (QS. Al-Maidah: 12).
(12 : )
dan telah Kami angkat di antara mereka 120 orang pemimpin.
e) Ulama yang lain menentukan minimal 20
orang berdasarkan firman Allah (QS. Al-Anfal : 65).
(65 : )
Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan duaratus orang musuh.

12
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, p. 64

5
f) Ulama lainya menentukan minimal 40 orang berdasarkan (QS. Al-
Anfal : 64). Hal ini berkaitan dengan peristiwa historic ketika ayat diturunkan
jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang.
g) Ulama lain menentukan sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman
Allah SWT (QS. Al-Araf: 155).
(155 : )
Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. (QS. Al-
Anfal (7) : 155).
Penentuan jumlah perawi seperti dikemukakan di atas, sebetulnya bukan
hal yang prinsip pokok yang dijadikan ukuran sekalipun jumlah perawinya tidak
banyak asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang disampaikan
diyakini benar, sudah dapat dikategorikan sebagai hadits mutawatir.13
2) Seimbang jumlah perawi
Dalam hal ini adanya keseimbangan jumlah perawi sejak pada thabaqat
(lapisan/tingkatan) pertama maupun berikutnya.
Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa keseimbangan jumlah perawi
pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting, sebab yang diinginkan dengan banyak
perawi adalah terhindarnya dari berbohong.14
3) Berdasarkan tanggapan panca indera
Hadits yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan panca
indera artinya harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri,
bukan dari hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,
atau hasil instimbath dari dalil lain.
Macam-macam Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi atas:
1) Hadits Mutawatir lafdzi
Mutawatir lafdzi yaitu :
Hadits yang mutawatir periwayatannya dalam suatu lafdzi.15
Muhadditsin memberi pengertian hadits mutawatir lafdzi yaitu:

13
M. Noor Sulaiman PI. Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), p. 87
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 100
15
Ibid., p. 101

6

Suatu (hadits) yang sama mufakat bunyi lafadz menurut para rawi dan
demikian juga pada hukum dan maknanya.
Pengertian lainnya yaitu:

Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafadznya oleh sejumlah rawi
dari sejumlah rawi.16
Dengan demikian hadits mutawatir lafdzi yaitu periwayatan hadits oleh
banyak rawi dalam satu lafal yang sama. Berat dan ketatnya kriteria hadits
mutawatir lafdzi seperti di atas, menjadikan jumlah ini sangat sedikit. Hal ini
menurut Ibnu Al Shalah dan Al-Nawawi. Sedangkan menurut Ibnu Hibban dan
Al-Aazimi hadits mutawatir lafdzi tidak ada.17
Contoh hadits mutawatir lafdzi:

Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits di atas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat.
Sedangkan menurut Al-Nawawi hadits tersebut diriwayatkan oleh 200 orang
sahabat.
2) Hadits Mutawatir manawi
Yaitu :

Hadits yang berlainan bunyi lafadz dan maknanya, tetapi dapat diambil
dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.
Atau:
.
Hadits yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa
menghiraukan perbedaan pada lafadz.
Dengan demikian, hadits mutawatir manawi yaitu hadits yang berasal dari
berbagai periwayatan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi mempunyai makna
umum yang sama.
16
Nur Kholis, Pengantar Studi , p. 272-273
17
Munzier Suparta, Ilmu, p. 101

7
Contoh:

.( )
Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-
doanya selain dalam doa salat istisqo dan beliau mengangkat tangannya
hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.
Hadits yang semakna dengan hadits di atas tidak kurang dari 30 redaksi
yang berbeda. Antara lain hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, Al-Hakim dan
Abu Daud yang berbunyi:


.
3) Hadits Mutawatir Amali
Yaitu :

.
Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal tersebut berasal dari
agama dan telah mutawatir diantara kaum muslimin bahwa Nabi SAW
melakukannya atau memrintahkannya untuk melakukannya atau serupa dengan
itu.
Jadi hadits mutawatir amali disebut juga tarif ijma yaitu urusan agama
yang telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi SAW mengerjakannya;
menyuruhnya atau selain dari itu.18
Contoh hadits mutawatir amali banyak jumlahnya seperti hadits yang
menerangkan waktu shalat, rakaat shalat, shalat janazah, shalad ied, haji, kadar
zakat dan lain-lain.
Hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW dan dapat dipastikan keshahihan pada matannya karena persyaratan pada
hadits mutawatir begitu ketat dan mustahil perawinya berdusta. Dan sebagian
ulama sepakat menjadikan hadits mutawatir sebagai hujjah.
b. Hadits Ahad

18
Ibid., p. 106

8
Kata ahad bentuk jamak dari wahid, yang berarti satuan. Sedang menurut
istilah yaitu hadits yang diriwayatkan perorangan, dua orang atau lebih tetapi
belum mencapai syarat untuk dimasukkan ke dalam hadits mutawatir. 19 Sedang
menurut istilah hadits ahad yaitu:

Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir.



Suatu hadits yang jumlah pemberitanya tidak mencapai jumlah
pemberita hadits mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang,
empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
Macam-macam Hadits Ahad
Dilihat dari jumlah rawi, hadits ahad terbagi dalam 3 bagian yaitu hadits
masyhur (hadits mustafid), hadits aziz, dan hadits gharib. Ulama ahli hadits
membanginya menjadi dua yaitu hadits masyhur dan ghairu masyhur. Dimana
hadits ghairu masyhur terbagi atas hadits aziz dan ghairu aziz.20
1) Hadits masyhur (hadits mustafid)
Menurut bahasa masyhur berarti sesuatu yang sudah tersebar atau populer,
sedangkanmenurut istilah antara lain:


.
Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai
pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang
setelah mereka.21
Pendapat lain mengatakan:

.

19
Noor Sulaiman. PL. Antologi.., p. 90
20
Ibid., p. 90
21
M. Noor Sulaiman PL. Antologi, p. 91

9
Hadits masyhur (hadits mustafid) adalah hadits yang diriwayatkan oleh
tiga rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.22
Hadits masyhur dapat digolongkan menjadi:
a) Masyhur di kalangan ahli hadits:
Contoh yaitu hadits yang menerangkan Rasulullah SAW membaca doa
qunut sesudah ruku selama satu bulan penuh berdoa atas golongan RII dan
Dzakwan yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.
b) Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama lain, misalnya:

Orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang Islam lainnya
dari lidah dan tangannya. (HR. Bukhari Muslim).
c) Masyhur di kalangan fuqoha seperti :

Sesuatu yang halal dan dibenci Allah adalah thalaq.

Rasulullah SAW melarang jual beli yang di dalamnya terdapat tipu
daya.
d) Masyhur di kalangan ushul fiqh seperti :

.
Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia
berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala
ijtihad dan pahala kebenaran) dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia
memperoleh satu pahala (pahala ijtihad).
e) Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:

Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui aku mereka pun mengenalku.
f) Masyhur di kalangan umum, seperti:

tergesa-gesa adalah perbuatan syetan

22
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul, p. 94

10
g) Masyhur di kalangan ulama Arab seperti ungkapan Kami
orang Arab yang paling fasih mengucapkan dad ( ) , sebab kami dari golongan
orang-orang Quraish.
Dan masih banyak lagi hadits yang kemasyhurannya hanya di kalangan
tertentu sesuai dengan disiplin ilmu dengan bidangnya masing-masing. Namun
demikian tidak semua hadits masyhur shahih, karena keshahihan tidak dilihat dari
masyhurnya tetapi dari kualitas sanad dan matan.
a) Hadits masyhur sahih seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar:

Barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat Jumat, hendaklah
ia mandi.
b) Hadits masyhur yang berstatus hasan:

Tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang
setimpal.23
c) Hadits masyhur yang berstatus dhaif:

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.
Hadits ini didhaifkan oleh Ahmad Al-Baihaqi dan lain-lain.24
2) Hadits ghairu masyhur
Hadits ghairu masyhur oleh ulama hadits digolongkan menjadi hadits
aziz dan hadits gharib.
Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizzu yang berarti layakadu
yujadu atau qalla wa nadir (sedikit atau jarang adanya). Sedangkan menurut
istilah, antara lain didefinisikan sebagai berikut:

Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tabaqat sanad.

23
Nurkholis, Pengantar Studi, p. 91
24
Hasbi, Ash-Shiddieqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
p. 71

11

.
Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi,
kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi.25
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan
hadits aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya
tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua orang rawi maka tetap
dapat dikategorikan sebagai hadits aziz.
Contoh hadits aziz:

Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya
daripada dirinya, orang tuanya, dan semua manusia. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadits Gharib
Hadits gharib, menurut bahasa berarti al-munfarid menyendiri. Dalam
tradiri hadits, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu namanya
maupun selainnya.26 Sedangkan menurut Ibn Hajar yang dimaksud dengan hadits
gharib yaitu:
.

Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi terbagi atas gharib mutlak dan
gharib nisbi.
a) Gharib mutlak yaitu apabila penyendirian itu mengenai
personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu
thabaqat.
Contoh hadits gharib mutlak yaitu:

25
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul, p. 95
26
M. Noor Sulaiman PL. Ulumul, p. 95

12
Kekerabatan dengan jalan kemerdekaan, sama dengan kekerabatan
dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.
b) Gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai
sifat atau keadaan tertentu dari sang perawi.
Contoh hadits gharib nisbi:

.( )

Konon Rasulullah pada hari raya qurban dan hari raya fitrah membaca
surat qof dan surat Al-Qomar. (HR. Muslim)
Kedudukan Hadits Ahad
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah
memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Al-Syafii dan
Imam Ahmad memakai hadits ahad bila syarat-syarat periwayatannya shahih
terpenuhi, hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi
perawinya serta amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Karena hadits ahad diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka
kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada di bawah kedudukan
hadits mutawatir.

Perbedaan hadits mutawatir dengan hadits ahad:

Hadits Mutawatir Hadits Ahad


Jumlah Diriwayatkan oleh Diriwayatkan oleh
rawi banyak para perawi yang para rawi dalam jumlah yang
mustahil sepakat untuk menurut adat kebiasaan masih
berdusta. mungkin sepakat untuk
berdusta
Penget Menghasilkan ilmu Menghasilkan ilmu
ahuan qathi (pasti) dan ilmu bersifat dzanni (bersifat
daruri (mendesak untuk dugaan) bahwa hadits berasal
diyakini) bahwa benar- dari Rasulullah sehingga
benar berasal dari kebenarannya masih berupa

13
Rasulullah dan diyakini dugaan pula.
kebenarannya.
Kedud Lebih tinggi dari Lebih rendah dari
ukan hadits ahad dalam hadits mutawatir
kedudukan sebagai sumber
ajaran Islam
Kebena Pada hadits Tidak mustahil
ran mutawatir dapat ditegaskan bertentangan dengan Al-
bahwa keterangan matan Qur'an karena ada
hadits mutawatir mustahil kemungkinan hadits tersebut
bertentangan dengan tidak berasal dari Rasulullah.
keterangan ayat dalam Al-
Qur'an

B. Matan
1. Pengertian Matan Hadits
Matan menurut bahasa berarti ma irtafaa min al-ardhi artinya tanah yang
meninggi.27 Yang lain mengartikan sebagai membelah, mengeluarkan, mengikat.
Sedangkan menurut istilah ahli hadits, matan yaitu:
.

Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang
disebut sesudah hadits disebut sanadnya.28

Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.
.
Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna
tertentu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan matan ialah materi atau lafadz
hadits itu sendiri.
Contoh:

27
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 46
28
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, p. 52

14
:
( ) .

Maka yang disebut dengan matan adalah yang bergaris bawah.
2. Kesahihan Matan Hadits
Dalam Noor Kholis disebutkan bahwa unsur yang harus dipenuhi oleh
suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam yakni terhindar dari syudzuz
(kejanggalan) dan illat (cacat). Sedangkan menurut Al-Khatib Al Baghdadiy,
suatu matan barulah dinyatakan sebagai shahih yaitu:
a. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang telah muhkam
(ketentuan hukum yang tetap).
c. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan
ulama masa lalu (salaf).
e. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
f. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya
lebih kuat.29
3. Pembagian Hadits Dilihat dari Kualitas Matan
a. Hadits Shahih
Beberapa pengertian tentang hadits shahih ini adalah sebagai berikut:
Pengertian hadits shahih menurut Ibnu As-Shalah yang dikutip oleh
Munzier adalah:

.
Hadits shahih yaitu hadits musnad yang bersambung sanadnya dengan
periwayatan ileh orang yang adil dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga
hingga akhir sanad, serta tidak ada kejanggalan dan cacat.30
Hal senada juga diungkapkan oleh Muhadditsiin sebagai berikut:
.

29
Nurkholis, Pengantar Studi, p. 263
30
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 129

15
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.31
Al-Suyuthi juga mendefinisikannya secara ringkas sebagaimana dikutip
oleh Munzier berikut:
.

Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil
lagi dhabith, tidak syaz dan tidak berillat.32
Jadi, secra umum yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang
sanadnya muttasil, diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat ingatannya, tidak ada
kejanggalan yang menyimpang dari ayat, serta tidak cacat.
Syarat-syarat Hadits Sahih
Sebuah hadits bisa dikatakan shahih jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat hadits shahih adalah sebagai berikut:
1) Sanadnya Bersambung
Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Suhudi Ismail dari
Muhammad Al-Shabbagh disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sanad
bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits
dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai
akhir sanad dari hadits itu.33
Jadi sanad dalam hadits shahih itu harus berkesinambungan sejak awal
sampai akhir, dalam artian bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak
perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima
hadits langsung dari Nabi Muhammad SAW bersambung dalam periwayatannya.
2) Periwayatannya yang Adil
Keadilan perawi di sini berarti :
a) Selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhi
perbuatan maksiat.
b) Menjauhi dosa kecil yang dapat merendahkan martabat
dirinya.

31
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1985), p. 95
32
Ibid., p. 129
33
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), p. 127

16
c) Tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan penyesalan.34
Faktor-faktor keadilan yang lain adalah sebagai berikut:
1) Beragama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah :

dari saksi-saksi yang Engkauridhoi. (QS. Al-Baqarah: 282).
Sementara orang yang tidak beragama Islam pasti tidak mendapatkan
keridhaan seperti itu.
2) Baligh. Hal ini merupakan suatu paradigma akan kesanggupan
memikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang
dilarang.
3) Berakal sehat. Sifat ini harus dimiliki oleh seorang periwayat
agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat.
4) Takwa, yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak
membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil.35
Jadi orang yang bukan Islam, masih kecil, gila maupun orang fasik tidak
dapat diterima riwayatnya. Karena keempat hal tersebut merusak sifat adil
seorang periwayat hadits.
Sifat-sifat adil perawi dapat diketahui melalui:
1) Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama ahli hadits,
perawinya yang terkenal dengan keutamaan pribadinya.
2) Penilaian dari para kritikus perawi hadits tentang kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri perawinya yang dimaksud.
3) Penerapan kaidah Al-Jarh wa al-tadil, bila tidak ada
kesepakatan di antara para kritikus perawi hadits mengenai kualitas pribadi para
perawi tertentu.36
3) Periwayatannya yang Dhabith
Sebagaimana yang dikutip oleh Munzier Suparta, menurut Ibnu Hajar Al-
Asqalani, Perawi yang dhabith adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa

34
Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), p
103
35
Nuruddin, Ulumul Hadits I (Terjemahan dari Manhaj An-Naqd Fi Ulumul Al Hadits),
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), p. 64-65
36
Suparta, Ilmu, p. 131

17
yang pernah didengarnya. Kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja diperlukan.37
Menurut Muhammad Abu Zahra dalam kutipan Muhammad Suhudi
Islmail, orang dhabit ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana
seharusnya dia memahami arti pembicaraan itu secara benar, kemudian dia
menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna
sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan
baik.38
Jadi secara umum perawi yang dhabit itu memiliki kemampuan untuk:
a) Mengingat dengan baik
b) Mendengarkan riwayat yang didengarnya
c) Memahami riwayat yang didengarnya
d) Menghafal riwayat yang telah diterimanya
e) Menyampaikan riwayat yang diterimanya dengan baik.
Namun demikian ada sebagian ulama yang menganggap bahwa orang
yang memiliki kemampuan menghafal dengan baik, tetapi tidak memiliki
kecerdasan dalam memahami riwayat yang ia dengar termasuk orang yang
dhabith. Dan tentunya tingkatan periwayat seperti ini berada setelah ( di bawah)
periwayat yang memiliki kemampuan untuk mendengar, memahami, mengingat,
menghafal dan menyampaikan riwayatnya dengan baik.
Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama dapat diketahui
melalui:39
1) Kesaksian para ulama
2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang
lain yang telah dikenal kedhabithannya.
Kedhabitan seorang perawi tidak berarti ia terhindar sama sekali dari
kekeliruan. Mungkin saja kekeliruan atau keslahan itu sesekali terjadi pada
seorang perawi. Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang
ingatannya.40
4) Tidak Adanya Illat Hadits
37
Suparta, Ilmu, p. 132
38
Ismail, Kaedah,p135
39
Suparta, Ilmu, p. 132-133
40
Ibid.,

18
Illat bisa kita artikan cela, cacat atau penyakit. Illat hadits ialah suatu
penyakit yang samara-samar, yang dapat menodai kesahihan suatu hadits.
Misalnya meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadap hadits
mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits
yang munqathi (yang gugur salah sorang rawinya) dan sebaliknya. Demikian juga
dapat dianggap suatu illat hadits, yaitu suatu sisian yang terdapat pada matan
hadits.41
Illat hadits itu bisa terjadi pada sanad maupun matannya, atau bahkan
pada keduanya secara bersama-sama. Namun kebanyakan yang terjadi adalah
illat pada sanadnya. Jadi, suatu hadits dikatakan shahih jika terbebas dari cacat
baik cacat dalam sanad maupun matannya.
Menurut Al-Hakim Al-Naysabury sebagaimana yang dikutip oleh
Muhammad Syuhudi Ismail, ia berpendapat bahwa, acuan utama penelitian illat
hadits ialah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits.
Penelitian tentang illat suatu hadits sangat memerlukan kejelian dan
ketelitian. Sehingga orang yang meneliti illat suatu hadits pun harus benar-benar
orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih.
5) Tidak ada Kejanggalan/Kerancuan (Syadz)
Kerancuan (syadz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda
denganrawi lain yang lebih kuat posisinya. 42 Lebih kuat di sini dilihat dari segi
kekuatan ingatannya, jumlah yang lebih banyak, dan lain sebagainya.
Menurut As-Syafii sebagaimana yang diungkapkan oleh Munzier, yang
dimaksud dengan syadz atau syuduz (jamak dari syadz) di sini adalah hadits yang
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hadits yang tidak syadz adalah
hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat.
Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits shahih itu dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Shahih Lidzatihi

41
Rachman, Ikhtisar p 100
42
Ahmad dan Mudzakir,

19
Menurut Ibnu As-Shalah yang diungkapkan oleh Munzier menyebutkan
bahwa shahih lidzatihi yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat
hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:

( ) :
Artinya:
Bukhari berkata: Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami
bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang
berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.
b. Shahih Lighairihi
Hasbi Ash Shiddieqy menunjukkan pengertian hadits shahih lighairihi
sebagai berikut:


.
Hadits yang keadaan rawy-rawynya kurang hafidz dan dhabith, tetapi
mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu
didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat
menutupi kekurangan yang menimpanya itu.43
Jadi, hadits shahih lighairihi ini adalah hadits yang tidak memenuhi sifat-
sifat hadits maqbul/shahih secara sempurna, yang pada awalnya bukan hadits
shahih, namun akhirnya naik derajatnya menjadi hadits shahih karena ada faktor
pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada padanya.
Contohnya adalah hadits shahih lighairihi yang diriwayatkan oleh Bukhari
yang dicontohkan oleh Abu Muhammad sebagaimana yang ditulis oleh Munzeir
berikut ini:
.

()
Artinya:

43
Rachman, Ikhtisar, p. 101

20
Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan
bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat. (HR. Bukhari).44
Berhujjah dengan Hadits Shahih
Mengenai penggunaan hadits shahih sebagai hujjah ini para ulama
memiliki pendapat yang berbeda. Sebagian ulama sepakat menjadikan hadits
shahih sebagai hujjah yang wajib diamalkan dalam masalah halal-haramnya
sesuatu, tapi tidak dalam hal aqidah. Namun ada sebagian pendapat yang
menjadikan hadits shahih sebagai hujjah dalam persoalan aqidah.45
b. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits Hasan
Mengenai arti hadits hasan ini ada beberapa pendapat yang
mengungkapkannya. Pendapat para ulama mengenai pengertian hadits hasan
adalah:

.
Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokok
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta
kejanggalan pada matannya.46
Sementara itu Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut:

.
Khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berillah dan syadz; namun bila
kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan.47
Jadi yang dimaksud dengan hadits hasan adalah suatu hadits yang
sanadnya bersambung, tidak ada cacat dan kejanggalan, perawinya adil dan
dhabith, namun tingkat ke-dhabithannya masih kurang sempurna. Sehingga,
hadits hasan ini hampir saja mirip dengan hadits shahih. Yang membedakan
adalah kalau hadits shahih itu tingkat kedhabitan perawinya itu sempurna,
sedangkan dalam hadits hasan, tingkat kedhabitannya masih kurang sempurna.

44
Suparta, Ilmu, p. 135
45
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul.. p. 108
46
M. Noor Saliman, PI. Antologi, p. 103
47
Munzeir Suparta, Ilmu Hadits..,p. 144

21
2. Syarat-syarat Hadits Hasan
Secara rinci, syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitas ke-dhabitannya di bawah ke-
dhabitan perawi hadits shahih.
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syudz, dan
e. Tidak berillat.48
Sebenarnya syarat-syarat tersebut sama dengan syarat-syarat hadits hasan,
hanya saja tingkat ke-dhabitan perawinya kurang sempurna. Jadi, yang
membedakan syarat-syarat hadits hasan dengan hadits shahih adalah tingkat
kecerdasan dan kekuatan hafalannya saja. Sedangkan pada hadits shahih tingkat
kecerdasan para perawinya sempurna.
Istilah hadits hasan ini dimunculkan dan dipopulerkan oleh Imam
Turmudzi. Penyebab dimunculkannya istilah hadits hasan ini adalah karena hadits
seperti itu seakan-akan dhaif, tapi tidak pas jika digolongkan ke dalam hadits
dhaif karena hampir semua persyaratan shahih hampir terpenuhi. Tapi juga
seakan-akan mirip shahih, tapi persyaratan shahihnya kurang terpenuhi sehingga
tidak pas jika digolongkan ke dalam hadits shahih. Akhirnya digolongkan hadits
itu ke ruang lingkup antara shahih dan dhaif yaitu yang dinamai dengan hadits
hasan.
3. Klasifikasi Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga dibagi menjadi dua bagian:
a. Hasan Li-Dzatihi
Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang terwujud karena dirinya sendiri,
yakni karena matan dan para perawinya memenuhi syarat-syarat hadits shahih,
kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dhabith).49
Contoh hadits hasan lidzatihi :

. :
48
Suparta, Ilmu, p. 145
49
Ahmad dan Mudzakir, p. 115

22
Dari Muhammad Ibn Amar dari Abu Salamah dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah SAW berkata, Sekiranya tidak merepotkan kepada umatku.
Niscaya aku perintah mereka bersiwak (gosok gigi) untuk setiap kali hendak
shalat.50
b. Hasan Lighairihi
Hadits hasan lighairihi adalah :


.
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur tidak nyata
keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak nampak adanya sebab
yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan
periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.51
Maksud pengertian tersebut adalah bahwa hadits hasan lighairihi
merupakan hadits dhoif yang dikarenakan rawinya mastur (tidak diketahui
keahliannya), namun dia bukan seorang pelupa yang banyak melakukan kesalahan
dalam periwayatannya dan juga bukan orang yang dituduh berbuat dusta dan fasik
yang kemudian hadits tersebut naik derajatnya (ke tingkat hasan) karena dibantu
oleh hadits-hadits lain yang semisal dan semakna (muttabi dan syahid).
Hadits ghaif yang bisa naik ke hadits hasan ini hanyalah hadits yang tidak
terlalu lemah dan diperkluat riwayat-riwayat lain yang dapat mengangkatnya. Jika
hadits-hadits tersebut sangat lemah, maka tidak bisa naik ke derajat hasan.
Contoh:
.
Apakah engkau rela menyerahkan dirimu dan hartamu dengan hanya
sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab: Ya, maka Nabi SAW pun
memperbolehkannya.
4. Penggunaan Hadits Hasan Sebagai Hujjah
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan (hasan
lidzatihi maupun hasan lighairihi) seperti hadits shahih meskipun derajatnya tidak
sama. Namun ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits hasan
50
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, p. 146
51
Rachman, Ikhtisar, p. 111

23
yang bisa dijadikan hujjah adalah hadits hasan lidzatihi. Sedangkan untuk hadits
hasan lighairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat ditutupi oleh banyaknya
riwayat lain, maka ia bisa dijadikan hujjah.
c. Hadits Dhaif
1. Pengertian Hadits Dhaif
Dhaif artinya adalah lemah, lawan dari kuat. Jadi hadits dhaif adalah hadits
yang lemah. Adapun secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikannya
dengan berbagai macam pengertian tetapi maknanya/kandungannya sama.

Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menemui satu syarat atau lebih
dari syarat-syarat diterimanya suatu hadits.52
Definisi Al-Nawawi yang dikutip oleh Munzeir menyebutkan bahwa hadits
dhaif adalah:

Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan.
Atau :
.
Hadits shahih yang di dalamnya tidak ada sifat shahih dan sifat hasan53
Senada dengan pengertian itu disebutkan bahwa hadits dhaif:
.
Ialah hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadits shahih atau hadits hasan.
Jadi secara umum, pengertian hadits dhaif adalah hadits yang tidak
memenuhi persyaratan diterimanya suatu hadits sebagai hadits shahih atau hasan.
2. Sebab-sebab Hadits Dhaif Tertolak
Kalau dalam membahas hadits maqbul (shahih dan hasan) yang kita
ungkapkan di antaranya adalah persyaratan suatu hadits dikatakab shahih dan
hasan, sedangkan ketika kita membahas hadits mardud (dhaif) maka bahasa yang
tepat bukanlah persyaratan tetapi sebab-sebab ditolaknya suatu hadits.

52
M. Noor Sulaiman PI, Antologi, p. 105
53
Munzier Suparta, Ilmu, p. 151-152

24
Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits ini bisa
dilihat dari dua jurusan, yaitu:54
a. Sanad Hadits
Dari sisi sanad hadits ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatan pada para perawinya baik meliputi
keadilannya maupun kedhabithannya yang diuraikan dalam 10 macam:
a) Dusta. Hadits yang rawinya dusta disebut maudhu
b) Tertuduh dusta. Hadits yang rawinya tertuduh dusta
disebut matruk.
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam menghafal, maka haditsnya menjadi
disebut hadits munkar.
f) Banyak wahamnya, haditsnya disebut hadits muallal.
g) Menyalahi riwayat yang lebih siqoh atau dipercaya.
Haditsnya disebut mudraj bila ada penambahan sisipan, bila diputar balikan
disebut maqlub disebut mudhtharib bila perawinya tertukar-tukar dan disebut
muharraf bila yang tertukar adalah huruf syakal dan disebut mushahhaf bila
perubahan itu meliputi titik kata.
h) Tidak diketahui identitasnya disebut mubham.
i) Penganut bidah
j) Tidak baik hafalannya, disebut syadz dan muktalith
2) Sanadnya tidak bersambung
a) Gugur pada sanad pertama disebut muallaq.
b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat) disebut mursal.
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
haditsnya disebut mudszal.
d) Gugur rawi tidak berturut-turut disebut munqathi.
b. Matan Hadits
1) Hadits mauquf yaitu perkataan sahabat, perbuatan atau
taqririnya tetapi sandarannya terhenti pada thabaqat sahabat.

54
Munzeir Suparta, Ilmu, p. 151-152

25
2) Hadits maqthu yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan
disandarkan kepadanya baik perkataan maupun perbuatan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Sanad hadits yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan hadits
(perawi) dari sumbernya yang pertama.
2. Dari kualitas sanad hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits
ahad.
3. Hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
perawi yang memenuhi syarat tertentu yang beriringan antara satu dengan yang
lain dan mustahil untuk bersepakat dan berdusta. Hadits ahad yaitu hadits yang
jumlah pemberitaannya tidak mencapai syarat mutawatir.
4. Matan hadits yaitu materi atau lafadz hadits.
5. Dari kualitas matan hadits terbagi atas hadits shahih, hasan dan
dhaif.
6. Hadits shahih yaitu hadits yang sanadnya muttasil, diriwayatkan
oleh perawi yang adil, kuat ingtannya, tidak ada kejanggalan yang menyimpang
dari ayat, serta tidak cacat.
7. Hadits hasan yaitu suatu hadits yang sanadnya bersambung, tidak
cacat dan kejanggalan, perawinya adil dan dhabith namun tingkat kedhabitannya
masih kurang.
8. Hadits dhaif yaitu hadits yang tidak memenuhi persyaratan
diterimanya suatu hadits sebagai hadis shahih ataupun hasan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Mudzakir. 2004. Ulumul Hadits. Bandung:


Pustaka Setia.

Ashssiddieqi, Hasbi. 1987. Pokok-pokok Dirayat Hadits. Jakarta: Bulan


Bintang.

Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Bandung: Pustaka Hidayah.

Azami. 2000. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka


Firdaus.

Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan


Bintang.

Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits. Yogyakarta:


Teras

Rahman, Fathchur. 1985. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. Al-


Maarif

27
Suparta, Munzeir. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

28

Anda mungkin juga menyukai