1
MAKALAH
AL-GHAZALI
DISUSUN OLEH :
RANDI
NIM : 20.11.0101.0042
Dosen pengampuh :
TANJUNG REDEB
2023
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
iii
DAFTAR ISI
Contents
Sampul........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................6
1. Latar Belakang Masalah..............................................................6
I. Perumusan masalah.....................................................................7
BAB II.......................................................................................................9
PEMBAHASAN........................................................................................9
1. Pemikiran Al-Ghazali (1058-1111 M)........................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
6
7
mengunjungi tempat- tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah,
Madinah, Jerusalem dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah
mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat
bermutu tinggi. Sejak kecil lagi dia telah dididik dengan akhlak yang
mulia. Hal ini menyebabkan dia benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur
dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud dan tidak
gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk
mendapat ridha Allah SWT.
Pada tingkat dasar dia mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa
orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada
peringkat ini membolehkan dia menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih.
Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, dia mula
mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih,filsafat, dan mempelajari
segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh
mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, dia melanjutkan pelajarannya dengan
Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan
Imam Harmaim di Naisabur.
Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, dia telah dilantik
menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiyah (sebuah universitas yang didirikan
oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian dia dilantik
pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia Mengembara ke beberapa kota yaitu
Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di
sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, dia
menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada
masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
I. Perumusan masalah
1. Bagaimana Biografi Al Ghazali?
Osman Bakar, pada saat pertama ini, Al- Ghazali tidak berhasil mencapai
tingkat di mana sang sufi menerima inspirasi dari alam ‘atas’. Ia juga
mempelajari doktrin-doktrin Ta`limiyah hingga Al-Mustadzhir menjadi
khalifah (1094–1118 M). Pada 1091 M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-
Mulk (1063– 1092M), wazir dari Sultan Malik Syah I (1072–1092 M) untuk
menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad.
Undangan dan penghormatan yang diberikan pihak penguasa kepada
Al-Ghazali ini, menurut Osman Bakar, disebabkan penguasa dari kalangan
Bani Saljuk (1037–1194 M) tersebut secara kebetulan samasama bermazhab
Syafi `i (767–820 M) dalam fiqh dan Asy`ari (874–936 M) dalam teologi,di
samping adanya tujuan-tujuan politis dari pihak penguasa, demi mengukuhkan
kedudukannya.
Karyanya yang lain, dalam bidang filsafat dan logika adalah Mi`yâr al-
`Ilm (Standar Pengetahuan), Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filsuf), dan
Mihak al-Nadzar fî al- Manthiq (Batu Uji Pemikiran Logis), dalam bidang
teologi adalah Qawâ’id al-`Aqâ`id (Prinsip-prinsip Keimanan), dan al-Iqtishâd
fî al-I`tiqâd (Muara Kepercayaan) dalam bidang ushul fiqh adalah al-Mustashfa
min `Ilm al-Ushûl (Intisari Ilmu tentang Pokok-pokok Yurisprudensi) dan Al-
Mankhûl min `Ilm al-Ushûl (Ikhtisar Ilmu tentang Prinsip-prinsip); dalam
bidang tasawuf adalah Al-Kimia al-Sa`âdah (Kimia Kebahagiaan), Misykât al-
Anwâr (Ceruk Cahaya-Cahaya) dalam kebatinan adalah Qisthâs al-Mustaqîm
(Neraca yang Lurus) dan Al-Mustadzhir
Menurut Al-Ghazali, semua realitas yang ada ini, dari segi bentuknya,
dapat dibagi dalam dua bagian: empirik atau alam indriawi (`alam al-syahâdah)
dan metafisik atau alam tidak kasat mata (`alam al-malakût atau `alam al-
ghaib4). Dua bentuk realitas ini tidak sama dan sederajat, tetapi berbeda dan
berjenjang secara hierarkis. Perbandingan antara dua alam ini adalah seperti
kulit dengan isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan
cahaya, atau kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas,
alam ruhani, dan alam nurani, sementara alam syahadah adalah alam bawah,
alam jasmani,dan alam gelap.
kedua alam ini dengan cahaya bulan yang menerobos masuk rumah lewat
lubang angin dan jatuh di atas sebuah cermin yang membiaskan cahaya
tersebut kepada dinding di depannya lalu membiaskan lebih lanjut ke lantai
sehingga meneranginya. Dalam perumpamaan ini, cahaya di lantai berasal dari
dinding, yang berada di dinding berasal dari cermin, yang berada di cermin
berasal dari bulan, dan yang berada di bulan berasal dari matahari yang
merupakan sumber dari cahaya bulan. Keempat cahaya ini, berturut-turut,
sebagian lebih tinggi dan lebih sempurna dibanding yang lain.
Menurut Al-Ghazali, realitas yang ada ini juga tersusun secara hierarkis
sebagaimana hierarki cahaya di atas, di mana cahaya yang paling dekat dengan
sumber cahaya pertama dinilai lebih utama dan sempurna dibanding
cahayacahaya di bawahnya. Dimulai dari alam indra yang merupakan realitas
paling bawah dan rendah, naik pada alam gaib pertama, naik pada alam gaib
kedua, dan seterusnya sampai pada alam paling gaib dan bertemu dengan
sumber pertama dan utama: Tuhan yang segala realitas ada dalam kekuasaan
dan perintah- Nya.
Gagasan tentang hierarki realitas yang terdiri atas alam gaib dan
indriawi ini, di mana alam gaib dinilai lebih tinggi karena dekat dengan sumber
pertama, Tuhan, sesungguhnya tidak berbeda dengan gagasan hierarki wujud
Al-Farabi (870–950 M) yang tecermin dalam teori emanasinya.Tentang alam
gaib sendiri yang disebut juga alam ilahiyah, meski tidak bisa disaksikan
dengan mata indra, tetapi ia bisa disaksikan dengan mata hati (al-bashîrah)
yang telah tersucikan. Menurut Al-Ghazali, ketidakmampuan mata indra untuk
menangkap realitas gaib disebabkan adanya kelemahan yang ada pada dirinya.
Pertama, mata hati mampu mencerap dirinya juga sesuatu yang di luar
dirinya. Mata hati mencerap dirinya sebagai “yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan”, dan ia mencerap ”pengetahuan yang dimilikinya”, “pengetahuan
tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya”, dan seterusnya sampai
tak terhingga. Ini kekhasan yang sama sekali tidak dimiliki oleh benda-benda
lain yang mencerap dengan mempergunakan sarana lahiriah seperti mata.
Kedua, mata indra tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau
13
terlalu jauh, sementara bagi mata hati, soal jauh dan dekat adalah sama. Dalam
sekejap, mata hati bisa terbang ke langit dan pada kejapan berikutnya ia
meluncur turun ke bumi. Bahkan, jika telah mencapai hakikat segala sesuatu,
persoalan dekat dan jauh menjadi hilang.
Ketiga, mata indra tidak dapat menangkap sesuatu yang dibalik hijâb
(tabir) sementara mata hati bisa bergerak bebas, bahkan di sekitar `arâsy
(singgasana Tuhan), kursy, dan segala sesuatu yang berada dibalik selubung
langit. Bahkan, tidak ada sesuatu pun hakikat segala sesuatu yang terhijab bagi
mata hati, kecuali ketika mata hati menghijab dirinya sendiri sebagaimana mata
indra menutup dirinya dengan kelopak matanya.
Keempat, mata indra hanya dapat menangkap bagian luar serta bagian
permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalamnya atau hakikatnya,
sementara mata hati mampu menerobos bagian dalam segala sesuatu dan
rahasiarahasianya, menangkap hakikat-hakikat dan ruh-ruhnya, menyimpulkan
sebabsebab, sifat-sifat, dan hukum-hukumnya.
1. Wujûd al-hissi adalah sesuatu dalam potensi indra sebagai ‘sense datum’, yakni
hasil persepsi langsung indra terhadap objek, dan penampakan dunia luar pada
indra yang penampakan tersebutbukan merupakan substansi objek yang
sesungguhnya melainkan hanya halusinasi, seperti apa yang dilihat orang tidur
dan orang sakit.
2. Wujûd khayali adalah gambar sebuah objek yang ada dalam potensi khayal
(common sense). Maksudnya, data yang sudah terinternalisasi dalam mental dan
disimpan dalam potensi memori seseorang. Kedua wujud ini oleh kaum realisme
kritis dipandang sebagai ‘sense data’ yang menghubungkan pikiran subjek dengan
objek.
3. Wujûd al-‘aqli adalah makna abstrak yang ditangkap oleh rasio dari sebuah objek
berdasarkan ‘sense data’ (wujûd al-hissi dan wujûd al-khayali) tetapi sudah
terlepas dari pengaruh indra dan khayal itu sendiri, seperti pemahaman bahwa
hakikat manusia adalah hewan berpikir.
Sementara itu, wujud potensial adalah sesuatu yang masih ada dalam konsep
atau ide dan siap untuk menjadi wujud konkret yang mengenal ruang dan
waktu.
Selanjutnya, dari segi kuantitas, realitas ini dapat dibagi dua, yaitu
partikular (juz’iyyât) dan universal (kulliyyât). Partikular adalah wujud rinci
yang diklasifikasikan berdasarkan atas 10 kategori Aristoteles
Sementara yang kedua hanya ada dalam konsep mental, tidak ada
dalam realitas aktual, karena tidak mungkin sesuatu yang satu menjadi atribut
bagi berbagai partikular lainnya dalam waktu yang bersamaan.Dengan konsep
tersebut, maka yang dianggap universalisme dalam makna sesungguhnya
(primer) adalah yang pertama, sedangkan universalisme kedua yang hanya ada
dalam konsep mental adalah universalisme sekunder. Dengan itu pula maka
konsep universal harus berkaitan dengan realitas partikular, karena dari
partikular-partikular tersebut bisa muncul universal.
Perbandingan antara kasyf di satu sisi dengan naql dan rasio di sisi yang
lain adalah sama dengan orang yang melihat bulan purnama secara langsung
dengan orang yang melihatnya melalui bayangannya di dalam air. Sejalan
18
Pertama kategori fardhu `ain, yakni ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh
setiap orang Islam, tidak boleh tidak, demi kebaikan dan keselamatannya di
kehidupan kemudian (akhirat). Ilmu yang masuk dalam kategori ini mengacu
pada ilmu-ilmu yang mengarah pada jalan menuju pada keselamatan hidup
sesudah mati (`ilm tharîq al-âkhirah). 7Meski demikian, pelaksanaan tugas
mencari ilmu fardhu `ain ini harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan
(jangka panjang dan pendek) dan kemampuan diri sendiri.Ilmu-ilmu fardhu
`ain berkenaan dengan tiga hal:
yang berubah.
1. Ilmu-ilmu kategori fardhu kifayah tidak boleh dipelajari melebihi batas apa yang
dipelajari dari ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardhu `ain. Artinya, orang
yang mempelajari ilmu fardhu kifayah harus senantiasa menjaga keunggulan dan
prioritas ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardhu `ain
2. Orang yang mempelajari ilmu-ilmu kifayah harus benar-benar mengalami
kemajuan bertahap dalam studi yang dilakukan atas ilmu-ilmu kategori ini
3. Orang harus menahan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut jika telah
dipelajari orang lain dalam jumlah yang cukup.
Di samping empat jenis keilmuan di atas, ada beberapa ilmu lain yang
secara eksplisit disebut oleh Al-Ghazali sebagai kategori fardhu kifayah. Ilmu-
ilmu tersebut adalah kedokteran (al-thib) dan aritmetika (al-hisâb), juga politik
(al-siyâsah), logika (al-manthiq),47 ilmu teologi (`ilm al-kalâm), dan metafi
21
awam. Karena itu, syariat agama melindungi kesejahteraan religius dan spiritual
komunitas Muslim secara keseluruhan dengan menyatakan bahwa horoskop
adalah ilmu tercela.
2. Kedua, adanya ramalan horoskop tentang kejadian masa depan dengan dasar
sebab- sebab tertentu. Ramalan tersebut semata-mata murni terkaan dan tidak bisa
ditentukan dengan keyakinan atau bahkan dengan kemungkinan sekalipun;
kalaupun ternyata ramalan tersebut benar atau terbukti, maka itu hanya kebetulan
sifatnya. Karena itu, horoskop dinilai tercela karena ketidaktahuan dan kejahilan
ini. Ketiga, dengan semua sifatnya yang seperti itu, horoskop berarti tidak
berguna sama sekali. Horoskop dianggap tercela karena ia hanya membuang-
buang waktu dan hidup, sesuatu yang berharga bagi manusia. Menyia-nyiakan
sesuatu yang berharga berarti tercela.
Kesalahan para Filosof dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah
dan tiga masalah dari dua puluh masalah memebuat filosof menadi kafir,yaitu:
1. aktual yang eksistensinya tidak hanya ada dalam mental, konsep, dan pikiran,
tetapi konkret, nyata dalam wujud realitas
2. wujud potensial yang hanya ada dalam konsep, mental atau pikiran dan masih
dalam posisi imkân, pada gilirannya akan bisa mengarah pada kesimpulan bahwa
aksiden lebih penting dibanding substansi, karena aksiden itulah yang menentukan
eksistensi sesuatu. Ini tidak berbeda dengan konsep Al-Farabi.
25
bahwa segala yang konkret telah ada ‘gambarannya’ dalam pikiran, termasuk
wujud semesta telah ada gambarannya dalam benak Tuhan sebagai wujud
potensial. Al-Ghazali mengakui hal ini dan menamakan dengan nasyiyah
alazaliyah (kehendak azali). Ini berarti tidak berbeda dengan konsep
‘keqadiman alam’ dari fi lsafat Al-Farabi bahwa semesta ini telah ada
wujudnya dalam pikiran Tuhan secara azali bersama keazaliaan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Nama : RANDI
Tempat tanggal Lahir : Berau 11, November, 2001
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Karyawan
Nama Ayah : Jufri
Nama Ibu : Rosmina
Anak Ke : Dua
Jumlah Saudara : Dua
Riwayat Pendididkan
SD : 002 Maratua
SMP : 27 Berau
SMA : 9 Berau
SEKOLAH TINGGI : Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Tanjung Redeb
Hobi : Memasak
Alamat Rumah : Maratua
Cita-Cita : PEMBISNIS
Gmail : RANDI@.GMAIL.COM
Nomor hp : 0823216475
MOTO HIDUP :
“kegagalan adalah awal dari keberhasil’