Anda di halaman 1dari 16

“PERBEDAAN MUHKAM DENGAN MUTASYABIH DAN NASAKH

DENGAN MANSUKH”

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Studi Al Qur’an

Oleh
Dwi Ayu Salsabila NIM. 05030121100
Firdaus NIM. 05030121101
Zaky Abdur Rahman NIM. 05020121097

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ........................................................................................ 1


B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................... 1
C. TUJUAN PENULISAN ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

A. PENGERTIAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG MUHKAM DAN


MUTASYABIH .................................................................................................. 2
B. PENGERTIAN NASAKH DAN MANSUKH ................................................... 4
C. PEDOMAN MENGETAHUI NASAKH DAN MANSUKH............................. 5
D. PENDAPAT-PENDAPAT NASAKH DAN MANSUKH ................................. 6
E. MACAM-MACAM NASAKH DAN MANSUKH............................................ 10

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 12

A. KESIMPULAN ................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 13

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta dan seisinya.
Salawat serta salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan
Allah beserta keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia sampai hari
kiamat.

Makalah ini penulis buat untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah Studi Al
Qur’an. Makalah ini membahas tentang perbedaan Muhkam dengan Mutasayabih dan Nasikh
dengan Mansukh. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memperluas wawasan serta
ilmu pengetahuan.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami memohon, semoga usaha ini merupakan
usaha yang murni bagi-Nya dan berguna bagi penulis dan pembaca.

Tak lupa penulis selalu berharap syafa’at kepada Nabi Muhammad. Semoga
senantiasa dalam lindungan Allah SWT Aamiin Ya Rabbal Alamin.

iii
BAB I

PENDAHULAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Allah menurunkan syariat di dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk
memperbaiki ummat dibidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Bidang tersebut
memiliki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara
keselamatan manusia.
Terkait itu pula Allah menjadikan di dalam Al-Qur’an hal-hal yang bisa
dipahami secara menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu
dan hal-hal yang hanya Allah sajalah yang memahami maknanya. Hal ini disebutkan
oleh para Ulama sebagai pembahasan Al muhkam dan Al mutashabih dan nasakh
mansukh. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasakh mansukh terjadi karena
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan perbedaaan pendapat tentang Muhkam dan Mutasyabih ?
2. Apa pengertian Nasakh dan Mansukh ?
3. Bagaimana pedoman mengetahui Nasakh dan Mansukh ?
4. Apa saja pendapat tentang Nasakh dan Mansukh ?
5. Apa saja macam-macam Nasakh dan Mansukh ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui dan perbedaan pendapat tentang Muhkam dan Mutasyabih.
2. Untuk mengetaahui pengertian Nasakh dan Mansukh.
3. Untuk mengetahui pedoman Nasakh dan Mansukh.
4. Untuk mengetahui pendapat-pendapat tentang Nasakh dan Mansukh.
5. Untuk mengetahui macam-macam Nasakh dan Mansukh.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG MUHKAM DAN


MUTASYABIH
Menurut bahasa, Muhkam berasal dari kata-kata : ُ‫ َح َك ْمتُ الدَّابَّةَ َو أ َ ْح َك ْمت‬yang
artinya saya menahan binatang itu. Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan.
Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya. Q.S.Yunus:1;

‫ب ْال َح ِكي ِْم‬


ِ ‫الرج ت ِْلكَ َءايتُ ْالكِت‬

“Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah.”

Dengan demikian muhkam dalam arti yang umum berarti “Qur’an itu
seluruhnya muhkam”, maksudnya Al-Qur’an itu kata-katanya kokoh, fashih
(indahdanjelas), membedakan antara yang haq dan yang batil, antara yang benar
dengan yang dusta.

Adapun Mutashabih secara bahasa berarti tashabuh, yakni bila salah satu dari
dua hal serupa dengan yang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Zumar:23;

‫شع ُِّر مِ ْنهُ ُجلُودُ ا َّل ِذيْنَ يَ ْخش َْونَ َربَّ ُه ْم ث ُ َّم ت َ ِل ْي ُن ُجلُودُ هُ ْم َو‬ ِ ‫سنَ ْال َح ِد ْي‬
َ ‫ث ِكت َابًأ ُّمتَشَا ِب َها َّمثَان‬
َ ‫ِي ت َق‬ َ ‫ّللاُ ن ََّز َل أ َ ْح‬
‫ه‬
‫ّللاُ فَ َما لَهُ مِ ْن هَاد‬ ْ ُ‫ّللا َي ْهدى ِبه َمن َيشَا ُءج َو َمن ي‬
‫ض ِل ِل ه‬ ِ ‫ّللاج ذَالِكَ هُدَى ه‬ ِ ‫قُلُوبُ ُه ْم أِلَى ِذ ْك ِر ه‬

“Allah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa
(ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut
kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa
saja yang Diakehendaki.Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak
seorang pun yang dapat member petunjuk.”

Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan pengertian muhkam dan
mutashabih, yaknisebagaiberikut:

1. Menurut al-Alusi dan golongan Hanafiyah. Lafaz muhkam adalah lafal yang
jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasakh (dihapuskan hukumnya)
sedang lafaz mutashabih adalah lafal yang samar maksud petunjuknya,

2
sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia atau tidak tercantum
dalam dalil-dalil nas (teks dalil-dalil), sebab lafaz mutashabih termasuk hal-
hal yang artinya hanya diketahui Allah. Contoh; peristiwa datangnya hari
kiamat dan huruf-huruf muqatta’ah pada awal surah Al-qur’an.
2. Menurut ahl as-Sunnah lafaz muhkam adalah lafal yang di ketahui maknanya,
baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan di takwilkan.
Sedangkan lafaz mutashabih adalah lafal yang pengetahuan artinya hanya
dimonopoli oleh Allah SWT, manusia tidak ada yang mengetahuinya. Contoh;
terjadinya hari kiamat, keluarnya dajjal, arti huruf-huruf muqatta’ah.
3. Pendapat ini dinisbahkan kepada Ibn ‘Abbas r.a dan mayoritas ulama ahli Usul
al-Fiqih. Lafaz muhkam adalah lafal yang tidak ditakwilkan kecuali hanya dari
satu arah atau hanya satu segi saja. Sedangkan lafaz mutashabih adalah lafal
yang artinya dapat ditakwilkan dalam beberapa arah atau segi, karena
memiliki banyak makna.
4. Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal. Lafaz muhkam adalah lafal yang bias
berdiri sendiri atau telah jelas dengan sendirinya tanpa membutuhkan
keterangan yang lain. Sedangkan lafaz mutashabih adalah lafal yang tidak bisa
berdiri sendiri, dan membutuhkan penjelasan, karena adanya bermacam-
macam takwilan terhadap lafal tersebut. Misalnya: lafal yang bermakna ganda
(lafaz mushtarak), lafal yang asing (gharib), lafal yang berarti lain (lafaz
majaz), dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa pengertian muhkam


ialah lafal yang artinya dapat di ketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri tanpa
ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak ada kemusykilan, karena
pengertiannya masuk akal dan mudah diamalkan. Sedangkan mutashabih ialah
lafal Al-Qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena
susunan tertibnya kurang tepat karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli
Allah SWT.1

Muhkam dan mutashabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting


Diantaranya sebagai berikut :

1
Ahmad Zuhdi, Suqiah Musafa’ah, dkk. ,Bahan Ajar Studi Al-Qur’an, (Surabaya : UINSA Press, 2018), hlm
341-350.

3
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan
mutashabih adalah yang hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu segi makna, sedangkan
mutashabih mengandung banyak segi.
3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain, sedangkan mutashabih memerlukan penjelasan
dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.

Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan


ayat-ayat yang berkaitan dengan hokum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan
larangan, janji dan ancaman. Sementara ayat-ayat mutashabih, mereka
mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-Nya, seperti ‫ت‬ َّ ‫َو ِس َع ُك ْر ِسيُّهُ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬
‫ َواأل َ ْرض‬yang artinya “kursi-Nya meliputi langit dan bumi”.2

B. PENGERTIAN NASAKH DAN MANSUKH

Nasakh menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan


atau memindahkan, atau yang mengutip, atau menyalin serta mengubah dan
mengganti. Sedangkan pengertian Nasakh menurut istilah, ada dua macam, yaitu :

1. Nasakh ialah hukum syarak atau dalil syarak yang mengahapuskan atau
mengubah hukum atau dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan
ketentuan hukum baru yang di bawahnya. Dalam contoh penghapusan
kwajiban bersedekah kalau akan menghadap Rosulullah SAW, nasikhnya
ialah ayat 13 al-Mujadalah yang menghapuskan atau mengubah kewajiban
dari ayat 12 surat al-Mujadalah itu diganti dengan bebas dari kewajiban
bersedekah tersebut.
2. Nasakh itu ialah Allah. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan
menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT,
tidak ada yang lain. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an :
ِ‫إِ ِن ْال ُح ْك ُم اِالَّ ِ هِل‬
Artinya “sesungguhnya tiada hukum selain dari Allah.” (Q..S. Al-An’am:57)

2
Ibid.,hlm 351.

4
Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus, atau dihilangkan, atau
di pindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh
ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah
dengan dibatalkan dan di ganti dengan hukum dari syarak baru yang datang
kemudian.

Tagasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama
yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan
kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.3

C. PEDOMAN MENGETAHUI NASAKH DAN MANSUKH


Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara
sebagai berikut :
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis berikut :
‫ارةِ اْلقُب ُْو ِر فَ ُز ْو ُر ْوهَا‬ َ ‫ نَ َه ْيت ُ ُك ْم‬: ‫سله َم‬
َ َ‫ع ْن ِزي‬ َ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬
Artinya : Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian
berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R.
Muslim)
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu
mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif
sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau
keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman
seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan
adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan
tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).4

3
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ed. Ridlwan Nasil dan M. Zakki, (Surabaya: Dunia ilmu, 2013), hlm 122-124.
4
Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran, (Bekasi: Media Grafika, 2002), hlm 53.

5
D. PENDAPAT-PENDAPAT NASAKH DAN MANSUKH
Perbedaan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dalam
Rawa’iul Bayan, ‘Ali As-Shabuni menjelaskan beberapa argumen:
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 106:
َ ‫علَ ٰى ُك ِهل‬
‫ش ْىء قَدِير‬ َ ‫ٱِل‬ ِ ْ ‫س ْخ مِ ْن َءايَة أ َ ْو نُن ِس َها نَأ‬
َ َّ ‫ت بِ َخيْر ِ هم ْن َها ٓ أ َ ْو مِ ثْ ِل َها ٓ ۗ أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَ َّن‬ َ ‫َما نَن‬
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti
dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa
Allah Maha kuasa atas segala sesuatu?”
Firman Allah dalam QS. An-Nahl [16]: 101:
َ‫ٱِلُ أ َ ْعلَ ُم بِ َما يُن ِ هَز ُل قَالُ ٓو ۟ا إِنَّ َما ٓ أَنتَ ُم ْفت ٍَۭر ۚ بَ ْل أ َ ْكثَ ُرهُ ْم َال يَ ْعلَ ُمون‬
َّ ‫َوإِذَا بَد َّْلنَا ٓ َءايَةً َّم َكانَ َءايَة ۙ َو‬
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
“Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan
mereka tiada mengetahui”
Terdapat ayat-ayat yang mengindikasikan terjadinya penasakhan. Misalnya,
ayat tentang pemindahan arah kiblat dalam QS. Al-Baqarah ayat 142, yang dinasakh
(diganti) dengan ayat 144 di surat yang sama. Kiblat yang semula menghadap Baitul
Maqdis, kemudian diganti ke arah Ka’bah.
Contoh lain, misalnya, seperti penasakhan ketentuan ‘iddah bagi perempuan
yang ditinggal mati suaminya dalam QS. Al-Baqarah ayat 240, yang dinasakh dengan
ayat 234. Masa ‘iddah yang awalnya genap setahun, kemudian berubah menjadi 4
bulan 10 hari.
Al Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an memperkuat legalitas metode
nasakh ini. Ia berargumen bahwa syariat yang para nabi bawa semata bertujuan untuk
kemaslahatan umat. Maka, perubahan syariat adalah suatu hal yang niscaya, sesuai
dengan pemenuhan kemaslahat yang berubah-ubah.
Rasulullah SAW dengan ajaran yang ia bawa juga merupakan suatu contoh
nasakh (penggantian syariat). Hal ini, karena beberapa bagiannya mengganti sekaligus
menyempurnakan syariat terdahulu. Misalnya, puasa yang semula ditunaikan kaum
Yahudi, menjadi satu bulan ketika Islam datang.
Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib, juga menyontohkan penasakhan
syariat Nasrani dengan syariat Islam. Dalam ajaran Nasrani, terdapat perintah untuk
menikahi cucunya sendiri. Kemudian Islam datang, menghapus perintah itu tidak ada
penasakhan, pendapat ini berdiri atas beberapa argumen:
6
Nasakh menunjukkan adanya kesalahan dalam Al Qur’an, sehingga tidak
mungkin Al Qur’an yang bebas dari kebatilan memuat ajaran-ajaran yang berubah-
ubah. Ayat-ayat di atas bukan bentuk dari Nasakh (penghapusan) Al Qur’an, tetapi,
tidak berlakunya syariat yang terkandung dalam suatu ayat pada sebagian orang
karena perbedaan situasai. Secara substantif, syariat pada ayat itu tetap ada.
Surat Al-Baqarah ayat 106 di atas tidak menunjukkan adanya penghapusan dalam Al
Quran. Tetapi, penghapusan syariat agama-agama samawi sebelumnya, dengan Islam
sebagai penggantinya.
Pendapat kedua ini dinilai lemah, karena, pada kenyataannya sering kita temui
di beberapa tempat, ayat-ayat yang mengindikasikan adanya penasakhan, seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Tetapi, perbedaan pendapat tentang Nasikh dan Mansukh
tersebut di atas sebenarnya menemukan benang merah. Bahwa pada dasarnya, Al
Qur’an, satu ayat pun darinya tidak bisa dihapus dan diubah. Hanya penerapan syariat
yang dikandungnya saja yang bisa jadi berubah. Sesuai dengan pemenuhan
kemaslahatan umat.
Ada beberapa definisi menurut ulama’ terkait Nasikh dan Mansukh, Shubhi
Shalih menjelaskan nasikh adalah penghilangan, pergantian dan pemindahan,
sedangkan mansukh adalah hukum yang dibatalkan atau dihapus dengan batasan
penghilangan hukum Syar’i harus dengan hukum syar’i pula. Sedang as-Syatibi
memberi penjelasan bahwa nasikh adalah pembatalan dengan beberapa batasan Salah
satunya pembatalan tersebut harus pada hukum yang lebih dulu ada dengan hukum
baru.5
Menurut Abi Muhammad Maki bin Abi Thalib al-Quaisi dalam kitabnya Al-
Idhah Al-Nasikhu Al Qur’an kata Nasikh berasal dari kalam Arab yakni Naskhtu Al-
Kitab artinya saya memindahkan catatan dari kitab satu ke kitab yang lain namun
tidak ada perubahan sama sekali. Dalam kitab yang diNaskh, Naskhat Al-Syamsu Al-
Dzillah bermakna menghilangkan dan mengantikan, Naskhat Al-Rihu Al-Atsara yang
artinya menghapus sesuatu dengan yang lain namun yang menghapus tidak harus
menjadi pengganti dari yang dihapus.6 Definisi-definisi tersebut Setidaknya mewakili
bahwa secara umum ulama’ sepakat bahwa nasikh adalah sesuatu bentuk
menghapusan namun mereka memiliki kreteria masing-masing yang menjadi

5
Abu Bakar, “Kontraversi Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Qur’an”, Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman
Vol. 6 No. 1, (1 Maret 2018), hlm 50.
6
Wartoyo, “Konsep Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud Muhammad Thaha” Mahkama 1 No 2, (Desember
2016), hlm 147.

7
perbedaan antara ulama’ satu dengan yang Lain dalam menentukan konsep nasikh
mansukh.
Manna Kholil al-Qattan dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil Quran menjelaskan
secara istilah nasikh adalah penghapusan hukum syara’(hukum apapun secara mutlak)
dengan hukum syara’ yang lain. Penghapusan tersebut mengecualikan penghapusan
mencontohkan dengan mengambil permasalahan penghapusan hukum wasiat oleh
hukum warisan.7 Dalam perjalanannya teori nasikh dan mansukh sering terjadi pro
dan kontra di kalangan ulama’, secara umum ada dua pendapat :
1. Mengingkari adanya nasikh dalam Al Qur’an, pendapat ini dipelopori oleh
Abu Muslim al-Ashfahani dengan dalil QS. Fushshilat: 42 : “Tidak datang
kepadanya Al Qur’an kebatilan baik dari depan maupun dari belakang”
dengan ayat ini beliau menegaskan tidak Ada pembatalan dalam Alquran,
2. Mengakui adanya Nasikh dan Mansukh dengan alasan Nasikh dalam Al Quran
tidak bertujuan membuat bingung umat melainkan nasikh adalah salah satu
bentuk kebijaksanan Allah. Perdebatan ini telah terjadi sejak masa klasik
hingga kontemporer yang disebabkan oleh kematian atau gila. Pendapat ini
dikuatkan dengan firman Allah ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.8 Kami datangkan yang lebih baik
dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Sedangkan pengertian Mansukh adalah obyek atau hukum yang dihapus,
beliau ada beberapa penelitian yang membahas Nasikh Mansukh diantaranya tulisan
Hasan Asy’ari Ulama’i’ dalam tulisannya berjudul Konsep Nasikh dan Mansukh.
Dalam Alquran, ditulisannya Ini beliau menjelaskan pembahasan terkait nasikh dan
mansukh adalah pembahasan yang sangat penting dalam menafsiri Al Qur’an untuk
menghindari kesalahan dalam penafsiran, menurutnya walaupun masalah Nasikh dan
Mansukh masih terjadi pro dan kontra namun hal tersebut bukanlah keputusan akhir
yang masih memungkinkan untuk berubah, ia juga menegaskan bahwa meskipun
banyak dari kalangan intelektual tidak sepakat adanya nasikh dan mansukh tetapi

7
Manna Kholil Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Alquran, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hlm 286.
8
Reflita Reflita, “Redefinisi Makna Nasakh Internal Ayat Al-Qur’an”, Substantia 19 No. 1, (3 Februari 2018),
hlm 31.

8
pendapat yang lebih disepakati banyak ulama’ adalah pendapat yang mengakui
adanya nasikh dan mansukh.9
Dijelaskan oleh Az-Zarqani dalam kitab Manahilil Irfan bahwa pengertian
nasikh secara istilah sangat banyak sekali dan beragam, Namun dari semua pendapat
secara umum adalah sama yakni pengapusan hukum syara’ dengan hukum syara’
yang datang setelahnya, sehingga kedua pendapat di atas sebatas analisa peneliti
cukup untuk mewakili pendapat yang sepakat dengan adanya konsep Nasikh Mansukh
baik dari ulama’ mufassirin atau usulliyyin.10
An-Na’im, Narsh Hamid Abu Zayd juga mengartikan nasikh bukan sebagai
pembatalan tetapi penggantian. Maksudnya Nasikh bukanlah sebuah penghapusan
hukum melainkan Penggantian hukum tetapi kedua hukum tersebut baik nasikh Atau
mansukh tetap masih berlaku sesuai dengan kondisi dan Situasi. Konsep nasikh
menurut Abu Zayd adalah bertujuan untuk Memberikan hukum secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan umat karena menurutnya Al Qur’an bersifat operatif dan fungsional
sehingga terjadinya nasikh adalah sebagai bentuk penangguhan hukum sementara
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, menurutnya jika Nasikh diartikan
dengan pembatalan secara total, maka hal tersebut sangat bertentangan dengan tujuan
memudahkan, penahapan dan kelonggaran dalam hukum.
Menurut Saeed bertujuan menjadikan Nasikh Mansukh sebagai sebuah
gagasan untuk menafsiri ulang Al Quran agar sesuai dengan kondisi dan situasi
kebutuhan umat maka seharusnya Nasikh tidak diartikan sebagai bentuk pembatalan,
melainkan penundaan seperti yang dilakukan An-Na’im atau penggantian seperti yang
dijelaskan oleh Abu Zayd dengan catatan baik hukum yang menasikh atau yang
dimansukh tetap bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi dan situasi kebutuhan umat.
Atau bisa juga nasikh diartikan sebagai pembatalan tetapi harus dijelaskan tidak
bersifat Mutlak artinya ketika nanti kondisi dan situasi umat membutuhkan ayat yang
telah diNasikh tetap bisa ditafsiri ulang sesuai dengan kebutuhan umat.11

9
Hasan Asyari Ulamai, “Konsep Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Quran”, Didaktika Islamika 7 No. 1,
(Februari 2016), hlm 63-84.
10
Wartoyo, op. cit., hlm 148.
11
Muhammad Fajri, “Konsep Nasikh Mansukh Menurut Nasr Hamid Abu Zayd”, Skripsi Jurusan Ilmu Alquran
Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2017, Hlm 63.

9
E. MACAM-MACAM NASAKH DAN MANSUKH

Pembagian Nasakh ada empat yaitu :

1. Nasakh Qur’an dengan Qur’an, Nasakh ini telah di setujui oleh para ulama atas
kebolehannya, contoh Nasakh Qur’an dengan Qur,an :

َ َ‫علَى ْال ِقت َا ۗ ِل ا ِْن يَّ ُك ْن ِ هم ْن ُك ْم ِع ْش ُر ْون‬


‫صا ِب ُر ْونَ يَ ْغ ِلب ُْوا مِ ائَتَي ۚ ِْن َوا ِْن يَّ ُك ْن ِ هم ْن ُك ْم ِ همائ َة‬ َ َ‫ض ْال ُمؤْ مِ نِيْن‬ ِ ‫ي َح ِ هر‬ ُّ ‫ٰ ٓياَيُّ َها النَّ ِب‬
َ‫يَّ ْغ ِلب ُْٓوا ا َ ْلفًا ِ همنَ الَّ ِذيْنَ َكف َُر ْوا ِباَنَّ ُه ْم قَ ْوم َّال َي ْفقَ ُه ْون‬
Lalu di Nasakh oleh ayat selanjutnya :

َ ‫ض ْعفً ۗا فَا ِْن يَّ ُك ْن ِ هم ْن ُك ْم ِ همائ َة‬


‫صابِ َرة يَّ ْغ ِلب ُْوا مِ ائَتَي ۚ ِْن َوا ِْن يَّ ُك ْن ِ هم ْن ُك ْم اَ ْلف يَّ ْغ ِلب ُْٓوا‬ َ ‫عل َِم ا َ َّن فِ ْي ُك ْم‬
َ ‫ع ْن ُك ْم َو‬
َ ُ‫ّللا‬
‫ف ه‬ َ َّ‫ا َ ْل ٰـنَ َخف‬
َ‫ص ِب ِريْن‬
‫ّللاُ َم َع ال ه‬ ِ ‫ا َ ْلفَي ِْن ِب ِاذْ ِن ه‬
‫ّللا َۗو ه‬

2. Nasakh Qur’an dengan Sunah, Nasakh ini dibagi menjadi dua yaitu :
➢ Nasakh Qur’an dengan Sunah Ahad, Nasakh ini oleh jumhur ulama
ditiadakan, karena Qur’an itu Mutawatir, dan mengandung kebenaran yang
pasti, Sunah Ahad masih bersifat dugaan, maka tidak boleh mengganti
yang sudah bersifat benar dengan yang masih bersifat dugaan.
➢ Nasakh Qur’an dengan Sunah Mutawatir, Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, dan Imam Ahmad telah memperbolehkannya mengunakan
Nasakh tersebut, karena Sunah Mutawatir itu menurut beliau adalah sama-
sama wahyu. Namun menurut imam syafi’i, Ahli Dzohir, dan imam
Ahmad pada periwayatan yang lain itu tidak memperbolehkan adanya
Nasakh Qur’an dengan Sunah karena menurut beliau Sunah itu tidak lebih
baik dari Al Qur’an dan semisalnya.
3. Nasakh Sunah dengan Al Qur’an, jumhur ulama telah memperbolehkannya.
Contohnya seperti hadits tentang perintah menghadap ke Baitul Makdis, lalu di
Nasakh oleh dengan menhadap ke Masjidil Haram. Namun pada pendapat lain
imam Syafi’i melarang adanya Sunah dengan Al Qur’an karena Sunah itu tidak
semua berhubungan dengan Al Qur’an, ada juga yang bertentangan. Maka dari itu
imam Syafi’i melarang adanya Nasakh Sunah dengan Al Qur’an.
4. Nasakh Sunah dengan Sunah, ada empat pembagian diantaranya :
➢ Nasakh Mutawatir dengan Mutawatir.
➢ Nasakh Ahad dengan Ahad.

10
➢ Nasakh Ahad dengan Mutawatir.
➢ Nasakh Mutawatir dengan Ahad.12

Lalu selanjutnya ada bentuk-bentuk Nasakh, Nasakh memiliki tiga pola diantaranya :

1. Ayat yang teksnya di Nasakh, namun hukumnya tetap berlaku. Hikmah dari pola
ini antara lain untuk menguji sejauh mana kulitas ketaatan kaum muslim dalam
kepasrahaanya mengabdikan diri kepada allah dalam bentuk hukum yang Dzan
(dugaan) tanpa menggunkan dalil (qath’i).
2. Ayat yang hukumnya di Nasakh, namun teksnya masih tetap. Hikmah dibalik pola
ini adalah semata-mata bukan hanya untuk mengingatkan nikmat dan
menghapuskan kesulitan, tetapi juga sebagai penangguhan hukum karena faktor-
faktor yang mengharuskan pemberlakuannya tidak ada.
3. Ayat yang teks dan hukumnya sekaligus di Nasakh.13

12
Mana’ul Qoton, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (____, Darul Ilmi wal Iman,___), hlm 228-229.
13
Ahmad Zuhdi, Suqiah Musafa’ah, dkk. , op. cit., hlm 219-223.

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan nya Nasakh itu sendiri adalah hukum syara’ atau dalil syara’
yang mengahapuskan atau mengubah hukum atau dalil syara’ yang terdahulu dan
menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang di bawahnya. Sedangkan mansukh
itu sendiri adalah ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti
dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki
perubahan dan penggantian hukum.
Pedoman untuk mengetahui Nasakh dan Mansukh
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu
mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif
sejarah.
Macam-macam nasakh dan mansukh
1. Nasakh Qur’an dengan Qur’an.
2. Nasakh Qur’an dengan Sunah.
3. Naskah Sunah dengan Al Qur’an.
4. Nasakh Sunah dengan Sunah.
Saran untuk pembaca agar bisa lebih memahami Nasakh dan Mansukh di
harapkan membaca dengan seksama dan teliti.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al Qattan, Manna Kholil. 2008. Pengantar Studi Ilmu Alquran. (Jakarta: Pustaka Al-
Kaustar).
Anwar, Abu. 2018. Sebuah Pengantar Ulum Al-quran. (Bekasi: Media Grafika).
Bakar, Abu. 2018. “Kontraversi Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Qur’an”. Madania: Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 6 No. 1.
Djalal, Abdul. 2013. Ulumul Qur’an, ed. Ridlwan Nasil dan M. Zakki. (Surabaya: Dunia
ilmu).
Fajri, Muhammad. 2017. “Konsep Nasikh Mansukh Menurut Nasr Hamid Abu Zayd”. Skripsi
Jurusan Ilmu Alquran Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Qoton, Mana’ul.____. Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (____, Darul Ilmi wal Iman).
Reflita, Reflita. 2018. “Redefinisi Makna Nasakh Internal Ayat Al-Qur’an”. Substantia 19
No. 1.
Ulamai, Hasan Asyari. “Konsep Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Quran”. Didaktika Islamika
7 No. 1.
Wartoyo. 2016. “Konsep Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud Muhammad Thaha” .
Mahkama 1 No. 2.
Zuhdi, Ahmad, Suqiah Musafa’ah, dkk. . 2018. Bahan Ajar Studi Al-Qur’an. (Surabaya :
UINSA Press).

13

Anda mungkin juga menyukai