Anda di halaman 1dari 20

IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“USHUL FIQH D”

Dosen Pengampu :
Dr. H. SYAMSUDIN, M.Ag

Tim Penyusun:
1. Wede Amelsadewi Adelia (D71219088)
2. Achmad Yulian Syamsudl D. (D91219090)
3. Alfi Elma Diana (D91219094)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

ٍ‫انحًدهلل زة انعبنًي‬, ‫ميحرلا نمحرلا هللا‬ ‫بسم‬


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi
rahmat, hidayah, ampunan dan karunia-Nya, sehingga kita dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada
junjungan Nabi kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni addinul islam.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Syamsudin, M.Ag. selaku
dosen pengampu mata kuliah “Ushul Fiqh” yang telah memberikan materi dengan
judul “Ijma’ sebagai Dalil Hukum”, karena dengan disusunnya makalah ini kami
dapat mendalami tentang materi yang diberikan. Tak lupa kami sampaikan terima
kasih juga kepada berbagai pihak yang telah menjadi sumber wawasan
pengetahuan kami.
Kami selaku penyusun makalah ini menyadari akan kesalahan baik dalam
penulisan maupun tatanan bahasa, kami dengan senang hati menerima saran dan
kritikan pembaca untuk menyempurnakan makalah kami. Semoga dengan
tersusunnya makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Surabaya, 02 Desember 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................1
C. Tujuan .................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’ .................................................................................3
B. Macam-macam Ijma’ ..........................................................................4
C. Kemungkinan Terjadinya Ijma’..........................................................6
D. Persyaratan Ijma’ ................................................................................9
E. Kedudukan Ijma’ sebagai Sumber Hukum.........................................9
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN .................................................................................... 15
B. SARAN................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu melakukan kegiatan-
kegiatan yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum- hukum seperti
shalat, puasa, jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan
hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama. Untuk
mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah berjihad
untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al- Qur’an dan
hadist agar jelas dan tidak subhat.
Dalam menjalankan syari’at islam, umat islam perlu mengetahui
dalil-dalil yang menjelaskan tentang syari’attersebut. Baik tata cara,
larangan maupun perintah tertulis untuk melakukannya. Al-qur’an dan
Hadits merupakan satu kesatuanyang tidak dapat dipisahkan dalam
menjelaskan syari’at islam. Keduanya merupakan dalil nash yang
kehujjahannya diakui dan disepakati oleh umat islam di seluruh penjuru
dunia sebagai ajaran dasar mereka.
Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal yang pada zaman
rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut,
maka dibutuhkan kesepakatan para ulama (ijma’), masalah yang timbul
dalam masyarakat modern seperti saat ini tidak semua dapat cukup teratasi
dengan kedua dalil tersebut. Perkembangan teknologi dan pola pikir
manusia jugalah yang mempengaruhi munculnya berbagai perkembangan
masalah dalam masyarakat. Dari uraian ini, ijma’ merupakan sumber
hukum alternatif yang dapat diambil kehujjahannya. Lalu bagaimana ijma’
itu sendiri kami akan membahasnya secara terperinci.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijma’?
2. Apa saja macam-macam ijma’?

1
3. Bagaimana kemungkinan terjadinya ijma’?
4. Apa saja syarat-syarat ijma’?
5. Bagaimana kedudukan dan fungsi ijma’ sebagai dalil hukum?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ijma’
2. Untuk mengetahui macam-macam ijma’
3. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya ijma’
4. Untuk mengetahui syarat-syarat ijma
5. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijma’ sebagai dalil hukum

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’ dapat dibagi menjadi dua arti1, yakni:
a. Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Yunus
ayat 71 :
‫ت‬ ِ ‫بيي َٔج َ ْر ِك‬
ِ ‫يس ِثآَيَب‬ ِ َ‫عهَ ْي ُك ْى َيق‬َ ‫عهَ ْي ِٓ ْى ََ َجؤ َ َُٕحٍ ِإ ْذ قَب َل ِنقَ ْٕ ِي ِّ يَب قَ ْٕ ِو ِإ ٌْ َكبٌَ َكج َُس‬
َ ‫َٔاجْ ُم‬
‫غ هًةً ث ُ هى‬
ُ ‫عهَ ْي ُك ْى‬ ُ َٔ ‫َّللاِ ج ََٕ هك ْهثُ فَؤَجْ ًِعُٕا أ َ ْي َس ُك ْى‬
َ ‫ش َس َكب َء ُك ْى ث ُ هى ََل َي ُك ٍْ أ َ ْي ُس ُك ْى‬ ‫َّللاِ فَ َعهَٗ ه‬
‫ه‬
ُ ‫ا ْق‬
‫ضٕا ِإنَ ه‬
ٌٔ‫ي َٔ ََل ج ُ ُْ ِظ ُس‬
Artinya : “dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di
waktu dia berkata kepada kaumnya, “hai kaumku, jika
terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat-ayat allah, maka kepada allah-lah
aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian itu dirahasiakan. Lalu
lakukanlah terhadap diriku dan janganlah kamu member
tangguh kepadaku.”
b. Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’
bila mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman allah
dalam Q.S. Yusuf ayat 15 :
‫غيَبثَ ِة ْانجُتّ ِ َٔأ َ ْٔ َح ْيَُب ِإنَ ْي ِّ نَحَُُ ِجّئَُه ُٓ ْى ثِؤ َ ْي ِس ِْ ْى‬
َ ‫فَهَ هًب ذَ َْجُٕا ثِ ِّ َٔأَجْ ًَعُٕا أ َ ٌْ يَجْ عَهُُِٕ فِي‬
ٌٔ‫َْرَا َٔ ُْ ْى ََل يَ ْشعُ ُس‬
Artinya : “maka tatkala mereka membawanya dan sepakat
memasukkanya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan
dia), dan dia (di waktu dia sudah ada di dalam sumur)
kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi.”
Adapun secara terminology, Para Ulama ushul berbeda pendapat
dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya :

1
Rahmat Syafe’i, “Ilmu Ushul Fiqih” (Bandung : Pustaka Setia, 2010) 68.

3
a. Pengarang Kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah
kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW.
dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara.
b. Pengarang Kitab Tahrir, al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa
ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad
SAW. Terhadap masalah syara’.
Dari definisi diatas pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan
antara para ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas suatu masalah
didalam kehidupan dalam masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam
Al-quran dan as-sunnah. Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan
diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para
mujtahid pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau
dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.
b. Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan
kesepakatannya. Jika ada seorang saja yang tidak menyetujuinya maka
tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila pada suatu masa hanya ada seorang
mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi
kesepakatan.
c. Ijma’ hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’
dan harus berdasarkan pada Al – Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak
sah jika didasarkan pada yang lainnya.2

B. Macam-macam Ijma’
Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai
berikut :
a. Ijma’ Qhat’i
Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan),
yaitu ijma shorikh, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan

2
Abdul Wahhab Khallaf, “kaidah-Kaidah Hukum Islam” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000), 73.

4
dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu
kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai
kejadian itu. Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat
mereka masing-masing kemudian menyepakati salah satunya. Hal ini
bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian
masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin
diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah
satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang
diketahui oleh para mujtahid, tetapi mereka diam, tidak menyepakati
ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma’ Sukuti dikatakan sah apabila memenuhi beberapa kriteria
di bawah ini :
1) Diamnya para mujtahid benar-benar tidak menunjukkan
kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang
menunjukkan adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian
mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’ sukuti melainkan ijma’
sharih.
2) Keadaan diamnya mujtahid itu cukup lama yang bisa dipakai
untuk memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang
cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
3) Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah
permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat
dhanni
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara
lain sebagai berikut :
a. Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu
masalah pada masa tertentu.

5
b. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama
madinah terhadap sesuatu urusan hukum.
c. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam
suatu masalah.
d. Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu : Persesuaian paham khalifah yang
empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa atas suatu
hokum.3
e. Ijma’ Ahlul Bait (Keluarga Nabi), yaitu kesepakatan keluarga Nabi
dalam suatu masalah.

C. Kemungkinan Terjadinya Ijma’


Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, beliau merupakan sumber
hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari
hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah
disabdakan oleh Rasulullah Saw. Jika mereka tidak menemukannya dalam
kedua sumber itu, maka mereka langsung menanyakannya kepada
Rasulullah. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin
kehilangan tempat bertanya, akan tetapi mereka telah memiliki pegangan
yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits.
Jadi, ijma' itu kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama
Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin
masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum
muslimin sendiri, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih
mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai
mujtahid.4
Adapun ijma’ sesudah masa sahabat para ulama berbeda pendapat
tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya.
Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sebagian
3
Totok Jumantoro, “Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh” (Jakarta:Bumi Aksara 2009), 106.
4
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih: Multazim At-Thabiu Wan Nusyur, (Beirut: Darul Fikri Al-
Arabi, 2002), 212.

6
ulama diantaranya Al-Nazham dan sebagian pengikut Syiah berpendapat
bahwa ketententuan di atas tidak munagkin terjadi ijma’ secara penuh.
Alasannya:
1. Tidak ada suatu ukuran yang pasti untuk mengetahui dan menetapkan
apakah seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang
menyebabka ia patut disebut mujtahid. Karena secara formal tidak ada
lembaga yang menghasilkan mujtahid.
2. Walaupun ada pendidikan untuk menyatakan seorang telah mencapai
derajat mujtahid, namun untuk dapat menghimpun pendapat mereka
semua mengenai suatu masalah memerlukan suatu hukum secara
meyakinkan atau dengan dengan yakin adalah tidak mungkin karena
mereka berada dalam lokasi yang berjauhan.
3. Tidak ada jaminan bahwa setiap mujtahid yang telah mengungkapkan
pendapatnya tentang hukum suatu masalah tetap dalam pendiriannya,
karena syarat melangsungkan ijma’ itu ialah kesepakatan itu berlaku
dalam suatu masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang
memerlukan ijma’.
4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal
adalah susatau yang sangat sulit terjadi, karena hakikat ijma’ itu
adalah kebulatan pendapat dalam kesepakatan.
5. Ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun
yang dzanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan
lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila
didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan
berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan
pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai
berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.
Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ijma’ (secara universal)
tidak mungkin terbentuk jika persoalannya diserahkan kepada perorangan.
Akan tetapi Ijma’ bisa dilaksanakan dengan dipimpin oleh pemerintahan
masing-masing negara Islam. Yaitu dengan cara; setiap pemerintah

7
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang untuk sampai
pada tingkat mujtahid. Kemudian mereka diberi kewenangan untuk
berijtihad. Apabila pemerintah telah mengetahui pendapat para
mujtahidnya serta ada kesepakatan dari seluruh pemerintahan dunia Islam,
maka inilah ijma’. Dan dengan adanya ijma’ yang seperti ini maka seluruh
kaum muslimin wajib mengikuti.5
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan
kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan
tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah
ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati seperti
kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenam dari
harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan
penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainya, seperti Imam Ahmad Bin Hanbal
mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum
suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid
yang tidak setuju. Oleh sebab itu, menurutnya, sangat sulit untuk
mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada
orang yang bertanya apakah ijma’ itu ada secara aktual terjadi, menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, jawaban yang paling tepat adalah “kami tidak
mengetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hubungan ini.”
Adapun pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak
mungkin mengumpulkan seluruh ulam pada satu tempat. Zakiyuddin
Sya’ban mengatakan bahwa “apabila didapati dalam kitab-kitab fiqh
ungkapan ijma’, maka yang mereka maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti
dan ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang
didefinisikan para ahli ushul fiqh.”6

5
Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih”, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 49.
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 117.

8
D. Syarat-syarat Ijma’
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam kitab “Ushul al - Fiqh al –
Islami” juz 1, syarat-syarat ijma’ antara lain:7
1. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad,
2. Kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian
kuat terhadap agamanya),
3. Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat ini disepakati oleh
seluruh ulama.
Menurut ulama ushul fiqh rukun ijma’ terdiri atas:8
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ adalah
seluruh mujtahid,
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh
mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia
Islam,
3. Kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah mereka
mengemukan pandangannya,
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual
dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an ataupun dalam hadits
Rasulullah SAW.

E. Kedudukan dan Fungsi Ijma’ Sebagai Dalil Hukum


Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah sesuatu
yang biasa terjadi termasuk dalam soal ijma apakah dapat dipandang
sebagai dalil syar’i atau tidak. Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa ijma sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus
mempunyai landasan. Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma
7
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al -Fiqh al – Islami Juz 1 (Al Maktabah al- As’ad, 2006), 512.
8
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet. 1, Jilid 2 (Jakarta: Ictiar Baru
Van Hove, 1996), 666.

9
menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al Quran dan
Sunnah.9
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang
qathi. Jika sudah terjadi ijma (kesepakatan) diantara para mujtahid
terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam
wajib menaati dan mengamalkannya.
Ini berarti bahwa ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan
wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al
Quran dan Sunnah. Untuk menguatkan pendapat ini, Jumhur Ulama
mengemukakan beberapa ayat dan hadits Nabi diantaranya QS. An Nisa
(4) ayat 115.
ْ ََُٔ ٰٗ ‫سجِي ِم ْان ًُؤْ ِيُِيٍَ َُ َٕ ِنّ ِّ َيب ج ََٕنه‬
ِّ ‫ص ِه‬ َ ‫سٕ َل ِي ٍْ ثَ ْع ِد َيب جَجَيهٍَ نَُّ ْان ُٓدَ ٰٖ َٔيَحهجِ ْع َغي َْس‬ُ ‫انس‬
‫ق ه‬ ِ ِ‫َٔ َي ٍْ يُشَبق‬
‫يسا‬
ً ‫ص‬ ْ ‫سب َء‬
ِ ‫ت َي‬ َ َٔ ۖ ‫َج َُٓه َى‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.”

Alasan jumhur ulama’ ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah


yang qathi’ sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut:
َ ‫س ْٕ َل َٔأُ ِنٗ ْاَلَ ْي ِس ِي ُْ ُك ْۚ ْى فَب ٌِْ جََُبشَ ْعح ُ ْى فِ ْي‬
َٗ‫ش ْيءٍ فَ ُسد ُُِّْٔ اِن‬ ‫َّللاَ َٔا َ ِط ْيعُٕا ه‬
ُ ‫انس‬ ‫ٰ ٰٓيبَيُّ َٓب انه ِريٍَْ ٰا َيُُ ْٰٕٓا ا َ ِط ْيعُٕا ه‬
ࣖ‫سٍُ ج َؤ ْ ِٔي ًْل‬ َ ْ‫اَل ِخ ِۗ ِس ٰذنِكَ َخي ٌْس هٔاَح‬
ٰ ْ ‫بّٰلل َٔ ْان َي ْٕ ِو‬
ِ ‫س ْٕ ِل ا ٌِْ ُك ُْح ُ ْى جُؤْ ِيُُ ٌَْٕ ِث ه‬
ُ ‫انس‬
‫َّللاِ َٔ ه‬
‫ه‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mentaati ulil amri sesudah mentaati Allah dan Rasul berarti
untuk mematuhi ijma, karena ulil amri berarti orang yang mengurus
kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam

9
Shubhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-islam, Penj. Ahmad Sujono, (Bandung: PT Al-
Ma’arif, 1981), 122-124.

10
hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama salah satunya adalah bila
mereka sepakat tentang sesuatu hukum dan inilah yang disebut ijma’.10
Firman Allh Swt diperkuat oleh Hadits Riwayat Tirmidzi, Daud dan
Ahmad Bin Hambal
َ َٗ‫ِإ هٌ أ ُ هيحِٗ ََل جَجْ ح ًَِ ُع َعه‬
‫ضلَ َن ٍة‬
“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.”
Hadits di atas menurut Abdul Wahab Khalaf menunjukkan bahwa
suatu hukum yang disepakati oleh seluruh ulama mujtahid sebenarnya
merupakan hukum bagi umat Islam seluruhnya diperankan oleh para
mujtahid. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits di atas tidak
mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid ini,
maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua
macam yaitu:
1. Ijma' Shorih,
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum
suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara
jelas dengan sistem fatwa atau qodho' (memberi putusan). Artinya
setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang
mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya. Ijma' ini termasuk
katagori haqiqi, ijma' yang dijadikan hujah syar'iyah menurut
madzhab jumhur.
2. Ijma' Sukuti,
Yaitu sebahagian mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya
secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa atau
qodho', sedang sebahagian mujtahid tidak memberikan tanggapan
terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokannya atau
perbedaannya. Ijma' mi termasuk pada katagori ijma' i'tibari (dianggap
ada ijma'), karena seorang mujtahid yang diam belum tentu setuju.

10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, Toha putra Group, 1994), 60.

11
Oleh karenanya kehujjahannya dipertentangkan, ia hanya pendapat
sebagian mujtahid. Sedang ulama Hanafiyah menilai ijma' sukuti
adalah sebagai hujjah. Diam menurut Hanafiyah berarti setuju.
Sedangkan Khalaf menyatakan, bahwa pendapat yang saya anggap
utama adalah pendapat jumhur.

Sedangkan ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi kepada dua,
yaitu:
1. Ijma' yang qoth'i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan), yaitu
ijma' shorih, dengan artian bahwa hukumnya telah dipastikan, dan
tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu
kejadian setelah terjadinya ijma' shorih atas hukum syara'
mengenai kejadian itu.
2. ijma' yang dhonni dalalahnya atas hukum ( yang dihasilakan ),
yaitu ijma' sukuti, dengan artian bahwa hukum itu didugakan
menurut dugaan yang kuat, dan tidak bisa dilepas bila kejadian itu
terlepas dari usaha ijtihad. Karena ia adalah hasil pencerminan
pendapat jama'ah mujtahidin yang bukan keseluruhan.
Berdasarkan uraian di atas, menurut golongan Hanafiyah kedua
macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Sedangkan menurut
imam Syafe'i hanya ijma' shorih saja yang disebut ijma' sebenarnya.
Mengenai kedudukan hukum orang yang mengingkari hukum hasil ijma',
menurut sebagian ulama, bahwa mengingkari hasil ijma' shorih adalah
kufur. Misalnya mengingkari ijma' sahabat. Hal ini disebabkan karena
ijma' para sahabat terhadap hukum-hukum syar'i telah ditetapkan secara
mutawatir. Dengan demikian sanad dari ijma' ini adalah qoth'i,
sebagaimana hukum yang disepakati juga bersifat qoth'i.
Imam Fakhrurrozi dan mayoritas fuqoha berkata: ljma' yang
diriwayatkan secara perseorangan (ahad) tidak dapat dijadikan hujjah.
Sebagai alasan, faktor yang menyebabkan ijma' dapat dijadikan hujjah

12
adalah terletak pada sifatnya yang qoth'i, yaitu bahwa ijma' tersebut
disandarkan pada para ulama yang membentuknya. Jika ijma' di atas telah
kehilangan sifatnya yang qoth'i, lantaran diriwayatkan oleh perseorangan
(ahad) sehingga sanadnya menjadi dzonni, maka ia telah kehilangan
fungsinya. Dengan demikian hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma'
tergantung pada nash yang dijadikan landasan oleh ijma' tersebut.
Oleh karena itu, mengingkari ijma' berati mengingkari dalil qoth'i
dan selanjutnya mengandung pengertian mengingkari kebenaran
Rasulullah Saw, yang demikian itu adalah kufur. Sebagian ulama yang lain
berpendapat, bahwa mengingkari hukum ijma' itu tidaklah kufur, karena
dalil kehujjahan ijma' adalah dalil dzonni bukan qoth'i. Kiranya yang kuat
adalah apa yang dikatakan oleh Muhammad Khudhari Beyk. Mengatakan
kafir secara mutlak kepada orang yang mengingkari hukum hasil ijma'
adalah tidak betul. Imam Haramain berkata: Telah masyhur di kalangan
ulama fiqih bahwa orang yang mengingkari hukum hasil ijma' itu kafir, hal
itu pasti tidak benar. Karena mengingkari kehujjahan ijma' saja tidak kafir,
mengatakan seseorang itu kafir atau bukan tidak mudah.
Adapun mengingkari hukum hasil ijma' dhonni, para ulama
sependapat bahwa hal itu tidak sampai mengakibatkan seseorang menjadi
kafir. Ijma' tidak dipandang sah kecuali apabila ada sandarannya, sebab
ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Fatwa ulama atau
keputusan hukum berdasarkan ijma' tanpa sandaran adalah keliru. Ijma
memiliki rukun dan masih mungkin untuk dilakukan jika terdapat
beberapa faktor pendukung. Namun demikian umumnya sulit untuk
diwujudkan, kecuali ijma' sahabat yang para fuqoha tidak meragukannya
lagi. Adapun hukum orang yang mengingkari ijma' terdapat dua pendapat,
yaitu sebagian mengkafirkan dan sebagian lagi tidak menganggap kafir.
Hal ini tergantung daripada kualitas ijma' itu sendiri.
Dengan demikian pada prinsipnya kedudukan ijma sangat
dibutuhkan oleh umat Islam mengingat banyaknya persoalan-persoalan

13
umat yang perlu ditetapkan oleh mujtahid terutama hal-hal yang terkait
dengan bidang muamalah diantaranya masalah ekonomi.11

11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, 120.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijma’ merupakan suatu kesepakatan antara para ulama-ulama atau
mujtahid untuk membahas suatu masalah di dalam kehidupan yang mana
menyangkut masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam Al-Quran dan
as-sunnah. Pembagian ijma’ ada dua, dari segi cara dan dari segi waktu dan
tempat. Ijma’ jika dilihat dari caranya terbagi menjadi ijma’ qoth’iy dan ijma’
sukuti, sedangkan dari segi waktu dan tempat terbagi menjadi lima, antara
lain: ijma’ Ijma’ Sahaby, Ijma’ Ahli Madinah, Ijma’ Ulama Kuffah, Ijma’
Khulafaur Rasyidin, dan Ijma’ Ahlul Bait.
Ijma' kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah
Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah
Utsman. Adapun ijma’ sesudah masa sahabat para ulama berbeda pendapat
tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Adapun
pada masa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin
mengumpulkan seluruh ulama’ pada satu tempat.
Syarat ijma’ terdiri dari 3, yaitu: Yang melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, yang kedua kesepakatan itu
muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya), dan yang terakhir mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat
tersebut telah disepakati oleh seluruh ulama.
Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah sesuatu yang
biasa terjadi termasuk dalam soal ijma apakah dapat dipandang sebagai dalil
syar’i atau tidak. Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan
bahwa ijma sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu
kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus mempunyai landasan.

15
B. Saran
Demikian penjelasan makalah mengenai konsep akhlak. Penulis sangat
mengarapkan kritik dan saran dari para pembaca, karena makalah ini juga
belum sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz (ed). Ensiklopedi Huukm Islam, Cet. 1, Jilid 2, Jakarta:
Ictiar Baru Van Hove, 1996.

Jumantoro, Totok. Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, Jakarta: Bumi Aksara
2009.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Usul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Khallaf, Abdul Wahhab. kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2000.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, Toha putra
Group, 1994.

Mahmashani, Shubhi. Falsafah al-Tasyri’ fi al-islam, Penj. Ahmad Sujono,


Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981.

Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih: Multazim At-Thabiu Wan Nusyur, Beirut:
Darul Fikri Al-Arabi, 2002.

Zuhaili, Wahbah al. Ushul al -Fiqh al – Islami Juz 1, Al Maktabah al- As’ad,
2006.

17

Anda mungkin juga menyukai