Disusun Oleh :
Zainal Wahyudi
NIM : 220204210022
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesehatan dan
kelancaran kami dalam penyusunan makalah studi Al-Qur‟an. Salawat dan salam
kepada Rasulullah, baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita
dengan wahyu-wahyu Al-Qur‟an yang diturunkan Allah kepada Beliau. Makalah
ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Studi Al-Qur‟an. Semoga bisa
bermanfaat sebagai salah satu sumber wawasan Al-Qur‟an bagi kita, khususnya
teman-teman kita di Prodi Studi Ilmu Agama Islam (SIAI) tercinta. Terimakasih
kami ucapkan kepada semua pihak yang telah memberi dorongan, saran- saran,
editing, doa-doa, diskusi, dan motivasi serta membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan makalah ini terkhusus
bapak Dr. NASRULLOH M.Th.I selaku dosen pengampu mata kuliah ini, yang
telah memberi arahan dalam perkuliahan.
Demi kemaslahatan bersama, kritik dan saran yang membangun senantiasa
kami terima dan harapkan untuk menjadi lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover .............................................................................................................. i
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................ iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Muhsin Mahfudz, “Implikasi Pemahaman Tafsir al-Qur’an Terhadap Sikap Keberagamaan”. Jurnal Tafsere,
Vol.4, no.2 (2016): 145.
2
https://youtu.be/CVPVMFL50MA, lihat pada menit ke-dua, diakses pada Rabu, 25 September 2019.
1
mempersyaratkan penguasaan terhadap keilmuan tertentu secara ilmiah.
Sedangkan Tadabbur syaratnya sederhana yakni hanya cukup membuat pelakunya
bisa lebih beriman, lebih dekat dengan Allah dan lebih baik pribadinya. Oleh
karena itu tafsir hanya berlaku untuk kalangan tertentu dan Tadabbur berlaku
untuk semua kalangan, baik ia bisa membaca al-Qur‟an dengan fasih atau tidak,
ataupun cuma mengerti terjemahannya saja itu tidak masalah. 3 Hal ini yang
membuat penulis memilih untuk mengkaji Tadabbur dalam al-Qur‟an.
Setelah melakukan penelusuran dalam al-Qur‟an, penulis menemukan
bahwa ayat yang secara jelas menunjukkan perintah atau himbauan bukanlah pada
tafsir, melainkan Tadabbur. Selain itu, perbandingan jumlah penyebutanya dalam
al-Qur‟an pun berbeda, tafsir hanya disebutkan satu kali.4 Sedangkan Tadabbur
disebutkan sebanyak 44 kali dengan 15 derivasi, dan derivasi yang menunjukan
arti perintah atau himbauan Tadabbur disebutkan sebanyak 4 kali. 5 Harusnya
dengan jumlah penyebutan yang lebih banyak dalam al-Qur‟an, Tadabbur
memiliki peran penting dalam sistem al-Qur‟an dan patut mendapat perhatian
lebih.
Dari penjelasan di atas, dan sebagai titik awal dalam pemahaman yang
mendalam tentang tadabbur Al-Qur‟an, perlu pendiskripsian ayat-ayat tantang
tadabbur. Untuk itu, dari tema “Tadabbur Al-Qur‟an dalam Al-Qur‟an” kami
mengangkat makalah ini dengan judul “Deskripsi Ayat-Ayat tentang Tadabbur
Al-Qur’an”
3
https://youtu.be/CVPVMFL50MA, lihat pada menit pertama, diakses pada Rabu, 25 September 2019.
4
Muhammad Fuād Abdu al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur’ān, (Mesir, Dār al-Kutub al-
Miṣriyah, 1947) 519;
5
Ibid. 252-253
2
BAB II
PENGERTIAN TADABBUR
Kitab “Hidayat al-Azkiya Ila Thariq al-Auliya”, karya Zainuddin bin Ali,
yang disyarahkan oleh Sayyid Abu Bakar dalam kitabnya “Kifayat al-Atqiya”
bahwa diantara obat jiwa itu adalah, “تالوة " انًعنى بتدبزmaksudnya membaca
Al-Qur‟an dengan memikirkan maknanya. Tadabbur artinya: memikirkan,
memahami, mempertimbangkan, merenung, memperhatikan dan seterusnya. 6
Menurut Asy-Syaikh Sholeh Fauzan, tadabbur adalah:
ّت و َ ْس َخ ِف ْيدَْ ِمْنْ َا امْيِدَ اي ََْة َوو َ ْس َخ ِف ْيدَْ ِمْنْ َا
ْ َّ ْس ِارىَا َْو َأ ْخ َب ِارىَا َحَ ْ َأ ْْن ه َ َخ َفكَّ َْر ِ ْف َم َعا ِىْيْ َا َْو َم ْدمُ ْو َالِتِ َا َْو َأ
ال َْو ِْ ف َما هَأْ ِ ْت َو َما ه ْ َُْتكَْ ِم َْن ْا َأل ْ َْع ْ َ م َُْل َوه َ ْع ِر ِ َ ال َو ِع َبا َدثَ ُْو َو ْحدَ ُْه َْال
َْ َْشْي ْ َ للا ُس ْب َحاه َ ُْو َْو ثَ َع
ِْ خ َْش َي َْة
ِْ ال َْو امْ ُم َعا َم َال
َْ ِ ت َوغَ ْ َْي َذ
ل ِْ ْا َأل ْك َو
Artinya: Kita memikirkan makna ayat-ayat Al-Qu’ran, apa yang ditunjukkannya,
rahasia serta berita yang terdapat dari ayat-ayat tersebut, sehingga kita
dapat mendapatkan manfaat berupa hidayah, rasa takut kepada Allah,
dan ibadah kepada Nya, dan kita tahu apa yang harus kita lakukan dan
apa yang kita tinggalkan dari perbuatan, perkataan, interaksi sosial, dan
yang lainnya.
6
Husin Naparin, Nalar Al-Qur’an, (Jakarta selatan: el-kahfi, 2004,), h. 54
3
antara kalimat-kalimat di dalam Al-Qur’an, maupun yang
7
menghubungkan antara surat-surat di dalam Al-Qur’an.
Memahami Al-Qur‟an adalah memahami hingga jelas makna yang
dikandung oleh setiap ayat. Sebab, ayat-ayat Al-Qur‟an mengandung penyebutan
sifat-sifat Allah Yang Maha Perkasa san Maha Agung, perbuatan-perbuatanNya,
dan menyebutkan karakteristik dan keadaan para nabi, disamping menyebutkan
karakteristik dan keadaan orang-orang yang mendustakan para nabi itu
dihacurkan. Al-Qur‟an juga mengungkapkan perintah Allah dan laranganNya,
disamping menyebutkan surga dan neraka. (Lihat Ihya „Ulum Ad-Din) karangan
Imam Al-Ghazali).8
Dalam mencari arti etimologi kosa kata bahasa arab selalu merujuk pada
bentuk wazan yang paling dasar yakni wazan fa’ala. Maka Tadabbur asalnya
adalah dabara, terbentuk dari gabungan tiga huruf asal yakni da - ba - ra ()ﺩبر
7
http://mahadulilmi.wordpress.com/2012/09/12/definisi-tadabbur-al-quran/
8
Abdul Halim Mahmud, Bacalah Dengan Nama Tuhanmu, (Jakarta: Lentera, 1997), h. 73-74
9
Ibn Manḍur, Lisān al-Arab, Jilid IV (Beirut: Dār Shādir), 268
10
Ibid. 273
11
https://kbbi.web.id/tadabur, diakses pada 01 Agustus 2019
12
Ma’shum bin Ali, al- Amṡilatu at-Tashrifiyah (Maktabah as-Syaikh Salim bin Sa’ad, 1965), 14.
4
pekerjaan untuk menghasilkan, maksudnya adalah melakukan sesuatu dengan
susah payah, sehingga mendapatkan hasil setelah adanya mujahadah (usaha
keras). Dapat disimpulkan bahwa Tadabbur adalah mengerahkan usaha untuk
melihat, memahami, merenungi sesuatu, bahkan sampai pada akhir atau sisi
terjauh.
5
BAB III
DESKRIPSI AYAT-AYAT TENTANG TADABBUR
Pada bab ini, kita akan membahas tentang penafsiran ayat tentang
Tadabbur. Posisi bab ketiga adalah lanjutan dari bab kedua. Setelah memahami
memahami makna Tadabbur. Kita akan melangkah pada deskripsi ayat tentang
tadabbur.
j. ُِّرات
َ الْمبَد disebutkan sebanyak 1 kali.
13
Muḥammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Muʻjam al-Mufahrās Il al-fāẓ al-Qur′ān al- Karīm (Mesir: Dār al-Hadist,
1364 H), 252-253
6
NO KATA SURAT-AYAT TURUN
Ali Imrān (3):111 Madaniyyah
Al-Anfāl (8): 15 Madaniyyah
Al-Ahzab (33): 15 Madaniyyah
اَ ْدبَار
Al-Fatḥ (48): 22 Madaniyyah
Qaf (50): 40 Makiyyah
Al-Hasyr (59): 12 Madaniyyah
1
ُاَ ْدبَُارك ْم Al-Maidah (5): 21 Madaniyyah
اَ ْدبَ ُارَىا Al-Nisā‟ (4) 47 Madaniyyah
Al-Anfāl (8): 50 Madaniyyah
Al-Hijr (15): 65 Makiyyah
ُاَ ْدبَ َُارى ْم
Al-Isra‟ (17): 46 Makiyyah
Muhammad (47): 25 Madaniyyah
Al-Taubah (9): 25 Madaniyyah
Al-Anbiyā‟ (21): 57 Makiyyah
Al-Naml (27): 80 Makiyyah
2 ُمُ ُْدبُُريْ َن
Al-Rum (30): 52 Makiyyah
Al-Ṣaffāt (37): 90 Makiyyah
Gāfir (40): 33 Makiyyah
Yūsuf (12): 25 Makiyyah
Yūsuf (12): 27 Makiyyah
دبر
3 Yūsuf (12): 28 Makiyyah
Al-Qamar (54): 45 Madaniyyah
دبَُرُه Al-Anfāl (8): 16 Madaniyyah
Yunūs (10): 3 Makiyyah
Yunūs (10): 31 Makiyyah
4 ُي َدبِّر
Al-Ra‟d (13): 2 Madaniyyah
As-Sajdah (32): 5 Makiyyah
Al-Ma‟ārij (70): 17 Makiyyah
Al-Mudaṣṣir (74): 23 Makiyyah
5 ُاَ ْدبَ َر
Al-Mudaṣṣir (74): 33 Makiyyah
Al-Nāzi‟āt (79): 22 Makiyyah
7
NO KATA SURAT-AYAT TURUN
Al-An‟ām (6): 45 Makiyyah
Al-A‟rāf (7): 72 Makiyyah
6 َدابر
Al-Anfāl (8): 7 Madaniyyah
Al-Hijr (15): 66 Makiyyah
Al-Nisā‟(4): 82 Madaniyyah
7 ُيَُُتَ َدبِّ ُرْو َن
Muhammad (47): 24 Madaniyyah
Al-Mu‟minūn (23): 68 Makiyyah
8 ُْيَدُبُ ُرْوُا
Ṣad (38): 29 Makiyyah
Al-Naml (27): 10 Makiyyah
9 مُ ُْدبُُرا
Al-Qoṣaṣ (28): 31 Makiyyah
10 ُِّرات
َ الْمبَد Al-Nāzi‟āt (79): 5 Makiyyah
11 َُ َإ ْدب
ار Al-Ṭūr (52): 49 Makiyyah
Tabel 3.1 : Ayat-ayat Tentang Tadabbur.
Melalui tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara tempat turun, ayat-
ayat yang menyinggung tentang derivasi kata Tadabbur lebih dominan pada
periode Mekkah dari pada periode Madinah. Terdapat 27 ayat pada periode
Makiyyah dan 17 ayat periode Madaniyyah. Sedangkan ayat yang secara jelas
menyebutkan kata Tadabbur yakni yang berasal dari bentuk wazan tafa’ala
terdapat 4 ayat yang mana dua ayat yang pertama adalah Makiyyah dan dua
ayat yang kedua adalah Madaniyyah.
8
dari tiga huruf asal yaitu da - ba - ra di dalam al-Qur‟an menunjukkan
setidaknya enam macam makna, yakni:14
14
Husain Ibn Muhammad, Qamus al-Qur'an (Beirut: Dār al-Ilmi al-Malayin,1983), 171-172.
9
mundur ke belakang, sebagaimana juga terdapat pada surat Al-Qamar
(54): 45 ;
- Pada QS. al-Ahzab (33): 15, hanya orang munafik yang mundur ke
belakang saat menghadapi serangan dari orang kafir.15
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 10 (Ciputat: Lentera Hati, 2009), 432.
10
ّٰ ارۗوَكا َنُعهد
ُُاللوُُ َم ْس ْوْل ّٰ ولَ َق ْدُ َكان واُعاىدو
ْ اُالل َوُم ْنُقَُْبل َُْلُي َولُّ ْو َن
ْ َ َ َُ َُاْلَ ْدب ََ ْ َ
“Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah, tidak
akan berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian dengan Allah
akan diminta pertanggungjawabannya.”
Quraish Shihab memberikan keterangan pada maksud berpalingya
orang kafir yakni mereka enggan menerima kebenaran al-Quran sebab
pada diri mereka terdapat keburukan hati serta sikap dengki dan ingin
mempertahankan keistimewaan yang mereka nikmati. Untuk
mendengar saja mereka enggan apalagi menarik manfaat dari al-
Qur‟an. Sesungguhnya telinga mereka telah tersumbat oleh hawa
nafsu. Padahal masyarakat Arab waktu itu tidak pandai membaca
sehingga alat/indra untuk menangkap pesan-pesan adalah
pendengaran.16
- Pada QS. Al-Isra‟ (17): 46 dijelaskan alasan mengapa orang kafir
berpaling dari kebenaran al-Qur‟an.
ُك ُِف ُالْق ْراّٰن ُْ ُع ّٰلى ُق ل ْوِب ْم ُاَكنة ُاَ ْن ُي ْف َقه ْوه َُو
َ ف ُاّٰذَاِن ْم َُوقْ راۗ ُ َوا َذا ُذَ َك ْر
َ ت َُرب َ و َج َعلْنَا
ُاُع ّٰلىُاَ ْدبَارى ْمُن ف ْورا
َ َو ْح َدهُُ َول ْو
“Dan Kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga mereka
tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila
engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur'an, mereka berpaling
ke belakang melarikan diri (karena benci).”
- Pada QS. Al-Anfāl (8): 15 Allah memerintah kepada orang mukmin
untuk tidak mundur ke belakang (menyerah) saat menghadapi
serangan dari orang kafir.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 7 (Ciputat: Lentera Hati, 2009), 112.
11
Kemudian pada 3 ayat yang bersanding dengan lafad َر َّدyang
terdapat pada QS. Al-Maidah (5): 21, QS. Al-Nisā‟ (4) 47, dan QS.
Muhammad (47): 25 memiliki arti berbalik ke belakang.
- Pada QS. Al-Maidah (5): 21, Allah melarang kaumnya untuk berbalik
ke belakang karena takut musuh,
ُُعُلَى ُاَ ْدبَارك ْم ُفَتَ نْ َقلب ْوا ّٰ ُاْلَرض ُالْم َقدسةَ ُالِت ُ َكت
َ ب ُاللو ُلَك ْم َُوَْل ُتَ ْرتَد ُّْوا
ََ ْ َ َ ْ ْ ُادخلوا
ْ يّٰ َق ْوم
ُّٰخسريْ َُن
“Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah
ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang
(karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.”
- Pada QS. Al-Nisā‟ (4): 47 dijelaskan bahwa Ahli Kitab adalah pelaku
yang diancam oleh Allah agar tidak menolak kebenaran dari al-
Qur‟an,
ُس ُوجُ ْوىا َ ُم ْن ُقَ ْبل ُاَ ْن ُنطْم َ صدِّقاُلِّ َم
ِّ اُم َعك ْم َ ّٰب ُاّٰمن ْواُِبَاُنَزلْنَاُم
َ ُّٰيآاَيُّ َهاُالذيْ َن ُا ْوتواُالْكت
ّٰ فَن ردىاُع ّٰلىُاَدبارىاُاَوُنَ ْلعن همُ َكماُلَعنُآُاَص ّٰحبُالسبتُُۗوَكا َنُاَمر
ُُُاللو َُم ْفع ْوْل ْ َ ْ َ ْ َ َ ْ ََ ْ َ َ ْ َ َ َ
“Wahai orang-orang yang telah diberi Kitab! Berimanlah kamu
kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang
membenarkan Kitab yang ada pada kamu, sebelum Kami mengubah
wajah-wajah(mu), lalu Kami putar ke belakang atau Kami laknat
mereka sebagaimana Kami melaknat orang-orang (yang berbuat
maksiat) pada hari Sabat (Sabtu). Dan ketetapan Allah pasti berlaku.”
- Pada surat Muhammad (47): 25 menjelaskan sebab orang berpaling
dari al-Qur‟an dan berbalik ke belakang kepada kekafiran karena
godaan dari setan.
َّ ْاَّل ْي َن ْْارثَدُّ ْواْعَ ٓ ٰٓلْ َاد َِْب ِر ِ ِْهْ ِ ّم ْْۢنْب َ ْع ِدْ َماْثَ َب َّ ََّيْمَي ُُمْامْيُد
َْىْامش ْي ٓع ُن َْس َّو َلْمَي ُْم َْْۗوَْا ْم ٰٓلْمَيُ ْْم ِ َّ ِا َّن
“Sesungguhnya orang-orang yang berbalik (kepada kekafiran)
setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, setanlah yang merayu mereka
dan memanjangkan angan-angan mereka.”
lafad ُيَضْ ِزب
Selanjutnya pada 2 ayat yang bersanding dengan
terdapat pada QS. Muhammad (47): 27 dan QS. Al-Anfāl (8): 50, yang
12
memiliki arti memukul bagian belakang/punggung mereka. Sebagaimana
yang terdapat pada surat Al-Anfal (8): 50;
ِ ْ َ ْاَّل ْي َنْ َن َف ُرواْامْ َم ٓلٰۤى َك ُةْي
ْْضب ُ ْو َن ُْو ُج ْو َىيُ ْم َْو َاد َِْب َر ُ ْ ِْۚه َْو ُذ ْوكُ ْواْعَ َْذ َابْامْ َح ِريْ ِْق ِ َّ َوم َ ْوْحَ ٓ ٓرىْ ِا ْذْي َ َخ َو ََّّف
ِ
“Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa
orang-orang yang kafir sambil memukul wajah dan punggung mereka
(dan berkata), “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.”
Terakhir terdapat 2 ayat yang tidak mempunyai kesamaan lafad yang
bersanding yakni pertama pada QS. al-Hijr (15): 65;
َ ًِْلْ ِبِْل ْععٍْ ِم َنْانل َّ ْيلِ َْواث َّ ِب ْعْ َأد َِْب َر ُ ِْه َْو َالْيَلْخَ ِف ْتْ ِمنْ ُ ُْكْ َأ َحد
ْاْوا ْمضُ ْواْ َح ْي ُرْث ُْؤ َم ُر ْو َْن َ ِ ْس ِ َِْبى
ِ ْ َفَأ
“Maka pergilah kamu pada akhir malam beserta keluargamu, dan
ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada di antara kamu yang menoleh
ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan
kepadamu.”
Dan yang kedua pada QS. Qaf (50): 40;
13
orang munafik dan fir‟aun yang dengan kesombonganya berpaling dari
kebenaran yang telah disampaikan oleh Allah dan Rasulnya yakni pada
QS. al-Ma‟ārij (70): 17, QS. al-Mudaṣṣir (74): 23, 33 dan QS. al-Nāzi‟āt
(79): 22. Sedangkan 1 tempat lagi pada QS. al-Mudaṣṣir (74): 33 yang
menjelaskan tentang berlalunya malam.
Derivasi selanjutnya ialah lafadz ُم ْد ِبرyang memiliki 2 bentuk,
pertama mufrad ( ) ُم ْدبِرdan yang kedua bentuk Jama’ Mudzakar Salim
( َ) ُم ْدبِ ِريْن. Keduanya menunjukkan makna orang yang lari ke belakang.
Lafadz ُم ْدبِرdisebutkan pada 2 tempat yakni pada QS. al-Naml
(27): 10 dan QS. al-Qoṣaṣ (28): 31 yang mana keduanya ayat ini
menjelaskan tentang cerita ketika nabi Musa menghadapi penyihir firaun,
Allah menyuruh nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya. Kemudian
tongkat itu berubah menjadi ular sehingga membuat penyihir fir‟aun lari
ke belakang tanpa menoleh.
Selanjutnya lafadz َ ُم ْدبِ ِريْنdisebutkan pada 6 tempat yakni pada
QS. Al-Taubah (9): 25, QS. Al-Anbiyā‟ (21): 57, QS. Al-Naml (27):
80, QS. Al-Rum (30): 52, QS. al-Ṣaffāt (37): 90, QS. Gfir (40): 33.
Seluruh ayat ini bersanding dengan lafad َولَّىyang menunjukan arti
berpaling. Ayat-ayat tersebut menjelaskan pelaku yang menjadi subjek
keberpalingan adalah orang kafir dan orang yang dibutakan dan tulikan
oleh Allah. Tetapi hanya pada surat Al-Taubah (9): 25 yang menjadi
pelaku keberpalingan adalah orang mukmin.
ْْفْ َم َو ِاظ َنْنَ ِث ْ َي ٍ ٍۙة َّْوي َ ْو َمْ ُحنَ ْ ٍٍَّۙيْ ِا ْذْ َا ْ َْع َب ْخ ُ ُْكْ َن ْ َْثحُ ُ ُْكْفَ َ َْلْثُغ ِْنْ َع ْي ُ ُْك َْش ْيـًٔاْ َّوضَ اكَ ْتْعَل َ ْي ُ ُُك ُ ّ ٓ َُصُُك
ْ ِ ْاّلل َْ َ مَلَدْ ْه
َّ ُ اْر ُح َب ْت
ُْْث َْوم َّ ْي ُ ُْتْ ُّمدْ ِب ِرْي َْْۚن َ ْ َاال ْر ُضْ ِب َم
“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan
perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu
membanggakan kamu, tetapi sama sekali tidak berguna bagimu, dan
bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke
belakang dan lari tunggang-langgang.”
Pada ayat di atas menceritakan tentang perang hunain yang mana
kemudian sebab yang membuat orang mukmin mundur lari ke belakang
14
dari perang adalah kesombongan. Sebagian orang mukmin saat perang
hunain membanggakan jumlah pasukan mereka karena lebih banyak dari
pada orang musyrik. Orang mukmin menjadi lupa akan tuntunan
Allah bahwa segala kemenangan semata-mata bersumber dari Allah
sebagaimana saat perang badr. Kemudian Allah memberikan pelajaran
kepada orang mukmin dengan membuat mereka terdesak oleh serangan
orang musyrik pada awal pertempuran. Sehingga membuat orang
mukmin lari ke belakang bercerai-berai meninggalkan Rasululloh.18
2. Bermakna Belakang/Akhir
Hanya terdapat satu derivasi yang menunjukan arti seluruh/akar-
akar yakni lafadz َدابِ ُزyang terdapat pada 4 tempat yaitu pada QS. Al-
An‟ām (6): 45, QS. al-A‟rāf (7): 72, QS. al-Anfāl (8): 7 dan QS. al-Hijr
(15): 66. Pada semua ayat ini memiliki kesamaan yakni bersanding
ِ ُ قyang berarti dimusnahkan seluruhnya. Adapun yang
dengan lafadz ط َع
menjadi subjek pemusnahan adalah Allah. Kemudian yang menjadi objek
pemusnahan masing-masing ayat berbeda-beda yakni orang dzalim,
orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, orang kafir dan kaum nabi
Luth yang membangkang.
3. Bermakna Mengatur
Terdapat dua derivasi yang menunjukan kata mengatur, yakni
يُ َدبِّ ُزdengan bentuk Fi‟il Mudhāri‟ dan ْان ًُبَ ِّد ُرdengan bentuk isim fā‟il,
yang mana keduanya berasal dari satu wazan yang sama yaitu tafa‟ala
Lafad يُ َدبِّ ُز disebutkan pada 4 tempat yakni pada QS. Yunūs
(10): 3, QS. Yunūs (10): 31, QS. Al-Ra‟d (13): 2, QS. As-Sajdah (32): 5.
Semua ayat ini menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur segala
urusan baik di langit dan di bumi. Dan lafadz انْ ًُبَ ِّد ُرterdapat pada surat
Al-Nazi‟at (79): 5
4. Bermakna Memikirkan/Merenung
Terdapat dua bentuk derivasi yang secara khusus merujuk pada
makna memikirkan/merenung. Dua bentuk tersebut adalah lafadz يَتَ َدبَّ ُز
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5 (Ciputat: Lentera Hati,2009), 60.
15
dan يَ َّدبَّ ُز. Masing-masing disebutkan dalam 2 tempat. Lafadz يَتَ َدبَّ ُز
disebutkanpada surat Al-Nisa‟ (4): 82 dan surat Muhammad (47): 24.
Sedangkan lafadz يَ َدبَّ ُزdisebutkan pada surat Al-Mu‟minin (23): 68 dan
surat Sad (38): 29.
Bentuk lafadz يَ َدبَّ ُزdalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan bahwa
bentuk asalnya adalah يَتَ َدبَّ ُزyang huruf ta’-nya diidghomkan pada huruf
dal.19 Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
bentuk kedua lafadz tersebut yang memiliki arti yang sama. Selain itu,
pada kandungan semua ayat yang menyebutkan kedua lafadz tersebut
menjelaskan tentang seruan Allah pada manusia untuk melakukan
pentadabburan (perenungan/memikirkan). Namun terdapat perbedaan
pada penyebutan objek yang menjadi sasaran pentadabburan.
Pada surat al-Mu‟minūn (23): 68 yang menjadi
objek pentadabburan adalah lafad ْانقَ ْى َلkemudian pada surat Ṣad (38):
29 objek pentadabburan adalah lafad آيَاتِ ِه. Kedua ayat ini turun pada
periode makkah.
Ayat selanjutnya pada surat al-Nisā‟ (4): 82 dan surat
Muhammad (47): 24 yang keduanya turun pada periode Madinah, yang
menjadi objek penTadabburan adalah lafadz ٌْانقُزْ آ
Kedua derivasi يَتَ َدبَّ ُزdan يَ َّدبَّ ُزmerupakan bentuk derivasi yang
menjadi kunci pembahasan tentang Tadabbur dalam Al-Qur‟an.
19
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuṭi, Tafsir al-Jalalain (Dār IbnuKaṡir), 346.
20
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta : IdeaPress, 2016), 89
16
Hal ini bertujuan untuk menemukan seberapa variatif makna Tadabbur yang
dihasilkan oleh ijtihad penafsiran para ulama‟ pada rentang waktu tertentu.
Berikut penafsiran ayat-ayat yang menyebutkan kata Tadabbur
berdasarkan tempat turunnya (Makkiyah dan Madaniyah). Adapun urutan
sesuai dengan tempat turunnya adalah surat Ṣad (38): 29, Al-Mu‟minūn
(23): 68, Al-Nisā‟ (4): 82 dan Muhammad (47): 2422. Dalam penafsiran ini,
akan disebutkan asbābul nuzūl dari masing-masing ayat (jika ditemukan)
untuk mengetahui kondisi sosio-historis saat ayat diturunkan.
1. Surat Ṣad (38): 29
َ ْ ِن ٓخ ٌبْ َا ْى َزمْ ٓيوُْ ِامَ ْي َمْ ُم ٓ َٰبكٌ ْ ِْم ّ َي َّدب َّ ُر ْ ٓواْ ٓايٓخِ ٖو َْو ِم َي َخ َذنَّ َرْ ُاومُو
ِْاْاالمْ َباب
“Kitab (al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal
sehat mendapat pelajaran.”
Ayat ini merupakan ayat yang turun pada periode Makkiyah. Tema
kandungan ayat ini merupakan rangkaian dari ayat 27 sampai 29
yang menjelaskan tentang kepastian hari kebangkitan dan keadilan di hari
kiamat.23 Pada ayat ini, tidak ditemukan informasi tentang asbābul nuzūl.
Objek atau sasaran ayat ini adalah orang muslim periode Makkah.
Menurut Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) maksud dari kalimat
نِيَ َّدبَّز ُْْٓوا ٰا ٰيتِهyakni agar mereka (orang-orang muslim) mendengarkan ayat-
ayat Al-Qur‟an. Kemudian objek dari نِيَتَ َذ َّك َزadalah kandungan nasihat-
ِ اْل ْنبَا
nasihat di dalam al-Qur‟an, sedangkan maksud d.ari ب َ ْ اُونُىاadalah
ahli hati dan logika.24
Abī Ja‟far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) menjelaskan bahwa ayat
ini merupakan seruan untuk orang muslim agar mengahayati hujah Allah
dan apa yang disyariatkan oleh Allah sehingga mereka bisa mengambil
nasehat dan pengetahuan darinya. Kemudian at-Ṭabarī menyebutkan
perbedaan qiraah : pada umumnya dibaca نِّ َي َّدبَّز ُْْٓواdengan Ya’, yang
mengimplikasikan makna seseorang dari qaum yang nabi Muhammad
21
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an,145.
22
Quraish Shihab, dkk., Sejarah & ‘Ulūm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), 65-69.
23
Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap (Kudus: PT. BuyaBarakah, 2019), 53.
24
Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 3 (Beirut: Mu’asisah at-Tārīkh al-‘Arabī, 2002), 643
17
diutus pada mereka supaya mereka mau menghayati al-Qur‟an. Sedangkan
Abu Ja‟far dan Āṣim membaca : ِنِّيَ َّدبَّز ُْْٓوا آيَاتِه dengan Ta’, yang
mengimplikasikan makna engkau (Muhammad) agar mengahayati al-
Qur‟an dan mereka mengikutimu.25
Mengenai bentuk asal dari نِّيَ َّدبَّز ُْْٓوا, Muhammad bin Umar al-
Zamakhsyarī (1075-1144 M) menjelaskan bahwa asalnya adalah َيتَ َدبَّز ُْْٓوا,
sedangkan bentuk يَ َّدبَّز ُْْٓواberfungsi untuk mengkhitobi seseorang.26 Pendapat
ini juga sama sebagimana yang disampaikan Abdullah bin Umar al-
Baiḍāwī (w. 1286 M) dalam kitab tafsirnya, akan tetapi al-Baiḍāwī
memberi penjelasan bahwa bentuk يَ َّدبَّز ُْْٓواadalah untuk mengkhitobi nabi
Muhammad SAW. dan Ulama‟ dari umatnya.27
Selanjutnya al-Zamakhsyarī menjelaskan اآليات تدبز adalah
mencurahkan pemikiran dan meneliti pada ayat-ayat al-Qur‟an sehingga
dapat mengantarkan kepada pemahaman takwil yang benar dan makna-
makna yang baik dari dzahirnya ayat, sebab sesorang yang hanya puas
dengan dzahirnya ayat maka tidak bisa membuka manfaat yang banyak. 28
Hal senada tentang pentingnya memahami apa yang terkandung dibalik
dzahirnya ayat juga disampaikan al-Baiḍāwī dalam kitab tafsirnya.29
Sebagai pakar bahasa yang telah menulis karya tafsir dengan corak
balāgī30, Abu Hayyān (1256-1344 M) memberikan penjelasan mengenai
perbedaan bacaan dari redaksi نِيَ َّدبَّز ُْْٓوا ٰا ٰيتِهJumhur dan „Ali membaca نِيَ َّدبَّز ُْْٓوا
dengan ditasydid huruf dal-nya, bentuk asalnya adalah ِنيَتَ َدبَّز ُْْٓوا, sedangkan
Abu Ja‟far dan „Āṣim membaca ِن َيتَتَ َدبَّز ُْْٓواdengan dua huruf ta‟ dan huruf dal
tanpa ditasydid, kemudian salah satu dari dua huruf ta‟ dibuang (tidak
disebutkan apakah ta‟ muḍāra‟ah atau ta‟ setelahnya) sehingga asalnya
dibaca نِيَتَ َدبَّز ُْْٓواSelanjutnya Abu Hayyān menjelaskan tentang arti
penyebutan انتدبزyakni memikirkan tentang ayat-ayat al-Qu‟an dan juga
menelitinya dengan penuh pertimbangan terhadap segala akibat/
25
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid 20 (Jizah: Dār Hijr, 2001), 79.
26
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 5 (Riyad: Maktabah al-‘Abīkān, 1998), 262.
27
Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥya’ al-Turāt al-‘Arabī, 1998), 28
28
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, 262
29
Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, 28.
30
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi al- Qur’an, 2013), 115.
18
konsekuensi yang muncul. Kemudian arti penyebutan انتذكزadalah
ditujukan kepada orang yang berakal sebab akal merupakan sarana untuk
menunjukan pada kebenaran.31
2. Surat Al-Mu’minun (23): 68
َ ْ َافَ َ َْلْيَدَّ ب َّ ُرواْامْ َل ْو َلْ َا ْمْ َج ٰۤا َء ُ ِْهْ َّماْمَ ْمْيَأْ ِتْ ٓا َ ِٰۤب َء ُ ُِه
ْْۖاال َّومِ ْ ََّي
“Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah telah
datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek
moyang mereka terdahulu?”
Ayat ini turun pada periode Makkiyah. Pada rangkaian dari ayat 63
sampai ayat 77 menjelaskan tema tentang sifat-sifat orang kafir dan
perilakunya serta ancaman bagi mereka.32 Mengenai asbāb al-nuzūl pada
ayat ini penulis belum menemukan informasi tentangnya. Objek atau
sasaran ayat ini adalah kaum kafir/musyrik periode Makkah.
Menurut Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) maksud dari اَفَ َه ْى يَ َّدبَّزُوا
ا ْنقَىْ َلadalah apakah mereka yakni orang musyrik tidak mendengarkan al-
Qur‟an.33 Abī Ja‟far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) memberi keterangan
pada ayat ini bahwa Apakah orang-orang musyrik itu tidak menghayati
firman Allah sehingga mereka mengetahui penjelasanya dan memahami
hujah/otoritas Allah kepada mereka.34
Selanjutnya Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M)
menjelaskan maksud redaksi انقىلadalah al-Qur‟an. Makna ayat ini adalah
tidakkah mereka menghayati al-Qur'an supaya mereka mengetahui
sesungguhnya al-Qur‟an adalah kebenaran yang nyata lalu mereka
membenarkan al-Qur‟an dan Nabi SAW., tetapi (telah datang kepada
mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka)
sehingga mereka ingkar dan mengenyampingkan al-Qur‟an.35 Abdullah
bin Umar al-Baiḍāwī (w. 1286 M) juga memaknai القولdengan al-Qur‟an,
beliau menambahkan bahwa tujuan dari teguran Allah kepada kaum
31
Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 7 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 379.
32
Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap (Kudus: PT. Buya Barakah, 2019), 33.
33
Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 3, 161
34
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid 17, 86.
35
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 4, 239.
19
musyrik untuk menghayati al-Qur‟an adalah agar mereka mengetahui
melalui kemu‟jizatan lafadnya dan kejelasan maknanya bahwa al-Qur‟an
itu merupakan kebenaran dari Allah.36 Penjelasan ini juga senada dengan
keterangan dari Abu Hayyān (1256-1344 M).37
Burhān Al-Dīn Al-Baqā‟ī (w. 1480 M) menjelaskan ayat ini
ditujukan pada prang musyrik agar mereka memperhatikan kesudahan dan
akibat dari segala sesuatu, meskipun perhatian mereka tidak sampai
maksimal. Perhatian ini diperlukan supaya mereka mengetahui
sesungguhnya ungkapan itu patut diterima dan ungkapan itu merupakan
ungkapan yang ingdah. Pada ayat ini menggunakan redaksi القول
(ungkapan) sebagai objek dari pentadabburan boleh jadi itu adalah isyarat
bagi sesesorang yang tidak mau menerimanya ia bukanlah termasuk orang
yang faham, justru ia adalah bagaikan hewan ternak.38
Selanjutnya, Muhammad al-ṭāhir ibnu „Āsyūr (1879-1973 M)
memberi keterangan apabila orang musyrik menghayati al-Qur‟an maka
mereka akan mengetahui bahwa al-Qur‟an merupakan suatu kebenaran
yang nampak dari kemukjizatanya dan keindahanya. Namun mereka terus
keras kepala sebab mereka enggan menghayati al-Qur‟an. Hal demikian
merupakan salah satu penyakit yang merusak mereka sehingga mereka
terjebak dalam kekufuran.39
3. Surat Al-Nisa’ (4): 82
ْاّللْمَ َو َجدُ ْواْ ِف ْي ِوْا ْخ ِذ َالفًاْ َنثِ ْ ًيا
ِ ّ ٓ َافَ َالْي َ َخدَ ب َّ ُر ْو َنْامْ ُل ْرٓا َْن َومَ ْو ََْك َنْ ِم ْنْ ِع ْي ِدْغَ ْ ِي
“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? Sekiranya
(Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal
yang bertentangan di dalamnya.”
Ayat ini merupakan ayat yang turun pada periode Madinah. Tema
kandungan ayat ini merupakan rangkain dari ayat 71 sampai 84 yang
menjelaskan tentang norma-norma jihad dan posisi orang munafik dalam
36
Abdullah bin Umar al-Baiḍāwī, Tafsīr al-Baiḍāwī, jilid 4, 91
37
Abī Hayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, jilid 6, 381.
38
Burhān al-dīn al-Baqā’ī, Nażmu al-Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa as-Suwar,Jilid 13, 164.
39
Muhammad al-ṭāhir ibnu ‘Āsyūr, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, jilid 18, 87.
20
jihad.40 Objek atau sasaran ayat ini adalah orang munafik. Mengenai
asbāb al-nuzūl pada ayat ini Penulis menemukan informasi dari riwayat
dari Muqātil yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Munīr. Muqātil
mengatakan: “sesungguhnya nabi bersabda, “barang siapa cinta padaku
maka sungguh ia juga cinta pada Allah, dan barang siapa taat padaku
maka sungguh ia juga taat pada Allah”, kemudian orang munafik berkata
“adakah yang mendengarkan ucapan laki-laki ini? Sungguh ia melarang
kami menyembah selain Allah, ia menghendaki kami menjadikanya
sebagai tuhan sebagaimana kaum nasrani menjadikan isa tuhan”. Maka
kemudian turunlah ayat ini.41
Muqātil bin Sulaimān (702-767 M) menjelaskan bahwa maksud
dari ٌَ ْ اَفَ َال يَتَ َدبَّزُوadalah apakah mereka (orang munafik) tidak
mendengarkan al- Qur‟an.42
Abī Ja‟far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) menjelaskan makna dari
firman Allah ( ٌَ )اَفَ َال يَتَ َدبَّزُوْ ٌَ ا ْنقُزْ ٰاialah apakah orang munafik tidak
merenungi terhadap apa yang nabi Muhammad sampaikan, yakni kitab
Allah. Jikasaja mereka merenunginya maka mereka akan mengerti otoritas
Allah atas mereka yakni untuk taat kepada nabi Muhammad dan mengikuti
perintahnya. Sesungguhnya al-Qur‟an yang Allah turunkan kepada mereka
mengandung kesempurnaan makna, keselarasan hukum, saling
menguatkan kebenaran, saling menguji satu kepada yang lain. Maka
sesungguhnya jika semua itu bukan dari sisi Allah maka hukum-hukum
tersebut akan rusak, makna-makna akan saling bertentangan, dan akan
saling memaparkan kerusakan satu sama lain. Kemudian at-Ṭabarī
menuqil riwayat dari Yahya bin Abī ṭhālib, dia berkata: Yazid bercerita
padaku, dia berkata : Juwaibir mengabarkanku dari ḍaḥāka, ia
mengatakan: ( ٌَ )اَفَ َال يَتَ َدبَّزُوْ ٌَ ا ْنقُزْ ٰاyakni Tadabbur adalah memperhatikan
dibaliknya.43
40
Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap, 8.
41
Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 3, 177.
42
Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 1, 392
43
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid 7, 252.
21
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M)
memberikan penjelasan mengenai pengertian Tadabbur dalam ayat ini.
Menurutnya تدبز اْليزadalah meneliti dan mempertimbangkan apa yang
terdapat di balik sesuatu dan mempertimbangkan konsekuensi dan
kesudahan yang muncul darinya. Dalam perkembangannya kemudian
lafad Tadabbur digunakan dalam istilah ( تأيمTa‟ammul) yakni penelitian.
Makna dari Tadabbur al-Quran adalah meneliti makna-maknanya
dan melihat sesuatu (yang terkandung) di dalamnya.44 Abu Su‟ūd (w.
1579) memberikan definisi yang berbeda bahwa Tadabbur artinya adalah
meneliti dan mempertimbangkan apa yang terdapat dibalik sesuatu dan
konsekuensi apa yang muncul darinya. Kemudian pada perkembanganya
lafad Tadabbur itu digunakan dalam setiap ( تفكزtafakkur) dan نظز
(nażara).45
Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1149-1210 M)
menjelaskan kandungan ayat ini yakni menceritakan tentang macam-
macam tipu daya dan kelicikan orang munafik, itu semua karena mereka
tidak meyakini bahwa al-Qur‟an adalah risalah yang benar. Mereka
meyakini bahwa al-Qur‟an itu mengada-ada dan kebohongan belaka.
Maka teguran Allah jelas kepada mereka untuk mempertimbangkan dan
memikirkan petunjuk tentang kebenaran atas kenabian Muhammad.
Kemudian al-Rāzī memberikan definisi Tadabbur yakni انتدبيز وانتدبزadalah
istilah untuk mempertimbangkan konsekuensi dan akhir sesuatu.
Sebagaimana ungkapan: “sampai dimana mereka menghayati batang
sesuatu telah berakhir kemunculanya”, dan ungkapan yang fasih : “jika
aku berhadapan dengan urusan yang dibelakangku, artinya jika aku
mengetahui sesuatu aku mengetahui pula akibat-akibatnya”.46
4. Surat Muhammad (47): 24
َافَ َالْي َ َخدَ بَّ ُر ْو َنْامْ ُل ْرٓا َنْ َا ْمْعَ ٰٓلْكُلُ ْو ٍبْ َا ْك َفامُيَا
“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur'an ataukah hati mereka sudah
44
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 2, 115.
45
Abu Su’ūd, Tafsir Abu Su’ūd, jilid 1 (Beirut: Dār Iḥya’ al-Turāt al-‘Arābī), 207.
46
Muḥammad ibn Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātih al-Gaīb, jilid 10 (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 202.
22
terkunci?”
Ayat ini merupakan ayat yang turun pada periode Madinah. Tema
kandungan ayat ini merupakan rangkain dari ayat 20 sampai 34 yang
menjelaskan tentang prilaku orang munafik dan akibatnya serta cobaan
bagi para mujahidin.47 Penulis tidak menemukan informasi tentang asbāb
al-nuzūl pada ayat ini. Objek atau sasaran ayat ini adalah orang munafik.
Sebagaimana dengan ayat-ayat sebelumnya Muqātil bin Sulaimān (702-
767 M) menjelaskan lafad ٌَ اَفَ َال يَتَ َدبَّزُوْ ٌَ ا ْنقُزْ ٰاdengan penjelasan apakah
orang munafik itu tidak mendengarkan al-Qur‟an.48
Abī Ja‟far bin Jarīr at-Ṭabarī (839-923 M) memberikan penjelasan
apakah orang-orang munafik itu tidak menghayati nasihat-nasihat Allah di
dalam al-Qur‟an yang telah diturunkan kepada nabi SAW. dan
memikirkan hujah-hujah dalam al-Qur‟an yang telah dijelaskan pada
mereka saat al-Qur‟an diturunkan. Sehingga mereka mengetahui kesalahan
mereka. Kemudian at-Ṭabarī mengutip riwayat dari Basyar, ia berkata:
telah bercerita Yazid, ia berkata: telah bercerita Sa‟īd, dari Qatādah:
(tidakkah mereka menghayati al-Qur'an ataukah hati mereka sudah
terkunci?) demi Allah, di dalam al-Qur‟an mereka akan mendapatkan
ancaman berbuat maksiat kepada Allah, jika saja mereka memperhatikan
dan memahaminya, tetapi sayangnya mereka justru mengambil yang
samar, sehingga mereka malah binasa.49
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī (1075-1144 M) menjelaskan
maksud dari ٌَ اَفَ َال يَتَ َدبَّزُوْ ٌَ ْانقُزْ ٰاyakni apakah mereka enggan menghayati
al-Qur‟an untuk menelaah nasehat-nasehat, peringatan-peringatan dan
ancaman maksiat yang terkandung di dalamnya sehingga orang munafik
tidak berani lagi bermaksiat. kemudian maksud dari أَ ْو َعهَى قُهُىْ ب أَ ْقفَانُ َها
(ataukah hati mereka sudah terkunci?) yakni lafad ( أوam) yang
bermakna ْ( بَمbal) dan adanya hamzah taqrir sebagai catatan bahwa hati
47
Riqza Ahmad, al-Qur’an & Ulum al-Qur’an MindMap, 65.
48
Muqātil bin Sulaimān, Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, jilid 4, 49.
49
Abī Ja’far bin Jarīr at-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ‘ay al-Qur’an, jilid 21, 215.
23
mereka tertutup sehingga dzikir tidak bisa menjangkau hati mereka.50
Selanjutnya Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī (1883-1952 M)
memberikan keterangan tentang maksud dari ٌَ اَفَ َال َيتَ َدبَّزُوْ ٌَ ا ْنقُزْ ٰاyakni
menelaah apa yang ada di dalam al-Qur‟an seperti nasihat-nasihat dan
peringatan- peringatan sehingga mereka dapat berpindah dari tempat
kebinasaan. al- Marāgī menambahkan keteranganya, apakah orang
munafik itu tidak menghayati nasihat-nasihat yang telah Allah sampaikan
dalam kitabNya. Apa mereka tidak memikirkan hujah-hujah yang jelas
dari turunnya al- Qur‟an sehingga mereka mengetahui kesalahan mereka,
ataukah Allah telah benar-benar mengunci hati mereka sehingga mereka
tidak mengerti pelajaran dan nasihat-nasihat yang terkandung di dalam
kitab Allah?.51
Wahbah bin Musṭafā al-Zuḥaili (1932-2015 M) memberikan
penjelasan maksud dari Tadabbur pada ayat ini yakni memahami dan
menelaahnya untuk melihat apa yang terkandung didalamya seperti
nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan, sehingga orang munafik itu
tidak menerobos kemaksiatan dan melestarikan kebiasaan-kebiasaan
(buruk).52
50
Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasyāf, jilid 5 (Riyad: Maktabah al-‘Abīkān, 1998), 262.
51
Aḥmad bin Musṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, jilid 26, 69.
52
Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, jilid 13, 446.
24
BAB IV
KESIMPULAN
25
mereka (orang-orang muslim) mendengarkan ayat-ayat Al-Qur‟an sebagai seruan
untuk orang muslim agar mengahayati hujah Allah dan apa yang disyariatkan oleh
Allah sehingga mereka bisa mengambil nasehat dan pengetahuan darinya. Objek
atau sasaran ayat ini adalah orang muslim periode Makkah.
Surat Al-Mu‟minūn ayat 68 yang turun pada periode Makkiyah
menjelaskan tentang sifat-sifat orang kafir dan perilakunya serta ancaman bagi
mereka. Objek atau sasaran ayat ini adalah kaum kafir/musyrik tidak
mendengarkan al- Qur‟an periode Makkah.
Pada Q.S. Al-Nisā‟ (4): 82 yang turun pada periode Madinah menjelaskan
tentang norma-norma jihad dan posisi orang munafik (sebagai objek/sasaran)
dalam jihad. Ayat ini menjelaskan pemahaman apakah orang munafik tidak
merenungi terhadap apa yang nabi Muhammad sampaikan, yakni kitab Allah
Pada Muhammad (47): 24, yang merupakan ayat yang turun pada periode
Madinah memiliki kandungan ayat yang menjelaskan tentang prilaku orang
munafik dan akibatnya serta cobaan bagi para mujahidin. Objek atau sasaran ayat
ini adalah orang munafik yang tidak mendengarkan al-Qur‟an
Konsep-konsep tentang tadabbur berkembang sampai dengan perhatian
terhadap apa yang ada dibalik sesuatu yang ditadabburi, lalu konsekuensi atau
akibat yang timbul darinya, serta ujung atau kesudahan darinya. Adapun
pemaknaan para mufasir pada kata Tadabbur yang dikaitkan dengan al-Qur‟an
yaitu sebagai instrumen khusus untuk mengambil kandungan dari al-Qur‟an,
diantaranya seperti nasehat-nasehat, peringatan-peringatan, dan ancaman terhadap
kemaksiatan, agar tidak terjerumus pada kebinasaan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Riqza. al-Qur‟an & Ulum al-Qur‟an Mind Map, Kudus: PT. Buya
Barakah, 2019.
Al-Baiḍāwī, Abdullah bin Umar. Tafsīr al-Baiḍāwī, Beirut: Dār Iḥya‟ al-Turāt al-
„Arabī, 1998.
Al-Baqā‟ī, Burhān Al-dīn. Nażmu al-Durar fī Tanāsubi al-Ayāt wa as-Suwar,
Kairo: Dār al-Kitāb al-Islāmī.
al-Bāqī, Muhammad Fuād Abdu. al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Faẓ al-Qur‟ān,
(Mesir, Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1947.
Hakim, Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Depok: Lingkar Studi al- Qur‟an,
2013.
Hayyān, Abī. al-Baḥr al-Muḥīṭ, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1993.
Ibn Muhammad, Husain. Qamus al-Qur'an, Beirut: Dār al-Ilmi al-Malayin, 1983.
Ibn Manḍur, Lisān al-Arab, Beirut: Dār Shādir.
Ibn Sulaimān, Muqātil. Tafsīr Muqātil bin Sulaimān, Beirut: Mu‟asisah at-Tārīkh
al-„Arabī, 2002.
Ibnu „Āsyūr, Muhammad Al-ṭāhir. Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Tunisia: Dār al-
Tūnisiyah, 1984.
Mahfudz, Muhsin. “Implikasi Pemahaman Tafsir al-Qur‟an Terhadap Sikap
Keberagamaan”. Jurnal Tafsere, Vol.4, no.2, 2016.
Mahmud, Abdul Halim. Bacalah Dengan Nama Tuhanmu, Jakarta: Lentera, 1997.
al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin as-Suyuṭi, Tafsir al-Jalalain. Dār Ibnu Kaṡir.
Al-Marāgī, Aḥmad bin Musṭafā. Tafsīr al-Marāgī, Mesir: Maktabah wa Maṭba‟ah
Miṣr, 1942.
Ma‟shum bin Ali, al- Amṡilatu at-Tashrifiyah, Maktabah as-Syaikh Salim bin
Sa‟ad, 1965.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an. Yogyakarta : Idea Press,
2016.
Naparin, Husin. Nalar Al-Qur‟an, Jakarta selatan: el-kahfi, 2004.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah, Ciputat: Lentera Hati, 2009.
Shihab, Muammad Quraish dkk., Sejarah & „Ulūm al-Qur‟an. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2013.
Su‟ūd, Abu. Tafsir Abu Su‟ūd, Beirut: Dār Iḥya‟ al-Turāt al-„Arābī), 207.
iv
At-Ṭabarī, Abī Ja‟far bin Jarīr., Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl „ay al-Qur‟an, Jizah:
Dār Hijr, 2001.
At-Thanāhi, Mahmud Muhammad. min Asrāri al-Lughah fi al-Kitab wa al-
Sunnah, Makkah: Dār al-Fath, 2008.
Al-Zamakhsyarī, Muhammad bin Umar. al-Kasyāf, Riyad: Maktabah al- „Abīkān,
1998.
Al-Zuḥailī, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr, Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.
https://kbbi.web.id/tadabur, diakses pada 01 Agustus 2019
http://mahadulilmi.wordpress.com/2012/09/12/definisi-tadabbur-al-quran/
https://youtu.be/CVPVMFL50MA, diakses pada Rabu, 25 September 2019.