Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
AL- GHAZALI

Dosen Pengampu :Munawaroh, M.Pd

Disusun Oleh:
M. Muniran : 22312054
Muzaki Zarkasih : 22312104

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH DARUL FATTAH BANDAR


LAMPUNG JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TAHUN
2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wata‟ala yang telah mencurahkan nikmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan dosen pembimbing khususnya kepada Ibu
Munawaroh, M.Pd.I. dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
pemimpin paling mulia, manusia yang paling baik akhlaknya yaitu Nabi Muhammad shalallahu alaihi
wasallam, kepada keluarganya, para sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
AAMIIN YA ROBBAL „ALAMIN.

Penulisan makalah ini bertujuan Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Agama
Islam. Dimana didalamnya akan membahas tentang Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Al-Ghazali.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, bagi penulis khususnya dan
bagi teman-teman mahasiswa pada umumnya. Penulis sadar bahwa makalah ini belum sempurna dan
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak yang membaca.

Bandarlampung, 27 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1

BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................................................2

2.1 Biografi Al-Ghazali...........................................................................................................2

2.2 Karya-karya Al-Ghazali..................................................................................................3

2.3 Hasil Pemikiran Filsafat Al-Ghazali...............................................................................5

2.4 Kritik Al Ghazali Terhadap Pemikiran Tokoh Filsafat Islam.....................................9

BAB 3 PENUTUP.....................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan......................................................................................................................11

3.2 Saran................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut
sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan
seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat Islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih
filsafat Islam dikembangkan.
Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan
perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan yang dapat
dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan
pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan
konsep Islam. Dalam makalah ini, pemakalah hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali,
seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia
Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al-
Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang
teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang
berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Siapakah Al Ghazali itu?
2. Apa saja karya-karya yang telah dibuatnya ?
3. Bagaimana pemikiran filsafat Al Ghazali?
4. Bagaimana kritik Al Ghazali terhadap pemikiran tokoh filsafat Islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Al-Ghazali


Nama asli Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Syafi, lahir di
Tus pada tahun 450 H / 150 M. Ayahnya pembuat tenunan wool (itu sebabnya ia diberi nama
“ghazzal”) dan menjualnya di sebuah toko di Tus. Ketika ajalnya tiba, ia mempercayakan Al-
Ghazali dan kakaknya Ahmad kepada seorang temannya yang menjadi sufi, seorang yang selalu
berbuat kebajikan, sambil berkata kepadanya “saya sangat menyesal bahwa saya tidak belajar
menulis. Saya ingin agar kedua anak saya tidak kehilangan hal-hal yang tidak saya peroleh.
Didiklah mereka dan jangan hiraukan apakah untuk tujuan ini engkau pakai seluruh
harta peninggalan ku”.
Ketika ayah mereka mangkat, teman sufi itu mengusahakan untuk mendidik kedua anak
tersebut. Tetapi ketika uang yang tidak seberapa jumlahnya itu sebagai peninggalan ayah mereka
kemudian habis terpakai, tidaklah mungkin lagi bagi sang sufi untuk memberi nafkah kepada
kedua anak tersebut lalu ia berkata kepada mereka “Ketahuilah bahwa saya telah membelanjakan
bagi kalian seluruh harta peninggalan ayahmu. Saya orang miskin dah bersahaja dalam hidupku.
Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian lakukan adalah masuk ke dalam sebuah madrasah
sebagai murid. Dengan jalan ini kalian akan mendapat makan untuk kelangsungan hidupmu.”
Kedua anak tersebut berlaku demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagiaan dan tercapainya
cita-cita luhur mereka.
Al-Ghazali memperoleh pendidikan dasar di Tus. Kemudian ia pergi ke Naysabur untuk
belajar kepada Al-Juwayni (478 H / 1085 M), Imam dari Haramayn, lalu tinggal disitu sampai
imam tersebut meninggal dunia. Dari Naysabur ia pergi ke Mahkamah Nizham Al-Malk yang
menjadi bagian dari pendidikan hukum dan agamanya (484 H / 1091 M), ketika ia diangkat
menjadi guru madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Selama masa ini Al-Ghazali mengajar dan
menulis fiqh dan juga menulis buku mengenai ta’limiyah yang menimbulkan banyak pertentangan
pendapat.1
Selama waktu itu Al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya,
sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah atau
fisioterapi. Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkan pada tahun 484 H untuk menuju Damsyik, dan

1Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman
ITB), 1981, hlm. 11-12
2
di kota ini ia merenung, membaca dan menulis, selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf
sebagai jalan hidupnya.
Kemudian ia pindah ke Palestina dan disini pun ia merenung, membaca dan menulis dengan
mengambil tempat di Masjid Baitil Maqdis. Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan
ibadah haji, dan setelah selesai itu ia pulang ke negeri kelahirannya sendiri, yaitu kota Tus dan
disana ia tepat seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah. Keadaan tersebut berlangsung selama
sepuluh tahun lamanya, sejak kepindahannya ke Damsyik dan dalam masa ini ia menulis bukunya
yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin.
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad saudara Berkijaruk, Al-Ghazali
mau mengajar kembali di sekolah Nizhamiyah di Naysabur pada tahun 499 H. Akan tetapi
pekerjaan ini hanya berlangsung dua tahun, akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia
mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (khangak) untuk para
mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H / 1111 M, dalam usia 54
tahun.2

2.2 Karya-Karya Al-Ghazali

Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya
sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada
masanya. Kitab-kitab tersebut diantaranya :
Di Bidang Filsafat
1. Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi
mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam.
2. Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran
para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta
dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
3. Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal
ilmu-ilmu yang rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan
pastinya.

Di bidang Agama
1. Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
2. Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).

2Drs. Sudarsono, SH, M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta), 2010, hlm. 63-64

3
3. Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).
4. Di bidang akhlak tasawuf
5. Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
6. Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
7. Kimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut
pandang kepraktisannya dan hukum.
8. Kitabul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan
dengan akhlak tasawuf.
9. At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para
penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
10. Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu
hukum).
11. Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu
aqidah dan teologi.
12. Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan
amal perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
13. Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam hubungannya
dengan etika hidup manusia.
14. Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak dengan
masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan sebagainya.

Di bidang kenegaraan
1. Mustazh hiri.
2. Sir ul Alamain (rahasia dua dunia yang berbeda).
3. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu pimpinan
bagaimana seorang kepala Negara harus menjalankan pemerintahannya demi kesejahteraan
rakyatnya.
4. Nashihat et Muluk (nasehat untuk kepala-kepala negara).

Di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh


1. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
2. Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
3. Al-Wajiz fi al-Furu’.

4
2.3 Hasil Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
1. Pemikiran Al-Ghazali tentang Epistemologi
Epistemologi adalah suatu teori atau studi tentang asal-usul pengetahuan manusia, yang
meliputi kemampuan-kemampuan manusia dibidang pengetahuan dan seluk-beluk aturan
berpikirnya.3 Sebagai kritikus, Al-Ghazali adalah seorang peragu yang besar.
Ia menggunakan otoritas panca indera dan akal, seperti Rene Descartes, berpendapat bahwa
pengetahuan yang dijamin oleh panca indera tidak bebas dari ilusi dan halusinasi. Juga ada
kemungkinan penipuan melalui perbuatan-perbuatan iblis. Siapa yang tidak tahu bahwa mimpi
seseorang melihat hal-hal yang hanya terdapat dalam pikiran orang yang bermimpi itu, dan siapa
yang tidak tahu bahwa pohon-pohon dari kejauhan tampaknya jauh lebih kecil dari pada
sebenarnya, dan siapa tidak tahu bahwa tongkat da;am air tampak bengkok padahal sebenarnya
tidak.4
Persoalan tentang hakikat pengetahuan yang sekaligus juga merupakan atau berkaitan
dengan persoalan tentang kemungkinan pengetahuan yang pertanyaan pokoknya adalah: “Apakah
ada dunia yang benar-benar dilura pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya?,
dalam sejarah filsafat telah muncul pada masa Yunani kuno. Kaum Sophis pada abad ke-5 SM
telah mempersoalkan: seberapa jauh pengetahuan kita mengenai realitas benar-benar menrupakan
kenyataan objektif dan seberapa jauh merupakan sumbangan subjektif budi manusia? Apakah kita
mempunyai pengetahuan mengenai realitas bagaimana adanya berkaitan dengan pesoalan tersebut,
Gorgias salah seorang tokoh Sophis terkemuka menyatakan seandainya ada, kita tidak dapat
mengetahuinya, kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan itu. Pandangan seperti dalam
filsafat dikenal dengan Skeptisisme.
Al-Ghazali merupakan seorang yang memiliki sikap skeptis bahkan sejak ketika ia masih
sangat muda. Skeptisisme Al-Ghazali lebih berupa skeptisisme metodis. Dalam skeptisisme
metodis ini keraguan melulu dipakai sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang
realitas, pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya yang disebut sebagai al-‘alim al-
yaqini, suatu pengetahuan yang didalamnya hal yang diketahui menjadi sedemikian nyata sehingga
tidak ada keraguan yang melekat padanya, tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau
kepalsuan, dan bahkan pikiranpun tak dapat menduga adanya kemungkinan seperti itu.5

3Opcit, Ali Issa Othman, hlm. 19


4C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
1991, hlm. 103
5Sholihan, Pernak-Pernik Pemikiran Filsafat Islam Dari Al-Farabi Sampai Al-Faruqi,
(Semarang: Walisongo Press), 2010, hlm. 58
5
2. Pandangan tentang metafisika
Pandangan yang memperhatikan persatuan dari segala sesuatu yang ada di dalam persatuan
yang mutlak dengan Allah (tauhid).6
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat bertentangan dengan Islam,
dan oleh karenanya para filosof harus dikatakan harus dikatakan sebagai orang atheis ialah:
a. Paham Qadim-nya Alam
Bagi Al-Ghazali, alam dikatakan qadim (tidak bermula: tidak pernah ada) maka mustahil
dan sangat bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an karena dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa
Tuhanlah yang menciptakan segenap alam ini. Bagi Al-Ghazali alam haruslah tidak qadim
karena Tuhan menciptakan alam maka alam ada disamping adanya Tuhan.
Sebaliknya menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina, alam itu qadim justru karena Tuhan
menciptakan sejak azali. Bagi mereka mustahil Tuhan ada sendiri tanpa menciptakan awalnya,
kemudian baru menciptakan alam.
Landasan berfikir filosofis Al-Ghazali yang ia tawarkan ialah titik tolak yang bera dan
ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik
yang bertindak secara aktual. “Prinsip pertama adalah Maha Mengetahui, Mahaperkasa dan
Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menetukan sesuatu yang Ia kehendaki; Ia
menciptakan semua mahluk dan alam sebagaimana Ia kehendaki dan dalam bentuk yang Ia
kehendaki”7
b. Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara Juz’iyyat
Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara Juz’iyyat (hal-hal yang juz’i atau
individual atau partikular) bukanlah paham yang dianut oleh para filsuf muslim. Paham
demikian dianut oleh Aristoteles. Kendati demikian, Al-Ghazali berupaya menampilkan
pandangan Ibnu Sina dengan menyatakan bahwa Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan
mengetahui segala sesuatu, dengan pengetahuan kulli atau umum, tidak masuk dalam kategori
zaman, tidak berbeda pengetahuan-Nya karena (berbedanya sesuatu itu pada zaman yang lalu,
yang akan datang dan yang sekarang).
Meski pun demikian, ia berpendapat bahwa tidaklah gaib dari pengetahuan-Nya apa saja
yang ada di langit dan bumi kendati sekecil atum. Hanya saja, dia mengetahui hal-hal yang juz’i
dengan pengetahuan semacam pengetahuan kulli. Setelah panjang lebar menjelaskan maksud
Ibnu Sina, Al Ghozali mempunyai kesimpulan bahwa maksud pendapat demikian adalah bahwa
Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal yang juz’i, seperti tidak mengetahui siapakah

6Opcit, Ali Issa Othman, hlm. 19


7Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2009, hlm. 162
6
Muhammad Bin Abdullah, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatab, dan sebagainya. Benarkah
demikian pendapat Ibnu Sina, atau benarkah demikian maksud pendapatnya tentang
pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang juz’i? Sebenarnya, pada pembicaraan tentang Ibnu
Sina sudah jelas bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan berkenaan dengan hal-hal
yang Juz’i tidak seperti yang disimpulkan oleh Al-Ghazali. Bagi Ibnu Sina, Tuhan mengetahui
hal-hal yang Kulli, menurut Kullinya, dan mengetahui hal-hal yang juz’i menurut Juz’inya, tetapi
pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia.
Pengetahuan manusia muncul setelah memperhatikan hal-hal yang juz’i terjadi sehingga
pengetahuan manusia merupakan akibat sedangkan hal-hal yang terjadi itu merupakan sebab
bagi munculnya pengetahuan manusia. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan Maha Suci dari
cara mendapatkan seperti itu. Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuan yang tidak
berubah. Hal ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tentang sebab-sebab yang
bersifat umum, atau dapat dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan telah mengetahui hal-hal
yang juz’i itu dengan pengetahuan yang Azali dan tidak berubah. Kendati hal-hal yang juz’i itu
terus menerus berubah, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i itu bukanlah setelah hal-hal yang
juz’i itu terjadi dan diperhatikan. Jadi, tidak benar bahwa para filsuf muslim berpaham bahwa
Tuhan tidak mengetahui hal-hal juz’i yang muncul pada alam ciptaan-Nya, atau dengan kata lain
tidak benar bahwa pemahaman para filsuf muslim tentang pengetahuan Tuhan membawa pada
pengertian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat Juz’i.8
c. Paham kebangkitan jasmani
Menurut Al-Ghazali, gambaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW tentang kehidupan di
akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Akan tetapi, pada kehidupan yang
bersifat rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang
pernah hidup didunia untuk merasakn untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-
jasmani. Kehidupan di surga dan di neraka yang bersifat rohani jasmani itu menurut Al-Ghazali
bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, ganbaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW itu
haurslah dipahami secara hakiki saja.
Pemahaman bahwa di surga dan di neraka bersifat rohani saja, menurut Al-Ghazali adalah
pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian,
menurutnya bertentangan dengan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan
karena itu Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan adalah jasmani.
Sebenarnya, bukan hanya para filsuf muslim yang sulit memahami kehidupan alam kubur
atau akhirat secara rohani-jasmani, melainkan mereka juga yang bukan filsuf. Bagaimana bisa
8Opcit., Dedi Supriyadi, hlm. 170-171
7
dipahami nikmat atau azab kubur secara jasmani-rohani bagi mereka yang mati dengan jasad
yang habis dimakan oleh binatang atau sudah menjadi abu karena terbakar. Bagaimana bisa
dipahami jasad yang diletakkan diliang lahat dapat merasakan nikmat dan azab, seperti azab
malaikat berupa pukulan besi. Bagaimana bisa dipahami bahwa semua manusia dibangkitkan di
alam Mahsyar dengan badan telanjang padahal matinya memakai pakaian.9

3. Pandangan Etika Al-Ghazali


Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada ajaran tasawufnya.
Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar, berakhlak yang
baik, dan berpengetahuan yang benar. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhluq bitakhalluq bi akhlaqillahi ‘ala thaqatil
basyariyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi-shifatirrahman ‘ala thaqatil
basyariyyah.
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupan meniru-niru perangai dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan yaitu sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, beragama dan sebagainya.
Dalam Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia beribadah dari tasawuf dengan
mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan
badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang
shalat, puasa, haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang
wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohanimya dan
rasa akrabnya (taqarrub) kepada Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap
Tuhan adalah sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini sama sekali tidak cocok dengan psinsip
filsafat Yunani yang menggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti,
hanya menunggu pendektan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal
keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar dimana-mana,
juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan. Bagaimana cara bertaqarrub dengan Allah, Al-Ghazali memberikan beberapa cara
latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah al-muqarrabah,
yakni mereka diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri
sendiri.
9Opcit., Dedi Supriyadi, hlm. 171-173

8
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan kebahagiaan
(lazzat dan sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah
banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan kebahagiaan.
Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala
kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakannya ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah
keraguan sedikit juga, dengan penyaksian hati, yang sangat yakin (musyahadatul galbi). Apabila
sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan sesuatu kebahagiaan yang begitu
memuaskan sehingga sukar dilukiskan. Al-Ghazali menyatakan menyatakan dengan terus terang
bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri penyaksian itu.10

2.4 Kritik Al-Ghazali Terhadap Pemikiran Tokoh Filsafat Islam


1. Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat ketuhanan Ibnu Rusyd
konsepsi filosofis ajaran Aristoteles yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan
diciptakan lewat proses emanasi dengan bahan dasar yang bersifat kekal dan secara terus
menerus mengambil bentuk yang berbeda. Dia menerima pendapat bahwa dunia diciptakan oleh
Tuhan dar benar-benar tiada pada waktu yang terbatas.
Sebaliknya menurut pemahaman filosofis Aristoteles yang dianut Ibnu Rusyd, setiap
perubahan yang terjadi harus disertakan sebab akibatnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada objek
fisik saja namun juga berlaku untuk keadaan pikiran. Dengan demikian kemungkinan besar jika
Tuhan menginginkan suatu perubahan yang terjadi maka beberapa sebab dari luar ikut
mempengaruhi dirinya untuk mengatur dan menuntun kearah keputusan tersebut.
Al-Ghazali memberi ulasan bahwa Tuhan dengan mudah mewasiatkan secara abadi agar
dunia tercipta pada waktu tertentu pada masa mendatang, jika dia menginginkan begitu
berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, seperti yang Tuhan katakan “Jadilah, maka jadilah ia”.11
2. Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat ketuhanan Ibnu Sina dan Al-Farabi
Pada kenyataannya teori ketuhanan Al-Farabi dan Ibnu Sina lebih men-Mahasuci-kan dan men-
Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan kaum Mu’tazilah,
menjauhkan Tuhan secara total dari ciri inderawi. Tuhan digambarkan secara rasional murni
yang lebih mendektai teori transenden. Akan tetapi perlu dicatat bahwa jika konsepsi ini bisa
sesuai untuk kalangan khusus namun gagal untuk kalangan awam. Dalam kitab Tahafut al-
Falasifah ini ia membicarakan 20 masalah yang 8 diantaranya membahas tentang problem
ketuhanan, yaitu:

10Opcit, Drs. Sudarsono, SH, M.Si, hlm. 71-72


11Ibid., Dedi Supriyadi, hlm. 164-165

9
a. Hubungan Allah dengan alam. Hal ini meliputi empat masalah, yaitu:
- Kadimnya alam.
- Keabadian alam dan zaman.
- Allah pencipta dan pembuat alam.
- Ketidakmampuan membuktikan adanya pembuat alam.
b. Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya (masalah kelima).
c. Sifat-sifat Illahi (masalah ke enam sampai ke duabelas).
- Meniadakan sifat-sifat Tuhan.
- Substansi al-awwal atau Tuhan bukanlah jenis atau genus dan bukan pula diferensia.
- Tuhan adalah wujud yang simpel tanpa esensi.
- Tuhan itu bukan tubuh.
- Adanya masa dan ketiadaan pencipta alam.
- Tuhan mengetahui selain diri-Nya.
- Tuhan mengetahui substansi-Nya12
d. Mengetahui hal-hal yang kecil “Juz’iyyat” (masalah ke tigabelas).
e. Masalah falak dan alam (masalah ke empatbelas sampai ke enambelas).
f. Sebab akibat (masalah ke tujuhbelas).
g. Jiwa manusia (masalah ke delapanbelas dan ke sembilanbelas)
h. Kebangkitan jasad pada hari akhirat (masalah ke duapuluh).13
Ia membuktikan bahwa para filosof tidak mampu mendatangkan bukti tentang adanya
penciptaan ataupun membuktikan tentang kemustahilan adanya Tuhan. Ia berpendapat bahwa
Zat Yang Pertama tidak bisa dibagi-bagi secara genus maupun species, Ia adalah wujud
sederhana tanpa substansi. Al-Ghazali juga mengkritik agak keras penafsiran mereka tentang
ilmu Tuhan. Ia menganggap bahwa penafsiran itu memberikan kesan bahwa Ia lebih dekat
kepada tidak tahu dibandingkan tahu.14

BAB III
PENUTUP

12Opcit., Dedi Supriyadi, hlm. 160


13Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang), 1984,
hlm. 66
14Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 2004, hlm. 125-
126
10
3.1 KESIMPULAN
Nama asli Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Syafi, lahir
di Tus pada tahun 450 H / 150 M dan wafat tahun 505 H / 1111 M.
Al-Ghazali merupakan seorang yang memiliki sikap skeptis bahkan sejak ketika ia masih
sangat muda. Skeptisisme Al-Ghazali lebih berupa skeptisisme metodis. Dalam skeptisisme
metodis ini keraguan melulu dipakai sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang
realitas, pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya yang disebut sebagai al-‘alim
al-yaqini, suatu pengetahuan yang didalamnya hal yang diketahui menjadi sedemikian nyata
sehingga tidak ada keraguan yang melekat padanya, tidak pula disertai oleh kemungkinan
kesalahan atau kepalsuan, dan bahkan pikiranpun tak dapat menduga adanya kemungkinan seperti
itu.
Tiga pemikiran filsafat metafisika Al-Ghazali yang sangat berlawanan dengan Islam ialah:
(1) qadimnya alam; (2) tidak mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal kecil atau perkara juz’iyyat;
(3) pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada
teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan
sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar,
ikhlas dan sebagainya.

3.2 SARAN
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, kami yakin makalah kami jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki
makalah kami selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang). 1984
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta: Bumi Aksara). 2004
Othman, Ali Issa. Manusia Menurut Al-Ghazali. (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman
ITB). 1981
Qadir. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). 1991
Sholihan. Pernak-Pernik Pemikiran Filsafat Islam Dari Al-Farabi Sampai Al-Faruqi,
(Semarang: Walisongo Press). 2010
Sudarsono. Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta). 2010
Supriyadi, Dedi . Pengantar Filsafat Islam. (Bandung: CV. Pustaka Setia). 2009

12

Anda mungkin juga menyukai