Disusun Oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan nikmat, berupa nikmat iman, nikmat islam, dan juga nikmat sehat wal afiyah
sehingga penulis dapat melaksanakan tugas makalah yang telah di berikan dari Bapak Sulhan,
M.S.I yang berjudul Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Al Ghazali tanpa ada halangan suatu
apapun.
Dan juga sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Nabi kita, Nabi yang paling
mulia, Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan hingga zaman terang benderang dan dari zaman biadab hingga zaman beradab. Semoga
kita semua kelak mendapatkan syafaatnya di yaumil Qiyamah nanti. Aamiin
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................................... i
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 11
B. Saran .......................................................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Al Ghazali?
2. Apa saja Karya-karya dari Al-Ghozali ?
3. Apa saja konsep pemikiran pendidikan islam menurut Al-Ghozali ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui biografi dan riwayat hidup dari Al-Ghozali.
2. Untuk mengetahui karya-karya dari Al-Ghozali.
3. Untuk mengetahui konsep pemikiran pendidikan islam menurut Al-Ghozali.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-
Thusi An-Naysa buri. Ia lahir di kota Thus yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang
terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya adalah seorang sufi
yang sangat wara’, yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah
memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan
sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan
dan pendidikan.1
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan
dan penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-
kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai
dengan belajar Fiqh.2 Pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-
Razakani di Thus kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia
kembali ke Thus lagi.3 Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan
pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang
oleh sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa.
Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia
meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan
tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung
di dalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan tas
itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami
1
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), hlm. 97
2
Al-Ghazali, Mutiara (Bandung: Mizan, 2003)
3
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 82
2
kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan
kitab-kitab itu di suatu tempat khusus yang aman.
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, Al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar
untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk.
Dengan semakin mencuatnya nama Al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian
memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah,
dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi
Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, di tengah
ketenarannya sebagai seorang ulama, di sisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme
yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala
kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya
dengan ketakwaan.
4
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 28
5
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
hlm. 87
3
Setelah mengajar di berbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, pada tahun
500 H/1107 M Al-Ghazali kemudian kembali ke kampung halamannya, banyak bertafakkur,
menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada
madrasah yang ia dirikan di sebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat
bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M, Imam
Al-Ghazali berpulang ke rahmatullah di tanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.
4
Yang termasuk karya monumental Al-Ghozali yaitu “Ihya Ulum al-Din”
(menghidupkan kembali Ilmu Agama)6 kitab ini membuat pemikiran orsinil Al-Ghozali,
yang berisi ilmu pengetahuan, cahaya petunjuk, sendi-sendi keimanan, dan ma’arifat.
Al-Ghozali sangat berpengaruh dalam dunia Islam, sehingga tidak mengherankan
jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah salah seorang tokoh terpenting setelah nabi
Muhammad SAW, ditinjau dari segi pengaruh dan perannya dalam menata dan
mengukuhkan ajaran keagamaan. Adapun karya-karya monumental Al-Ghozali yang lain
yaitu: Mizanu al-A’mal, al-Arba’in, al-Tabru Masbuk Fi Nashah al-Mulk, dll.
Konteks senada dipaparkan oleh Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, bahwa
kitab-kitab karya Al-Ghozali pada perkembangan pemikiran Islam secara khusus, dan
secara umum pada pemikiran humanisme.
Dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutip oleh Mahmud dalam bukunya pemikiran
pendidikan islam mengatakan bahwa sentral dalam pendidikan adalah hati, sebab hati
adalah esensi dari manusia. Menurutnya subtansi manusia bukanlah terletak pada unsur-
unsur yang ada pada fisiknya melainkan berada pada hatinya sehingga pendidikan
diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia.7
6
Nurcholish Madjid, et.al., Ensiklopedia Islam Untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm.
57
7
Mahmud, PemikiranPendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 245
5
2) Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sedangkan ditinjau dari sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu :
ilmu yang terpuji (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang
fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk
mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka
beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka
seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain
yang kurang kadar kecerdasan akalnya.
6
ilmu pada umumnya tetapi melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi
dalam qalbu, yang mana memperolehnya adalah menggunakan pendekatan ta’lim
rabbani.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan
yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi
hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar
hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan
pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan
punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali
menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-
nya. Di samping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang
mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia
secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang
hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh
kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.
Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak
didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai
kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan
murid. Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang
utama dan sangat penting dalam pandangannya.
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang
dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah
proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan.
Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan
antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena
memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan
tambahan pengetahuan yang didapatkannya.
d. Pendidik menurut Al-Ghozali
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga
menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar
pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal
itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia
7
menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya
telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya
terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya
ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan
tugasnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi
tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam
bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah
yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus,
yaitu:
1. Memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang.
2. Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3. Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada
Allah SWT.
4. Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik,
halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan
murid di depan umum.
5. Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian
lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
6. Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7. Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan
perbedaan usianya.
8. Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya
merealisasikannya sedemikian rupa.
e. Peserta didik menurut Al-Ghozali
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih
lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali
dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja
disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya
adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik
betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
8
Dalam pandangan Al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat
banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2. Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji
kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4. Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara manusia.
5. Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat
mengetahui hakikatnya.
6. Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7. Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk menghiasi batinnya dengan sesuatu
yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil karyanya di
semua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada satu segi saja
misalnya segi tasawuf, dengan demikian kesan Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis,
hanya bergerak dibidang ruhani dan perasaan jiwa.
Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan social bagi
umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan
hidup manusia hingga mencapai insan kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada
Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat kelak. Pencapaian kesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan
tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
Materi pendidikan isalam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-
Sunnah ialah berisikan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan
hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan
dengan begitu si penuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.
B. Saran
Mohon berikanlah tambahan dan juga kritik yang membangun apabila ada
kekurangan dan juga kesalahan dalam materi yang saya sampaikan, karena penulis
menyadari bahwa minimnya ilmu dan masih banyak kekurangan di dalam materi yang
penulis paparkan. Semoga materi yang saya sampaikan walaupun sedikit bisa memberikan
manfaat dan juga tambahan ilmu bagi pembaca terlebih bermanfaat buat penulis sendiri.
Aamiin.
10
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000).
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989).
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan,
2002).
11