Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

DALIL HUKUM IJTIHAD, IJMA, DAN QIYAS BESERTA CONTOH-


CONTOHNYA

Dosen Pengampu : H. Faizal Pikri., SS, M.Ag.

Di susun oleh :

Siti Kholidah Ulfah (1168020270)

Syifa Abiyyu Fauziyah (1168020278)

Taufiq Rahmat Hidayat (1168020283)

Zihan Nurjanah (1168020312)

Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Dalil Hukum Ijtihad, Ijma, Qiyas, dan Istihsan
beserta contoh-contohnya.

Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak H. Faizal Pikri.,
SS,M.Ag selaku dosen mata kuliah Ilmu Fiqih yang sudah memberikan kepercayaan kepada
kami untuk menyelesaikan tugas ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah pengetahuan
juga wawasan menyangkut efek yang ditimbulkan dari sampah, dan juga cara bagaimana
menciptakan sampah menjadi barang yang dapat bermanfaat.

Kami pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi
para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang
berkenan.

Bandung, 22 Maret 2017


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yangg timbul selalu bisa ditangani dengaan baik
dan pengambilan sumber hukumnya ialah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apabila ada
suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat
ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah
Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-
permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-
Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu munculah
Dalil Ijtihad, Ijma, Qiyas dan Istihsan.

Sumber Hukum Islam ialah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut
juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama
kepada hukum Allah. Tetapi Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan Sunnah
yangg disebut pula sebagai metode dalaam menentukan hukum syari amali.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan tentang Ijtihad, Ijma dan Qiyas sebagai
metode penggalian hukum umat islam. Bahasan dalsam makalah ini berkaitan dengan Dalil
Hukum Ijtihad, Ijma, Qiyas dan Istihsan.
BAB II

PEMBAHASAN

Dalil Hukum Ijtihad, Ijma, dan Qiyas berserta Contoh-contohnya

Ijtihad

Ijitihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum
islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya Ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan
yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya :

Firman Allah SWT


Q.S An-Nisa ayat : 105



.
Artinya :
sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat
menghukumi di antara manusia denga apa yang Allah megetahui kepadamu.

Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.

Artinya :

sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.

1. Adanya keterangan dari sunah, yag membolehkan berijtihad, di antaranya :


Hadis yang diriwayatkan oleh Umar :

.


Artinya :
jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan
bila salah maka ia mendapat satu pahala.

Dan hadist Muadz Jabal ketika Rasulullah SAW. Mengutusnya ke Yaman untuk
menjadi hakim di Yaman.


: : . : :


: . :
: .

.
Artinya :
Rasulullah SAW.bertanya, Dengan apa kami menghukumi? Ia menjawab,
Dengan apa yang ada dalam kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika kamu tidak
mendapatkan dalam kitab Allah? Dia menjawab: Aku memutuskan dengan apa
yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi,jika tidak mendapatkandalam
ketetapan Rasulullah? Berkata Muadz, Aku berijtihad dengan pendapatku.
Rasulullah bersabda, Aku bersyukur kepada Allah yang telah meyepakati utusan
dari Rasulul-Nya.
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad
jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah
Rasul.

Macam macam Ijtihad

Di kalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah Ijtihad. Imam


syafii meyamakan Ijtihad denga qiyas. Yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Imam syafii
tidak mengakui rayu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu,
para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang Ijtihad. Meurut mereka, ijtihad itu
mencakup rayu, qiyas, dan akal. (Dawalibi : 37)

Pemahaman mereka tetang rayu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahbat,
yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-
tidaknya mendekati syariat, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak (Al-Khadry
: 126). Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian,
yang sebagiannya sesuai pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat,yaitu :

a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara dan


nash.
b. Ijtihad Al-Qiyasi,yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad Al-istishlah, yaitu ijitihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan rayu berdasarkan
kaidah istishlah.

Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan


oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan,
di antaranya jami wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua
bagian saja, yaitu :
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal,
tidak menggunaka dalil syara. Mujtahid dibebaskan untuk
berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya,
menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai
penjelasan.
2. Ijtihad syarii, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara, termasuk
dalam pembagian ini adalah ijma, qiyas, istihsan, istishlah, urf,
istishhab.
Syarat-syarat Ijtihad

Uluma ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-
syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum,
pendaat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran, baik
menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafalnya,
melainkan harus mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya
apabila membutuhkan. Imam Ghazali , Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat
hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai dan mengetahui hadist-hadist tentang hukum, baik menurut bahasa
maupun menurut syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan untuk menghafalnya,
melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkan jika ia
membutuhkannya. Ibnu Arabi membatasinya sebayak 3000 hadist. Menurut Ibnu
Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadist Nabi berjumlah sekitar 1200 hadist.
Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadist-hadist hukum
itu tersebar dalam berbagai kitab yag berbeda-beda.

Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang


menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan
kamus hadist. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadist. (Asy-
Syaukani : 221)

Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab


yang sudah mashyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi. (Taftazi, II : 117)

c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan As-Sunnah, disyaratkan harus
menghafalnya. Diantara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan
mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Jafar AniNuhas, Ibnu Jauzi,
Ibnu Hajm.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma ulama, sehingga
ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma, kitab yang bisa dijadikan rujukan di
antaranya Kitab Maratibu al-Ijma (Ibn Hajm)
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-istinbat-nya, karena qitas
merupakan kaidah dakam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Quran dan As-Sunnah
ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaraykan untuk betul-betul
menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui
maksud yang dikandung dari Al-Quran atau Al-Hadist. (Al-Amidi :140)
g. Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut
Fakhru Ar-Razi ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu ushul fiqih.
h. Mengetahui Maqashidu Asy-Syariah (tujuan syariat) secara umum, karena
bagaimanapun syariat itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syariahatau rahasia
disyariatkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan,
maslahah mursalah, urf, san sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syariah
sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu Asy-Syariah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan
menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara, bukan kehendak manusia.
Karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.

Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijitihad adalah setiap hukum syara yang tidak memiliki dalil
yang Qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan
objek ijtihad.
Dengan demikian, syariat islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua
bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telag
dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan dalil-dalil yang qathi,
seperti kewajiban melakukan shalat, zakat, puasa, ibadah, haji atau haramnya
melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya dalam
Al-Quran dan As-Sunnah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT Q.S. An-Nur : 57

....


Artinya :
dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat
ataupun zakat.
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada
dalil-dalil yang zhanni,baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut),
serta hukum-hukum yag belum ada nash-nya dan ijma para ulama.

Apabila ada nash yang keberadaannya masih zhanni, hadist ahad misalnya,
maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash
tersebut, misalnya dengan memakai kaidah am, khas, mutlaq, muqayyad.

Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang


menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang
bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah murasalah. Namun,
permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.

Hukum melakukan Ijtihad

Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad
di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan
ijtihad, yaitu :
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus megamalkan hasil dari
ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum ijtihad
itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini
bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardu ainjika ditanyakan suatu permasalahan yang belum
ada hykumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan
terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis
waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya
yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya maupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yag sudah
ditetapkan secara qathi, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan
dalil syara.

Ijma

a. Pengertian Ijma.

Secara etimologi, Ijma ( ) berarti kesepakatan atau konsensus. Pengertian ini


dijumpai dalam surat Yusuf, 12:15 yaitu:

15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu
mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf:
sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang
mereka tiada ingat lagi.

Pengertian etimologi yang kedua adalah

(ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus,
10:71:

71. dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada
kaumnya: hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat- ayat Allah, maka kepada Allah- lah aku bertawakal, karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- sekutumu (untuk membinasakanku).
Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan
janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.

Pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang
yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk
pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.1

Sedangkam menurut istilah, yang dimaksud dengan ijma adalah:

ss

Artinya: kesamaan pendapat para mujtahid untuk Nabi Muhammad SAW. setelah beliau
wafat, pada suatu masa tertentu, tentang masalah tertentu.

Dari pengertian di atas dapatlah diketahui, bahwa kesepakatan orang- orang yang
bukan mujtahid, sekalipun mereka alim atau kesepakatan orang- orang yang semasa dengan
Nabi tidaklah disebut sebagai ijma

Kesepakatan ulama ini dapat terjadi dengan cara, yaitu:

a. Dengan ucapan (Qauli), yaitu kesepakatan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid
yang diakui sah dalam suatu masalah.
b. Dengan perbuatan (fiil), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan
sesuatu.
c. Dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara mujtahid yang membantah
terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.
b. Rukun dan syarat ijma
Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa rukun ijma itu ada lima, yaitu:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma tersebut adalah
seluruh mujtahid. Apabila ada mujtahid yang tidak setuju, sekalipun
jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum
ijma.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu di awali setelah masing- masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat aktual dan tidak
hukumnya secara rinci dalam Al- Quran.
5. Sandaran hukum ijma tersebut haruslah al- Quran dan Hadits Rasulullah
SAW.

Disamping kelima rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqih, mengemukakan pula
syarat- syarat ijma yaitu:

1. Yang melakukan ijma tersebut ialah orang- orang yang memenuhi


persyaratan ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil ( berpendirian
kuat terhadap agamanya)
3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bidah.
c. Terjadinya Ijma
Terjadinya ijma disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Karena pernah terjadi, dan hal itu diakui secara muttawatir.
Pada masa awal islam, para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga
memungkinkan bagi mereka untuk melakukan ijma dan menetapkan suatu
ketetapan hukum.
Ijma pada Zaman sekarang sangat sulit terjadi, karena jika seluruh mujtahid
umat Muhammad SAW berkumpul, artinya seluruh dunia berkumpul untuk
bersepakat dalam menetapkan suatu ketetapan hukum.
Ijma tidak mungkin terjadi, tidak akan ada dan tidak akan pernah ada, karena
persoalan agama sejak diutusnya nabi hingga kiamat merupakan masalah yang
disepakati.
d. Macam- macam Ijma
Ada beberapa macam Ijma antara lain
Ijmakaula/ ijma sharih, yaitu ijma yang dikeluarkan oleh para mujtahid
secara lisan maupun tulisan yang mengeluarkan persetujuannya atas pendapat
mujtahid lain pada zamannya.
Ijmasukuti/ijmaghairul sharih, yaitu ijma yang dikeluarkan oleh para
mujtahid dengan cara diam, tidak mengeluarkan pendapatanya yang diartikan
setuju atas pendapat mujtahid lainya.

Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma dibagi dalam beberapa
macam:

IjmaUmmah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu
masa tertentu.
IjmaShahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah.
Ijma Ahli Madinah, yaitu kesepakatan ulama- ulama Madinah dalam suatu masalah.
IjmaAhli Kuffah, yaitu kesepakatan ulama- ulama kuffah dalam suatu masalah.
IjmaKhalifah yang Empat, yaitu kesepakatan empat khalifah( Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali)
IjmaSyaikhani, yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab
dalam suatu masalah.
IjmaAhli Bait, yaitu kesepakatan pendapat para ahli bait (keluarga Rasul).
Menurut ulama Hanafiah yang dipandang sebagai ijma yang sebenarnya adala
ijma kauli dan ijma sukuti.sedangkan mujtahid yang dinyatakan benar- benar ijma
hanya ijmasahabat , oleh karena itu, selain ijma sahabat berarti bukan ijma yang
sesungguhnya yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil. Kalaupun disebut ijma,
tidak dapat dijadikan hujjrahsyariyah. Kehujjahan ijma didasarkan kepada dali- dalil
sebagai berikut:
Dalil pertama: surat An- nisa: 115







Artinya: Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengkuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukimin.
Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu. Dan akan kami
masukkan dia ke dalam neraka Jahanam itu seburuk- buruknya tempat kembali.
Dalil kedua: surat Al- Baqarah: 143













Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.

Dalil ketiga: surat Ali- Imran: 103

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

e. Hujjah Ijma
Jumhur ulama ushul fiqih yang mengatakan bahwa ijmamerupakan hujjah yang
qathi dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara adalah:
1. Firman Allah SWT. Dalam surat An- Nisa,4:59:








Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al- Baqarah,2:143;Ali
Imron,3:110; dan al- Syura, 42:10. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah
SAW:

umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (HR. Al Tirmidzi)

Dalam lafadz lain disebutkan:

umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesatuan.

Rasululloh SAW, bersabda:


Golongan umatku senantiasa dalam kebenarannya yang nyata dan mereka tidak akan
mudarat dari orang- orang yang berbeda pendapat dengan mereka.(HR al- Bukhari dan
Muslim).

Sesuai dengan kandungan hadits- hadits diatas, tidak mungkin para mujtahid tersebut
melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat, melalui
para mujtahid mereka maka tidak ada alasan untuk menolaknya.

f. Sebab- sebab dilakukakan Ijma


Karena adanya persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara didalam
nash Al-Quran dan As- Sunnah tidak ditemukan hukumnya.
Karena nash, Al- Quran dan As- Sunnah sudah tidak turun lagi atau sudah berhenti.
Karena pada masa itu mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka dikordinir
untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukum permasalahan yang
timbul.
Diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan jika ada perselisihan pendapat
masih bisa dipersatukan.

Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan,
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya saya mengukur baju dengan hasta,
sedangkan menurut istilah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu
disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Menurut
al-Amidi, qiyas adalah mempersamakan illat yang ada pada furu dengan illat yang ada pada
asal yang diistinbatkan dari hukum asal, yang terakhir menurut Wahbah az- Zuhaili, qiyas
yaitu menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu
yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.

Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang
tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada hukumnya, dalam hukum yang ada
nash-nya karena persamaan keduanya dalam illat hukumnya. Karena qiyas selalu bersendikan
persamaan illat hukum, maka qiyas dapat dilakukan hanya jika illat hukum nash dapat
diketahui dengan akal.

Macam-Macam Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam

a. Dilihat dari kekuatan illat yang terdapat pada furu dibandingkan dengan yang
terdapat pada ashl, terdiri atas:

1. Qiyas Aula, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu lebih kuat daripada hukum
ashl, karena illat yang terdapat pada furu lebih kuat dari yang ada pada ashl. Seperti
meng-qiyaskan perbuatan memukul, kepada kata-kata yang kurang mengenakkan
terhadap Ibu-Bapak karena illatnya menyakiti. Keharaman memukul orang tua lebih
kuat daripada sekedar mengatakan kata-kata yang kurang mengenakan, seperti kata
ah.

2. Qiyas Musaway, yaitu illat yang terdapat pada yang diqiyaskan (furu) sama dengan
illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (asal), karena itu hokum keduanya sama.
Seperti mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena
illatnya sama-sama menghabiskan.

3. Qiyas al-Adna, yaitu illat yang ada pada furu lebih lemah dibandingkan dengan illat
yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya
riba fadhl, karena keduanya mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama jenis
makanan.

b. Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum, terbagi atas:

1. Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan
hukum ashl, atu nash tidak menetapkan illat- nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada
pengaruh perbedaan antar ashl dengan furu.

2. Qiyas al-Khafiy, qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nash.

Contohnya, meng-qiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan


benda tajam dalam memberlakukan hukuman qishas, karena illat-nya sama-sama
pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan.

c. Dilihat dari segi keserasian illat dengan hukum, terbagi atas:

1. Qiyas al-Muatstsir, qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu
ditetapkan melalui nash sharih atau ijma. Contohnya, meng-qiyaskan hak
perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas
hartanya, dengan illat belum dewasa.Illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma.

2. Qiyas al-Mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashl-nya mempunyai hubungan yang
serasi. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan
dengan benda tajam. Illat pada hukum ashl mempunyai hubungan yang serasi.

PengertianQiyas
menurutIsamSyafiIakandiketahuiapabiladitelusuribeberapaketerangannya di tempatterpisah
yang menyangkut AL-Qiyasantaralain :




Al-Qiyas dapat ditinjau dari dua segi. Pertama bahwa suatu peristiwa buru (fara)
sama betul dengan makna asli, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua, bahwa
suatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada paling utama dan lebih
banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para
pelaku qiyas

Al-Qiyas itu adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari suatu (hukum
peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik AL-Quran maupun AL-sunnah
karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib di cari.

Maka ijtihad selamanya hanya boleh dilakukan untuk mencari suatu (hukum suatu
peristiwa). Mencari sesuatu itu hanyalah data ditemukan dengan menggunakan berbagai
argumentasi dan argumentasi itu adalah Al-Qiyas.

Salah satu caranya ialah: Allah dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara
tersurat (sarih eksplisit) atau menghalalkannya karena mana (llah) tertentu, kemudian jumpai
suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam AL-Quran dan Al-Sunnah serupa dengan
makna pada peristiwa yang disebutkan dalam AL-Quran atau Al-sunnah, maka kita tetapkan
hukum halal atau haramnya peristiwa yang tidak disebutkan nash karena ia semakna dengan
makna halal atau haram.

Pengertian Qiyas menurut Imam Syafii banyak mendapatkan dukungan dari ulama
Ushul Fiqh di antaranya :
1. Al-Qadii, Abu Bakaral-Baqillnimendefinisikan Al-Qiyassebagaiberikut:



Memasukkan suatu yang dimaklumi (Far) ke dalam hukum sesuatu yang
dimaklumi (asl) karena adanya illah hukum yang mempersamakannya menurut pandangan
mujtahid.

Sadr Al-SyariahIbnMasudmendefinisikannya:

Mengenakan hokum pada asal kepada Far karena adanya illah yang
mempersekutukannya yang tidak bias diketahui melalui pendekatan literal semata.

DALIL-DALIL ULAMA YANG MENETAPKAN QIYAS


Mustbitul qiyas adalah orang orang yg menetapkan qiyas,berdasarkan pada dalil al
quran dan perkataan Nabi terhadap sahabatnya yaitu :
1. Dalil tentang Al-Quran :
Surat An Nisa ayat 59 :


Hai orang-orang yg beriman taatilah Allah dan taatilah rosulNya dan ulil amri di
antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al quran) dan rosul (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yg demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.

Metode pengambilan dalil dengan ayat diatas ialah karena Allah memerintahkan
kepada kaum yg beriman jika berselisih pendapat dan berlawanan terhadap sesuatu yg tidak
terdapat hukumnya dalam al quran, sunnah dan ijma, agar mengembalikan persoalan
kepada al quran dan sunnah dengan cara bagaimanapun juga. Dengan demikian, tidak
diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian yg tidak ada nashnya lantaran ada kesamaan
illat hukum nash, itu termasuk mengembalikan kejadian yg tidak ada nashnya kepada Allah
dan rosulNya yg mengandung Pengertian taat kepada hukum Allah dan rosulNya.

2. Dalil tentang perkataan Nabi kepada sahabatnya :

:


:

Apa pendapatmu bila engkau berkumur-kumur dengan air, padahal engkau sedang
berpuasa? Sahabat Umar menjawab, Tentu tidak masalah. Mendengar jawaban demikian,
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda, Lalu mengapa
engkau risau ? [Riwayat Ahmad dan lainnya]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Pada hadits ini, Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam mengingatkan bahwa muqadimah (permulaan) suatu hal yang terlarang tidak serta
merta terlarang pula. Ciuman yang merupakan permulaan hubungan badan, tidak serta merta
haram hanya karena hubungan badan bagi orang yang sedang berpuasa itu haram. Demikian
pula dengan memasukkan air ke mulut yang merupakan permulaan dari meminumnya.
Permulaan meminum yaitu berkumur-kumur juga tidak haram.

ISTIHSAN

Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap sesuatu.[6] Pendirian Dewan
Madzalim dipandang baik; artinya, harus dilakukan berdasarkan istihsan. Menarik sekali,
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang
mendengarkan kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18; "Dan turutlah
(pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar:
55

Dasar hukum istihsan

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas
jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada
hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian
Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab
Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak
menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT."[10] Dalam buku Risalah Ushuliyah
karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa
arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk
menentukan arah Ka'bah itu."

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian
istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab
Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu
diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah
perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-
Muwfaqt menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh
berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".

Macam-macam istihsan

Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu
terbagi atas dua macam, yaitu:
Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan
itu.
Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya.
Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu
dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.

Para ulama yang menggunakan Istihsan sebagai dalil syara mengemukakan


argumen, diantaranya:2[5]
a. Menggunakan Istihsan bararti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 185


Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
b. Firman Allah pada QS Az-Zumar: 55



Artinya: Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,
c. Ucapan Abdullah bin Masud
Artinya: sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh
Allah.

Sementara itu, kelompok yang menolak kehujjahan Istihsan mangemukakan dalil,


antara lain:

a. Firman Allah pada QS Al-Maidah: 49







Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
b. Firman Allah pada QS An-Nahl: 44



Yang artinya: dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
c. Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan hokum berdasarkan Istihsan yang dasarnya
adalah nalar murni, melainkan menunggu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah
berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka.
d. Istihsan itu landasannya adalah akal,di mana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak
adalah sama. Jika menggunakan Istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan
hokum baru untuk kepentingannya sendiri.
Dari argumen yang digunakan oleh dua kelompok di atas, dapat dikatakan, pada
hakikatnya perbedaan kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal mendasar. Dengan kata
lain, perbedaan pendapat mereka hanya dari segi penggunaan istilah. Karena, kritik yang
dikemukakan oleh Imam AsSyafiI terhadap Istihsan adalah Istihsan yang semata-mata
didasarkan pada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan pada dalil syara. Padahal
Istihsan menggunakan sandaran yang brupa nash al-Quran atau sunnah atau ijma atau
Mashlahah Mursalah.
Dan pada hakikatnya, Istihsan, dengan segala bentuknya adalah mengalihkan
ketentuan hokum syara kepada hokum syara yang lain yang lebih kuat.
Contoh-contoh Ijtihad, Ijma, Qiyas, dan Istihsan
1. Ijtihad
Contohnya : Peristiwa ini terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, pada
waktu itu sejumlah pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar
cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di
negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci
dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar bin Khattab berijtihad dengan
menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan
dengan tarif yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara
asing, di mana mereka berdagang.
2. Ijma
Contohnya : Sebagai contoh penetapan hukum berdasarkan ijma' ialah pemberian
warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul (bersama-sama) dengan
anak laki-laki, apabila orang yang meninggal meninggalkan seorang anak laki-laki
dan nenek laki-laki. Dalam hal ini seorang nenek ketika tidak ada ayah (ayah
orang yang meninggal) menggantikan ayah dalam menerima warisan seperenam
harta peninggalan. Keputusan tersebut berdasarkan ijma' sahabat.

Demikian pula tersisihnya saudara-saudara yang meninggal, laki-laki atau


perempuan, baik sekandung atau seayah saja, karena adanya ayah. Penetapan ini
juga berdasarkan ijma',. Juga pemesanan barang yang baru akan dibuat (istihsan)
yang seharusnya tidak boleh, karena hal ini berarti membeli barang yang tidak
ada. Akan tetapi keputusan ijma' membolehkan pemesanan tersebut karena
diperlukan.

3. Qiyas
Contohnya : Contoh penggunaan qiyas adalah meminum khamar (arak) adalah
perbuatan yang telah ditetapkan oleh nash, yaitu haram. Berdasarkan Firman
Allah swt dalam Surat Al Maaidah ayat 90 sebab khmar adalah minuman yang
memabukkan. Maka diqiyaskan (disamakan) kepada setiap minuman lain seperti
anggur, wiski, dan brandy. Ketentuan hukum meminum minuman tersebut tidak
jelas, tetapi hukumnya dsamakan dengan minuman khamar, karena anggur, wiski
dan brandy adalah minuman yang memabukkan.

4. Istihsan
Contohnya : Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang
tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan
adalahhak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya.
Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh,
karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak
milik itu.
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu
kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang
yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat
dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan
kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada
jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya
yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan `illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang
atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalil hukum ijtihad adalah dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, akan tetapi
berasal dari akli berkaitan dengan asas-asas agama islam yang terdapat dalam nash
ada beberapa dalil hukum ijtihad, 3 diantaranya yaitu ijma, qiyas, dan istihsan.
Ijma adalah penetapan hukum oleh para mujtahi denga cara bersepakat dengan
mengeluar kan pendapat secara keseluruhan setelah wafat nya rasul saw, tentang
hukum syara ada beberapa macam jenis ijma diantaranya ijma qauli dan ijma sukuti
Qiyas adalah menyamakan suatu yang ada hukum dengan sesuatu yang tidak
memiliki hukum tetapi berdampak sama contoh seperti khomar yang memeabukan
memiliki hukum haram dan menqiyaskan kepada semua minuman yang dapat
memabukan berarti hukumnya haram juga.
Istihsan adalah perpindahan seorang mujtahid dari ketentuan qiyas yang sudah jelas
ke qiyas yang masih samar kejelasanya karena menganggapnya lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003


Suratno, dkk, modul siap Un Kemenag, Semarang, 2011
Syarifuddin. Amir, Ushul Fiqh, Fajar Interpratama, Jakarta,2009
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu ushul fikih, Jakarta : Pustaka Amani, 2003

Anda mungkin juga menyukai