Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT IMAM GHAZALI

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan

Filsafat Islam

Oleh:

Lalu Kukuh Pribadi Sukma Raharja (210603065)

Hesti Astuti (210603085)

Ghandi Satrio (210603089)

Deri Herjian Cusuri (210603075)

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat dan
salam semoga selalu terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW
beserta keluarganya dan para pengikutnya yang setia sampai hari kiamat.

Alhamdulillah Wasyukurillah berkat Rahmat dan Hidayah Allah SWT, kami dapat
menyelesaikan tugas Makalah FILSAFAT ISLAM yang membahas tentang FILSAFAT IMAM
GHAZALI. Apabila terdapat di dalamnya kekurangan dan kesalahan dalam penjelasannya.
Mohon dimengerti dan dipahami, bahwa kami adalah insan yang sangat lemah akan
kecerdasan dan sangat kurang akan kesempurnaan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah FILSAFAT ISLAM dengan
harap semoga Dosen pengampu, dapat memberikan kritik dan saran agar makalah ini penuh
dengan pelajaran yang dapat kami ambil, sehingga biasa menjadi cermin untuk tugas
berikutnya, dan kami mengucapkan banyak terimakasih atas bimbingannya, semogaDosen
pengampu dapat memberikan keikhlasan dalam membimbing, agar kami mendapatkan
kemanfaatan ilmu yang bisa menuntun kami kejalan yang diridhoi Allah SWT. “Allahhuma
Amin” Semoga makalah ilmu makki dan madani ini bermanfaat dan menjadikan amal baik
khususnya bagi kami dan umumnya bagi orang yang membacanya.

Mataram, 01 Oktober 2022

Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ...................................................................................... 1


B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 1
C. TUJUAN ........................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Ghazali .................................................................................... 2


B. Filsafat Metafisika Imam Ghazali .................................................................. 2
C. Konsep Etika Imam Ghazali ........................................................................... 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 9
B. Saran ................................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 10


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
(Daulay & Dahlan, 2021) Tasawuf dalam Islam melewati tahapan dan kondisi
yang berbeda. Dalam setiap tahapan dan kondisi yang dilaluinya, hanya ada aspek-
aspek tertentu. Dari segi akhlak, banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menganjurkan
zuhud, kesabaran, kepasrahan kepada Allah, kehendak, cinta, iman, hidup sederhana,
dan semua yang dititipkan kepada Anda. Al-Qur'an sendiri menyatakan bahwa
Rasulullah. adalah suri tauladan terbaik bagi mereka yang ingin menyempurnakan diri
dengan kualitas-kualitas tersebut dalam bentuk tertingginya (al-Taftazani, 2003, hal.
10-11). Pemikiran para sufi dalam kajian sufi sangat beragam bentuknya dan masing-
masing sufi memiliki karakteristik yang berbeda meskipun muaranya sama, yaitu
menuju al-Haq (Allah swt.). Seperti Ibnu Arabi dengan konsep wahdat al-Manifest,
al-Halaj dengan konsep Hulul, Rabiah al-Adawiyah dengan konsep Mahabbah dan
masih banyak lagi yang lainnya. Selain apa yang telah disebutkan, kita akan
membahas seorang ulama besar yang pemikirannya sangat mempengaruhi Islam dan
filsafat dunia Timur, seorang yang sangat hebat dalam pemikiran dan seorang tokoh
sufi yang terkenal, yaitu Imam Al-Ghazali, yang memiliki julukan Islam Hujjatul.
Pemikiran Al-Ghazali sangat beragam, dari bidang teologi (kalam), tasawuf dan
filsafat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka
dapat di rumuskan:
1. Bagaiman biografi Imam Ghazali?
2. Bagaimana konsep filsafat metafisika Al-Ghazali?
3. Mengapa Al-Ghazali mengkritik konsep ketuhanan filsuf terdahulu?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui biografi Imam Ghazali
2. Untuk mengetahui konsep filsafat metafisika dari Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui alasan Al-Ghazali mengkritik konsep ketuhanan dari filsuf
terdahulu
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Ghazali


Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali Ath-Thusi asy-Syafi`i
(lahir di Thusi; 1058/450 H - meninggal di Thusi; 1111/14 Jumadil Akhir 505 H; usia
52–53) adalah seorang filsuf Islam dan teologi Persia, yang dikenal sebagai Algazel di
dunia Barat abad pertengahan.
Ia berkuniah dengan Abu Hamid karena salah satu anaknya bernama Hamid.
Gelar al-Ghazali ath-Thusi dikaitkan dengan ayahnya, yang adalah seorang pemintal
bulu kambing, dan tempat kelahirannya adalah Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan,
Persia (sekarang Iran). Sedangkan gelar ash-Syafi'i mengisyaratkan dia termasuk
bermazhab Syafi'i. Dia berasal dari keluarga miskin. Ayahnya memiliki cita-cita yang
besar, yaitu ingin anaknya menjadi orang yang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali
adalah seorang cendekiawan, pemikir, dan filsuf Islam terkemuka yang telah
memberikan kontribusi besar bagi perkembangan umat manusia yang progresif.
Sebelumnya, ia menjabat sebagai naib konselor di Madrasah Nizhamiyah, sebuah
pusat pendidikan tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal pada 14 Jumadil
Akhir tahun 505 Hijriah sesuai dengan tahun 1111 M di Thus. Jenazahnya
dimakamkan di tempat kelahirannya.
Dia dianggap sebagai mujaddid abad ke-5, seorang pembaharu iman; Dia
yang, menurut tradisi kenabian, muncul setiap 100 tahun sekali untuk memulihkan
iman komunitas Muslim. Karya-karyanya begitu diakui oleh orang-orang sezamannya
sehingga al-Ghazali menerima gelar kehormatan "Bukti Islam" (Hujjat al-Islam).
Al-Ghazali percaya bahwa tradisi spiritual Islam hampir mati dan ilmu-ilmu
spiritual yang diajarkan oleh generasi pertama umat Islam telah dilupakan. Keyakinan
ini mendorongnya untuk menulis Magnum opusnya yang berjudul Ihya Ulumuddin
(Kebangkitan Ilmu Agama). Di antara karyanya yang lain, Tahafut al-Falasifah
(Terjemahan Kekacauan Para Filsuf. Incoherence of the Philosophers) merupakan
tonggak penting dalam sejarah filsafat, karena memajukan kritik terhadap ilmu
pengetahuan Aristotelian yang kemudian berkembang di Eropa abad ke-14.
B. Filsafat Metafisika Al-Ghazali
Dalam al-Munqidz, al-Ghazali telah mengklasifikan filosof menjadi tiga
kelompok di atas. Setelah itu al-Ghazali mencoba mengalihkan perhatian pada
pembagian ilmu-ilmu mereka dari segi tujuan yang ingin dicapai. Dalam
pandangannya, al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu tersebut menjadi 6 kelompok;
yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik, dan etika. Di antara menjadi
fokus di sini adalah metafisikanya. Berbicara metafisika, tidak bisa lepas dengan
masalah ketuhanan (ilahiyyat). Madkour menyebutkan bahwa dalam masalah
ketuhanan, al-Ghazali banyak mengikuti dan membentengi aliran Asy’ariyah. Al-
Ghazali sebagaimana penganut al-Asy’ariyah mencoba menselaraskan akal dengan
naql.
Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia
biasa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain. Namun al-Ghazali
menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati
batas-batas ini. Meskipun demikian, argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al-
Asy’ari mengenai konsep ketuhanan (ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi
yang bersifat filosofis daripada argumentasi agamis. Oleh karenanya, Al-Ghazali
kemudian mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, yaitu
menempuh jalan tasawuf.
1. Wujud dan Sifat Allah
Dalam perdebatan terkait sifat-sifat Allah, al-Ghazali memegang
pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga tidak menerima pendapat yang
dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun Mu’tazilah, karena kedua aliran
ini dianggap sebagai aliran kaum ekstrimis. Aliran Hasywiyah berpedoman
teguh pada arti dari suatu teks (ayat al-Quran dan al-Sunnah) agar mereka
tidak menghindarkan Allah dari berbagai sifat, sehingga mereka terkesan
antropomorfis (tajsim). Sebaliknya Mu’tazilah berlebihlebihan dalam
menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat Allah. Yang
paling baik menurut al-Ghazali adalah jalan tengah. Lebih tegas al-Ghazali
menjelaskan. Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Allah menciptakan
alam dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah
sebab bagi segala yang ada (al-maujudat), sedang ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu. Lebih lanjut al-Ghazali menetapkan adanya sifat Zat yang diistilahkan
dengan sifat Salbiyah, yakni sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kesempurnaan Zat Allah. Sifat Salbiyah ini ada lima; Qidam, Baqa’,
mukhalafat li alhawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyah. Dengan
adanya sifat-sifat ini pada Zat Allah, maka menjadi tiada kesempurnaan
makhluk dan dan hanya Allah-lah yang maha sempurna.
Sedangkan tentang wujud Allah, Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan
pendapat para filosof paripatetik lainnya, semisal al-Kindi, al-Farabi dan Ibn
Sina. Bahwa Tuhan merupakan prima kausa (penyebab pertama). Menurut
mereka Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai makhluk-
makhluk-Nya, kekal dan tak akan Fana. Menurut al-Farabi, Allah adalah
Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Bijak, Allah adalah Dzat yang harus
ada karena diri-Nya sendiri (wajib al-Wujud di Dzatihi) dan sebab pertama
dalam segala entitas (kausa prima). Wujud-Nya merupakan wujud yang paling
sempurna, Maha Suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk, aksi dan
efisiensi. Allah dengan subtansi-Nya merupakan akal aktual karena Dia suci
dari materi. Dengan subtansi-Nya, Allah juga ma’qul (kategori, obyek
pengetahuan), karena Dia mengetahui Dzat-Nya. Terkait dengan penciptaan
alam, menurut al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa wujudnya alam bukanlah dan
bukanlah diciptakan, Allah memang prima kausa, penyebab pertama,
penggerak pertama, wajib al-Wujud. Namun, Allah bukanlah pencipta alam,
melainkan sebagai penggerak pertama. Allah menciptakan sesuatu dari bahan
yang sudah ada secara pancaran (emanasi). Dengan demikian, Allah
menciptakan alam semenjak azali alam semenjak azali dengan materi alam
berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam
adalah baru berasal dari pancaran pikiran Akal Pertama.
Menurut al-Ghazali teori ketuhanan (ilahiyyat) al-Farabi dan Ibnu Sina
yang teperngaruhi oleh filsafat Aristoteles, lebih me-Mehasuci-kan dan me-
Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum
Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang memiliki cela
inderawi dan materi. Tuhan digambarkan secara rasional murni, yang lebih
mendekati teori transenden dan tak terhingga yang dikembangkan oleh filosof-
filosof modern. Lebih jelas al-Ghazali mengemukakan, pemikiran al-Farabi
dan Ibnu Sina tersebut jelas-jelas tidak bisa diterima dalam pandangan Islam.
Sebab, dalam ajaran Islam (yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits) Allah
merupakan Dzat yang Pencipta (al-Khaliq), yaitu yang menciptakan sesuatu
dari tiada. Kalau alam dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah
diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.
2. Iradah (Kehendak) Allah dan Hubungannya dengan Hukum Kausalitas
Alam merupakan sesuatu yang diciptakan, Al-Ghazali mengungkapkan
bahwa alam (dunia) itu berasal dari iradah (kehendak) Allah semata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya, sebagaimana yang diyakini oleh filosof Islam
sebelumya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-
undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih
abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan
adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek)
manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap
bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia
ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Al-Ghazali sebenarnya tidak mengingkari adanya hukum kausalitas.
Namun yang ia ingkari adalah pendapat para filosof Muslim yang mengatakan
bahwa hubungan sebab akitab merupakan hubungan kepastian atau
keniscayaan. Sikap al-Ghazali ini didasiri oleh konsep bahwa Allah adalah
pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar kebiasaan.
Al-Ghazali sangat menekankan pada kehendak Tuhan, suatu sifat yang
mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan. Dengan
mempertimbangkan premis-premis ini, adakah tempat bagi sebab-sebab
alamiah atau causae secundae dalam sistem pemikiran al-Ghazali? Malah
kausalitas mungkin merupakan masalah yang paling banyak dibahas dalam
literatus historiografis tentang pemikir ini. Bahkan belakangan ini sejumlah
sarjana menggarap masalah ini.
Menurut al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat
dharuri (kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan
yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki
individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan dan kenyak tidak
terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak
niscaya merasa kenyang Karena makan tidak mesti menyebabkan orang
kenyang. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang karena makan
tidak mesti menyebabkan orang kenyang, begitu pula kertas tidak mesti
terbakar meski terkena api. Ini merupakan adat kebiasaan alam, bukan
sesuatan keniscayaan. Terjadinya segala sesuatu itu hanya karena kekuasan
dan kehendak Sang Maha Pencipta yaitu Allah Swt. Sebagai contoh, kertas
tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.
Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan
sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi
suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
Namun, merupakan sebuah kesalahan jika ada yang menyatakan
bahwa al-Ghazali menolak secara mutlah keberadaan kausalitas alamiah,
menolak fakta bahwa api membakar kapas adalah sangat bodoh. Yang ditolak
al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat
yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat membakar. Jika
dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali
mengklaim bahwa kemungkinan in hanyalah karena tindakan bebas Tuhan.
Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif halhal konkret hanya
karena Tuhan menciptakan mereka.
Dalam pemikirannya tentang kausalitas, selain al-Ghazali, ada seorang
filosof barat yang bernama David Hume yang menyuarakan pemikiran, namun
al-Ghazali tentu lebih dahulu dalam teori kausalitas ini. Menurut al-Ghazali,
hubungan kausalitas hanyalah penampakan dan merupakan efek dari
kebiasaan manusia yang mengaitkan dua kejadian yang tejadi secaa konsisten
dalam alam; “Kontinuitas kebiasaan berkenaan dengan mereka (yaitu, hal-hal
yang kelihatannya niscaya, tetapi sebenarnya hanya munkin), dari waktu ke
waktu, menanamkan dengan kuat dalam pikiran kita kesan aliran (jarayan)
yang sesuai denga kebiasaan yang lalu sehingga kontinuitas tidak dapat
dipisahkan dari hal-hal tersebut.
Kebiasan yang menyimpang dari hukum kausalitasnya sejatinya terjadi
pada nabi-nabi Allah. Terkait dengan hal ini, Zar menjelaskan dengan
memberi pertanyaan, apakah hal ini terjadi karena kekuatan diri nabi sendiri
atau disebabkan hal lain? Dalam hal ini baik para filosof Muslim maupun al-
Ghazali mempunyai pendapat yang sama, sebagaimana para filosof bisa
menerima terjadinya hujan petir, gempa bumi atas kekuatan diri nabi atau
karena hal lainnya. Namun yang lebih penting kata al-Ghazali, harus
mengakui bahwa semuanya melalui perantaraan malaikat sebagai mu’jizat
untuk menguatkan bukti kenabian mereka.
C. Konsep etika Al-Ghazali
Etika Islam menurut Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam di·dalam jiwa,
daripada lahirlah perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan
dipertimbangkan lagi. Apabila sifat itu sekiranya melahirkan perbuatan-perbuatan
baik dan terpuji menurut akal pikiran dan syara' dinamakan akhlaq yang baik dan
apabila menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk dinamakan akhlaq yang buruk
(Ya’qub, 1978: 45).
Menurut al-Ghazali, tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai
kebahagiaan, dan kebahagiaan yang paling utama harus ditemukan dalam kehidupan
yang akan datang. Sedangkan media untuk mencapai kebahagiaan tersebut ada dua
macam, yaitu amal baik lahiriah bermanfaat karena ketaatan kepada aturan-aturan
tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci serta upaya bathiniyyah untuk meraih
keutamaan jiwa (Abdullah, 2002: 38). Dalam pandanganya al-Ghazali maqam yang
pokok terdiri dari, yaitu taubat (taubah), sabar (shabr), syukur (syukr), pengharapan
(raja'), takut (khauf), asketisme (zuhud), tawakal (tawakkul) dan cinta (mahabbah).
Menurut al-Ghazali, semua maqamat sufisme tersebut berkaitan dengan hubungan
internal dari fakultasfakultas jiwa. Maqam atau keutamaan-keutamaan ini yang
merupakan media dan tanjakan yang harus dicapai oleh orang-orang tertentu dalam
pencarian mereka tentang kebahagian tertinggi (Al-Ghazali, 1993: 5).
a. Tawakkal
Tawakkal bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan
perantara untuk menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak
memikirkan hal-hal keduniaan serta apa saja selain Allah SWT. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala
sesuatu pada takdir dan kehendak Allah SWT (Hawwa, 2004: 31). Jadi, arti
tawakkal adalah bersandarnya hati kepada wakil semata-mata yaitu Allah
SWT.
b. Sabar
Sabar adalah suatu bagian yang utama dari akhlak manusia dan sangat
dibutuhkan seorang muslim dalam masalah dunia dan agama. Sebagai muslim,
wajib meneguhkan hatinya dalam menanggung segala ujian dan penderitaan
dengan tenang. Hendaklah kita senantiasa ingat kepada Allah SWT, ingat akan
kekuasaan-Nya dan segala kehendak-Nya (Al-Ghazali, 1992: 258). Al-Ghazali
berkata: “Allah menyebutkan orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat
dan menyebutkan kesabaran di dalam Al-Qu’ran lebih dari sembilan puluh
empat tempat. Bahkan Allah menambahkan keterangan sejumlah derajat yang
tinggi dan kebaikan, dan menjadikannya sebagai buah dari kesabaran” Ibnu
Qayyim al-Jauziyah (1992, 22) mengatakan bahwa hakikat sabar adalah
perilaku jiwa yang mulia yang dapat menahan dari perbuatan tidak baik,
kekuatan jiwa yang dapat mendatangkan kesalehan bagi dirinya dan kelurusan
perbuatannya. Sabar memiliki tiga macam, yaitu sabar akan ketaatan, sabar
dari kemaksiatan, dan sabar menerima cobaan.
c. Syukur
Ada beberapa pengertian tentang syukur, antara lain: 1. Pengakuan terhadap
nikmat pemberi nikmat dengan penuh ketundukan, pendapat ini memandang
pada perbuatan lisan disamping sebagian keadaan hati. 2. Pujian atas pemberi
nikmat dan kebaikan dengan menyebut kebaikan-Nya, pendapat ini hanya
memandang pada amal lisan semata. 3. Syukur adalah senantiasa berada
(i’tikaf) pada hamparan kebaikan hati (syuhud) dengan terus-menerus menjaga
kehormatan, pendapat inilah yang mencakup makna syukur, terdapat dalam
hati, lisan dan perbuatan.
d. Zuhud
Dunia harus dijauhi karena keberadaan dapat memutuskan hubungan hamba
dengan Tuhannya. Menurut al-Ghazali, kenikmatan dunia adalah kenikmatan
yang dirasakan bukan karena ketaatan kepada Allah namun hanya disandarkan
kepada hawa nafsu. Kegembiraan yang diperoleh hanya merupakan kepedihan
yang tertunda (Hawwa, 2004: 329). Ada tiga ke-zuhud-an yang harus ada pada
batin seseorang: 1. Tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih
karena hal yang hilang. Ini merupakan tanda zuhud harta. 2. Sama saja
disisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Ini merupakan
tanda zuhud dalam kedudukan. 3. Hendaknya selalu bersama Allah dan hati
lebih banya didominasi oleh lezatnya ketaatan, karena hati tidak dapat
terbebas sama sekali dari cinta, cinta dunia atau cinta Allah. Zuhud yang
disyariatkan adalah meninggalkan keinginan terhadap sesuatu yang tidak
bermanfaat untuk kehidupan akhirat yaitu berlebih-lebihan dalam sesuatu yang
sangat keduniawian. Menurut Imam Al-Ghazali, hakikat sikap zuhud adalah
membenci sesuatu dan menyukai hal lain, meninggalkan sesuatu yang berbau
duniawi dan membencinya serta menyukai akhirat. Seseorang telah bersikap
zuhud pada dunia dan tingkatan yang tertinggi adalah membenci segala
sesuatu selain Allah. Dalam pandangan al-Ghazali, zuhud dilakukan benar-
benar niat untuk Allah SWT, banyak orang yang meninggalkan harta lalu
mengatakan bahwa ia telah memiliki sifat zuhud (Hawwa, 2004: 351).
e. Khauf dan Raja’
Menurut al-Ghazali rasa takut (khauf) dan harap (raja’) merupakan dua sayap
yang dengan kedua sayap inilai orang-orang yang dekat dengan Allah terbang
mencapai setiap maqam/keutamaan yang terpuji. Raja’ adalah kesenangan hati
untuk menantikan apa yang disenanginya yang sangat erat kaitannya dengan
Allah SWT, sesuatu yang disenanginya dan dinantinya haruslah memiliki
sebab yang baik. Jika seseorang hamba menyemai benih iman dan
mengairinya dengan air ketaatan, membersihkan hati dari rumput-rumput
akhlak yang buruk, kemudian dia menantikan karunia Allah agar diteguhkan
dalam ketaatan (ada khauf/ketakutan disini) hingga kematian menjemputnya
dan khusnul khatimah yang membawa ampunan, maka penantiannya (raja’)
adalah harapan yang hakiki dan terpuji bahkan dapat mendorongnya untuk
senantiasa menjaga ketaatan dan melaksanakan segala tuntutan iman untuk
menyempurnakan sebab-sebab ampunan dan ibadah hingga ajal tiba.
f. Muhasabah
Muhasabah artinya memperhitungkan keadaan diri sendiri (introspeksi diri)
dengan menyadari kesalahan, kelalaian kekurangan sehingga dengan demikian
akan menaikan tingkatan iman ke tingkat yang lebih tinggi di sisiNya (Hamka,
1978: 104). Imam Al-Ghazali dalam sejarah intelektualnya mencari kebenaran
hakiki, mengambil ajaran tasawuf sebagai jalan yang mampu membawa
kepada kebenaran hakiki. Al-Ghazali mengatakan bahwa pemahaman
pemikiran itu melalui hati (Huda, 2008: 57). Hati yang bersih inilah yang akan
memancarkan akhlak yang mulai (akhlak al-karimah) pada diri seseorang.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali Ath-Thusi asy-Syafi`i
(lahir di Thusi; 1058/450 H - meninggal di Thusi; 1111/14 Jumadil Akhir 505
H; usia 52–53) adalah seorang filsuf Islam dan teologi Persia, yang dikenal
sebagai Algazel di dunia Barat abad pertengahan.
2. Madkour menyebutkan bahwa dalam masalah ketuhanan, al-Ghazali banyak
mengikuti dan membentengi aliran Asy’ariyah. Al-Ghazali sebagaimana
penganut al-Asy’ariyah mencoba menselaraskan akal dengan naql.
argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al-Asy’ari mengenai konsep
ketuhanan (ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi yang bersifat filosofis
daripada argumentasi agamis. Oleh karenanya, Al-Ghazali kemudian mencoba
kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, yaitu menempuh jalan
tasawuf.
3. Etika Islam menurut Al-Ghazali adalah sifat yang tertanam di·dalam jiwa,
daripada lahirlah perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan
dipertimbangkan lagi. Apabila sifat itu sekiranya melahirkan perbuatan-
perbuatan baik dan terpuji menurut akal pikiran dan syara' dinamakan akhlaq
yang baik dan apabila menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk
dinamakan akhlaq yang buruk (Ya’qub, 1978: 45).
B. SARAN
Dari uraian makalah Filsafat Imam Ghazali ini, maka tidak tertutup
kemungkinan lepas dari kesalahan. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran perbaikan makalah Filsafat Islam.
Demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Penulis berharap dengan terbitnya
karya tulis Makalah Filsafat Imam Ghazali sekiranya dapat menjadi tambahan
pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca. Dan penulis pun juga berharap agar
kita semua bisa memahami terkait pemikiran Imam Ghazali tentang Metafisika dan
konsep etika dari Imam Ghazali.
DAFTAR PUSTAKA

https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/61014191/AL-GHAZALI20191025-47690-
1f7vqai-with-cover-page-v2.pdf?
Expires=1664338314&Signature=SBmetrxGKP1DBoqkE-O70-
lOWZz1MqpwDWinSHlm5wvm67E1CIFuIv4F8m-
O6nxoAKETNZMEdm7WTs~DSDYnHy6-CiMdR-NNa-WTXMJ4vVbnf~xaf11JdL-
0y--
ab4NMxw6w~ckQzEZatoPf7PyL43GDlf2VyDAjgnpJzAx4GB~0J9F7JAwMXrh8m
8B~02kJq1t~XjKIkF3EGiAiSy9qzpPNfBckq4ZzbTS-5ClR9qvdui~YkKAR-
sdrS6H23XNqlH1hEgwOkf6MiDpb~YfocWMheWTE1-
Owh7NaZ62hDDEcl64~v7V87paHJTF~ibgt1arglk1lRYq-oJSqrfs8Kg__&Key-Pair-
Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA

https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali

https://media.neliti.com/media/publications/61998-ID-none.pdf

Anda mungkin juga menyukai