Anda di halaman 1dari 19

PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

MENURUT IMAM AL – GHAZALI

Diajukan untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen pengampu
Bapa Khalilurrahman, S.Pd.I,. M,Pd.

Oleh Kelompok 5

Ahmad Fauzi : 21.12.5320


Mahmud : 21.12.5333
Muhammad Jazuli : 21.12.5345
Muhammad Naufal : 21.12.5350

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
MARTAPURA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya dengan sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai satu acuan, untuk menambah wawasan
kita semua.

Penulis merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,


baik secara teknis maupun materi mengingat minimnya kemampuan yang
dimiliki. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari berbangai pihak
dibutuhkan demi penyempurnaan makalah ini. Penulis menyempaikan ucapan
terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan


setimpal kepada mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua
bantuan itu sebagai ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.

Martapura, 2 November 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar belakang................................................................................................1
B. Rumusan masalah..........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3
A. Biografi singkat Imam Al – Ghazali..............................................................3
B. Pemikiran filsafat pendidikan Imam Al – Ghazali.........................................4
C. Konsep kepribadian menurut Imam Al – Ghazali.........................................9
D. Tokoh yang berfilsafat selain Imam Al – Ghazali.........................................12
E. Karya – karya Imam Al – Ghazali.................................................................13

BAB III PENUTUP...........................................................................................15


A. Kesimpulan....................................................................................................15
B. Saran...............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i
(lahir di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, RI Iran, 1058 M / 450 H – meninggal
di Thus, 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H, umur 52-53 tahun) adalah seorang filsuf
dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia barat abad
pertengahan.

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang
terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan
manusia. Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah
Nizhamiyah. Imam Al-Ghazali mempuyai daya ingat yang kuat dan bijak
berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuanya tersebut. Ia terkenal
sebagai ahli filsafat Islam melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi.
Minatnya yang mendalam terhadap ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih,
filsafat dan mempelajari segala pendapat keempat mazhab-mazhab.

Imam AL-Ghazali berpendapat pendidikan adalah untuk mendekatkan diri


kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang.
Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada
Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Islam
memberikan batasan-batasan yang semuanya termaktub dalam syari’at. Sehingga
salah satu dari pemikiran pendidikan / filosof pendidikan Islam ini mengatakan
bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berdasarkan orientasinya
kepada Al-Quran dan Hadist.

1
B. Rumusan masalah

1. Mengenal siapa itu Imam Al Ghazali ?

2. Bagaimana mengetahui pemikiran filsafat pendidikan Islam menurut


Imam Al – Ghazali ?

3. Bagaimana mengetahui konsep kepribadian menurut Imam Al –


Ghazali?

4. Apa saja karya – karya Imam Al – Ghazali ?

C. Tujuan

1. Mengetahui secara singkat biografi Imam Al – Ghazali.

2. Mengetahui pemikiran filsafat pendidikan Islam menurut Imam Al –


Ghazali.

3. Mengetahui karya – karya Imam Al – Ghazali.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Imam Al – Ghazali


Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibn Muhammad
ibn Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah Al-Islam. Ia lahir di Thus bagian kota
Khurasan Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang sangat hidup
sederhana sebagi pemental benang, tetapi mempuyai semangat keagamaan yang
sangat tinggi. Hal ini terlihat pada simpatinya kepada ulama, dan harapanya agar
anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada manusia. Itulah
sebabnya, sebelun wafat, ia menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya
Ahmad yang saat itu masih kecil kepada seorang ahli sufisme Islam untuk
mendapatkan didikan dan bimbingan.

Pada tahun 488 H (1095 M), Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis


terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan filsafat), kegunaan
pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkanya. Akibatnya, ia menderita
penyakit yang sulit diobati selama dua bulan. Karena itu, Al-Ghazali tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah. Akhirnya, ia
meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun di
kota ini, Al-Ghazali melakukan uzla, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian, ia
pinadah ke Bait Al-Maqdis Palestina untuk melaksanakan ibadah serupa. setelah
itu, hatinya tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam
Rasulullah SAW. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota
kelahiranya Thus dan di sini pun, ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghazali
berlangsung selama sepuluh tahun. Pada periode itulah, ia menulis karyanya yang
terbesar Ihya Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).

Sebagai salah seorang pemikir besar di dunia Islam abad kelima Hijriah,
yang terkenal dengan julukan Hujjah Al-Islam. Dari pihak, Al-Ghazali dipandang
sebagai pembela Islam untuk menghidupkan keimanan umat Islam. Akan tetapi,
di pihak lain, Al-Ghazali dipandang sebagai penghanbat kemajuan pemikiran

3
umat Islam, dengan Tahafut Al-Falisifah yang mengakibatkan filsafat Islam
hampir tidak lagi muncul di dunia Islam1.

B. Pemikiran Filsafat pendidikan Imam Al – Ghazali

Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh


perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikan yang banyak
menentukan corak kehidupan suatu bangsa. Dalam masalah pendidikan Al-
Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme.

Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh


pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada
orang tua dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni,
laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran
apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan:

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tualah
yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(H.R. Muslim)2

Menurut buku Shalih Ahmad Al-Syami, Imam Al-Ghazali merupakan


salah satu dari banyak tokoh pemikir Islam yang memiliki beragam pengetahuan
dan wawasan luas serta menguasai berbangai disiplin ilmu kontemporer masa itu 3.
Salah satu keistimewaan Al-Ghazali adalah penelitian, pembahasan dan
pemikirannya yang sangat luas dan mendalam pada masalah pendidikan.

Selain itu, Al-Ghazali mempuyai pemikiran dan pandangan luas mengenai


aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak
semata-mata seperti yang dituduhkan oleh sebagian serjana dan ilmuan tetapi juga
memperhatikan aspek-aspek lain. Seperti aspek keimanan (ketauhitan, keesaan),
akhlak, sosial, jasmaniah, dan sebangainya. Jadi, pada hakikatnya usaha
pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingkan semua hal tersebut dan
mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang

1
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat. (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010). Hal. 253
2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama. 2005). Hal. 211
3
Shalih Ahmad Al-Syami, Imam Al-Ghazali Kisah Hidup Dan Pemikiran Sang Pembaru Islam.
(Jakarta Selatan: Zaman. Cetakan I, 2019). Hal. 13

4
dikembangakan Al-Ghazali (awal dari kandungan ajaran Islam dan tradisi Islam),
berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.

Pembahasan ini dapat diuraikan sesuai dengan urusan aspek-aspek


pendidikan sebagai berikut:

1. Aspek pendidikan keimanan

2. Aspek pendidikan akhlak

3. Aspek pendidikan akliah

4. Aspek pendidikan sosial

5. Aspek pendidikan jasmaniah

Maka dari itu kami akan membahas satu persatu dalam urusan aspek –
aspek pendidikan yang sudah kami sebutkan tadi:

1. Pendidikan keimanan

a. Iman Menurut Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali mengatakan. “Iman adalah mengucapkan dengan lidah,


mengakui besarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota”.
Pengertian iman di sini meliputi tiga aspek:

Pertama. Ucapan lidah atau mulut, karena lidah adalah penterjemah dari
hati. Tetapi bayi yang baru lahir mengakui adanya Allah SWT dengan pengakuan
jiwa , bukan pengakuan dengan lidah.

Kedua. Pembenaran hati, dengan cara itikad dan taklid bagi orang awam
atau manusia pada umumnya. Dan secara kasyaf (membuka hijab hati) bagi orang
khawas. Ketiga. Amal perbuatan yang dihitung dari sebagian iman, karena
melengkapi dan menyempurnakan iman. Maka bertambah dan berkurangnya iman
seseorang bergantung pada amal perbuatan.

b. Pendidikan keimanan bagi anak-anak (anak didik)

Dalam kitabnya, Al-Ghazali menganjurkan tentang asas pendidikan


keimanan ini agar diberikan kepada anak-anak sejak dini, yakni: “Ketahuilah

5
bahwa apa yang telah kami sebutkan itu mengenai penjelasan akidah (keyakinan)
maka sebaiknya didahulukan kepada anak-anak pada awal pertumbuhanya.
Supaya dihafalkan dengan baik, kemudian senangtiasalah terbuka pengertianya
nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar. Jadi, permulaannya dengan
menghapal , lalu memahami, kemudian beritikad, mempercayai dan
membenarkan, dan yang berhasil pada anak-anak, tanpa memerlukan bukti”.

Di sini jelas bahwa pendidikan keimanan, terutama akidah tauhid atau


mempercayai keesaan Tuhan harus diutamakan karena akan hadir secara
sempurna dalam jiwa anak perasaan ketuhanan yang berperan sebagai fundamen
dalam berbagai aspek kehidupannya4.

2. Pendidikan akhlak

Suatu bidang ilmu pengetahuan yang paling banyak mendapat perhatian


pengkajian dan penelitian oleh Al-Ghazali adalah lapangan ilmu akhlak karena
berkaitan dengan prilaku manusia. Sehingga hampir setiap kitab-kitabnya yang
meliputi berbangai bidang selalu ada hubunganya dengan pelajaran akhlak dan
pembentukan budi pekerti manusia.
Al-Ghazali memang sangat memperhatikan pendidikan akhlak dan
usahanya tidak pernah berhenti untuk mengarahkan kehidupan manusia menjadi
berakhlak, bermoral. Dia pun sebagai penggebrak kebiadaban. Hampir seluruh
hidupnya ia curahkan untuk berkampanye yang bertema Gerakan Akhlak Moral.5

3. Pendidikan akliah

Akal menurut Al-Ghazali “Akal adalah sebagai sumber ilmu


pengetahuan tempat terbit dan sendi-sendinya. Ilmu pengetahuan itu berlaku dari
akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon, sinar dari matahari dan
penglihatan dari mata.” Akal adalah sumber ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan. Akal dapat di pergunakan untuk menemukan dan menciptakan alat-
alat yang berguna baginya. Al-Ghazali menjelaskan empat pengertian akal,
dengan pengertian yang bertungkat:
4
Hamdani Ihsan, & A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Pustaka Setia. 2007).
Hal. 235
5
Ibid. hlm.239

6
a. Akal adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari binatang. Dan
akal bersedia menerima berbagai macam ilmu pengetahuan yang nadhariah dan
mengatur pekerjaan-pekerjaan yang ringan dan mudah pemikirannya.
b. Hakikat akal adalah ilmu pengetahuan tang tumbuh pada anak usia
tamyiz, yaitu dapat membedakan kemungkinan hal yang mungkin dan
kemustahilan hal yang mustahil, seperti mengetahui dua lebih banyak dari satu
dan orang tidak ada pada dua tempat dalam waktu yang sama.
c. Hakikat akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman
dengan berlangsungnya berbagai keadaan. Maka orang yang telah diperkokoh
pemahamannya oleh pengalaman-pegalaman, ditambah pengetahuannya dengan
berbagai mazhab (paham), disebut berakal.
d. Hakikat akal adalah puncak kekuatan gazirah (semangat) untuk
mengetahui akibat dari semua persoalan dan mencegah hawanafsu, yang megajak
pada kesenangan seketika dan mengendalikan syahwat tersebut6.

4. Pendidikan sosial
Konsep sosial menurut Al-Ghazali. Secara sosiologi, manusia adalah
makhluk sosial, Zoon Politicon Homo Socios, ia tidak dapat hidupseorang diri dan
terpisah dari manusia yang lain. Manusia senantiasa hidup dalam kelompok-
kelompok yang saling menguntungkan, baik kelompok kecil seperti keluarga
maupun kelompok besar masyarakat.
Dalam Ihya Ulumuddin Jus 1, Al-Ghazali mengatakan: “Akan tetapi,
manusia itu dijadiakan Allah SWT, dalam bentuk yang tidak dapat hidup sendiri.
Karena tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya baik untuk
memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh roti dan nasi,
memperoleh pakaian dan tempat tinggal serta menyiapkan alat-alat untuk itu
semuanya. Dengan demikian, manusia memerlukan pergaulan dan saling
membantu.” Al-Ghazali telah meletakkan dasar-dasar konsep sosial, ekonomi
dan budaya manusia pada sembilan abad yang lampau, yang dewasa ini telah
dikembangkan secara luas oleh para serjana modern ke dalam berbagai macam
aliran dan disiplin ilmu pengetahuan7.
6
Ibid, hlm.251
7
Ibid. hlm. 255

7
Jadi menurut Al-Ghazali, terdapat beberapa lingkungan pergaulan di
dalam masyarakat:
• Lingkungan keluarga
• Lingkungan tetangga
• Lingkungan sahabat
• Lingkungan persaudaraan Islam

5. Pendidikan jasmaniah
Konsep jasmaniah menurut Al-Ghazali. Menempatkan aspek jasmaniah
manusia pada tingkat ketiga dari tingkat-tingkat kebahagiaan manusia, ai
berpendapat:
“Keutamaan-keutamaan jasmaaniah terdiri dari empat macam:
kesehatan jasmani, kekuatan jasmani, keindahan jasmani, dan panjang umur.”
Aspek jasmaniah merupakan salah satu dasr pokok untuk mendapatkan
kemajuan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Akal dan jiwa yang sehat
terdapat pada jasmani yang sehat pula. Hubungan antara jasmaniah dan rohaniah
saling memberikan pengaruh timbal balik, yaitu hak-hal yang berpengaruh pada
jiwa akan berpengaruh pada jasmani, demikian sebaliknya.
Al-Ghazali sangat memperhatikan dan menekankan aspek jasmaniah untuk
mencapai keutamaan-keutamaan rohaniah. Tujuan pendidikan jasmaniah ini
adalah untuk mengadakan keselarasan antara jiwa dan raga, antara jasmani dan
rohani, bukan hanya kesehatan jasmani semata-mata.
Bahkan Al-Ghazali memandang aspek jasmaniah sebagai sarana untuk
mencapai maksud manusia, dan sarana untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
agama8.

C.Konsep kepribadian menurut Imam Al-Ghazali


Dalam hal ini Al-Ghazali menggunakan empat term untuk hakikat
Manusia yaitu: hati (al-Qalb), ruh (al-Ruh), akal (al-Aql) dan jiwa (al-Nafs).

8
Ibid. hlm. 259

8
Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu
identitas esensial yang menyebabkan sesuatunya menjadi dirinya sendiri dan
membedakan dari yang lainnya. Manusia dipandang sebagai makhluk historis.
Karena mempunyai sejarah ia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
Al-Ghazali dalam kitab-kitab filsafatnya menyatakan bahwa manusia
mempuyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu: al-Nafs
(jiwanya). Yang dimaksud dengan al-Nasf adalah substansi yang berdiri sendiri,
tidak bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-
Ma’qulat).
Al-Ghazali juga mengemukakan pembuktian dengan keyataan faktual dan
kesadaran lamgsung. Melalui pembuktian bahwa dengan keyataan faktual, Al-
Ghazali memperlihatkan bahwa di antara makhluk-makhluk hidup terdapat
perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Ghazali ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya, yaitu
kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada, bahwa ai sadar bahwa ia sadar.
Pusat kesaran itulah yang disebuat al-Nafs al-Insaniyyah. Prinsip inilah yang
betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Al-Ghazali menggunakan berbagai term untuk esensi manusia selain al-
Nasf, ia juga menyebutnya al-Qald, al-Ruh dan al-Aql. Ia menyebut keeampat
term itu sebagai al-Alfazh al-Mutaradifah (kata-kata mempunyai atri yang sama).
Penggunaan term yang empat itu untuk meunjukkan esensi manusia,
mungkin sekali didasarkan keinginan mempertemukan konsep-konsep filsafat,
tasawuf, dan syara’ (sumber-sumber ajaran Islam)9.

1. Kedudukan hati, ruh, akal dan jiwa


a. Hati (al-Qalb)
Kata hati al-Qalb memiliki dua makna yaitu:
pertama, hati berarti daging berbentuk pohon cemara yang ada d bagian
kiri dada. Di dalamnya terdapat rongga yang dialiri darah bewarna hitam. Ia

9
Hana Mukaromah, 2019. Konsep Kepribadian Menurut Al-Ghazali Dan Kontribusinya Dalam
Proses Konseling. (Falkutas Dakwah. Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi:
Jambi). Hal. 27-28

9
merupakan sumber dan pusat ruh. Dengan bentuk ini, daging tersebut huga ada di
dalam tubuh hewan dan orang mati.
Kedua, hati adalah sesuatu yang menggandung lathifah rabbaniyah
ruhaniyah. Lathifah inilah yang mengetahui Allah SWT dan menjangkau sesuatu
yang tidak bisa dijangkau kekuatan imajinasi dan ilusi manusia. Hati merupakan
substansi manusia dan juru bicaranya. Al-Ghazali berpendapat bahwa hati
diciptakan untuk memproleh kebahagian akhirat.
Al-Ghazali berkata. “sesungguhnya makanan hati adalah hikmah,
ma’rifat dan mencintai allah swt, akan tetaapi kadang hati membelot dari
tabiatnya karena ia sakit yang telah menyerangnya”.10

b. Ruh (al-Ruh)
Kata ruh al-Ruh memiliki dua makna yaitu:
Pertama, ruh dalam pengertian alami, yaitu uap yang bersumber dari darah
berwarna hitam yang ada dalam rongga hati (dalam pengertian daging berbentuk
pohon cemara). Ia beredar mengikuti peredaran darah yang mengalir melalui urat
dan pembunuh darah ke seluruh anggota tubuh. Perumpamaanya seperti pelita di
dalam rumah yang menerangi seluruh bagian dan penjuru rumah. Ruh dalam
inilah yang dimaksudkan oleh para dokter.
Kedua, ruh dalam pengertian sebagai lathifah rabbaniyah (sesuatu yang
sangat halus yang bersifat ketuhanan). Pengertian ruh yang kedua ini sama dengan
pengertian hati. Dengan demikian, berarti ruh dan hati sama-sama bermakna
lathifah rabbaniyah. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah SWT
“Dan mereka bertaya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu
termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. (QS. Al-Isra’ : 17)11.

c. Akal (al-Aql)
Akal juga memiliki dua makna.
10
Ibid. hlm. 29
11
Ibid. hlm. 32

10
Pertama, akal merupakan substansi banyak hal. Kedua, akal adalah
sesuatu yang kauketahui. Maka dalam pengertian ini ilmu menjadi sifat akal.
Dalam pengertian ini, akal adalah lathifah rabbaniyah sebagaimana juga hati, ruh,
dan jiwa. Al-Ghazali menggunakan empat pengertian pada akal pertama, akal
adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari binatang, yaitu gharizah
(pembawaan dasar) yang siap menerima pengetahuan teoritis.
Kedua, akal adalah ilmu atau pengetahuan tentang kemastahilan sesuatu
yang mustahil, kemungkinan sesuatu yang mustahil dan kemestian sesuatu yang
mesti, ini disedut hawiyyah ‘aqliyyah.
Ketiga, akal adalah ilmu yang diusahakan (‘ulum muktasabah) yang
dicapai melalui pengalaman dinamis. Pengertian ini sesuai dengan pengertian akal
teoritis yang dikemukakan para filosof.
Keempat, akal adalah segala pengetahuan dari gharizah yang mendorong
manusia mencari kenikmatan praktis12.
Al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki banyak fungsi dan aktivitas.
Fungsi dan aktivitas akal (al-af’al al-_’aqliyyah) yang dimaksud adalah:
• Al-Nazhar (sight atau vision). secara bahasa berarti melihat,
mempertimbangkan, memperhatikan, mengawasi dan menyidik dengan pikiran.
Secara istilah berarti daya akal yang mencapai penglihatan reflektif untuk
mencapai berbagai kesimpulan yang konkret.
• Al-Tadabbur. Daya akal yang dapat memperhatiakan sesuatu
secara seksama dan teratur, yang mengikuti logika sebab akibat.
• Al-Ta’ammul. Daya akal yang mampu merenungkan sesuatu yang
abstrak dan tidak harus terkait dengan fakta-fakta empiris.
• Al-Istibshar. Daya akal yang mencapai wawasan, pengetahuan dan
pengertian yang mendalam. Mampu memecahkan dan menyelesaikan masalah
yang rumit dengan metode yang baru.
• Al-I’ibar. Daya akal yang mampu mengaitkan satu peristiwa
dengan peristiwa tertentu atau mengaitkan satu tanda dengan peristiwa tertentu.

12
Ibid. hlm.33 – 34

11
• Al-Tafkir. Daya akal yang mampu memproses sesuatu secara
simbolis, pemecahan masalah yang mencangkup ideasional yang didasarkan atas
pendekatan argumentatif dan logis.13

d. Jiwa (al-Nafs)
Kata jiwa al-Nafs memiliki dua makna yaitu:
Pertama, jiwa yang dimaknai sebagai kekuatan yang menghimpun amarah
, hasrat dan sifat-sifat tercela.
Kedua, nafs adalah pengertian lathifah rabbaniyah. Dalam pengertian
kedua ini, nafs juga memiliki arti yang sama dengan hati dan ruh. Dengan
demikian, jiwa (nasf) bermakna lathifah. Ia merupakan substansi manusia yang
membedakannya dari hewan lain14.
D. Tokoh yang berfilsafat selain Imam Al – Ghazali
Al-Kindi, sebagai filosof Islam yang pertama, menyatakan bahwa antara
filsafat dan agama, keduanya adalah kebenaran. Selanjutnya al-Farabi
menambahkan bahwa kebenaran yang dibawa oleh wahyu dan dihasilkan oleh
filsafat hakekatnya hanya satu, sungguhpun bentuknya berbeda.
Pendapat al-Farabi kemudian diteruskan oleh Ibnu Maskawaih dan Ibnu
Sina, hal ini lebih jelas ketika membaca teori kenabian mereka. Ibnu Tufail dalam
karyanya "Hayy Ibn Yakzan" mempertunjukkan keharmonisan antara filsafat dan
agama. Ia mengangkat sebuah kisah petualangan antara Hayy yang pada mulanya
diasuh oleh seekor rusa yang kematian anak, lalu menemukan hakekat lewat
akalnya setelah is dewasa; dan Absal, sebagai tokoh yang dibesarkan oleh agama
Wahyu; keduanya bertemu di sebuah pulau terpencil, tempat Hayy dibesarkan.
Lalu berdialoglah keduanya berdasarkan pengetahuan masing-masing,
dan ternyata keduanya menemukan titik persamaan yaitu kebenaran yang hakiki.
Ibnu Rusyd sebagai pembela filosof kelas wahid, meninjaunya dari segi lain. Ia
bertolak dari pendapat umum, mengenai bolehnya menakwilkan ayat-ayat
mutasyabih. Ibnu Rusyd menuturkan bahwa kalau ulama fiqhi dan kalam boleh
menakwilkan ayatayat itu, maka tidak ada salahnya bagi filosof untuk
melakukannya, bahkan filosof lebih berhak untuk itu karena merekalah yang
13
Ibid, hlm.35
14
Ibid, hlm. 36

12
lebih banyak menekuni bidang pemikiran. Dengan demikian filsafat mempunyai
tempat yang sangat mulia dalam Islam15.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, penulis tidak bermaksud mendukung
pandangan yang anti kepada filsafat atau meyakini sepenuhnya pendirian filosof,
yang penting bahwa kedua pernyataan itu perlu dipertimbangkan untuk
menciptakan filsafat Islam yang lebih matang. Bagi penulis, tanpa mengurangi
penghargaan kita pads filosof-filosof klasik Islam, ada baiknya
mempertimbangkan penilaian dan kritikan tersebut sebab mungkin sekali terjadi
bahwa hakekat filsafat Islam terletak di antara dua ujung yang berlawanan itu,
mengingat bahwa filsafat Islam bukanlah suatu cara berpikir yang konstan,
melainkan ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, sebagaimana
halnya proses yang dialami oleh filsafat sebelumnya.
E. Karya-karya imam Al-Ghazali
Sebagai seorang ulama besar, filosof dan intelektual papan atas Al-Ghazali
telah melahirkan banyak karya besar. Banyak di antara karya-karyanya yang
masih terus diperbincangkan, didiskusikan, dikutip, diteliti dan dikaji hingga kini,
pemikiran dan ide-ide Al-Ghazali yang tertuang di berbagai karyanya itu masih
terus dikaji secara intensif, jika diklasifikasikan sesuai dengan disiplin ilmu
pengetahuannya, maka karya-karya Al-Ghazali antara lain masuk kategori:
Teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqih), tasawuf, filsafat, akhlak
dan autobiografi. Lebih jelasya klasifikasi karya-karya Al-Ghazali itu di antaranya
bisa diketahui sebagai berikut16:
1. Bidang teologi
• Kitab Al-Munqidh min adh-Dhalal
• Kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
• Kitab Al-Ikhtishof fi al-‘Itishad
• Kitab Al-Risalah al-Qudsiyyah
• Kitab Al-Arba’in fi Ushul ad-Din
• Kitab Mizan al-Amal
• Kitab Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
15
perbedaan pendapat ulama tentang urgensi filsafat dalam islam oleh Basyir Syam.M Jurnal
Aqidah-Ta Vol.III No.2 tahun 2017
16
Muhammad Ghofur, Samudera hikmah Al-Ghazali. (Yogyakarta: Araska. Cetakan I, April
2019). Hal. 25

13
2. Bidang tasawuf
• Kitab Ihya Ulumuddin
• Kitab Kimiya as-Sa’adah
• Kitab Misykat al-Anwar
• Kitab Minhaj al-Abidin
• Kitab Akhlak al-Abras wa an-Najah min al-Asyhar
• Kiyab Al-Washit
• Kitab Al-Wajiz
• Kitab Az-Zariyah ila Makarim asy-Syari’ah

3. Bidang filsafat
• Kitab Maqasid al-Falasifah
• Kitab Tahafut al-Falasifah

4. Bidang fiqih
• Kitab Al-Mushtasfa min ‘Ilm al-Ushul
• Kitab Al-Mankhul min Ta’liqah al-Ushul
• Kitab Tahzib al-Ushul

5. Bidang logika
• Kitab Mi’yar al-Ilm
• Kitab Al-Qistas al-Mustaqim
• Kitab Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq
• Kitab Al-Ma’arif al-Aqliyah
• Kitab Asrar Ilmi ad-Din
• Kitab Tarbiyatul Aulad fi Islam17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
17
Ibid, hlm. 27 - 30

14
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh
perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak
menentukan corak kehidupansuatu bangsa dan pemikirannya.Dalam masalah
pendidikan al-ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, hal ini antaralain
disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak
didik.Menurutnya seseorang anak tergantung kepada orang tua dan anaknya yang
mendidiknya.

Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang amat berharga,
sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan
Rasulullah SAW yang menegaskan:

“bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang
tuanya lah yang menyebabkananak itu menjadi penganut Yahudi , Nasrani, atau
Majusi” (H.R.Muslim).

Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup


yang baik, makaanak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu di biasakan
kepada hal-hal yang jahat, maka anakitu akan berakhlak jelek. Pentingnya
pendidikan ini didasarkan pada pengalaman hidup al-ghazali sendiri, yaitu sebagai
orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai berbagaiilmu
pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan

B. Saran

Adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bisa
memberi sedikit banyaknya pengetahuan tentang (pemikiran filsafat pendidikan
Islam menurut Imam Al-Ghazali), dan kami menyarankan para pembaca untuk
membaca buku-buku yang lain. Kami meminta maaf jika terdapat kesalahan
dalam penulisan makalah kami ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Syami, Shalih. Imam Al-Ghazali Kisah Hidup Dan Pemikiran Sang Pembaru
Islam. (Jakarta Selatan: Zaman. Cetakan I, 2019).

15
Ghofur, Muhammad. Samudera hikmah Al-Ghazali. (Yogyakarta: Araska. Cetakan I,
April 2019).

Ihsan, Hamdani. & A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Pustaka Setia.
2007).

Mukaromah, Hana. 2019. Konsep Kepribadian Menurut Al-Ghazali Dan Kontribusinya


Dalam Proses Konseling. (Falkutas Dakwah. Universitas Islam Negeri Sultan
Thaha Saifuddin Jambi: Jambi).

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama. 2005).

Sofyan, Ayi. Kapita Selekta Filsafat. (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010).

16

Anda mungkin juga menyukai