Anda di halaman 1dari 18

M.

Masrur,1 Abdul Ro‟uf2


Institut Agama Islam Al-Falah Assunniyyah
alunkrr@gmail.com

Abstrak
Fenomena degradasi karakter dikalangan remaja menjadi salah satu
tantangan nyata bagi guru dalam perannya sebagai agen perubahan
melalui pendidikan. Karakter merupakan komponen integral dalam
kehidupan setiap individu yang mewarnai setiap aktivitasnya baik
hubungannya dengan Tuhan maupun hubungan sosialnya dengan sesama
manusia. Dalam proses pembelajaran, penanaman nilai-nilai karakter
khususnya karakter Aswaja menjadi salah satu solusi dalam mengurangi
dan menanggulangi tingginya fenomena degradasi karakter khususnya
dikalangan remaja. Inovasi pendidikan karakter Aswaja sangat penting
dalam upaya guru menanamkan nilai-nilai karakter mulia tersebut
sehingga dapat terinternalisasi dalam kehidupan peserta didiknya, inovasi
tersebut tentunya harus selalu memperhatikan karakteristik institusi
pendidikan dan peserta didiknya, sehingga tujuan pendidikan dapat
dicapai secara maksimal.
Kata Kunci: Inovasi, Pendidikan Karakter, Karakter Aswaja.

Abstract
The phenomenon of character degradation among adolescents is one of
the real challenges for teachers in their role as agents of change through
education. Character is an integral component in the life of every
individual that colors every activity, both in his relationship with God
and his social relationship with fellow human beings. In the learning
process, planting character values, especially Aswaja's character, is one of
solution in reducing and overcoming the high phenomenon of character
degradation, especially among teenagers. Aswaja's character education
innovation is very important in the teacher's efforts to instill these noble
character values so that they can be internalized in the lives of the
students, these innovations must always aware to the characteristics of
educational institutions and their students, so that educational goals can
be optimally achieved.
Keywords: Innovation, Character Building, Aswaja’s Character.

PENDAHULUAN
Sumber daya manusia merupakan modal utama bagi suatu bangsa
untuk terus berkembang menuju kemajuannya. Berbagai upaya dilakukan
oleh suatu negara untuk mampu mencapai indeks kemajuan sumber daya
manusia yang mumpuni guna mewujudkan kemajuan negaranya. Oleh
karena itu seluruh perangkat kebijakan yang berkenaan dengan
pendidikan selalu menjadi perhatian serius setiap negara. Inovasi terus
dilakukan guna menyempurnakan sistem pembelajaran yang digunakan
secara nasional oleh suatu negara dengan satu tujuan yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsanya dan meningkatkan index sumber daya manusianya
dimata dunia.
Sebagai mana konsep pendidikan yang lazim diseluruh dunia,
pendidikan Islam pun juga memiliki kesdaran yang sama, yaitu berbasis
pada tujuan, namun demikian pendidikan Islam memiliki corak dan
karakteristik yang lebih menonjol, yaitu pendidikan yang bercorak agama
dan karakter yang dalam hal ini lebih kita kenal dengan istilah akhlak.
Sehingga dengan demikian pendidikan agama bertujuan untuk
mewujudkan manusia yang agamis, berkarakter, memiliki kecakapan
dalam berfikir, berperilaku dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah
agama yang dianutnya, karena itulah sistem pembelajaran kegamaan
disesuaikan dengan tujuan utama diatas.
Fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dengan
terjadinya penurunan moral masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi
pelaku pendidikan khususnya pendidikan agama untuk sebisa mungkin
mengeliminir atau paling tidak meminimalisir fenomena negatif tersebut,
oleh karena itu berbagai upaya inovasi pendidikan karakter terus
dilakukan untuk mewujudkan manusia yang beradab, manusia yang
berakhlakul karimah dengan menjunjung nilai-nilai, agama, norma,
moral. Mewujudkan manusia yang memiliki kemampuan untuk bertindak
dan berperilaku secara bertanggung jawab, memiliki kepekaan dan
kesadaran sosial yang tinggi yang dalam agama Islam kita kenal dengan
istilah hablun minan nas.
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, dan bertanggung jawab.1 Dari tujuan pendidikan diatas jelas
tergambar bahwa karakter menjadi hal yang menjadi perhatian utama dari
tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah bahwa
seluruh civitas pendidikan khususnya di Indonesia dalam melakukan
seluruh upaya pendidikan yang dilakukan senantiasa merujuk pada tujuan
nasional tersebut.
Pendidikan sebagai upaya menciptakan manusia yang unggul
harus senantiasa berpedoman pada pengembangan sumberdaya manusia
dengan mengembangkan seluruh aspek perkembangan individu yang
sedang belajar baik dari sisi kognisi, psikomotor dan afektifnya, hal ini
harus dilakukan karena indikator manusia yang unggul adalah manusia
yang memiliki kemampuan literasi, numerasi dan karakter yang baik.2
Pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam
perkembangan suatu bangsa, disadari dan diakui atau tidak peran
pendidik dalam proses pembelajaran menjadi ujung tombak dalam
pendidikan, karena apapun kurirkulumnya, bagaimanapun baiknya suatu
undang-undang dalam mengatur proses pembelajaran, seluruhnya akan
tertumpu pada kemampuan pendidik dalam mengimplementasikan
undang-undag yang berlaku dan kurikulum yang dilaksanakan oleh
satuan pendidikan, dengan kata lain dapat ditarik dengan kalimat yang
sederhana, apapun kurikulumnya, kurikulum yang sebenarnya adalah
guru itu sendiri. Hal tersebut karena pendidiklah yang menjalankan
kurikulum, pendidiklah yang melakukan proses pembelajaran,
pendidiklah yang bersinggungan langsung dengan para peserta didiknya.
Pendidikan sebagai upaya sistematis dengan tujuan agar setiap
manusia mencapai taraf kedewasaan dalam kehidupannya dengan tujuan
akhir adalah kebahagiaan lahir dan batin,3 mengharuskan para pendidik

1 Kemdikbud, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


(Jakarta: Kemdikbud, 2003).
2 Aji Abdullatif, Pendidikan Karakter, (Bandung: Widina Bhakti Persada 2020), 63.
3 Munir Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Palopo: IAIN Palopo, 2018), 9.
untuk benar-benar memahami karakteristik setiap peserta didiknya,
sebagai dasar dalam upayanya mengembangkan seluruh potensi yang ada
dalam setiap siswa yang dibimbingnya menuju kedewasaan dengan
mengedepankan tujuan utama pendidikan nasional yaitu menciptakan
manusia yang berkarakter.
Fenomena kemunduran karakter masyarakat tentunya tidak
terlepas dari praktik pendidikan yang dijalankan di tingkat sekolah,
kekurang mampuan guru dalam membimbing perkembangan karakter,
mengimplementasikan pendidikan karakter dalam proses
pembelajarannya menjadi salah satu penyumbang fenomena tersebut,
sehinigga akhir-akhir ini muncul berbagai masalah turunnya tingkat
karakter masyarakat yang dimulai dari para kaum muda yang dalam
proses pendidikannya tidak mengalami dan tidak menerima pembiasaan
pendidikan karakter di bangku sekolah.
Pendidikan agama, terutama agama Islam sebagai pendidikan
yang mengutamakan keutamaan akhlak sebagai tolak ukur kedewasaan
dan ketercapaian tujuan pembelajaran memiliki tantangan utama
mengentaskan fenomena negatif yang terjadi di masyarakat. Keutamaan
karakter ahlussunnah wal jamaah (ASWAJA) dalam membangun umat
terbaik dengan lima pilar mabadi khoiro ummah,4 bisa dijadikan sebagai
referensi pendidikan penguatan karakter untuk membangun masyarakat
yang berkarakter melalui pendidikan.
Urgensi pendidikan karakter ASWAJA dalam membangun
masyarakat terbaik jika kita menilik pada fenomena akhir-akhir ini
dengan semakin tingginya tingkat radikalisme di masyarakat yang
kebanyakan diawali dari pada kaum muda, para pelajar yang sedang
dalam proses pencarian jati diri yang masih dalam dunia pendidikan baik
sekolah maupun perguruan tinggi menjadi sasaran yang paling potensial
dan strategis dalam menguatkan radikalisme keagamaan.5 Belum lagi
kemunduran karakter yang berhubungan dengan akhlak, tingginya tingkat
korupsi akhir-akhir ini yang semakin menghawatirkan, perilaku
masyarakat dengan tingginya tingkat kekerasan dalam masrayakat, rumah
tangga, terutama kehidupan di kalangan anak muda, seringnya terjadi

4PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyyah, (Surabaya: LTNU Jawa timur, 2007), 37.
5 Ahmad Syafii Maarif, Menghalau Radikalisme Kaum Muda, (Jakarta: Maarif Institut,
2013), 6.
tindak perundungan di kalangan pelajar dan mahasiswa hingga pelecehan
seksual, hal ini menjadi sekelumit carut marutnya pendidikan karakter
yang seharusnya mampu meredam dan meniminalisir hingga
mengeliminir tindak-tindak negatif tersebut.
Dari gambaran diatas menunjukkan betapa pendidikan agama
Islam menghadapi problem yang sangat pelik, dimana pendidikan Islam
sebagai salah satu sistem pendidikan harus mampu menjawab tantangan
dan rintangan tersebut guna benar-benar menciptakan Islam Rahmatan
lil alamin, Islam sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Oleh
karena itu pendidikan Islam dengan mengedepakan karakter ASWAJA
perlu mendapatkan inovasi-inovasi dari pendidik dalam
mengimplementasikan dan membiasakan karakter tersebut dalam
kehidupan peserta didik, dengan harapan karakter ASWAJA tersebut
menghiasi seluruh aspek kehidupan peserta didik setelah dewasa,
sehingga dengan demikian tujuan pendidikan nasional yang membentuk
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, dan bertanggung jawab dapat terwujud.

PEMBAHASAN
Kajian Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen mendasar
dan paling utama dalam pendidikan, dari tujuan yang dicanangkan
tersebut, setiap elemen dalam pendidikan harus selalu berorientasi pada
tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Pendidikan menjadi kebutuhan
utama bagi setiap individu dalam upayanya meningkatkan harkat dan
martabat kemanusiaannya, untuk mencapai kebutuhan tersebut harus
didukung oleh kesadaran bersama antar berbagai elemen, baik dunia
pendidikan, pemerintah, masyarakat dan individu sendiri dalam
mensukseskan proses pembelajaran.
Budaya yang berkembang saat ini utamanya dikalangan anak
muda dengan berkembangnya teknologi informasi sangat berpengaruh
terhadap pendidikan mereka, media sosial menjadi salah satu sumber
informasi dan sumber belajar yang sangat erat dengan kalangan remaja.
Dari media sosial tersebut, para remaja belajar berbagai hal yang
terkadang lepas kontrol dari bimbingan yang terkadang memunculkan
tindakan-tindakan negatif yang merugikan bagi diri mereka, keluarga dan
masyarakat yang bersinggungan dengan remaja tersebut baik langsung
maupun tidak langsung.
Pendidikan sebagai upaya mengubah wajah suatu negara sangat
bergantung pada pendidik, dalam hal ini orang tua dan guru. Karena itu
kualitas pendidikan akan sangat bergantung pada kualitas para pendidik
itu sendiri.6 Jadi dalam hal ini guru adalah agen utama dalam perubahan,
agen utama dalam mengubah wajah pendidikan nasional untuk
mengembangkan dan membentuk masyarakat yang berkarakter dengan
berbagai kompetensi yang diharapkan dapat berkembang dalam diri
peserta didik dari sisi kemampuan kognitif, psikomotor dan afektif yang
diterapkan dalam kemampuan literasi, numerasi dan karakter.
Karena itu konsep pendidikan yang interaktif, intens dan
berkelanjutan harus menjadi budaya dalam dunia pendidikan, konsep
pendidikan sepanjang hayat, bahwa belajar dapat dilakukan kapanpun
dan dimanapun dengan berbagai sumber pada jaman sekarang ini sangat
mungkin untuk dilakukan. Dengan berbagai kemudahan dari sisi
teknologi informasi memungkinkan peserta didik untuk mendapatkan
pembelajaran dari berbagai sumber, namun demikian peran pendidik
tetap menjadi sesuatu yang urgen untuk menjamin keberlangsungan
pendidikan yang berorientasi pada tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan karakter merupakan suatu upaya dalam
pengembangan perilaku dalam hal ini adalah perilu yang baik bagi peserta
didik dalam interaksinya dengan masyarakat baik masyarakat di
lingkungan sekolah, perguruan tinggi maupun lingkungan sosialnya.7
Implikasi dari perilaku yang baik tersebut adalah terjalinnya hubungan
yang harmonis antara sesama manusia dalam interaksi sosial, kepribadian
yang menunjukkan kedewasaan dalam melakukan hubungan sosial
dengan masyarakatnya. Kedewasaan sikap tersebut menunjukkan
kedinamisan dalam bergerak mencapai perbaikan kualitas hubungan
sosial antara sesama, bukan sikap yang kaku dan dogmatis.8

6 Ahmad Razali, Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional, (Jakarta: Grasindo,
2008), 3.
7 Subaidi, Pendidikan Berbasis Aswaja, (Jepara: UNISNU, 2021), 38.
8 Isnarmi Moeis, Pendidikan Multikultural Transformatif: Integritas Moral, Dialogis, an Adil,

(Padang: UNP Press, 2014), 45.


Kedewasaan karakter tersebut terinternalisasikan pada
kemampuan seseorang dalam mengevaluasi diri kepada Sang Pencipta,
ketaqwaan kepada Nya, yang kemudian hal tersebut berimplikasi pada
terjaganya keseimbangan antara hak-hak Tuhan serta hak dan
kewajibannya kepada masyarakat. Kedewasaan individu tersebut
tercermin dengan kematangan akhlak, kematangan pribadi dalam
bertingkah laku, dan kemampuan dalam membangun hubungan yang
harmonis antara sesama.
Penguatan pendidikan karakter menjadi hal yang penting di era
sekarang ini, dengan semakin tergerusnya nilai-nilai karakter di tengah-
tengah masyarakat, fenomena penurunan karakter tersebut berdampak
pada berbagai sendi kehidupan masyarakat, baik dari sisi sosiokultur
maupun sosio ekonomi. Krisis ini diperparah dengan krisis ikutan, yang
pertama adalah krisis jatidiri, fenomena masyarakat Indonesia yang telah
kehilangan kepercayaan diri dan kebanggaan terhadap negaranya, krisis
ini berdampak pada lemahnya rasa nasionalisme masyarakat terhadap
kesatuan dan keutuhan negara. Kedua ditandai dengan krisis ideologi,
pancasila hanya menjadi semboyan tanpa adanya pengejawentahan nilai-
nilai yang terkandung didalamnya didalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Ketiga krisis kepercayaan, rendahnya
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, yang dari sudut pandang
masyarakat menilai bahwa pemerintah tidak becus dalam
menyelenggarakan proses pemerintahan. Dan yang keempat krisi
karakter, krisis ini ditandai dengan degradasi moral masyarakat, semakin
maraknya hoax yang beredar di tengah-tengah masyarakat, serta perilaku
yang kurang mencerminkan sebagai masyarakat yang berbudaya luhur.9
Dari hal di atas menjadi tantangan nyata bagi para pendidik untuk
menguatkan pendidikan agama sebagai landasan dalam pendidikan
karakter, kenapa demikian, karena sekolah maupun perguruan tinggi
merupakan salah satu institusi yang dianggap cocok untuk untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran agama, disamping pendidikan yang
dilakukan didalam keluarga.10 Dengan kondisi lembaga pendikan sebagai
salah satu institusi pendidikan karakter tersebutlah kemudian

9 Eko Handoyo, Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi, (Semarang: Widya Karya,
2010), 2.
10 Kurnali, Bungai Rampai Pendidikan Islam, (Banten: Shuhuf Media Insani, 2019), 86
memunculkan harapan kepada sekolah untuk mengimplementasikan
pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran yang dilaksanakan.
Berbicara pendidikan karakter, kita tidak bisa terlepas dari
pembinaan dan pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik,
meskipun tidak bisa mengesampingkan kebutuhan kognitif sebagai dasar.
Kelamahan pendidikan agama, sebagai dasar pendidikan karakter salah
satunya adalah karena kurangnya inovasi guru dalam menyampaikan
pembelajaran kepada peserta didik, guru lebih mengedepankan
kemampuan kognisi peserta didik dan sedikit abai terhadap
perkembangan efektif dan psikomotor peserta didik, semantara dari sisi
lain, pendidikan agama menuntut lebih pada kemampuan peserta didik
untuk mengimplementasikan ajaran agama tersebut dalam kehidupan
kesehariannya, baik dari sisi ibadah, muamalah, dan seluruh aspek sosial
kehidupan ditengah-tengah masyarakat yang tentunya hal ini lebih
mengedepankan pada perkembangan sikap dan perilaku peserta didik.
Sadar dengan semakin tingginya degradasi karakter masyarakat,
negara dalam hal ini kementerian pendidikan dan dinas-dinas terkait
selalu berupaya untuk mengatasi kemunduran karakter tersebut, dengan
berbagai upaya, dan kebijakan yang mendukung penguatan pendidikan
karakter. Upaya tersebut telah mulai dicanangkan sejak tahun 2010
dengan melahirkan sekolah-sekolah rintisan guna melaksanakan
pendidikan karakter secara intensif dan konstekstual sesuai dengan
potensi yang ada di lingkungan sekolah tersebut dengan berpedoman
pada nilai-nilai karakter bangsa yang dikelompokknan dalam nilai-nilai
utama pendidikan karakter bangsa yaitu religius, nasionalis, mandiri,
gotong royong, integritas dan bertanggung jawab.11
Implementasi pendidikan karakter dalam proses pembelajaran
selama ini selalu mengacu pada nilai-nilai karakter bangsa sebagai upaya
untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dimana
upaya tersebut tidak boleh terlepas dari budaya dan kearifan lokal dimana
sekolah itu berada. Karena itu pendidikan karakter akan sangat
terdiversifikasi sesuai dengan budaya dan adat istiadat suatu masyarakat
dimana lembaga pendidikan itu berada, hal tersebut bisa dipengaruhi
oleh suku, budaya daerah dan agama yang kemudian mewarnai

11Tim PPPK Kemdikbud, Konsep dan Penguatan Pendidikan Karakter, (Jakarta,


Kemdikbud, t.th.), 9.
perkembangan peserta didik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan
masyarakatnya. Demikian juga dengan pembelajaran agama akan
mewarnai kehidupan peserta didik, karena tiap agama memiliki konsep
kebenaran, ketuhanan, ibadah, muamalah yang tentunya berbeda-beda,
bahkan dalam satu agama pun terkadang ada perbedaan didalamnya yang
dipengaruhi oleh aliran, sekte dan perbedaan madzhab.

Kajian Karakter Aswaja


Indonesia sebagai negara yang plural dengan berbagai macam
suku, ras dan agama menuntut terimplementasikannya nilai-nilai luhur
kebernegaraan dan keberagaman. Nilai-nilai tersebut telah dicetuskan
oleh para pendiri bangsa ini yang pemikiran tersebut dilandasi pada
kondisi sosio kultur dan sisio budaya bangsa ini baik dari sisi budaya dan
agama. Dijaminnya kemerdekaan dan kebebasan seluruh warga negara
untuk memilih, memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing oleh undang-undang.12 Hal merupakan
bukti keseriusan pendiri bangsa ini dalam mengakomodir berbagai
kemungkinan perbedaan yang ada di Indonesia.
Keragaman agama di Indonesia menjadi tantangan yang
menimbulkan tuntutan akan tumbuh sumburnya rasa, rasa saling
menghormati dan menghargai antar pemeluk berbagai agama yang ada.
Kehidupan beragama yang beradab akan mampu menciptakan kehidupan
yang harmonis antar pemeluk umat beragama. Agama Islam sebagai salah
satu agama yang memiliki pemeluk yang besar di Indonesia memiliki
berbagai komunitas atau organisasi keagamaan dengan pengikut atau
anggotanya juga besar, yang jika dikaji lebih dalam, seluruh organisasi
kemasyarakatan Islam tersebut mengidentifikasikan entitas organisasi
kemasyarakatan tersebut sebagai Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja),
diantara organisasi keagamaan tersebut adalah Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Setiap organisasi Islam di Indonesia tentunya memiliki penafsiran
tersendiri tentang entitas Aswajanya. Hal tersebut didasari oleh
terdiversifikasinya kajian tentang Aswaja sesuai dengan kacamatan setiap
organisasi itu sendiri, meskipun dalam pemahaman tentang dasar Aswaja

Ahmad Suhendra, DKK., Agama dan Perdamaian: Dari Potensi Menuju Aksi, (Jogjakarta:
12

UIN Sunan Kalijaga, 2012), 6.


relatif sama, bahwa Aswaja adalah golongan yang senantiasa konsisten
mengamalkan ajaran dan amalan keberagamaan yang disandarkan kepada
Sunnah Rosul dan para sahabatnya.13 Ajaran dan amalan tersebut
bersumber dari Nabi Muhammad dimana assunnah merupakan atualisasi
dari Al-Qur‟an sebagai sumber utama dalam Islam, serta atsar (sunnah
sahabat) yang bersinggungan dengan seluruh kehidupan umat manusia.
Besarnya pengikut faham Ahlussunnah Waljamaah tentu tidak
terlepas dari sejarah panjang Islam itu sendiri, hal tersebut tentunya
dipicu oleh salah satu Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
yang artinya “Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73
golongan, 72 di antaranya di dalam neraka, dan hanya satu di dalam surga
yaitu al-Jama‟ah”. Hadist tersebut menjelaskan akan adanya firqah dalam
Islam yang akan terpecah menjadi 73 golongan yang secara eksplisit Nabi
menyatakan bahwa golongan yang selamat adalah Al-Jamaah.14 Namun
demikian, tidak semua alairan dalam Islam mengakui dan mengklain diri
meraka sebagai pengikut Aswaja diantaranya adalah kelompok Syiah,
Khawarij dan Mu‟tazilah.15 Aktualisasi nilai-nilai Aswaja menjadi hal yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dengan merujuk kepada
ketentuan Al-Qur‟an dan Assunnah, serta atsar para sahabat dalam
melakukan hubungan personal dengan Allah (Hablun minalllah) dan
hubungan sosial (Hablun minannas).
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa hampir seluruh
organisasi kemasyarakatan Islam khususnya di Indonesia selalu
menyandarkan entitas organisasi mereka kepada Aswaja, namun
demikian apakah seluruh organisasi terebut merupakan penganut Aswaja,
hal ini tentunya disandarkan kepada karakteristik Aswaja itu sendiri.
Karakteristik Awaja tercermin dalam pola pikir penganut Aswaja yang
senantiasa harus dikembangkan, yang pertama at-tawasuth, sikap tengah-
tengah, dimana sikap ini menggambarkan ketidak ekstriman faham
Aswaja, hal ini dapat dimaknai sebagai sikap dan tindakan yang
membangun sebagai landasan dalam mengarahkan pemikiran kita untuk

13 Mudzakir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Waljamaah, (Semarang: Wahid Hasyim


University Press, 2009), 11.
14 Kholil Abu Fateh, Mengungkap Kebenaran Aqidah Asyariyyah: Meluruskan Distorsi Terhada

Abu Hasan Al Asy’ari dan Ajarannya, (t.th.), 6.


15 Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah Waljamaah,

(Surabaya: Khalista, 2009), 232.


tidak ekstrim dalam mengambil suatu sikap akan suatu fenomena dalam
kehidupan sehari-hari.
Sikap Aswaja yang kedua adalah at-tawazun, sikap moderat, sikap
seimbang dalam menjalani setiap aspek kehidupan yang dilaluinya, dalam
artian seimbang disini adalah kebutuhan duniawi dan ukhrowinya dengan
senantiasa berpegang teguh pada kaidah-kaidah Islam. Dan yang ketiga
adalah al-I‟tidal, sikap keberadilan, menjunjung tinggi keadilan dalam
kehidupannya. Selain tiga sikap tersebut Aswaja juga mengembangkan
sikap tasammuh atau toleransi yaitu sikap menghargai dan menerima
perbedaan-perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.16 Toleran
disini bukan berati membenarkan perbedaan keyakinan keberagamaan,
namun toleran disini adalah mampu dan mau menerima setiap perbedaan
yang terjadi di dalam kehidupan sosial sebagai sesama manusia, toleran
dalam kerangka hablun minannas, namun tetap memegan teguh nilai-
nilai aqidah dan aturan-aturan keislamannya.
Berhubungan dengan karakteristik faham Aswaja tersebut, ada
sikap yang dikembangkan oleh Ahlussunnah Waljamaah sebagai
upayanya dalam membangun masyarakat yang beradab yang dirangkum
dalam bingkai mabadi‟ khairo ummah, yang merupakan karakter yang
harus dikembangkan dan diinternalisasikan dalam kehidupan sosial
penganut Aswaja, karakter kemasyarakat tersebut diantaranya adalah Al-
Sidqu (sikap jujur), Al-Amanah wal wafa bil „ahdi (sikap tanggung jawab),
Al-Adalah (sikap adil), Al-Taawun (sikap tolong menolong), dan Al-
Istiqomah (sikap konsisten).17 Kelima karakter keaswajaan inilah yang
seyogyanya dikembangkan dan diinternalisasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagai upaya untuk menekan fenomena-
degradasi karakter yang akhir-akhir ini muncul dalam kehidupan sosial
kemasyarakat di Indonesia.

16 Tim Harakah Islamiyah, Buku Pintar Aswaja, (Harakah Islamiyah, t.th.), 27.
17 PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyyah, (Surabaya: LTNU Jawa timur, 2007), 40.
Peran institusi pendidikan, baik sekolah maupun kampus dan
bentuk-bentuk lembaga pendidikan yang lain menjadi penting dalam
membudayakan karakter ke-Aswajaan tersebut, dimana sekolah
merupakan institusi kedua setelah keluarga dalam membimbing dan
membina peserta didiknya untuk menjadi manusia yang beradab,
manusia yang memiliki karakter keagamaan dan karakter sosial yang kuat.
Dari sinilah guru dituntut untuk melakukan inovasi pembelajaran
karakter dalam proses pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan
kepada peserta didiknya.
Pengembangan seluruh potensi peserta didik dalam paradigma
pendidikan yang baru mengharuskan guru tidak hanya fokus pada
pengembangan kemampuan kognitif dan psikomotorik peserta didiknya,
namun juga fokus pada pengembangan afektif peserta didik.
Pengembangan sikap kemasyarakatan Aswaja sangat mungkin memenuhi
tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, dan bertanggung jawab.

Inovasi Pendidikan Karakter Aswaja


Salah satu unsur penting dalam pendidikan adalah pendidik atau
guru, guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas upaya
perkembangan seluruh aspek perkembangan baik perkembangan fisik
maupun psikis peserta didik guna mencapai kedewasaan untuk mampu
menjalankan tugas-tugas kemanusiaannya di tengah-tengah masyarakat.18
Dari sini guru memegang peran penting dalam proses pembelajaran,
dengan paradigma yang baru dalam dunia pendidikan berupaya untuk
berpusat kepada peserta didik, namun demikian berpusat pada peserta
didik ini adalah upaya untuk mengaktifkan peserta didik dalam proses
pembelajaran, peserta didik diajak untuk mencapai pekembangan
pembelajaran secara aktif, peran guru lebih besar sebagai fasilitator dan
motivator.
Paradigma pendidikan baru yang menuntut pengaktifan peserta
didik, tidak sertamerta kemudian menghilangkan peran sentral seorang
pendidik, hal ini berkenaan dengan perkembangan peserta didik itu
18 Mahyuddin Barni, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Ayat-Ayat Al-Qur’an
tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Prima, 2011), 47.
sendiri, karena setiap peserta didik memiliki tingkat perkembangan, gaya
belajar dan motivasi belajar yang berbeda, kecepatan belajar yang
berbeda, sehingga dari sisi ini peran guru tetap menjadi sesuatu yang
penting dalam suatu proses pembelajaran. Peran guru dalam sangat
penting terutama dalam perkembangan dimensi-dimensi kemanusiaan
peserta didik.
Dimensi kemanusiaan tersebut yang pertama adalah dimensi
individu, pengembangan potensi yang dimiliki oleh peserta didik perlu
dibimbing untuk mencapai perkembangan maksimal. Dimensi kedua
adalah dimensi sosial, kebutuhan interaksi antar manusia perlu dibimbing
dan dikembangkan sehingga peserta didik mampu menempatkan dirinya
secara tepat ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Ketiga dimensi
kesusilaan, dimensi ini berhubungan dengan pemahaman dan
kemampuan peserta didik dalam mengimplementasikan etika, moral dan
norma-norma dalam kehidupan, dimensi ini sangat penting dan menjadi
pusat pengembangan dalam paradigma baru pendidikan nasional,
berkaitan dengan fenomena degradasi moral yang akhir-akhir ini semakin
mengkhawatirkan. Keempat dimensi keberagamaan, disadari secara
umum bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk meyakini adanya
kekuatan yang lebih besar di luar kemampuannya, yang kemudian
kekuatan itu diyakini sebagai Tuhan. Pengembangan keberagamaan ini
bertujuan untuk menjadikan peserta didik yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang sadar dan mampu melaksanakan
seluruh ajaran agamanya. Yang kelima adalah dimensi kesejarahan, yaitu
suatu dimensi yang memberikan pemahaman bahwa manusia adalah
makhluk yang memiliki kemampuan untuk belajar dari masa dan masa
kini untuk menentukan langkah, menentukan rencana untuk masa
depannya untuk menjadi lebih baik.19
Membangun pengetahuan peserta didik menjadi tugas guru,
strategi dan metode yang tepat, sesuai dengan materi dan tujuan
pembelajaran harus selalu menjadi perhatian utama guru, hal ini karena
setiap materi dan tujuan pembelajaran memerlukan metode dan strategi
yang berbeda-beda, bisa jadi materi yang satu perlu metode activ learning

19Rahmat Hidayat, Ilmu Pendidikan: Konsep, Teori dan Aplikasinya, (Medan: LPPPI, 2019),
10.
berupa pemodelan namun materi yang lain mungkin butuh metode
ceramah.
Dengan kemajuan teknologi informasi, sumber pengetahuan
peserta didik bisa sangat beragam, hal ini juga menjadi tantangan dan
peluang bagi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi, secara
umum sumber ilmu pengetahuan manusia itu terdiri dari dua hal, yang
pertama adalah rasional, dimana pengetahuan harus bisa diterima oleh
akal manusia, dalam artian bahwa manusia akan mampu memperoleh
ilmu pengetahuan apabila memaksimalkan kemampuan rasionya untuk
berpikir, sehingga hanya manusia yang mau berpikirlah yang
mendapatkan ilmu pengetahuan. Yang kedua adalah empiris, ilmu
pengetahun bersifat pembuktian, bahwa setiap ilmu pengetahuan harus
mampu dibuktikan kebenarannya dalam kehidupan, baik melalui
pengalaman maupun hasil dari penelitian.20
Meskipun dua hal tersebut diatas terkesan bertolak belakang,
dimana rasionalis menggunakan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan,
sementara empirismemengedepankan pengalaman sebagai sumber ilmu
pengetahuan, namun pada dasarkan keduanya saling berhubungan dan
saling terkait. Keterhubungan tersebut adalah dari hasil akhir belajar itu
sendiri, bagaimana seorang akan mendapat ilmu pengetahuan jika tidak
melalui rasio dan empiris, rasio sebagai motor penggerak sebagai mesin
untuk mendapatkan pengetahuan sementara empiris adalah kendaraan
yang digunakan individu untuk membuktikan apakah ilmu pengetahuan
tersebut bisa diterima atau tidak.
Guru memiliki peran sentral dalam proses pembelajaran di
institusi pendidikan, inovasi dalam proses pembelajaran khususnya
pendidikan karakter sangat bergantung pada kepiawaian guru dalam
mengelola kelasnya, dimulai dari pengelolaan kelas hingga bahan
pelajaran yang disampaikannya. Internaslisasi karakter kemasyarakatan
Aswaja dalam mabadi khaira ummah yang terdiri dari Al-Sidqu (sikap
jujur), Al-Amanah wal wafa bil „ahdi (sikap tanggung jawab), Al-Adalah
(sikap adil), Al-Taawun (sikap tolong menolong), dan Al-Istiqomah
(sikap konsisten) harus selalu diupayakan untuk dapat terinternalisasi

20 Suadei, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: IPB Press, 2016), 8.


dalam proses pembelajaran dan menjadi budaya dalam kehidupan sehari-
hari peserta didik.
Salah satu inovasi dalam pembelajaran pendidikan karakter
aswaja yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan sistem proyek
dengan melibatkan berbagai mata pelajaran yang memungkinkan dapat
bergabung dalam satu proyek pembelajaran karakter. Langkah yang
dilakukan adalah menentukan tema proyek terlebih dahulu, kemudian
fokus pada sub tema karakter apa yang akan dibangun, dilanjutkan
dengan menyusun modul proyek dengan berbagai perangkatnya, baik
materi maupun sistem evaluasi yang akan digunakan.
Salah satu tema yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan
nilai-nilai karakter Aswaja dalam konteks kemasyarakatan adalah dalam
kegiatan pemilihan ketua Osis, seluruh proses pemilihan osis di bentuk
sedemikian rupa, direncanakan dalam bentuk modul pembelajaran
dengan fokus pemilihan ketua osis. Modifikasi proses pemilihan ketua
osis dengan merujuk pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia,
pembentukan partai-partai calon pengusung ketua beserta perangkatnya.
Dalam proses persiapan dan pelaksanaan pembelajaran, seluruh
perangkat partai dibimbing dan diarahkan dengan mengedepankan
internalisasi karakter Aswaja yang diantaranya sikap jujur, adil, tanggung
jawab, saling tolong menolong dan konsisten. Karakter-karakter tersebut
senantiasa diinternalisasikan oleh guru dalam seluruh aktifitas prosesi
pemilihan ketua Osis, mulai dari kampanye hingga pada saat pemilihan
dan penghitung suara pemilihan. Oleh karena itu perlu adanya
komunikasi intensif antar guru yang membimbing proses proyek
tersebut, agar tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dalam modul
ajar sebagai internalisasi nilai-nilai karakter Aswaja dapat tercapai dengan
optimal.
Langkah pengoptimalan proses pembelajaran berbasis proyek
penguatan karakter yang perlu dilakukan oleh guru antara lain yang
pertama adalah dengan membangun ikatan (bonding) dengan peserta
didik, hal ini sangat diperlukan untuk membangun kedekatan emosional
antara guru dengan peserta didik, dan sebagai upaya guru untuk
mengetahui sebara jauh diferensiasi pembelajaran yang harus
dilakukannya. Kedua dengan memberikan tantangan secara bertahap,hal
ini dilakukan guru sebagai upaya untuk membangun rasa percaya diri
peserta didik meskipun hanya dengan menemukan hal-hal kecil dalam
proses pembelajarannya, hal yang dilakukan guru adalah dengan
mendampingi aktivitas siswa dalam proses penyelesaian proyek. Ketiga
dengan memelihara rasa ingin tahu siswa, dengan menggunakan berbagai
pertanyaan pemantik sebagai upaya untuk memahamkan kepada peserta
didik tentang mengapa hal tersebut dipelajari dan apa kebermanfaatannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang keempat adalah dengan
melakukan refleksi secara berkala, diskusi verbal maupun non verbal
antara peserta didik dan guru sebagai fasilatator pembelajaran untuk
menemukan pemahaman konstruktif tentang tujuan pembelajaran yang
dilalui oleh peserta didik.21

Kesimpulan
Salah satu fokus pemerintah saat ini sebagai upaya dalam
menekan degradasi karakter khusunya dikalangan pelajar dan mahasiswa
adalah dengan penguatan pendidikan karakter. Berbagai upaya penguatan
pendidikan karakter didukung dengan berbagai regulasi pemerintah
untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter di seluruh
instutusi pendidikan. Paradigma pendidikan baru yang mengharapkan
peralihan dari teacher centered ke arah student centered bukan berarti
menghilangkan peran sentral guru dalam proses pembelajaran. Karena
peran guru tetap menjadi pihak yang urgen dalam proses pembelajaran,
hal tersebut karena dari manapun sumber pengetahuan peserta didik,
guru tetap harus bisa melakukan pembimbingan kepada peserta didiknya
untuk mencapai kedewasaan.
Berbagai upaya dan inovasi pendidikan karakter sangat
diperlukan untuk dapat menopang tercapainya tujuan pendidikan
nasional, salah satunya adalah inovasi pendidikan karakter Aswaja dalam
kerangka mabadi‟ khoiro ummah. Inovasi-inovasi pembelajaran karakter
tentunya sangat tergantung kepada kreatifitas guru dengan
memperhatikan berbagai sumber daya, latar belakang peserta didik,
institusi pendidikan dan kemampuan guru dalam mengorganisir
pembelajaran.

21 Kemendikbudristek, Panduan Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, (Jakarta:


KemdikbudRistek, 2021), 57.
Karakteristik tiap satuan pendidikan dan peserta didiknya dengan
berbagai latar belakang baik dari keluarga, budaya, agama dan ekonomi
tentunya harus menjadi perhatian guru dalam melakukan proses
pembelajaran. Diferensiasi strategi pembelajaran harus selalu mengacu
pada latar belakang institusi pendidikan dan peserta didiknya agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Karena itu langkah yang
perlu dilakukan guru dalam upaya internalisasi karakter Aswaja dalam
proses pembelajarannya antara lain adalah dengan membangun ikatan
yang kuat dengan peserta didik, memberikan tantangan secara bertahap
sesuai dengan proses pembelajaran yang dilalui, memelihara rasa keingin
tahuan peserta didik dan selalu melakukan refleksi baik verbal maupun
non verbal untuk mengukur sejauh mau pemahaman peserta didik
terhadap suatu karakter yang dikembangkan dan kemungkinan untuk
terimplementasikannya karakter tersebut dalam kehidupan sehari-hari
peserta didik.

Daftar Pustaka
Abdullatif, Aji. Pendidikan Karakter, Bandung: Widina Bhakti Persada,
2020.
Ali, Mudzakir. Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Waljamaah, Semarang:
Wahid Hasyim University Press, 2009.
Barni, Mahyuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Ayat-Ayat
Al-Qur’an tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Prima, 2011.
Fateh, Kholil Abu. Mengungkap Kebenaran Aqidah Asyariyyah: Meluruskan
Distorsi Terhada Abu Hasan Al Asy’ari dan Ajarannya, t.th.
Handoyo, Eko. Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi, Semarang:
Widya Karya, 2010.
Hidayat, Rahmat. Ilmu Pendidikan: Konsep, Teori dan Aplikasinya, Medan:
LPPPI, 2019.
Kemdikbud. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta: Kemdikbud, 2003.
Kemendikbudristek. Panduan Pengembangan Profil Pelajar Pancasila, Jakarta:
Kemdikbudristek, 2021.
Kurnali. Bungai Rampai Pendidikan Islam, Banten: Shuhuf Media Insani,
2019.
Maarif, Ahmad Syafii. Menghalau Radikalisme Kaum Muda, Jakarta: Maarif
Institut, 2013.
Moeis, Isnarmi. Pendidikan Multikultural Transformatif: Integritas Moral,
Dialogis, an Adil, Padang: UNP Press, 2014.
PWNU Jawa Timur. Aswaja An-Nahdliyyah, Surabaya: LTNU Jawa timur,
2007.
Ramli, Muhammad Idrus. Madzhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah
Waljamaah, Surabaya: Khalista, 2009.
Razali, Ahmad. Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional, Jakarta:
Grasindo, 2008.
Suadei. Pengantar Filsafat Ilmu, Bogor: IPB Press, 2016.
Subaidi. Pendidikan Berbasis Aswaja, Jepara: UNISNU, 2021.
Suhendra, Ahmad, DKK., Agama dan Perdamaian: Dari Potensi Menuju
Aksi, Jogjakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2012.
Tim Harakah Islamiyah. Buku Pintar Aswaja, Harakah Islamiyah, t.th.
Tim PPPK Kemdikbud. Konsep dan Penguatan Pendidikan Karakter, Jakarta:
Kemdikbud, t.th.
Yusuf, Munir. Pengantar Ilmu Pendidikan, Palopo: IAIN Palopo, 2018.

Anda mungkin juga menyukai