Dosen Pengampu:
Makalah
Disusun dalam rangka tugas dan dipersentasikan
Pada mata kuliah
Pemikiran Pendidikan Islam
DisusunOleh :
Lulu Hidayatun Nafiah 1711010081
Mira Susanti 1711010098
Mukhammad Shiddiq 1711010102
Jurusan PAI/SM 4/ Lokal C
2018/2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayahNya
tim penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah dengan tepat waktu. Shalawat beriring
salam disampaikan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing
umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman ilmu pengetahuan.
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan, untuk itu kepada
segenap pembaca mohon kritik dan sarannya guna tercapainya makalah yang lebik baik
di masa yang akan datang. Akhir kata, dengan senantiasa mengharap rahmat serta Ridho
Allah SWT semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................5
C. Tujuan Masalah.........................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..............................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang tokoh pemikir Islam yang tak kalah tersohornya di dunia Islam
maupun Barat adalah Al-Ghazali. Ia merupakan salah satu tokoh Muslim yang
pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam bidang tasawuf, ilmu kalam,
falsafah, akhlak, fiqih dan berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang
pendidikan. Menurut Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish
Madjid, al-Ghazali digolongkan sebagai salah seorang yang paling menentukan
jalannya sejarah Islam dan bangsabangsa Muslim. Bahkan, dalam bidang
pemikiran dan peletakkan dasar ajaran-ajaran Islam, Al-Ghazali ditempatkan di
urutan kedua setelah Rasulullah. Ia adalah seorang pemikir yang tidak saja
mendalam, tapi juga sangat subur dan produktif dengan karya karyanya.
Ignaz Goldziher mengakui bahwa sosok al-Ghazali telah memberikan effect
dan impact yang begitu besar baik dalam historisitas pemikiran Islam maupun
pada religuisitas kaum muslimin. Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai
seorang teolog dan mistikus, tetapi dia juga menguasai bidang yurisprudensi
(hukum), etika, logika, bahkan kajian filsafat. Dia dinilai sebagai seorang
ilmuan Islam yang ensiklopedis dengan menguasai hampir seluruh khazanah-
khazanah keilmuan dari berbagai disiplin yang sangat berbeda.
Kemampuannya mengelaborasi serta mengepresikan gagasan-gagasan
pemikiran pada setiap karya-karyanya, dinilai sangat orisinil, kritis, bahkan
komunikatif.2
Pemikiran al-Ghazali tidak hanya terbatas pada masalah ilmu-ilmu
keagamaan saja, namun beliau juga terkenal dengan pemikiran-pemikirannya
dalam bidang pendidikan. Bahkan pengaruh pemikiran al-Ghazali dalam
bidang pendidikan ini masih eksis dan menjadi rujukan kaum muslim terutama
di kalangan penganut sunni. Pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini
antara lain; yaitu aspek peranan pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, metode pendidikan, etika guru, dan etika murid.
4
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Ghazali?
2. Apa saja karya-karya Al-Ghazali?
3. Bagaimana corak pemikiran menurut Al-Ghazali ?
4. Bagaimana relevansi pemikiran Al-Ghazali terhadap masa kini ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Kehidupan Al-Ghazali
2. Untuk mengetahui Karya-Karya Al-Ghazali
3. Untuk mengetahui Corak Pemikiran Al-Ghozali
4. Untuk mengetahui Relevansi Pemikiran Al-Ghazali Terhadap Masa
Kini
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
murid Imam Al Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah
An Nizhâmiyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat,
logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.3
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini
kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan).
Al Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini
meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada
Nizhâm Al Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan
penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada
tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad.
Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain
mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah
mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya
ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang
ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis
buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya
mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-
pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup
yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap
daya serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya
dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk
beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak
lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang
dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh
3
Ahmad Syadani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia,1997) hlm. 178.
7
menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke
kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar
dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14
Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan
meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan
bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.4
B. KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Dalam ranah keilmuan Islam, al-Ghazali mendapatkan gelar hujjatul
Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan
para ulama terhadapnya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah al-
Ghazalimenyebutkan karya al-Ghazali mencapai 457 judul. Al-Washiti
dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al-Syafi’iyahmenyebut 98 judul
buku. Musthafa Ghallab menyebut angka 228 judul buku. Al-Subki dalam al-
Thabaqat al-Syafi’iyahmenyebut 58 judul buku. Thasy Kubra Zadah
dalam Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebut angka 80 judul.
Micheal Allard, seorang orientalis Barat, menyebutkan jumlah 404 judul buku.
Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam menyebut kurang lebih 200
judul. Kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Di antara karyanya
yang terkenal adalah:
a. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
1. Al-Basith fi al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Imam al-Haramain
2. Al-Wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith
3. Al-Wajib fi al-Furu’
4. Asrar al-Hajj (Fiqih al-Syafi’i)
5. Al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Ushul
6. Al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul
b. Bidang Tafsir
1. Jawahir al-Qur’an
4
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), hlm. 67
8
2. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil
c. Bidang Aqidah
1. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
2. Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi al-Masail al-Ukhrawiyah
3. Iljamu al-Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam
4. Al-Risalah al-Qudsiyah fi Qawaid al-Aqaid
5. ‘Aqidah Ahl al-Sunnah
6. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustadzhariyah
7. Al-Qisthash al-Mustaqim
8. Kimiyah al-Sa’adah
9. Al-Maqshid al-tsna fi Ma’ani Asma’ Allah al-Husna
10. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala Man Ghayyara al-Injil
d. Bidang Filsafat dan Logika
1. Misykah al-Anwar
2. Tahafut al-Falasifah
3. Risalah al-Thair
4. Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq
5. Ma’ary al-Qudsy fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
6. Mi’yar al-Ilmi
7. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal
e. Bidang Tasawuf
1. Adab al-Shufiyah
2. Ihya’ ‘Ulumiddin
3. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
4. Al-Adab fi al-Din
5. Al-Imla’ ‘an Asykal al-Ihya’
6. Ayyuhal Walad
7. Al-Risalah al-Ladunniyah
8. Mizan al-‘Amal
9. Al-Kasyfu wa al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
10. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
9
11. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadhrah Alami al-Ghaibi5
5
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 244
10
sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu sebagai alat untuk mencapai
tujuan.
b. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti yang , yaitu
seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar
dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan al-Ghazali
terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai ilmu
pengetahuan. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi beberapa
sudut pandang :
a. Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang :
1. Ilmu Syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas :
a) Ilmu Ushul (ilmu pokok) : ilmu al-Qur’an, Sunnah Nabi,
pendapat-pendapat sahabat dan Ijma’
b) Ilmu Furu’ (cabang) : ilmu hal ihwal hati dan akhlak
c) Ilmu pengantar (mukaddimah) : ilmu Qira’at, makhrij al-Huruf
wa al-Alfads, ilmu tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafadz umum dan
khusus, lafadz nash dan zahir serta biografi dan sejarah
perjuangan sahabat.
2. Ilmu bukan syari’at terdiri atas :
a) Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu
perusahaan. Khusus ilmu perusahaan dirinci menjadi :
1. Pokok dan utama: pertanian, pembangunan dan tata
pemerintah.
2. Penunjang: pertukangan besi dan industri sandang.
3. Pelengkap: pengolahan pangan dan pertenunan.
b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): kebudayaan, sastra,
sejarah, dan puisi.
c) Ilmu yang tercela (marugikan): ilmu tenung, dan sihir.
b. Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok :
1. Ilmu pengetahuan yang tercela
2. Ilmu pengetahuan yang terpuji
11
3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji
c. Berdasarkan status hukum mempelajari, dikaitkan dengan nilai gunanya
dapat digolongkan menjadi :
1. Fardhu ‘ain yang wajib dipelajari oleh setiap individu
2. Fardhu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim
untuk dipelajari.
c. Pendidik
Menurut Al-Ghazali Pendidik adalah bapak ruhani (spiritual
father) bagi peserta didik yang memberi santapan jiwa dan ilmu,
pembinaan akhlak mulia dan meluruskan perilaku buruk. Dalam proses
pembelajaran, menurutnya eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak
bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak, bahkan dapat dikatakan
bahwa pendidik merupakan pelita segala alam, orang yang hidup semasa
dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya. Dalam hal
ini Al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik sebagai
berikut :
1. Pendidik hendaknya memandang peserta didik seperti anaknya sendiri.
2. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik hendaknya tidak
mengaharapkan upah atau pujian, tetapi hanya mengharapkan keridaan
Allah swt.
3. Pendidik hendaknya memanfaatkan setiap peluang untuk memberi
nasehat dan bimbingan kepada peserta didik.
4. Terhadap peserta didik yang berperilaku buruk, hendaknya pendidik
menegurnya sebisa mungkin dengan sindiran dan penuh kasih sayang.
5. Hendaknya pendidik tidak fanatik terhadap bidang studi yang
diampunya.
6. Handaknya pendidik memperhatikan perkembangan berpikir peserta
didik agar dapat menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan
berpikirnya.
7. Hendaknya pendidik memperhatikan peserta didik yang lemah dengan
memberikan pelajaran yang mudah dan jelas.
12
8. Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya, dan tidak sebaliknya.
Dimana perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang diajarkan
kepada peserta didik.6
Al-Ghazali memandang guru adalah sosok yang harus dihormati,
bahkan ia menuliskan, “selayaknya seorang murid memilih untuk lebih
menghormati gurunya daripada ayahnya. Karenaguru memberikan
kehidupan abadi, sedangkan ayah hanya terbatas sebagai penyebab
kehidupan sementara.
d. Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik
mempunyai kewajiban melaksanakan sifat-sifat dan kode etik dalam
proses belajar mengajar, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal
ini Al-Ghazali merumuskan kode etik peserta didik, yaitu:
a. Memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk.
b. Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan
seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
c. Tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan
bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan
nasihatnya.
d. Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari
mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu
duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
e. Penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang
terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi
dari disiplin ilmu yang dimaksud.
6
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2001) hlm. 86
13
f. Penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak
dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan
memprioritaskan yang terpenting
g. Penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahapan ilmu berikutnya
hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
h. Penuntut ilmu hendaknya mengetahui factor-faktor yang menyebabkan
dapat memperoleh ilmu yang paling mulia.
i. Tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan
menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah
serta meningkatkan maqam spiritualnya.
j. Penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan
orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana
yang harus diprioritaskan.
k. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik.
Dalam tulisannya mengenai cara mendidik anak, Al-Ghazali
mengatakan bahwa anak harus dididik keras dan latihan ketat, ibu dan
ayah sama-sama bertanggungjawab dalam melatih dan membentuk
perilaku anak yang baik. Tempat tidur anak mesti keras agar anggota
tubuhnya kuat dan tidak kelebihan lemak. Makanan dan pakaian yang
sederhana, latihan aktif. Anak-anak tidak boleh tumbuh malas, dan
sombong dengan kedudukan dan kekayaan yang dimiliki ayahnya. Anak
harus dilatih rendah hati dan ramah dalam bergaul sesama teman
sejawatnya. Anak harus diajari bahwa ketinggian budi terletak pada
“memberi” bukan “menerima”, ketamakan adalah sesuatu yang hina.
Al-Ghazali berkesimpulan, jika seorang anak dididik dengan baik, dia
akan mendapatkan jalan yang baik pula kelak. Dididikan yang baik waktu
masih kanak-kanak akan meninggalkan kesan mendalam dalam hati, ibarat
ukiran di atas batu.
e. Metode dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses
pembelajaran, menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis,
14
sosiologis maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses
pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula
media atau alat pengajaran.
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang
metode dan media pengajaran, untuk metode, misalnya menggunakan
metode mujahadah dan riyadlah, pendidikan praktek kedisiplinan,
pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan
nasehat. Sedangkan media atau alat yang digunakan dalam pengajaran,
beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan
menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam
pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika
seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid
tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi
gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam
Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam
bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan
tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang
mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai
manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa
al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap
lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka
adalah anak kandung sendiri.
Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah
pemanusiaan anak didik oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat
antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian, faktor
keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan sangat penting
dalam pandangannya.
15
Menurut al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses
yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa,
yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan
mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling
mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan
yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan yang
didapatkannya.
f. Proses Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode
dan media atau lat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus
diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan
segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup
penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi,
maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran
yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf
akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pelajaran yang dapat
mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik
diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syari’at, terutama al-
Qur’an. Begitu pula metode dan media yang diterapkan juga harus
mendukung baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi
keberhasilan proses pengajaran.
16
berlipat-lipat. Konsekuensinya, ilmu pengetahuan pun berkembang
dengan sangat pesat.
Turbulensi (pergolakan) arus global ini amat kuat dan dampaknya pada
semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan Islam. Pendidikan Islam
mau tak mau masuk dalam perangkap arus dan mengalami turbulensi ini. Bagi
pendidikan Islam, turbulensi arus global bisa menimbulkan paradoks atau
gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua sisi moral secara diametral,
seperti guru memberi pesan agar anak tidak terlibat tawuran, tetapi di
lingkungan masyarakat justru sering dipertontonkan adanya bentrok
antarwarga atau antarkelompok masyarakat; di sekolah diadakan razia
pornografi, tetapi media massa semakin tidak sungkan untuk mengumbar
segala yang merangsang birahi; begitu pula harapan agar peserta didik tampil
kreatif dan egaliter, tetapi di rumah ia justru menyaksikan perilaku orang tua
yang otoriter. Globalisasi membawa dampak terjadinya kontra-moralitas antara
apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam (das Solen) dan realitas di
lapangan (das Sein).
Arus global bukanlah lawan atau kawan bagi pendidikan Islam, melainkan
sebagai dinamisator bagi “mesin” yang berjuluk pendidikan Islam. Bila
pendidikan Islam mengambil posisi antiglobal, maka “mesin” tersebut tidak
akan stationairealias macet, lalu pendidikan Islam pun mengalami intellectual
shut down atau penutupan intelektual. Sebaliknya, bila pendidikan Islam
terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses
pendidikan akan dilindas oleh “mesin” tadi. Menutup diri atau bersikap
eksklusif terhadap globalisasi bisa mengakibatkan ketinggalan zaman,
sementara membuka diri juga berisiko kehilangan jadi atau kepribadian. Oleh
karena itu, pendidikan Islam perlu melakukan tarik ulur terhadap arus global;
mana yang baik dan sesuai, diambil; dan mana yang tidak baik dan tidak pula
sesuai, dilepaskan atau ditinggalkan.
Di atara dampak nyata dari arus global adalah perubahan pola hidup
manusia yang cenderung semakin materialistik dan pragmatis keduniaan.
Kondisi ini menemukan keserupaan dengan masa hidup al-Ghazali, dimana
17
pada masa itu masyarakat Islam juga memiliki kecenderungan demikian.
Realitas sosial masyarakat Indonesia sekarang yang materialistik dan hedonis
sebenarnya hampir tidak berbeda dengan kondisi masyarakat Barat. Jika ditarik
ke belakang, masa ini juga sudah menggejala di masa al-Ghazali. Aktivitas
belajar dan keilmuan semata-mata diorientasikan pada capaian-capaian
kebendaan dan keduniaan. Saat itulah muncul pemikiran al-Ghazali tentang
pendidikan dan tasawuf sebagai koreksi atas materialisme dan hedonisme
masyarakat kala itu (krisis orientasi).
Krisis orientasi dalam pendidikan Islm telah menjadi masalah yang krusial
di dunia Islam sedari dulu. Dalam komunitas pendidik, misalnya, al-Ghazali
menyoroti gejala materialisme dari sisi moralitas ulama dalam tulisannya
tentangulama su’, yakni sosok ulama yang memanfaatkan ilmunya untuk
meraih kepuasan materi dan kedudukan serta menjilat penguasa untuk
mempertahankan jabatan.
Problem moralitas ini pula yang menjadi tantangan pendidikan Islam di
Indonesia saat ini, dimana pembelajar tidak lagi mencari ilmu demi ilmu itu
sendiri, tetapi semata untuk memuaskan nafsu kebendaan. Guru sibuk
mengurus segala administrasi demi mendapatkan sertifikasi, namun abai
terhadap loyalitasnya kepada ilmu dan para penuntut ilmu.. Tidak berlebihan
jika kemudian penulis menyimpulkan bahwa pemikiran al-Ghazali masih
relevan untuk digaungkan sebagai ikhtiar memperbaiki pendidikan Islam dan
moralitas masyarakat muslim di Indonesia. Namun, dengan tetap mengkritisi
sisi-sisi yang harus dikontekstualisasikan relevansinya dengan era sekarang.
Misalnya, tentang guru yang oleh al-Ghazali ditegur keras agar tidak mencari
upah dalam mengajar. Menurut penulis, kode etik pendidik oleh al-Ghazali ini
hendaklah dimaknai bahwa guru/pendidikan harus memiliki loyalitas terhadap
ilmu pengetahuan dan proses pendidikan. Adapun upah atau aspek ekonomi
merupakan orientasi sekunder yang selayaknya didapat oleh pendidik sebangun
dengan sumbangsihnya secara total terhadap kemajuan pendidikan. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa penentangan al-Ghazali bukanlah terhadap
18
hak kelayakan ekomoni pendidik, melainkan terhadap komersialisasi ilmu
pengetahuan.
19
BAB III
KESIMPULAN
Al-Ghazali adalah sosok pemikir konservatif religius. Salah satunya
tercermin dalam tujuan pendidikan yang diungkapkannya, yaitu tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan
kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kesempurnaan insani di dunia dan akhirat ini hanya dapat dicapai dengan
menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu.
Sementara dalam hal kurikulum al-Ghazali mengklasifikasi ilmu
pengetahuan menjadi beberapa bagian: (1) ilmusyar’iyah (religi)
dan ‘aqliyah (nalar/intelektual), serta ilmu ghairu syar’iyah (non religi) baik yang
terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah), maupun tercela (madzmum); (2) ilmu
teoritis dan praktis; (3) ilmu yang dihadirkan (hudhuri) dan ilmu yang diperoleh
(hushuli); serta (4) ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Pengklasifikasian
ilmu oleh al-Ghazali tidak berarti merupakan penolakan terhadap pentingnya
mempelajari segala macam ilmu pengetahuan. Al-Ghazali hanya menekankan
perlunya manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu
agama dalam posisi paling urgen.
Lebih inti lagi, al-Ghazal menyimpulkan bahwa sentral dari pendidikan
adalah hati sebab hati merupakan esensi dari manusia. Menurutnya, substansi
manusia bukanlah terletak pada unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan
pada hatinya dan memandang manusia bersifat teosentris sehingga konsep tentang
pendidikannya lebih diarahkan pada pembentukan akhlak yang mulia. Untuk
merealisasikan pembelajar yang berakhlak mulia, al-Ghazali memandang
pentingnya metode keteladan dan pembiasaan dalam proses pendidikan. Dalam
konteks kekinian dan kedisinian, pemikiran al-Ghazali masih relevan untuk
diaktualisasikan sebagai ikhtiar mengobati dan menyudahi krisis orientasi
pendidikan Islam
20
DAFTAR PUSTAKA
21