Anda di halaman 1dari 20

ILMU MUHKAM MUTASYABIH

MAKALAH

disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah : UlumulQur`an

Disusun oleh :

1. Hesti astuti (210603085)


2. Deri herjian cusuri(210603075)

Kelas : PPI A

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Ilmu Muhkam Mutasyabiyah” sesuai waktu yang
ditentukan.
Tujuan pokok makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Ulumul Qur’an dan tujuan umumnya untuk memberikan beberapa informasi
pengetahuan tentang Ilmu Muhkam Mutasyabih bagi para pembacanya..
Penyusun menyimpulkan masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini, oleh karena itu Penyusun memohon kepada para pembaca untuk dapat
memberikan tanggapan atau masukan maupun saran yang sifatnya membangun agar
makalah ini menjadi lebih baik.

Lombok barat, 8 April 2022

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ............................................ 3
B. Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih.......... 6
C. Pandangan dan Sikap Ulama Dalam Ayat Mutasyabihat.............. 9
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 12
A. Kesimpulan..................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14

iii
BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Allah menyampaikan pesan dalam al-qur`an dengan berbagai cara dan
bentuk dalalah baik yang jelas ataupun dengan cara yang samar (mubham). Di
antara bentuk keduanya terdapat bentuk muhkam dan mutasyabih. Itu semua
merupakan kerunia Allah subhanahu wata`ala kepada ummat manusia agar
dapat memahami dengan elastis, syamil, dan komprehensif.
Di antara gaya penyampaian al-qur`an terkadang menggunakan lafadz dan
uslub yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu, yaitu sebagian lafadz
serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya serasi dan cocok, tidak ada
yang bersifat umum dan samar (mutasyabih) dan dapat memberikan peluang
bagi para mujtahid dan cendekiawan untuk dapat mengembalikannya kepada
yang tegas maksudnya dan disebut muhkam, mengembalikan yang samar
kepada yang jelas maknanya, mengembalikan masalah cabang kepada
masalah pokok, yang bersifat parsial kepada yang kulli.
Ayat yang menjadi dasar adanya Muhkam dan Mutasyabih adalah ayat ke7
dari surat Ali-`Imran :

ٌۭ ۖ ٌَِٰۭ‫ب َوأ َُخ ُر ُمتَ َٰ ٰ َشبھ‬


‫ت فَأ َّ َما ٱ َّل‬ َِ ‫ت ھَُّ ن أ ُّ ُم ْٱل ِك ٰت‬ ٌ ‫ت ُّ محْ َك ٌَٰم‬ٌۭ ٌَٰۭ‫ب ِم ْنھُ َءای‬ َ ‫ى أنَزَ َل َعَلیَْكَ ْٱل ِك ٰت‬
ٓ ‫ھ َُو ٱ َّل ِذ‬
‫ْتغا َ َٓء تَأ ْ ِوی ِۦ‬ ٰ ََّ َ‫فى قلُ ُوبھ ْم زَ ْی ٌۭغ فی‬
‫مو ا ی َْعل َُم‬
َ ۗ ‫ل ِھ‬ ِ ‫ت ب ِعوُنَ َما تَ َٰ َشبَھَ ِم ْنھُ ٱبْت َِغا َٓء ْٱلفِتنَْ ِة َوٱب‬ ِ ِ َ‫ِذین‬
َّ ‫ك ٌّ ۭل ِّم ْن ِعن ِد َربنِّا َ ۗ َو َما ی ََّذ َّ ك ُر ِإ‬ ‫تَأ ْ ِویلَ ٓھ ۥُ َّ ال ِإ ٱ َّ ُ ۗ َوٱ َّ ٰلر ِس ُخونَ فِى ْٱل ِع ْل ِم یقَ ُولوُنَ َءا ََّم نا ِۦ‬
ُ ‫ب ِھ‬

‫ب ۝‬ ِ َ‫أول ُو ۟ا ٱأْل لَْ ٰب‬


ُ۟ ‫ٓال‬

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)


nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihatdaripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada
ayatayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

B.Rumusan Masalah
1. Jelaskan yang dimaksud Muhkam dan Mutasyabih!
2. Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3. Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama` dalam menghadapi Ayat
Mutasyabih?
BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Kata “muhkam” dan “mutasyabih” adalah bentuk mudzakar, digunakan
untuk mensifati kata-kata yang mudzakkar, seperti ungkapan al-qur`an yang
muhkam atau yang mutasyabih. Sedangkan kata “muhkamat” atau
“mutasyabihat” adalah bentuk muannats untuk mensifati kata yang juga
muannats, seperti surah dan ayat muhkamat atau mutasyabihat. Al-qur`an
menampilkan kata “muhkam” yang terkait dengannya sebanyak tiga kali
dalam bentuknya yang berbeda-beda, yaitu “muhkamat (QS. Ali-`imran[3]:7),
uhkimat (QS. Hud[11]: 1), dan muhakkamah (QS. Muhammad [47]: 20).
Sementara kata “mutasyabih” dalam berbagai ragam dan bentuknya
dikemukakan sebanyak dua belas kali yang terpencar dalam beberapa surah
dan ayat di dalam Al-Qur`an. Kedua kata tersebut memiliki beragam arti baik
menurut etimologi maupun terminologi.1
Muhkam secara etimologis adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan dan
kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan bahwa Muhkam ialah
sesuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas
dan tidak membutuhkan kepada yang lain. Muhkam merupakan derivasi dari
kata ahkama yaitu atqana. Ahkamaal-kalam berarti mengokohkan perkataan
dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah. 2 Dengan demikian
Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud
membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan
urusan yang lurus dari yang sesat.3 Al-qur`an seluruhnya muhkamah, jika
yang dimaksud dengan kemuhkamahannya ialah susunan lafadzal-qur`an dan
keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikitpun

1 Usman, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 219-220.


2 Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2014), hlm. 93.
3
Usman, ULUMUL QUR`AN................, hlm. 220.
terdapat kelemahan padanya, baik dari segi lafadz maupun maknanya.3
Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yakni:

ْ َ‫فصل‬
‫ت ِمن َّل د ُْن َح ِك ٍیم خَبیِر ۝‬ ٌَ ‫ا ٓلر ۚ ِك ٰت‬
ْ ‫ب أحُْ ِك َم‬
ُِّ ‫ت َءا ٰیتَ ۥھُ ُ ث َّ ُم‬

“Alif laamraa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud [11] : 1).

Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh, yakni apabila salah


satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan dimana
salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena
kemiripan di antara keduanya. Mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang
menyerupai dari segala segi antara satu dengan yang lain. 4Mutasyabih juga
terkadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan.
Dengan ungkapan tasyabuhal-kalam dapat diartikan “kesamaan dan
kesesuaian dalam perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang
lain dalam kesempurnaannya dan sesuai pula dengan makna yang
dimaksudkannya.5 Dapat dikatakan bahwa seluruh Al-Qur`an adalah
mutasyabihah, bahwa masing-masing kemutamatsilan (keserupaan atau
sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghah maupun dalam bidang
i`jaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian sukunya atau
yang lain.6 Dengan pengertian inilah yang dapat kita ambil berdasarkan
firman Allah:

ٰ
ََْ َ‫نى تقََْ َش ِع ُّ ر ِم ْنھُ جُل ُو ُد ٱ َّ ل ِذ ین‬
‫یخ َشوْ نَ َر َّ بھُ ْم ث َّ ُم‬ ِ ‫أح َسنَ ْٱل َح ِدی‬
َِ َ ‫ث ِك ٰتبًَۭا ُّ متَ َٰ َشبِھًۭا َّ مثا‬ َْ ‫ٱ َّ ُ ن َّ زَ َل‬
ْ ‫ب ِۦھ َمن یَ َشا ُٓء ۚ َو َمن‬
‫یضُ ِل ِل ٱ َّ ُ فَ َما‬ َ َِ‫تلَِینُ جُل ُو ُدھُ ْم َوقلُ ُوبھُُ ْم إلِ َٰى ِذ ْك ِر ٱَّ ِ ۚ ٰذل‬
ِ ‫ك ھَُدَى ٱ َّ ِ ی ْھَ ِدى‬
‫َل ھۥُ ِم ْن ھَا ٍد ۝‬

3 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an), (Semarang:


PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2010), hlm. 158.
4 Mawardi Abdullah, ULUMUL QUR`AN........................, hlm. 93.
5 Usman, ULUMUL QUR`AN......................., hlm. 221.
6 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum al-Qur`an)..........., hlm.
158.
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`an yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit
dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan
Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-
Zumar [39] : 23)

Secara epistemologi, para ulama berbeda pendapat dalam istilah muhkam


dan mutasyabih. Muhkam yaitu lafadz yang artinya menunjukkan dalalah
yang jelas dan pasti yang tidak memungkinkan untuk menta`wilkannya,
ditakhsisikan, ataupun dinasakh.
Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi bahwa:
1. Muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas
maupun dengan cara ta`wil. Sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang
hanya diketahui oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan maksud dari
huruf-huruf terpisah yang terdapat pada beberapa awal surah.
2. Muhkam adalah yang tidak dapat dita`wilkan kecuali hanya dengan satu
penta`wilan saja, sedangkan mutasyabih adalah yang mungkin dapat
dita`wilkan dengan banyak penta`wilan.
3. Muhkam adalah ayat yang menerangkan tentang faraidl, ancaman, dan
harapan. Sedangkan mutasyabih adalah tentag ayat-ayat yang berhubungan
dengan kisah-kisah dan amstal.
4. Muhkam adalah lafadz yang tidak diulang-ulang. Sedangkan mutasyabih
adalah sebaliknya.
5. Muhkamat adalah ayat-ayat yang tidak dinasakh, maka mutasyabihat
adalah ayat-ayat atau ajaran-ajaran yang telah dinasakh.
6. Muhkam adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan halal dan haram,
sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat selain yang berkenaan dengan
halal dan haram.7

Dari berbagai macam pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang


dimaksud dengan muhkam adalah kekokohanlafadz ayat dan kemantapannya
serta tidak akan terjadi perselisihan dan kekurangan dalam al-qur`an.
Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah penyerupaan antara

7 ..............., hlm. 95.


bagian yang satu dari al-qur`an dengan bagian yang lain dalam hal kebenaran,
ketepatan, dan i`jaznya. Lebih jelasnya mutasyabih adalah sesuatu yang telah
diketahui artinya namun mustahil untuk dikatakan sebagaimana yang
dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah
subhanahu wata`aala.8

B.Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih.

Secara tegas dapat dikatakan, bahwa sebab adanya ayat muhkamah dan
mutasyabihat ialah karena Allah SWT menjadikannya demikian itu.Allah SWT 9
memisahkan atau membedakan antara ayat-ayat yang muhkam dari yang
mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang
mutasyabihat. Allah SWT telah berfirman:
‫نننههتتمنكنححمهتتاينآههنحممبناتنكملحاكنيحلنعنلنزننحأنيحذملنناونهه ت تهبمشتنمهرهخناهونبماتنكملحامنهاه‬
Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab Al-Quran kepada kamu. Di
antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran, dan
yang lain ayat-ayat mutasyabihat.” Q.S. Ali Imran: 7 Menurut kebanyakan ulama,
sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas, yakni sebagaimana sudah
ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di atas. Sedang sebab adanya ayat-ayat
mutasyabihat dalam Al-Qur’an ialah karena ada kesamaran maksud syarak dalam
ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti yang
lain, disebabkan karena bisa ditakwilkan dengan bermacam-macam dan petunjuk
pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya
hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja .

8 ............., hlm. 96.


C. Pandangan dan Sikap Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabihat
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat
mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT:
ٌۭ ۖ ٌَِٰۭ‫ب َوأ َُخ ُر ُمتَ َٰ ٰ َشبھ‬
‫ت فَأ َّ َما ٱ َّل‬ َِ ‫ت ھَُّ ن أ ُّ ُم ْٱل ِك ٰت‬ ٌ ‫ت ُّ محْ َك ٌَٰم‬ٌۭ ٌَٰۭ‫ب ِم ْنھُ َءای‬ َ ‫ى أنَزَ َل َعَلیَْكَ ْٱل ِك ٰت‬
ٓ ‫ھ َُو ٱ َّل ِذ‬
ٰ ََّ َ‫فى قلُ ُوبھ ْم زَ ْی ٌۭغ فی‬
َ ۗ ‫ْتغا َ َٓء تَأ ْ ِوی ِلۦ ِھ‬
‫مو ا ی َْعل َُم‬ ِ ‫ت ب ِعوُنَ َما تَ َٰ َشبَھَ ِم ْنھُ ٱبْت ِغا َ َٓء ْٱلفِتنَْ ِة َوٱب‬ ِ ِ َ‫ِذین‬
‫ك ٌّ ۭل ِّم ْن ِعن ِد َربنِّا َ ۗ َو َما ی ََّذ َّ ك ُر‬ ِ ‫تَأ ْ ِویلَ ٓھ ۥُ َّ ال ِإ ٱ َّ ُ ۗ َوٱ َّ ٰلر ِس ُخونَ فِى ْٱل ِعلْ ِم یقَ ُولوُنَ َءا َم َّن ا‬
ُ ‫بۦ ِھ‬

‫ب ۝‬ ِ َ‫أول ُو ۟ا ٱأْل لَْ ٰب‬


ُ۟ ‫ِإ َّ ٓال‬
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)
nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihatdaripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepada
ayatayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran: 7)
Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas
setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami
mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.9
Menurut madzhab ini, waqaf dalam ayat tersebut terletak pada lafal
َ ®‫®و ا ی َْعلَ ُم تَأ ْ ِوی‬
َّ‫®ل ۥھُٓ ِإ َّ ال ٱ‬ َ ®‫ م‬Karena tidak ada yang dapat mengetahui makna yang
tersirat. Begitupula, pada lafal ‫ َوٱ َّ ٰلر ِس ُخونَ فِى ْٱل ِع ْل ِم یقَ ُولوُنَ َا َم َّن ا‬... adalah huruf
Isti’naf (permulaan). Sehingga, orang-orang berpengetahuan mendalam pun
tidak mampu mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, namun cukup
dengan menyerahkan maknanya kepada Allah SWT. Dengan dasar ini,
madzhab salaf disebut juga MadzhabMufawwidlah atau Tafwidl yang

9 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Beirut: Dar al-ilmi li al-Milayin, 1972), hlm. 283.
kebanyakan merupakan golongan sahabat, tabiin, tabial-tabiin serta generasi
setelah mereka.10 Alasan pendapat ini didasari oleh:
1) Riwayat al-Hakim dalam kitab al-mustadrak yang bersumber dari Ibnu
Abbas dan dinukil oleh Manna al-Qaththan dalam al-Mabahitsnya, bahwa
Ibnu Abbas membaca ayat tersebut demikian:
‫وما یعلم تأویلھ االﷲ و"یقول" الراسخون فى العلم امنابھ‬
2) Ayat tersebut mencela orang-orang yang “mengikuti” ayat-ayat
mutasyabihat dan menyatakan bahwa mereka cenderung sesat dan
mencari fitnah. Sebaliknya, dalam ayat yang sama justru memuji
orangorang yang menyerahkan pengetahuan tersebut kepada Allah.11
Menurut Ibnu al-Shalih, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthydidalamal-
Itqan, para pendahulu, pemuka umat, imam ahli fiqih dan imam ahli hadits
juga menggunakan cara ini, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengelak dari kenyataan yang terdapat pada ayat tersebut.

3) Riwayat Zubair Ibn Abi Abdir Rahman, mengenai maksud ayat:


ِ ْ‫ٱ َّ لرحْ ٰ َمنُ َعَل َى ْٱل َعر‬
‫ش ٱسْت َو ٰى ۝‬
“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS.
Thaha: 5)

:Kemudian ia berkata

‫االیمان غیر مجھول والكیف غیر معقول وھو من الرسالة وعلى الرسول البالغ البین وعلینا‬
‫التصدق‬

“Mengimani hal itu tidak diragukan lagi, tetapi cara (bersemayam-Nya) itu
tidak dapat dinalar dan hal itu termasuk tugas risalah rasul, dan kewajiban
seorang rasul untuk menyampaikannya sedangkan kita wajib
mempercayainya”
4) Pendapat Imam Malik mengenai makna istiwa’ yang terdapat pada surah
thaha: 5, ia menjawab:

10 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 284.


11 Jalaludin al-Suyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran, (Beirut: Syirkah Maktabah al-Babi al-Halabi,
1951), hlm 2-3.
‫االس®®تواء معل®®وم والكی®®ف مجھ®®ول والس®®ؤال عنھ بدع®®ة واظن®®ك رج®®ل س®®وءاخرجوه‬
‫“عنى‬Makna lafal istiwa’ dapat dimengerti, mengenai caranya tidak dapat
diketahui, mempertanyakan masalah itu adalah bid’ah (mengada-ada),
saya duga engkau ini bermaksud buruk. Singkirkanlah orang ini dari
majelisku”12

Maksudnya, makna tersurat dari kata ‫ استوى‬dalam ayat tersebut jelas


diketahui oleh orang-orang pada umumnya. Namun, makna tersirat yang
sebenarnya tidaklah diketahui. Sebab pengertian yang dipahami
orangorang pada umumnya merupakan tasybih secara antropomorphism
(penyerupaan dengan sesuatu secara jasmaniah) yang mustahil bagi Allah,
dan mempertanyakan hal itu untuk mengetahui maksud yang sebenarnya
berdasarkan syariah adalah bid’ah.13

5) Atsar yang berasal dari Ummal-Mukminin Aisyah RA:


‫ قال‬:‫ ھو ٱلّذى أنَزل علیك ٱلكتب الى قولھ – "وما یذكر اال اولواالألبب" قالت‬:‫تال رسول ﷲ ﷺ‬
‫ فاذا رأیت الذین یتبعون ماتشابھ منھ فأولئك الذین سمى ﷲ فاخذرھم‬:‫رسول ﷲ ﷺ‬
“Rasulullah SAW pernah membaca ayat “Dialah yang tealah menurunkan
al-kitab kepada-Mu –sampai kepada- dan tidak dapat mengambil
pelajaran daripadanya melainkan “orang-orang yang berakal”. Ummal-
Mukminin Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jika engkau
melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka
mereka itulah orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut,
dan berhati-hatilah terhadap mereka”14
Bersandar kepada hadits riwayat Ibnu Mardawaih:
‫ ان القران لم ینزل لیكذب بعضھ‬: ‫(عن عمروبن شعیب عن ابیھ عن جده عن رسول ﷲ ﷺ قال‬6
‫بعضا فما عرفتم منھ فاعملوابھ وماتشابھ منھ فامنوابھ‬

12Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 284, lihat juga Jalaludin
alSuyuthy, al-Itqan fi Ulum al-Quran........., hlm 6.
13 Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Quran.........., hlm 192.
14 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 6.
“Dari Amr Ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah
SAW. Ia bersabda: Sesungguhnya al-Quran tidak diturunkan agar
sebagiannya mendustakan sebagian yang lain, apa saja yang kalian
ketahuidaripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka
hendaklah kalian meyakininya.”15

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat,


para ulama madzhab salaf bersikap hati-hati terhadap kesalahan yang
mungkin terjadi.
Berbeda dengan madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa waqaf
dalam ayat Ali Imran: 7 pada lafal ‫ َوٱ َّ ٰلر ِس® ُخونَ فِى ْٱل ِع ْل ِم‬. Jadi selain Allah,
orang-
orang yang berilmu mendalam juga dapat mengetahui takwilnya. Adapun
huruf ‫( و‬wawu) pada ayat tersebut berkedudukan sebagai huruf athat, oleh
karena itu َ‫ٱ َّ ٰلر ِس ® ُخ ون‬diathafkan kepada lafal ‫ ﷲ‬pada kaliamat sebelumnya
(Abu Hasan Al-Asy’ari). Pendapat ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq Al-
Shirazi yang mengatakan “Bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-
ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama yang berilmu
mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya
berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka sama
dengan orang awam”.16
Mujahid dan sahabat-sahabatnya cenderung kepada pendapat ini, termasuk
al-Nawawi yang berpendapat bahwa “pendapat ini lebih layak diterima, sebab
tidak mungkin Allah akan mengkhitab hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak
ada jalan untuk mengetahuinya”. Madzhab khalaf berpendapat, bahwa hal
yang seharusnya dilakukan dalam memahami ayat mutasyabihat yakni dengan
memalingkan lafal yang menyebabkan kebingungan bagi umat manusia,
sehingga tidak dibiarkan “terlantar” tidak bermakna. Selama ayatayat tersebut
memungkinkan untuk ditakwilkan dengan makna yang benar dan rasional,
maka bagi orang-orang berilmu mendalam tidak ada halangan untuk

15 Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, j. 11(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), hlm. 9.
16 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 281.
menakwilkan ayat tersebut.17 Karena tidak ada satupun ayat di dalam al-Quran
yang tidak mungkin tidak diketahui maksudnya.18

Berdasarkan QS. Ali-Imran: 7, Ibnu Abbas berpendapat atas berdasarkan


riwayat Ibn Al-Munzir yang mengatakan:

‫ انا ممن یعلم تأویلھ‬:‫ قال‬. ‫فى ْٱل ِع ْل ِم‬


ِ َ‫ م َو ا ی َْعل َُم تَأ ْ ِویلَ ٓھ ۥُ َّ ال ِإ ٱ َّ ُ َوٱ َّ ٰلر ِس ُخون‬......

“Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang
yang mendalam ilmunya, kemudian ia (Ibnu Abbas) berkata: Saya adalah
diantara orang yang mengetahui takwilnya”.19

Madzhab khalaf ini mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu dalam rangka


memudahkan pemahaman secara baik dan benar, khususnya bagi masyarakat
awam. Berkaitan dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, madzhab ini tidak
mengartikan secara harfiah apaadanya. Namun, berusaha agar memaknai atau
mentakwilkan kata-kata dalam ayat tersebut sesuai dengan kelayakan bagi
Allah”.
Misalnya seperti kata ‫( فوق عبده‬di atas hamba-Nya) diartikan sebagai Maha
Tinggi, bukan berada di suatu tempat. ‫( وجھ ربك‬wajah Tuhanmu) diartikan
sebagai dzat Allah, dan sebagainya.
Sehubung dengan itu mereka mengatakan:
‫كل صفة یستحیل حقیقتھا على ﷲ تفسیر الزمھا‬
“Setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan
(ditakwilkan) dengan kelazimann-Nya”.20

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikemukakan Allah


berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yang tampak secara lahiriah menggunakan
sifat-sifat yang ada pada manusia, dengan tujuan untuk memudahkan manusia
dalam memahami makna yang terkandung di dalamnya.

17 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 281.


18 Muhammad ‘Abd ‘Azhim alpZarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, j. 11(t.tp:al-Babi
alHalabi, t.th), hlm. 270.
19 Muhammad Husein al-Thabathabai, Menyingkap rahasia al-Quran, terj. A. Malik Madani &
Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 46-47.
20 Ramli Abdul Wahid, Ulum al-Quran.........., hlm 88-89.
Selain itu, ada pula madzhab yang menengahi keduanya, yakni madzhab
yang dipelopori oleh al-Raghibal-Ashfahaniy. Ia membagi ayat-ayat
mutasyabihat menjadi tiga, yakni:
a) Ayat-ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikat maknanya kecuali
oleh Allah.
Misal: Saat tibanya hari kiamat, makna dari kata ‫ داب®®ة من االرض‬, dan
sebagainya.
b) Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui maknanya oleh manusia
melalui berbagai sarana.
Misal: Lafal-lafal asing dan hukum-hukum yang tertutup.
c) Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh
orang-orang yang memiliki ilmu mendalam, seperti yang diisyaratkan
oleh Rasulullah, yakni Ibnu Abbas.
“Yaa Allah berikanlah ilmu yang mendalam mengenai ilmu agama, dan
limpahkanlah pengetahuan tentang takwil kepadanya”.21
Madzhab ini menegaskan bahwa dzat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya
hanya Allah yang mengetahuinya.

Setidaknya, adabeberapamanfaat (hikmah) denganmempelajarimasalahini,


yaknisebagaiberikut:u
1.      Sebagai ujian keimanan, sebab seandainya seluruh al-Qur’an terdiri atas ayat
muhkamat maka nuansa dan tantangan keimanannya menjadi berkurang.
2.      Sebaliknya, seandainya seluruh ayat al-Qur’an semuanya terdiri atas ayat
mutasyabihat maka akan kehilangan kedudukannya sebagai petunjuk bagi
manusia.
3.      Kandungan Al-Qur’an yang terdiri dari ayat muhkamat dan mutasyabihat
dapat menjadi motivasi bagi umat islam untuk konsisten melakukan pembelajaran
serta panggilan terhadap semua kandungannya segingga mereka akan terhindar
dari taklid buta

21 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran........................., hlm. 282-283.


BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Muhkam dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud
membedakan antara informasi yang hak dan yang bathil, serta memisahkan urusan
yang lurus dari yang sesat. Adapun mutasyabih secara etimologis berarti tasyabuh,
yakni apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain.
Muhkam terdiri dari Muhkam li dzatihi dan Muhkam li ghairihi. Sedangkan
Mutasyabih, terdiri dari Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf dan
Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat.
Sebab sebab terjadinya tasyabuh dalam al-qur’an menurut hasil pengamatan
dan penelitian para ulama yaitu disebabkan oleh kebersembunyian maksud Allah
dari kalam-Nya itu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu dapat
saja kembai kepada kesamaran lafal, kesamaran makna, dan kesamaran pada lafal
dan makna sekaligus.
Banyak terjadi pro dan kontra diantara para ulama’ mengenai ayat-ayat
mutasyabihat yang berasal dari cara memahami firman Allah SWT, sehingga
terbagi menjadi tiga golongan pendapat, yakni:
1. Madzhab Ulama’ Salaf mengatakan bahwa ayat mutasyabih itu tidak dapat
diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri, serta diwajibkan atas
setiap orang agar tidak mencari takwilnya dan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT. orang-orang berilmu mendalam hanya berkata: “Kami
mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.
2. Madzhab ulama khalaf yang berpendapat, bahwa pengetahuan Allah mengenai
takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan-Nya kepada para ulama
yang berilmu mendalam. Karena, apabila mereka dianggap tidak mengetahui
maknanya berarti mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti mereka
sama dengan orang awam”.
3. madzhab yang dipelopori oleh al-Raghibal-Ashfahaniy yang membagi
ayatayatmutasyabihat menjadi tiga, yakni:
a) Ayat-ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikat maknanya kecuali oleh
Allah.
b) Ayat-ayat mutasyabih yang dapat diketahui maknanya oleh manusia melalui
berbagai sarana.
c) Ayat-ayat mutasyabihat yang hanya dapat diketahui maknanya oleh
orangorang yang memiliki ilmu mendalam

Adapun hikmah ayat-ayat muhkamat, yaitu :


• Menjadikan kemudahan bagi manusia untuk mengetahui arti dan
maksudnya pada ayat-ayat muhkamat
• Mendorong umat Islam untuk segera mengamalkan isi kandungan
alQur’an, karena lafadz ayat-ayat-Nya telah mudah diktahui dan dipahami.
• Menjadi rahmat bagi manusia khususnya orang yang lemah dalam
berbahasa arab.22

Hikmah ayat-ayat mutasyabihat, yaitu:

22 Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah), (Yogyakarta: Teras,
2013), hlm. 82.
• Menunjukan kemukjizatan al-Qur’an dan ketinggian satra serta
balaghagnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa al-Qur’an
merupakan wahyu ilahi.
• Ujian pada umat manusia, apakah dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat
manusia masih tetap beriman atau tidak.
• Menambah pahala bagi yang benar benar mengkajinya, sebab semakin
sulit pekerjaan, semakin pula besar pahalanya.
• Memperlihatkan kelemahan akal manusia agar manusia tidak sombong.
• Mendorong umat Islam untuk giat belajar dan tekun, meneliti serta
bertindak menalar.23

23 Muhammad Gufron, Rahmawati, ULUMUL QURAN (Praktis dan Mudah).............., hlm. 82.
DAFTAR PUSTAKA

Usman. 2009. ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta: TERAS.


Abdullah, Mawardi. ULUMUL QUR`AN. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2010. ILMU-ILMU AL-QUR`AN (Ulum
alQur`an). Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA.

Anda mungkin juga menyukai