Anda di halaman 1dari 57

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Manajemen Kurikulum

1. Pengertian Manajemen kurikulum

Manajemen adalah kemampuan atau keterampilan seseorang untuk

memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui orang


16
lain.

Manajemen merupakan proses sosial yang berkenaan dengan

keseluruhan usaha manusia dengan bantuan manusia lain, serta sumber-

sumber lainnya, menggunakan metode yang efisien dan efektif untuk

17
mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dalam konteks

pendidikan diperlukan manajemen agar pembelajaran berjalan dengan

lancar hingga dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.

Menurut Ibrahim Ishmat Mutowi bahwa manajemen adalah suatu aktivitas

yang mengakibatkan pengarahan, pengawasan dan pengerahan segenap

kemampuan untuk melakukan suatu aktivitas dalam suatu organisasi. Jadi

manajemen yang baik adalah manajemen yang dilaksanakan oleh orang-

orang yang benar-benar mempunyai kompetensi di bidangnya manajemen

yang baik adalah manajemen yang dilaksanakan oleh orang-orang yang

benar-benar mempunyai kompetensi di bidangnya , sebagaimana Hadits

dibawah ini:

16
Wahyudin Dinn, Manajemen Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014),
hal. 18
17
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), hal.16

15
16

‫ الق ةريرى يبا نع‬: ‫ ملسو للها يلص للها لوسر الق‬: ‫ِو ْلىَا رْ يَ ِغ ياِل َ رْ َماْالُ ِدس َُو اَ ِذا‬

18
)‫ىراخبال هاور( تَع اَسّال ِرظَ ْتنَف‬

Artinya: “Dari Abi Hurairah berkata: apabila suatu perkara

diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat

kehancurannya”. (HR. Bukhari)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Manajemen diartikan sebagai

proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran dan

19
pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan/organisasi.

Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur.

Pengaturan dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan urutan dan

fungsi-fungsi manajemen itu, sebagaimana dikutip jejen musfah, G.R.

Terry menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses yang khas yang

terdiri dari tindakan tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,

dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai

sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya

manusia dan sumber-sumber lainya. Jadi manajemen itu merupakan suatu

proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan ada kaitan yang erat

antara organisasi, administrasi dan manajemen. Administrasi dan

manajemen tidak dapat dipisahkan dan harus merupakan suatu kesatuan,

hanya saja kegiatanya yang dapat dibedakan sesuai dengan perbedaan

kedua wawasan. Administrasi lebih sempit dari manajemen, dalam

administrasi tercakup dalam manajemen. Secara spesifik administrasi

18 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 1


(Jakarta: Almahira, 2011), hal.18.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada aplikasi KBBI in word.
17

merupakan satu bidang dari manajemen sebab manajementerdiri dari enam

bidang yakni production, marketing, financial, personal, human relation,

20
dan administrative management. Manajemen dapat diartikan sebagai

perencanaan, mengorganisasi, pelaksanaan, pengarahan dan pengawasan.

Usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya

organisasi lainya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

21
Inti dari Manajemen adalah pengaturan.

Manajemen dapat diartikan suatu proses yang direncanakan untuk

menjamin kerja sama, partisipasi dan keterlibatan sejumlah orang dalam

mencapai sasaran dan tujuan tertentu yang ditetapkan secara efektif.

Manajemen mengandung unsur bimbingan, pengawasan, dan pengarahan

sekelompok orang terhadap pencapaian sasaran umum. Sebagai proses

sosial, manajemen meletakkan fungsinya pada interaksi orang-orang baik

yang berada dibawah maupun diatas posisi operasional dalam suatu

22
organisasi.

Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan perbaikan dalam

memanfaatkan seluruh sumber daya alam maupun manusia untuk

mencapai tujuan organisasi dengan efektif dan efisien.

Di dalam manajemen terdapat prinsip-prinsip dasar manajemen

yang harus diperhatikan, Pentingnya prinsip-prinsip dasar dalam praktik

20
Suharsimi arikunto, organisasi dan administrasi pendidikan teknologi dan kejuruan,
Cet.II (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993),hal.82.
21 Jejen musfah, manajemen pendidikan teori, kebijakan dan praktik, (Jakarta: PT
fajar interpratama mandiri, 2015), hal.2.
22 Soebagio Admodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT Arda
Dizya Jaya, 2000),hal. 5.
18

manajemen antara lain menentukan metode kerja, pemilihan pekerjaan dan

pengembangan keahlian, pemilihan prosedur kerja, menentukan batas-

batas tugas, mempersiapkan dan membuat spesifikasi tugas, melakukan

pendidikan dan latihan, melakukan sistem dan besarnya imbalan itu

dimaksudkan untuk meningkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas

kerja. Dalam kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, sebagaimana

dikutip Nanang Fattah, Henry Fayol mengemukakan sejumlah prinsip-

23
prinsip dasar manajemen, yaitu:

a. Pembagian kerja

b. Otoritas dan tanggung jawab

c. Disiplin

d. Kesatuan perintah

e. Kesatuan arah

f. Mengutamakan kepentingan umum/organisasi dari pada kepentingan

pribadi

g. Pemberian kontra prestasi

h. Sentralisasi/pemusatan

i. Hierarki

j. Teratur

k. Keadilan

l. Kestabilan staf

m. Inisiatif

n. Semangat kelompok.

23 Nanang Fattah, Landasan manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2004), hal. 12
19

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip dasar

manajemen harus diperhatikan dalam berorganisasi bukan hanya seorang

manajer akan tetapi juga seluruh staff dan anggota yang di dalam

organisasi, jika salah satu prinsip dasar manajemen tersebut tidak

diperhatikan maka sistem-sistem yang didalam organisasi tidak akan

berjalan dengan efektif dan efisien.

Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan

kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik. Dalam

24
rangka terwujudnya ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam

pelaksanaanya manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan

konteks Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, otonomi yang diberikan pada

lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengelola kurikulum secara

mandiri dengan memprioritaskan kebutuhan dan ketercapaian sasaran

dalam visi dan misi lembaga pendidikan atau sekolah tidak mengabaikan

kebijaksanaan nasional yang telah ditetapkan. Manajemen kurikulum

sendiri merupakan substansi manajemen yang paling utama di sekolah.

Manajemen kurikulum mempunyai prinsip dasar dalam meningkatkan

proses pembelajaran berjalan dengan baik dan mendorong seorang guru

mempermudah dalam menyusun strategi dalam proses belajar mengajar.

24 Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), hal.3


20

2. Prinsip-prinsip manajemen kurikulum

Terdapat lima prinsipnyang harus diperhatikan dalam

melaksanakan manajemen kurikulum, yaitu sebagai berikut:

a. Produktivitas, hasil yang akan diperoleh dalam kegiatan kurikulum

merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam manjemen

kurikulum. Pertimbangan bagaimana agar peserta didik dapat

mencapai hasil belajar sesuai dengan tujuan kurikulum harus menjadi

sasaran dalam manajemen kurikulum.

b. Demokrasi, pelaksanaan manajemen kurikulum harus berasaskan

demokrasi yang menempatkan pengelola, pelaksana dan subjek didik

pada posisi yang seharusnya dalam melaksanakan tugas dengan penuh

tanggung jawab untuk mencapai tujuan kurikulum.

c. Kooperatif, untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam kegiatan

manajemen kurikulum perlu adanya kerja sama yang positif dari

berbagai pihak yang terlibat.

d. Efektifitas dan efisiensi, rangkaian kegiatan manajemen kurikulum

harus mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi untuk mencapai

tujuan kurikulum sehingga kegiatan manajemen kurikulum tersebut

memberikan hasil yang berguna dengan biaya, tenaga, dan waktu yang

relative singkat.

e. Mengarahkan visi, misi, dan tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum,

proses manajemen kurikuum harus dapat memperkuat dan

25
mengarahkan visi, misi, dan tujuan kurikulum.

25 Rusman, manajemen kurikulum…,hal.4


21

3. Jenis-jenis kurikulum

Setelah mengetahui komponen-komponen kurikulum, maka akan

ditemukan jenis-jenis kurikulum yang mulia antara lain:

a. Separated subject curriculum (kurikulum mata pelajaran terpisah atau

tidak menyatu) kurikulum ini dikatakan demikian karena data-data

pelajaran disajikan pada peserta didik dalam bentuk subjek atau mata

pelajaran yang terpisah satu dengan lainya. Kurikulum ini dengan

tegas memisahkan antara satu mata pelajaran dengan yang lainya,

umpamanya mata pelajaran biologi dengan pengetahuan social atau

yang lainya. Akan tetapi kurikulum ini juga memiliki beberapa

keunggulan sebagai berikut:

1) Bahan pelajaran dapat disajikan secara logis, sitematis dan

berkesinambungan, hal ini karena setiap bahan telah disusun dan

diuraikan secara sistematis dan logis dengan mengikuti urutan

yang tepat yaitu dari yang mudah ke yang sukar, dari yang

sederhana ke yang kompleks.

2) Organisasi kurikulum bentuk ini sangat sederhana, mudah

direncanakan dan mudah dilaksanakan dan mudah juga diadakan

perubahan jika diperlukan. Adanya kesederhanaan itu sangat

diperlukan karena hal itu jelas akan menghemat tenaga sehingga

menguntungkan baik dari pihak pengembang kurikulum itu

sendiri maupun guru atau satuan pendidikan untuk

melaksanakanya.
22

3) Kurikulum ini mudah dinilai untuk mendapatkan data-data yang

diperlukan untuk dilakukan perubahan seperlunya. Karena

kurikulum ini terutama bertujuan untuk menyampaikan sejumlah

pengetahuan maka hal itu dapat dengan mudah diketahui hasilnya

yaitu dengan melakukan pengukuran yang berupa tes.

Disamping ada keunggulan-keunggulan kurikulum ini, ada

pula kelemahan-kelemahannya, antara lain:

1) Kurikulum ini memberi mata pelajaran yang secara terpisah, satu

dengan yang lain tidak ada saling hubungan. Hal itu

memungkinkan terjadinya pemerolehan pengalaman secara lepas-

lepas tidak sesuai dengan kenyataan.

2) Cenderung statis dan ketinggalan zaman. Buku-buku pelajaran

yang dijadikan pegangan jika penyusunya dilakukan beberapa

atau bahkan puluhan tahun yang lalu dan jika tidak dilakukan

revisi untuk keperluan penyesuaian akan ketinggalan zaman.

3) Tujuan kurikulum ini sangat terbatas karena faktor-faktor yang

lain seperti perkembangan emosional dan sosial.

b. Correlated curriculum(kurikulum korelasi atau pelajaran saling

berhubungan) mata pelajaran dalam kurikulum ini harus dihubungkan

dan disusun sedemikian rupa sehingga yang satu memperkuat yang

lain, yang satu melengkapi lain. Jadi di sini mata pelajaran itu

dihubungkan antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak berdiri

sendiri.untuk memadukan antara pelajaran yang satu dengan yang

lainnya, ditempuh dengan cara-cara korelasi antara lain: korelasi


23

okasional, korelasi etis, korelasi sistematis, korelasi informal, korelasi

formal, korelasi meluas.

c. Integrated curriculum (kurikulum terpadu) beberapa mata pelajaran

dijadikan satu atau dipadukan. Dengan meniadakan batas-batas mata

pelajaran dan bahan pelajaran yang disajikan berupa unit atau

26
keseluruhan.

4. Perencanaan Kurikulum

a. Pengertian Perencanaan Kurikulum

Perencanaan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-

kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina siswa ke arah

perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai sampai mana

perubahan-perubahan terjadi pada diri siswa. Di dalam perncanaan

kurikulum minimal ada lima hal yang memengaruhi perencanaan dan

pembuatan keputusan, yaitu filosofis, konten/materi, manajemen

pembelajaran, pelatihan guru, dan sistem pembelajaran.

Tujuan perencanaan kurikulum dikembangkan dalam bentuk

kerangka teori dan penelitian terhadap kekuatan sosial, pengembangan

masyarakat, kebutuhan, dan gaya belajar siswa. Beberapa keputusan

harus dibuat ketika merencanakan kurikulum dan keputudan tersebut

harus mengarah pada spesifikasi berdasarkan kriteria. Merencanakan

pembelajaran merupakan bagian yang sangat terpenting dalam

26 M.zamroni, “jenis-jenis kurikulum” blog.umy.ac.id/bagusjihad/files/2012/11/jenis-


jenis-kurikulum.pdf, diakses pada selasa,26 februari 2019 pukul 17.38 WIB.
24

perencanaan kurikulum karena pembelajaran mempunyai pengaruh

terhadap siswa dari pada kurikulum itu sendiri.

Perencanaan kurikulum sangat tergantung pada pengembangan

kurikulum dan tujuan kurikulum yang akan menjadi penghubung teori-

teori pendidikan yang digunakan. Sebagaimana dikutip oleh oemar

hamalik perencanaan kurikulum adalah suatu proses sosial yang

kompleks yang menuntut berbagai jenis dan tingkat pembuatan

keputusan. Perencanaan kurikulum ini berfungsi sebagai pedoman atau

alat manajemen yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber individu

yang diperlukan, media pembelajaran yang digunakan, tindakan-

tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga, dan sarana yang

diperlukan, system monitoring dan evaluasi, peran unsur-unsur

ketenagaan untuk mencapai tujuan manajemen lembaga pendidikan.

Disamping itu, perencanaan kurikulum juga berfungsi sebagai

pendorong untuk melaksanakan sistem pendidikan sehingga mencapai

27
hasil yang optimal.

b. Fungsi Perencanaan Kurikulum

Maksud dari manajemen dalam perencanaan kurikulum adalah

keahlian “managing” dalam arti kemampuan merencanakan dan

mengorganisasikan kurikulum. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

proses perencanaan kurikulum adalah siapa yang bertanggung jawab

dalam perencanaan kurikulum, dan bagaimana perencanaan kurikulum

itu direncanakan secara professional. Dalam merencanakan

27 Rusman, manajemen kurikulum…,hal.21


25

perencanaan kurikulum harus cermat, teliti, dan terinci, karena memiliki

multi fungsi sebagai berikut 1) sebagai pedoman atau alat manajemen,

yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber peserta yang diperlukan,

media penyampaianya, tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya,

tenaga, sarana yang diperlukan, system control dan evaluasi, peran

uunsur-unsur ketenagaan untuk mencapai tujuan manajemen organisasi.

2) berfungsi sebagai penggerak roda organisasi dan tata laksana untuk

menciptakan perubahan dalam masyarakat sesuai dengan tujuan

organisasi. Perencanaan kurikulum yang matang besar sumbanganya

terhadap pembuatan keputusan oleh pimpinan, dan oleh karenanya

perlu memuat informasi kebijakan yang relevan, disamping seni

kepemimpinan dan pengetahuan yang telah dimilikinya. 3) sebagai

motivasi untuk melaksanakan system pendidikan sehingga mencapai

28
hasil optimal.

c. Model-model Perencanaan Kurikulum

Perencanaan kurikulum adalah suatu proses sosial yang

kompleks yang menuntut sebagai jenis dan tingkat pembuatan

keputusan kebutuhan mendiskusikan dan mengkoordinasikan proses

menghendaki penggunaan model-model untuk menyajikan aspek-aspek

kunci penyajian tersebut pada giliranya harus menyederhankan banyak

aspek dan pembuatan keputusan umumnya, maka rumusan suatu model

perencanaan berdasarkan asumsi-asumsi rasionalitas yakni asumsi

tentang pemrosesan secara cermat informasi misalnya tentang mata

28 Ibrahim nasbi, manajemen kurikulum: sebuah kajian teoritis, jurnal idaarah, Vol.
I, No. 2, Desember 2017, dalam journal.uin-alauddin.ac.id, diakses pada rabu 27 februari 2019
pukul 6.47 WIB, hal.321-323
26

ajaran, siswa, lingkungan, dan hasil belajar. Beberapa model

perencanaan yaitu:

1) Model perencanaan rasional deduktif atau rasional tyler, menitik

beratkan logika dalam merancang program kurikulum dan bertitik

tolak dari spesifikasi tujuan (goals and objectives) tetapi cenderung

mengabaikan problematika dalam lingkungan tugas. Model itu dapat

diterapkan pada semua tingkat pembuatan keputusan, misalnya

rasionalis proyek pengembangan guru, atau menentukan kebijakan

suatu planning by objektives dilingkungan departemen. Model ini

cocok untuk system perencanaan pendidikan yang sentralistik yang

menitik beratkan pada system perencanaan pusat, dimana kurikulum

dianggap sebagai suatu alat untuk mengembangkan/ mencapai

maksud-maksud dibidang sosial ekonoi.

2) Model interaktif rasional (the rational interactive model),

memandang rasionalitas sebagai tuntunan kesepakatan antara

pendapat-pendapat yang berbeda, yang tidak mengikuti urutan logic.

Perencanaan kurikulum dipandang suatu masalah lebih “perencanaan

dengan” (planning with) dari pada perencanaan bagi (planning for).

Seringkali model ini dinamakan mode situasional, asumsi

rasionalitasnya menekankan pada respon fleksibel kurikulum yang

tidak memuaskan dan inisiatif pada tingkat sekolah atau tingkat

local. Hal ini mungkin merupakan suatu refleksi suatu keyakinan

ideologis masyarakat demokrasi atau pengembangan kurikulum

berbasis sekolah. Implementasi rencana merupakan fase krusial


27

dalam pengembangan kurikulum, dimana diperlukan saling

beradaptasi antara perencana dan pengguna kurikulum.

3) The diciplines model, perencanaan ini menitikberatkan pada guru-

guru, mereka sendiri yang merencanakan kurikulum berdasarkan

pertimbangan sistematik tentang relevansi pengetahuan filosofis,

issu-issu pengetahuan yang bermakna, sosiologi (argument-argumen

kecenderungan sosial), psikologi (untuk memberitahukan tentang

urutan-urutan materi pelajaran).

4) Model tanpa perencanaan (non planning model), adalah suatu model

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan intuitif guru-guru di dalam

ruangan kelas sebagai bentuk pembuatan keputusan, hanya sedikit

upaya kecuali merumuskan tujuan khusus, formalitas pendapat, dan

analisis intelektual.

Keempat model perencanaan kurikulum yang dikemukakan

diatas sesungguhnya merupakan tipe-tipe yang ideal (ideal types) dan

bukan model-model perencanaan kurikulum actual. Umumnya

perencanaan kurikulum mengandung keempat aspek model tersebut.

Namun untuk membedakanya antara satu dengan yang lainya,

diperlukan analisis variable kebermaknaan bagi praktek perencanaan.

Asumsi-asumsi rasionalitas tersebut perlu disadari dalam kaitanya

dengan cara memproses informasi sebagai refleksi posisi-posisi social

dan ideologies yang mengatur perencanaan kurikulum.


28

d. Komponen-komponen Perencanaan Kurikulum

Kurikulum sebagai suatu system memiliki komponen-komponen

yang saling berkaitan antara satu dengan lainya, yakni tujuan, bahan

ajar, strategi, media, evaluasi, dan penyempurnaan pengajaran.

Komponen-komponen tersebut baik secara sendiri maupun bersama

menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan system

29
pembelajaran. secara umum dalam perencanaan untuk pengembangan

kurikulum, haruslah dipertimbangkan atas kebutuhan masyarakat,

karakteristik pembelajaran, dan ruang lingkup pengetahuan.

Sebagaimana dikutip nana syaodih sukmadinata mengemukakan

komponen-komponen kurikulium sebagai berikut: 1) Tujuan, tujuan

kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan

tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat. Kedua didasari oleh

pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis,

terutama falsafah Negara. 2) bahan ajar, siswa belajar dalam interaksi

dengan lingkunganya, lingkungan orang-orang, alat-alat, dan ide-ide.

Tugas utama seorang guru adalah menciptakan lingkungan tersebut,

untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif dan

memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. 3) strategi belajar,

penyusunan bahan ajar berhubungan erat dengan setrategi atau metode

mengajar. Sebelum memberikan materi kepada siswa guru juga jarus

menyusun suatu bahan ajar mana yang sesuai untuk disajikan sebagai

bahan ajar. 4) media mengajar, merupakan segala macam bentuk

29
Muhammad zaini, pengembangan kurikulum, (Yogyakarta: teras, 2009), hal.79
29

perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa

belajar. Missal, audio visual, video visual, televise, dan computer. 5)

evaluasi pengajaran, evaluasi ditunjukkan untuk menilai pencapaian

tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan

mengajar secara keseluruhan. 6) penyempurnaan pengajaran, mungkin

juga dilakukan secara langsung begitu ditetapkan sesuatu informasi

30
umpan balik.

5. Pelaksanaan Kurikulum

Setelah pengorganisasian kurikulum selesai disusun, maka

pemerintah menyiapkan atau menetapkan kebijakan untuk memberlakukan

atau melaksanakan kurikulum. Pelaksanaan kurikulum berarti proses

mewujudkan kurikulum dalam realisasi pembelajaran di sekolah-sekolah.

Untuk pelaksanaan kurikulum, maka guru dituntut untuk secara

profesional merancang pembelajaran efektif dan bermakna

(menyenangkan), mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan,

dan pembentukan kompetensi secara aktif serta menerapkan kriteria

31
keberhasilan.

Pada tingkat sekolah, diantara para guru yang terlibat dalam

implementasi kurikulum itu perlu diadakan kesepakatan yang mengikat

dalam menetapkan arah kegiatan dan sikronsasi tahap-tahap pencapaian

sasaran-sasaran pembelajaran. Beauchamp prerequisite for curriculum

30
Muhlasin, pengembangan kurikulum sekolah, tesis tidak diterbitkan, 2011), dalam
http://repository.uin-suska.ac.id/5735/3/BAB%20II.pdf . Diakses pada rabu, 27 februari 2019 pukul
23.50. hal.27-28
31 Syafaruddin dan amiruddin, manajemen kurikulum, (Medan: perdana, 2017), hal. 69
30

implementation is the commitment by teachers to use the curriculum as a


32
point of departure for development of instructional strategies.

Pelaksanaan kurikulum dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu

pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah dan tingkat kelas. Dalam tingkat

sekolah yang berperan adalah kepala sekolah dan pada tingkatan kelas

yang berperan adalah guru. Walaupun dibedakan antara tugas kepala

sekolah dan tugas guru dalam pelaksanaan kurikulum serta diadakan

perbedaan tingkat dalam pelaksanaan administrasi, yaitu tingkat sekolah

dan tingkat kelas, namun antara kedua tingkat dalam pelaksanaan

administrasi kurikulum tersebut senantiasa bergandengan dan bersama-

sama bertanggungjawab melaksanakan proses administrasi kurikulum.

Pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah: 1) kepala sekolah sebagai

pimpinan. 2) perilaku seorang administrator. 3) penyusunan rencana

tahunan. 4) pembinaan organisasi sekolah. 5) koordinasi dalam

pelaksanaan kurikulum. 6) kegiatan memimpin rapat kurikuler. 7) sistem

komunikasi dan pembinaan kurikulum. Pada pelaksanaan kurikulum

tingkat kelas: 1) kegiatan dalam bidang proses belajar mengajar. 2)

33
pembinaaan kegiatan ekstra kurikuler. 3) kegiatan bimbingan belajar.

6. Evaluasi Kurikulum

a. Pengertian evaluasi kurikulum

Evaluasi kurikulum didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan

membandingkan realisasi masukan(input), proses, keluaran(output), dan

32
Tedjo narsoyo reksoatmodjo, pengembangan kurikulum pendidikan, (Bandung: PT
Refika aditama, 2010).hal.105
33
Oemar hamalik, manajemen pengembangan kurikulum, (Bandung: PT Remaja
rosdakarya, 2006), hal. 173-182
31

hasil (outcome) terhadap rencana dan standar-standar kurikulum.

Evaluasi kurikulum berfungsi untuk menilai keberhasilan pelaksanaan

dari suatu kurikulum yang diterapkan pada pendidikan. Evaluasi

kurikulum bertujuan untuk menilai efisiensi efektifitas, manfaat,

dampak, dan berkelanjutan dari suatu kurikulum. Tujuan evaluasi

kurikulum adalah mengukur capaian kurikulum, yang sejauh mana

34
kurikulum dapat dilaksanakan.

Menurut Morrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan

berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini ada tiga factor utama, yaitu: 1)

pertimbangan, 2) deskripsi objek penilaian, 3) kriteria yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Pertimbangan (judgment) adalah pangkal dalam membuat suatu

keputusan. Membuat keputusan berate menentukan derajat tertentu

yang berkenaan dengan hasil evaluasi itu. Pertimbangan membutuhkan

informasi yang akurat dan relevan serta dapat dipercaya. Jika suatu

keputusan dibuat tanpa suatu proses pertimbangan yang mantap, hal itu

dapat mengakibatkan lemahnya atau kurang mantapnya keputusan.

Deskripsi objek penilaian adalah perubahan perilaku sebagai

produk suatu sistem. Sudah barang tentu perilaku itu dijelaskan, dirinsi,

dan di spesifikasikan sehingga dapat diamati dan diukur.

Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuran-

ukuran yang akan digunakan dalam menilai suatu kurikulum. Kriteria

34
Teguh triwiyanto, manajemen kurikulum dan pembelajaraan, (Jakarta: bumi aksara,
2015), hal. 184
32

penilaian harus relevan dengan kriteria keberhasilan, sedangkan kriteria

keberhasilan harus dilihat dalam hubunganya dengan sasaran


35
program.

b. Prinsip-prinsip Evaluasi Kurikulum

Dalam buku pembinaan dan pengembanga kurikulum di sekolah

oleh nana sudjan, konsep dan pemikiran prinsip-prinsip evaluasi

kurikulum terdiri dari 7 bagian yang dijadikan sebagai alat untuk

mencapai tujuan pendidikan nasional diantaranya adalah sebagai

berikut:

1) Tujuan harus jelas, artinya setiap program evaluasi kurikulum

terarah dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan secara jelas

dan spesifik. Dalam menilai suatu kurikulum, harus dirumuskan

dengan jelas tujuan yang diharapkan. Karena tujuan-tujuann itu

pula yang mengarahkan berbagai kegiatan dalam proses

pelaksanaan evaluasi kurikulum.

2) Realism, dalam artian berpijak pada keadaan yang sebenarnya,

bersumber dari data yang nyata dan akurat, dengan kata lain

penilaian kurikulum terbatas pada aspek yang hanya bisa dinilai,

kondisi-kondisi tersebut harus melihat keadaan dana yang tersedia,

alat-alat yang dimiliki, dan kemampuan tim penilai.

3) Operasional, suatu penilaian harus bersifat operasional, artinya

harus dapat merumuskan secara spesifik hal-hal yang diukur dan

dinilai dalam melaksanakan kegiatan kurikulum yang berarti

35 Rusman, Manajemen Kurikulum…, hal.93-94


33

seluruh komponen kurikulum harus mendapat perhatian dan

pertimbangan secara seksama sebelum dilakukan pengambilan

keputusan.

4) Klasidikasi, dalam menilai suatu kurikulum untuk lembaga

pendidikan tertentu perlu melihat klasifikasi yang jelas dari

pelaksanaan dan keberhasilan suatu program evaluasi kurikulum,

karena dipandang evaluasi kurikulum merupakan tanggung jawab

bersama pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti

pendidik, kepala sekolah, orang tua.

c. Tujuan evaluasi Kurikulum

Diadakanya evaluasi dalam proses pengembangan kurikulum di

maksudkan untuk keperluan:

1) Perbaikan program, dalam konteks tujuan ini peranan evaluasi

lebih bersifat konstruktif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan

input bagi perbaikan yang diperlukan didalam program kurikulum

yang sedang dikembangkan. Disini evaluasi lebih merupakan

kebutuhan yang datang dari dalam sistem itu sendiri karena

evaluasi itu dipandang sebagai faktor yang memungkinkan

dicapainya hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang

bersangkutan.

2) Pertanggung jawaban kepada berbagai pihak, selama dan terutama

pada akhir fase pengembang kurikulum, perlu adanya semacam

pertanggungjawaban dari pihak pengembang kurikulum tersebut

maupun pihak yang akan menjadi konsumen dari kurikulum yang


34

telah dikembangkan. Dengan kata lain, pihak-pihak tersebut

mencakup pemerintah, masyarakat, orang tua, petugas-petugas

pendidikandan pihak-pihak yang mensponsori kegiatan

pengembangan kurikulum yang bersangkutan. Bagi pihak

pengembang kurikulum, tujuan yang kedua ini tidak dipandang

sebagai suatu kebutuhan dari dalam melainkan lebih merupakan

suatu keharusan dari luar. Sekalipun demikian hal ini tidak bisa kita

hindari karena persoalan ini mencakup pertanggungjawaban social,

ekonomi dan moral, yang sudah merupakan suatu konsekuensi

logis dalam kegiatan pembaharuan pendidikan. Dalam

mempertanggungjawabkan hasil yang telah dicapainya, pihak

pengembang kurikulum perlu mengemukakan kekuatan dan

kelemahan dari kurikulum yang sedang dikembangkan serta usaha

lebih lanjut yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan-

kelemahan, jika ada, yang masih terdapat. Untuk menghasilkan

informasi mengenai kekuatan dan kelemahan tersebut diatas itulah

diperlukan kegiatan evaluasi.

3) Penentuan tindak lanjut hasil pengembangan, tindak lanjut hasil

pengembangan kurikulum dapat berbentuk jawaban atas dua

kemungkinan pertanyaan: pertama, apakah kurikulum baru tersebut

akan atau tidak akan disebarluaskan ke dalam sistem yan ada?

Kedua, dalam kondisi yang bagaimana dan dengan cara yang

bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan disebar luaskan

kedalam sistem yang ada? Ditinjau dari proses pengembangan


35

kurikulum yang sudah berjalan, pertanyaan pertama dipandang

tidak tepat untuk diajukan pada akhir fase pengembangan.

Pertanyaan tersebut hanya mempunyai dua kemungkinan jawaban

ya aau tidak. Secara teoritis dapat saja terjadi bahwa jawaban yang

diberikan itu adalah tidak. Bila hal ini terjadi, kita akan dihadapkan

pada situasi yang tidak menguntungkan biaya, tenaga dan waktu

yang telah dikerahkan selama ini ternyata terbuang dengan

percuma, peserta didik yang telah menggunakan kurikulum baru

tersebut selama fase pengembangan telah terlanjur dirugikan,

sekolah-sekolah dimana proses pengembangan itu berlangsung

harus kembali menyusaikan diri lagi kepada cara lama, dan lambat

laun akan timbul sikap skeptic dikalangan orang tua dan

masyarakat terhadap pembaharuan pendidikan dalam bentuk

apapun. Pertanyaan kedua dipandang lebih lanjut tepat untuk

diajukan pada akhir fase pengembangan kurikulum. Pertanyaan

tersebut mengimplikasikan sekurang-kurangnya tiga anak

pertanyaan aspek-aspek mana dari kurikulum tersebut yang masih

perlu diperbaiki ataupun disesuaikan, strategi penyebaran yang

bagaimana yang sebaiknya ditempuh, dan persyaratan-persyaratan

apa yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu didalam sistem yang

ada. Pertanyaaan-pertanyaan ini dirasakan lebih bersifat konstruktif

dan lebih dapat diterima dari segi social, ekonomi, moral maupun

teknis.
36

Untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam menjawab

36
pertanyaan yang kedua itulah diperlukan kegiatan evaluasi.

d. Peran Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk

penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk

pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil

evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan

pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan

menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan

pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi

kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah, dan

para pelaksana pendidikan lainya, dalam memahami dan membantu

perkembangan siswa, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran,

37
cara penilaian, serta fasilitas pendidikan lainya.

e. Model Evaluasi Kurikulum

Macam-macam model evaluasi yang digunakan bertumpu pada

aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan atau

implementasi kurikulum. Model evaluasi penelitian yang bersifat

komparatif berkaitan erat dengan materi dan tingkah laku individu.

Evaluasi yang berorientasi tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang

menekankan pada tujuan. Evaluasi yang lepas dari tujuan berkaitan erat

36
Ibrahim dan masitoh, evaluasi kurikulum, dalam
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196209061986011-AHMAD
MULYADIPRANA/PDF/Evaluasi_Kurikulum.pdf, diakses pada tanggal 7 maret 2019. Pukul 1:29
WIB, hal. 4-6
37
Ma‟as shobirin, konsep dan implementasi kurikulum 2013 di sekolah dasar,
(Yogyakarta: cv budi utama, 2016), hal. 33
37

dengan kurikulum yang menekankan pada situasi. Dengan demikian

sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi

dengan kurikulum sebab teori kurikulum juga merupakan teori dari

evaluasi kurikulum. Model-model evaluasi kurikulum itu ada yang

dinamakan sesuai pencetus dan yang mengembangkanya, ada yang

mendapat sebutan sesuai kerjanya. Ada beberapa model dalam evaluasi

38
kurikulum yaitu:

1) Evaluasi kurikulum model penelitian (research evaluation model)

Model evaluasi kurikulum yang mnggunakan penelitian

didasarkan atas teori dan metode tes psikologi serta eksperimen

lapangan. Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang

menggunakan eksperimen lapangan adalah comparative approach,

yaitu dengan mengadakan perbandingan antara dua macam

kelompok anak. Beberpa kesulitan model evaluasi ini adalah

kesulitan dalam masalah administrasi, masalah teknis dan logis,

sulitnya mengontrol pengaruh guru dan keterbatasan manipulasi

eksperimen yang dapat dilakukan.

2) Model evaluasi kurikulum yang berorientasi pada tujuan

(goal/objective oriented evaluationmodel)

Model ini telah digunakan dan dikembangkan oleh ralph w.

tayler (1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada

perumusan tujuan tes yang merupakan asal mula dari pendekatan

system. Pada sekitar tahun 1950 benyamin S. Bloom menyusu

38 Muhammad zaini, pengembangan kurikulum,...hal.152


38

klasifikasi system tujuan belajar dalam wilayah pengetahuan

(cognitive domain), yang dibagi menjadi 6 kategori yaitu,

knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis, dan

evaluation. Teori-teori tersebut akhirnya menjadi prinsip utama

dalam berbagai rancangan kurikulum.

Dalam model goal/objective oriented evaluation, evaluasi

merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan

kurikulum. Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain

tetapi di ukur dengan seperangkat tujuan atau kompetensi tertentu.

Keberhasilan pelaksanaan kurikulum diukur oleh penguasaan siswa

akan tujuan-tujuan atau kompetensi tersebut. Ada beberapa syarat

untuk mngembangkan model obyektif antara lain ada kesepakatan

tentang tujuan-tujuan kurikulum, merumuskan tujuan-tujuan

tersebut dalam bentuk perbuatan siswa, menyusun materi

kurikulum yang sesuai dengan tujuan dan mengukur kesesuaian

antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.

3) Model evaluasi kurikulum yang lepas dari tujuan (goal free


39
evaluation model).

Model ini dikembangkan oleh Michael scriven, yang cara

kerjanya berlawanan dengan model evaluasi yang berorientasi pada

tujuan. Menurut pendapat scriven, seseorang evaluator tidak perlu

memperhatikan apa yang menjadi tujuan pembelajaran, yang perlu

diperhatikan adalah bagaimana kerjanya. Caranya dengan

39 Ibid., hal. 154


39

memperhatikan dan mengidentifikasi penampilan yang terjadi, baik

hal-hal positif yang diharapkan maupun hal-hal negative yang

memang tidak diharapkan.

4) Model campuran multifariasi

Model campuran multifariasi adalah strategi evaluasi yang

menyatukan unsur-unsur dari beberapa model evaluasi kurikulum.

Model ini memungkinkan perbandingan lebih dari satu kurikulum

dan secara serempak keberhasilan tiap kurikulum diukur

berdasarkan kriteria khusus daari masing-masing kurikulum.

Langka-langkah yang harus ditempuh dalam evaluasi model

campuran multivariasi adalah cara mencari dan mentukan seolah

yang berminat untuk dievaluasi atau diteliti. Pelaksanaan program,

bila tidak ada percampuran sekolah, maka tekananya pada

partisipasi yang optimal. Sementara tim menyusun tujuan yang

meliputi semua kompetensi dalam pembelajaran, umpamnya

dengan metode global dan metode unsur, dapat disiapkan tes

tambahan. Apabila semua informasi yang diharapkan semua telah

terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer. Tipe analisis dapat

juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama beberapa

variable yang berbeda.

5) Model evaluation programs for innovative curriculums (EPIC)

Model ini menggambarkan keseluruhan program evaluasi

kurikulum dalam sebuah kubus. Kubus tersebut memiliki tiga

bidang, bidang pertama adalah perilaku (behavior) yang meliputi


40

perilaku cognitive, affective dan psychomotor. Bidang kedua adalah

pembelajaran (instruction), yang meliputi organisasi, materi,

metode fasilitas atau sarana, dan pendanaan. Bidang ketiga adalah

kelembagaan (institution) yang meliputi guru, murid, administrator,

40
tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat.

6) Model CIPP (context, input, process, and product)

Model ini dikembangkan oleh stufflebeam (1967) dan

kawan-kawan di ohio state university As dan model ini paling

banyak diikuti oleh para evaluator. Model ini memandang bahwa

kurikulum yang di evaluasi adalah sebuah system, maka apabila

evaluator telah menentukan untuk menggunakan model CIPP,

maka evaluator harus menganalisis kurikulum tersebut berdasarkan

41
komponen-komponen model CIPP.

Model ini mengemukakan bahwa untuk melakukan

penilaian terhadap program pendidikan diperlakukan empat macam

jenis penilaian yaitu, (1) penilaian konteks (context) yang berkaitan

dengan tujuan. Evaluasi konteks adalah upaya untuk

meggambarkan dan merinci lingkungan, kebbutuhan, populasi dan

sample yan dilayani serta tujuan pembelajaran . kebutuhan siswa

apa saja yang belum terpenuhi, tujuan apa saja yang belum

tercapai, dan tujuan apa saja yang telah tercapai. (2) penilaian

masukan (input) yang berguna untuk pengambilan keputusan

desain. Maksud evaluasi masukan adalah kemampuan awal siswa

40 Ibid., hal. 155


41 Ibid., hal. 156
41

dan kemampuan sekolah dalam menunjang program pendidikan.

(3) penilaian proses (process) yang membimmbing langkah

operasional dalam pembuatan keputusan. Peniaian proses ini

menunjuk pada apa kegiatan yang dilakukan dalam program,

apakah pelaksana kurikulum tetap sanggup melakukan tugasnya,

siapa yang bertanggungjawab melaksanakanya, apakah sarana dan

prasarana telah dimanfaatkan dengan baik, kapan akan

diselesaikan, dan apakah pelaksanaan program dapat diselesaikan

sesuai jadwal. (4) penilaian keluaran yang memberikan data

sebagai bahan pembuatan keputusan (product). Penilaian keluaran

adalah tahap akhir serangkaian evalusi program kurikulum, yang

diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi

pada siswa.apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan tercapai

dengan proses dan pencapaian hasil. Kebutuhan apa saja yang telah

terpenuhi para siswa. Apakah dampak yang dirasakan siswa dalam

beberapa waktu tertentu.

7) Model Ten Brink

Ten Brink mengemukakan adanya tiga tahap evaluasi

kurikulum yaitu pertama, tahap persiapan, adapun langkah-

langkahnya sebagai berikut: (a) melukiskan secara spesifik

pertimbangan dan keputusan yang dibuat. (b) melukiskan informasi

yang diperlukan. (c) memanfaatkann informasi yang telah ada. (d)

menentukan kapan dan bagaimana cara memperoleh informasi itu.

(e) menyusun dan memilih instrument pengumpulan informasi


42

yang akan digunakan. Kedua, tahap pengumpulan data melalui dua

langkah yaitu memperoleh informasi yang diperlukan dan

menganalisis dan mencatat informasi. Ketiga, tahap penilaian yang

berisi kegiatan-kegiatan sebagai berikut, (a) membuat

pertimbangan yang akan sebagai dasar pembuatan keputusan. (b)

membuat keputusan yang merupakan suatu pilihan beberapa

alternatif arah tindakan. (c) mengikhtisarkan dan melaporkan hasil

42
penilaian.

8) Model pendekatan proses

Evaluasi kurikulum model pendekatan proses ini tumbuh

dan berkembang secara kualitatif (naturalistic inquiry), yang

menjadi pendekatan yang penting. Karakteristik model ini adalah

(a) kriteria yang digunakan untuk evaluasi tidak dikembangkan

sebelum pelaksana (evaluator) berada dilapangan. (b) sangatpeduli

dengan masalah yang dihadapi oleh para pelaksana kurikulum. (c)

evaluasi yang dilakukan terhadap kurikulum adalah merupakan

satu kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah dalam bagian-bagian

tertentu. Sehingga masalah yang muncul akan direkam dengan

43
baikdan semua masalah akan dikaji berdasarkan konteksnya.

B. Pondok Pesantren

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tertua,

pesantren memiliki kontribusi dalam mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini.

Kontribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek pendidikan semata, tetapi

42 Ibid., hal.157
43 Ibid., hal. 158
43

juga berkaitan dengan bidang-bidang yang lain dalam skala luas. Pesantren

telah melintasi waktu yang sangat panjang berikut pengalamanya yang

bermcam-macam dan telah berpartisipasi memecahkan problem umat pada

berbagai aspek kehidupan baik pendidikan, dakwah, politik, sosial-ekonomi

maupun aspek lainnya seperti sosial-budaya, sosial-religius, pembangunan

dan lain-lain. Namun, pesantren tetap menampakkan sebagai lembaga

pendidikan hingga sekarang ini yang tumbuh subur di bumi Indonesia

meskipun menghadapi gelombang modernisasi dan globalisasi yang tersebar

44
di seantero dunia.

Istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini

digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini

mengundang makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang

menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda

45
antara pondok dan pesantren. Sebagaiamana dikutip H.A.RGibb adalah

Javanese “santri-palace”, seminary for students of teology (santri) on the

islands of java and Madura (tempat santri jawa, seminari teologi bagi santri

46
di pulau jawa dan Madura).

Istilah pesantren sesungguhnya berasal dari kata santri, yang

mendapat awalan pe dan akhiran an sebagai tempat tinggal para santri

menimba ilmu agama. Kata santri juga berate orang yang mendalami

44
Moh Irsyad Fahmi R, MANAJEMEN PONDOK PESANTREN DALAM
MENJAWAB TANTANGAN MODERNITAS Studi Multisitus di Pondok Pesantren Lirboyo dan
Pondok Pesantren Al-Falah Kediri, dalam dinamika penelitian media komunikasi
penelitian social keagamaan http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/dinamika/
article/view/832/576 diakses pada rabu, 24-juli-2019 pukul 19.24 WIB
45 Mujamil qomar,pesantren dari transformasi metodologi menuju demokratisasi
institusi, (Jakarta: erlangga, 2002), hal.1
46 Hariadi, evilusi pesantren, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2015), hal. 9
44

pengetahuanya dalam bidang agama islam. Sebagian penting dari pesantren,

santri merupakan sekelompok orang yang memiliki ketekunan dalm mempelajari

kajian kitab-kitab kuning (klasik) yang memuat berbagai ilmu agama seperti

fiqih, tasawuf, tafsir, tauhid, hadits, dan sebagainya. Tidak heran apabila santri

dianggap sebagai generasi terbaik dalam ilmu agama yang dapat diandalkan

47
untuk melakukan perubahan social dalam kehidupan.

48
Adapun beberpa ciri-ciri pesantren sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang akrab antara murid (para santri) dengan sosok

kiai. Hal ini dimungkinkan karena mereka tinggal dalam satu lingkungan

pondok.

2. Tunduknya santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang

kiai selain dianggap tidak sopan juga bertentangan dengan ajaran agama.

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan

pesantren.

4. Semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di pesantren.

Hal ini disebabkan santri menyuci pakaianya sendiri, membersihkan

kamar tidurnya sendiri dan bahkan tidak sedikit mereka yang memasak

makananya sendiri.

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai

pergaulan di pesantren.

6. Disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan di lingkungan pondok

pesantren.

47 Mohammad takdir, modernisasi kurikulum pesantren, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018),


hal. 24-25
48 Mustajab, masa depan pesantren, (Yogyakarta: LKIS. 2015), hal. 58
45

7. Berani menderita untuk mencapai sesuatu tujuan merupakan salah satu

pendidikan yang diperoleh di pesantren.

Dari segi perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik

tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan.

Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang,

akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan

pertumbuhan dan perkembangan zaman. Ada beberapa pembagian pondok

pesantren dan tipologinya:

1. Pesantren Salafi, pondok pesantren salafi yakni pondok pesantren yang

melakukan pengajaran terhadap santri-santrinya untuk belajar agama

islam secara khusus tanpa mengikutsertakan pendidikan umum di

dalamnya. Kegiatan yang dilakukan biasanya mempelajari ilmu-ilmu

agama dengan menggunakan kitab-kitab kuning atau kuno (klasik),

menggunakan metode tradisional seperti hafalan, menerjemahkan kitab-

kitab saat berlangsungnya proses belajar mengajar.

2. Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran

klasikal (madrasah), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga

memberikan pendidikan ketrampilan. Sedangkan mengenai arti pesantren

khalafiyah (modern) adalah pesantren yang mengadopsi sistem madrasah

atau sekolah yang memasukkan pelajaran umum dan kurikulum

madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan

tipe sekolah-sekolah umum seperti: MI/SD, MTS/SMP, SMA/SMK dan

bahkan PT dalam lingkunya.


46

3. Pesantren Terintegritasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada

pendidikan vokasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di

departemen tenaga kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan

santrinya mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para

49
pencari kerja.

Adapun pelaksanaan kurikulum pesantren dalam pembelajaran

dilakukan dengan metode bandongan, sorogan, dan hafalan. Metode

bandongan merupakan metode pembelajaran dengan berpusat pada guru

(guru yang aktif dan santri yang pasif) dimana para santri dengan duduk

disekeliing guru (kiai) yang membaca kitab dan santri menyimak masing-

masing kitab dan mencatat jika dipandang perlu. Metode sorogan adalah

metode pembelajaran di mana santri menghadap guru secara satu persatu

dengan membawa kitab yang dipelajari. Adapun metode pembelajaran

dengan hafalan berlangsung dimana santri menghafal teks atau kalimat

50
tertentu dari kitab yang dipelajarinya.

C. Manajemen Kurikulum Pondok Pesantren

1. Pengertian Manajemen

Saat ini istilah managemen dan manajer sudah banyak dikenal di

Indonesia, baik di kalangan sector swasta, masyarakat secara luas maupun

kalangan sektor publik, bahkan pemerintahan. Di kalangan perguruan

49
Kholis tohir, kurikulum dan sistem pembelajaran di pondok peantren salafi di
kecamatan kresek kabupaten tanggerang provinsi banten, dalam
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/download/1264/1027.pdf.hal.14 diakses pada
minggu, 10 maret 2019 pukul 09.48 WIB
50
Kholis tohir, kurikulum dan sistem pembelajaran di pondok peantren salafi di
kecamatan kresek kabupaten tanggerang provinsi banten, dalam
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/download/1264/1027.pdf.hal.15 diakses pada
minggu, 10 maret 2019 pukul 09.48 WIB
47

tinggi, ternyata hampir semua disiplin ilmu (fakultas) telah mengajarkan

ilmu managemen. Terlihat puladi setiap organisasi masyarakat, baik yang

mencari keuntungan maupun lembaga-lembaga sosial, bahkan

pemerintahan, hampir semua menyadari akan arti pentingnya ilmu

managemen yang fungsi-fungsinya diterapkan didalam organisasi, untuk

memperlancar tugasnya sehari-hari dan meningkatkan kinerja

51
organisasinya.

Manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,

serta pengendalian sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk

mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Menurut Mary

Parker Follet dikutip Mahmud hanafi mendenifisikan manajemen adalah

seni mencapai sesuatu melalui orang lain (the art of getting things done

52
through the others).

2. Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian,

53
penggerakan dan pengawasan. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a.

Perencanaan

Adalah menentukan tujuan dan cara untuk mencapainya.

Rencana harus dibuat agar semua tindakan terarah dan terfokus pada

tujuan yang hendak dicapai.

b. Pengorganisasian

51 John suprihanto, manajemen, (Yogyakarta: gadjah mada university press, 2014), hal.
2
52 Mahmud hanafi, konsep dasar dan teori perkembangan manajemen, modul 1
dalam http://repository.ut.acb.id/4533/1/EKMA4116-M1.pdf,hal.1.6 di akses pada minggu, 10
maret 2019 pukul 14.00 WIB
53 Hilal Mahmud, administrasi pendidikan, (Makassar: aksara timur, 2015), hal. 8-11
48

Dalam pengorganisasian bukan hanya mengidentifikasikan

jabatan serta menetapkan hubungan tugas dan pekerjaan, tetapi yang

lebih penting dari itu semua adalah mempertimbangkan penempatan

orang-orang dan memperhatikan kebutuhan, baik kebutuhan

perorangan maupun kebutuhan tugas pekerjaan.

c. Pengarahan

Merupakan usaha menggerakkan anggota organisasi agar

termotivasi dan berkeinginan mencapai sasaran dan tujuan yang telah

di sepakati bersama.

d. Pengawasan

Pengawasan berlangsung sejak program dimulai sampai akhir

pelaksanaan. Hal ini dimaksudkan agar tindakan koreksi dapat

dilakukan jika dalam proses pelaksanaan program dipandang

melakukanya, terutama apabila terjadi ketidak sesuaian pelaksanaan

program dengan rencana.

3. Ruang Lingkup Manajemen Kurikulum Pondok Pesantren

Salah satu untur yang sangat penting dan menunjang keberhasilan

suatu pondok pesantren atau instansi dalam kegiatan yang sudah disepakati

bersama adalah manajemen. Untuk mencapai sukses, maka tentulah

diperlukan suatu komitmen kerja sama yang baik dalam lembaga

pendidikan pondok pesantren serta kegiatan-kegiatan yang dimanaj dengn

baik.

Kunci dari perubahan di organisasi pondok pesantren adalah orang

yang memimpin, yaitu bagaimana ia menjalankan masa kepemimpinanya.


49

Selain faktor kepemimpinan kyai atau tuan guru, perkembangan pondok

pesantren tentunya juga tidak luput dari penerapan fungsi-fungsi

manajemen yang lain. Manajemen adalah seperangkat aktivitas yang

dirancang untuk mencapai sebuah tujuan organisasi melalui pemanfaatan

sumber daya yang tersedia secara efektif dan efisien.

Salah satu unsur di pondok pesantren yang harus dikelola yakni

masalah kurikulum. Karena kurikulum merupakan salah satu komponen

penting dalam sistem pendidikan. Disamping juga tuntutan dari peraturan

pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.

Mengingat pentinggnya aspek kurikulum ini, maka sudah saatnya para

pemimpin pondok pesantren lebih memusatkan perhatian pada upaya

pembenahan aspek vital tersebut.

Adapun kurikulum dalam pondok pesantren dikategorikan dalam

dua jenis:

a. Kurikulum pondok salafi

Pada kurikulum pesantren ini belum dirumuskan cara

menyeluruh mengenai dasar dan tujuan pendidikanya. Kurikulum

pada pesantren ini sangat bervariasi karena tertera pada kebijaksanaan

kiai.

Pada materi pelajaran yang diberikan di pondok pesantren ini

menekankan pada bidang fiqih, teologi, tasawuf, dan bahasa.pada

fiqih ini pun terbatas pada mazhab syafi‟I dan kurang memberikan

alternative lain. Mereka lebih cenderung menjadi bagian dari listening

speaking society (masyarakat yang suka mendengar dan berbicara)


50

dari pada berupaya menciptakan reading writing society (masyarakat

yang gemar membaca dan menulis sebagai karakter yang telah maju).

Pola pendidikan dan pengajaran di pesantren sangat erat

kaitanya dengan tipologi pesantren sebagaimana yang telah

dituangkan dalam ciri-ciri dan tradisinya. Pada sistem pendidikan dan

pengajaran yang bersifat tradisional ini oleh kalangan pesantren dan

masyarakat lebih dikenal dengan istilah pesantren salafi.

Dalam pembelajara nsistem salafi, terlebih dahulu santri

diarahkan untuk menguasai pengajian dasar secara individual. Adapun

materi pembahasan pada masa ini adalah pengajian al-qur‟an, setelah

menguasai kemudian santri dikenalkan dengan metode setelahnya,

yaitu:

1) sorogan berasal dari kata sorog yang artinya menyodorkan. Yaitu

bentuk belajar mengajar dimana kiai hanya menghadapi seorang

santri atau sekelompok kecil yang masih dalam tingkat dasar.

2) Wetonan berasal dari kata wektu (jawa) yang berarti waktu,

karena pengajaran ini diberikan pada waktu-waktu tertentu.

Metode ini adalah cara belajar secara berkelompok yang diikuti

oleh para santri dan biasanya kiai menggunakan bahasa daerah

setempat.

3) Bandongan berasal dari bahasa jawa banding artinya pergi

berbondong-bondong secara kelompok. Baik cara sorogan

ataupun bandongan, pelajaraan disampaikan menggunakan

bahasa daerah setempat.


51

4) Musyawarah ialah sistem belajar dalam bentuk seminar yang

membahas setiap masalah yang berhubugan dengan pelajaran

santri di tingkat tinggi. Pada metode ini menekankan adanya

keaktifan dari santri dalam menelaah dan memahami kitab yang

telah diajarkan.

b. Kurikulum pondok khalafi

Yang telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan

pendekatan modern melalui satuan pendidikan formal baik madrasah

dengan pendekatan klasikal. Teknik pengajaran, materi pengajaran,

sarana dan prasarana didesign berdasarkan sistem seperti pondok

modern. Walaupun telah menggunakan alur modern akan tetapi

penggunaan kitab-kitab klasik sebagai ciri khas pesantren salafi telah

digunakan, hanya saja pengajaraanya tidak dengan metode tradisional.

Pondok pesantren modern memiliki konotasi yang bermacam-

macam. Tidak ada definisi dan kriteria pasti tentang ponpes seperti

apa yang memenuhi atau patut disebut dengan pesantren „modern‟.

Namun demikian, beberapa unsur yang menjadi ciri khas pondok

pesantren modern adalah sebagai berikut:

1) Penekanan pada bahasa arab percakapan.

2) Memakai buku-buku literatur bahasa arab kontemporer(bukan

klasik/kitab kuning)

3) Memiliki sekolah formal di bawah kurikulum diknas dan/atau

kemenag.
52

4) Tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan,

wetonan, dan bandongan

Kurikulum pesantren, paling tidak memiliki beberapa

komponen antara lain: tujuan, isi pengetahuan dan pengalaman

belajar, strategi dan evaluasi. Biasanya komponen tujuan tersebut

berbagi dalam beberapa tingkatan, yakni tujuan pendidikan nasional,

tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional. Namun

demikian berbagai tingkat tujuan tersebut satu sama lainya merupakan

suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

Komponen isi meliputi pencapaian target yang jelas, materi

standart, standart hasil belajar siswa, dan prosedur pelaksanaan

pembelajaran kepribadian. Komponen strategi tergambar dari cara

yang ditempuh di dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam

mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan

penyenuluhan dan cara mengatur kegiatan sekolah secara keseluruhan.

Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup cara yang berlaku

dalam menyajikan tiap bidang studi, termasuk cara mengajar dan alat

pelajaran yang digunakan.

Komponen evaluasi berisi penilaian yang dilakukan secara

terus menerus dan bersifat menyeluruh terhadap bahan atau program

pengajaran yang dimaksudkan sebagai feedback terhadap tujuan,

materi, metode, sarana, dalam rangka membina dan mengembangkan

kurikulum lebih lanjut.


53

Manajemen kurikulum pondok pesantren adalah proses

kerjasama dalam pengelolaan kurikulum agar berguna bagi lembaga

khususnya di pondok pesantren untuk mencapai tujuan secara efektif

dan efisiensi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Proses manajemen kurikulum di pondok pesantren tidak lepas

dari kerjasama social antara dua orang atau lebih dengan bantuan

sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan

kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta

54
mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya.

Adapaun yang berkaitan dengan kurikulum, sebagaimana

umumnya diketahui bahwa materi pelajaran pesantren kebanyakan

bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik, adapun

materi pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas

ilmu atau masalah yang dibahas dalam satuan kitab. Pada awalnya

materi pelajaran dalam pesantren hanya berfokus dalam mengajarkan

membaca Al-Qur‟an dengan tajwidnya serta praktik ibadah, kemudian

berkembang pada mata pelajaran yang lain. Menurut Zamakhsyari

Dhofier, kitab-kitab yang digunakan dalam pesantren diklasifikasikan

dalam delapan kelompok, yaitu a) nahwu dan shorof, b) fiqih, c) ushul

fiqih, d) hadits, e) tafsir, f) tauhid, g) tasawuf dan etika, dan h)

cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghoh.12 Kitab-kitab tersebut

meliputi teks yang pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid,

54
Nia muflichana, manajemen kurikulum pondok pesantren (studi kasus di pondok
pesantren putri aris kaliwungu Kendal), (program sarjana jurusan manajemen pendidikan islam
UIN walisongo semarang, skripsi tidak diterbitkan, 2016), dalam
http://eprints.walisongo.ac.id/6661/3/BAB%20II.pdf, diakses pada rabu, 13 maret 2019 pukul 7.09
WIB
54

yang kesemuanya dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu kitab


55
dasar, kitab menengah dan kitab besar.

D. Karakter Santri

1. Pengertian Karakter

Secara etimologis, kata karakter berasal dari bahasa yunani

charrassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Sedang dalam

kamus inggris-indonesia karakter berasal dari character yang berarti

56
watak, karakter atau sifat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku

manusia yang berhubungan dengan tuhan yang maha esa, diri sendiri,

sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, sikap perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-

norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Karakter

dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti bangsa. Bangsa

yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti,

sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau

kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang

57
baik.

Pengertian karakter menurut pusat bahasa Depdiknas adalah

bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat,

55
Mochamad Nasichin Al Muiz, PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN
PESANTREN (Studi Kasus di Pondok Pesantren Terpadu Al-Kamal Kunir Wonodadi Blitar),
dalam Jurnal Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Sosial Keagamaan Volume 18, Nomor 02
November 2018. Diakses pada rabu 24-juli-2019 pukul 19.53 WIB
56
Abdulloh hamid, pendidikan karakter berbasis pesantren,(Surabaya: Imtiyaz,2017),
hal.8
57
Imam syafe‟I, pondok pesantren: lembaga pendidikan pembentukan karakter,
(Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung), dalam jurnal pendidikan islam volume 8 No 1
20177, http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/tadzkiyyah/article/view/2097/1585 diakses pada
rabu, 13 maret 2019 pukul 19.22 WIB
55

tabiat, dan watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,

bersifat, bertabiat, dan berwatak. Menurut tadkiroatun karakter mengacu

kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviours), motivasi

58
(motivations), dan ketrampilan (skills).

Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak atau budi

pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi

pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berbudi

pekerti atau berakhlak, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah

bangsa yang tidak atau kurang berakhlak / tidak memiliki standar norma

dan perilaku yang baik.

M. Furqon mengutip dari Aa Gym mengemukakan bahwa karakter

itu terdiri dari empat hal. Pertama, karakter lemah; misalnya penakut,

tidak berani mengambil resiko, pemalas, belum apa-apa sudah menyerah,

dan sebagainya. Kedua, karakter kuat; contohnya tangguh, ulet,

mempunyai daya juang yang tinggi atau pantang menyerah. Ketiga,

karakter jelek; misalnya licik, egois, serakah, sombong, pamer, dan

sebagainya. Keempat, karakter baik; kebalikan dari karakter jelek. Nilai-

nilai utama yang menjadi pilar pendidikan dalam membangun karakter

59
kuat adalah amanah dan keteladanan.

Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur‟an, manusia adalah

manusia dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar, manusia

mempunyai dua karakter yang berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk.

58
Akhmad Sudrajat, “Tentang Pendidikan: Apakah Pendidikan Karakter Itu?” dalam
http://ahkmadsudrajat.wordpress.com/2010/09/15/konsep-pendidikan-karakter/, diakses 08 Mei
2012
59
M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan
Cerdas. (Surakarta: Yuma Pustaka, cetakan ketiga, 2010), hal. 10
56

﴾٨ ﴾ ﴿٩﴾ ﴿٠١﴿

Artinya:

“Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)


kejahatan dan ketakwaanya. Sungguh beruntung orang yang
menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang
60
mengotorinya”.

Dalam kehidupan sehari-hari, karakter seseorang akan membawa

dampak pada sekelilingnya. Orang-orang dengan karakter kuat dapat

menjadi pemimpin dan penutan sekelilingnya. Orang-orang yang sukses

memiliki banyak karakter positif. Orang-orang berkarakter positif

umumnya mempunyai kebiasaan berusaha mencapai keunggulan, artinya

berusaha dengan tekun dan terus menerus guna mencapai keunggulan

dalam hidup. Hal ini mengandung pengertian selalu berusaha untuk

menjaga perkembangan diri, yaitu dengan meningkatkan kualitas

keimanan, akhlak, hubungan dengan sesama manusia, dan

61
memanfaatkannya untuk mewujudkan motto/misi kehidupan.

Adapun juga nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada

peserta didik menurut Heritage Foundation dan tertera dalam Sembilan

pilar karakter yang dicetuskan oleh Ratna Megawangi adalah:

a. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanya

b. Kemandirian dan tanggung jawab

c. Kejujuran/amanah, bijaksana

60 QS. As-Syams: 8-10. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.


(Bandung: Diponegoro, 2010), hal. 595
61 Moh. Said, Pendidikan Karakter di Sekolah: What, How dan Why tentang
Pendidikan Karakter. (Surabaya: JePe Press Media Utama, 2011), hal. 1-2
57

d. Hormat dan santun

e. Dermawan, suka menolong dan gotong royong

f. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras

g. Keadilan dan kepemimpinan

h. Baik dan rendah hati


62
i. Toleransi, kedamaian dan kesatuan

Nilai itu selanjutnya diinstitusikan melalui upaya pendidikan. Nilai

yang diwujudkan dalam bentuk perilaku peserta didik itulah yang disebut

karakter. Sedangkan kemendiknas menyatakan bahwa ada 18 nilai yang

harus dikembangkan sekolah dalam menentukan keberhasilan pendidikan

karakter, yaitu (1) religius; (2) toleransi; (3) jujur; (4) disiplin; (5) kerja

keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10)

semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13)

bersahabat/komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16)

63
peduli lingkungan; (17) peduli sosial; (18) tanggung jawab.

Dapat disimpulkan dari pernyataan diatas, bahwa membentuk

karakter peserta didik ada beberapa nilai yang harus diketahui dan

dikembangkan. seperti religious, toleransi, jujur, disiplin, kerja keras,

kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta

tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar

membaca, peduli lingkungan, peduli social, tanggung jawab.

62
Dharma kesuma, dkk,pendidikan karakter: kajian teori dan praktik di sekolah,
(Bandung: pt remaja rosdakarya, 2011),hal.14
63
Kemendiknas, pengembangan karakter dan budaya bangsa,(Jakarta: puskur, 2010),
hal.23
58

2. Macam-macam karakter

Hipocrates dan Darwis menggolongkan manusia dalam empat jenis


64
karakter, yaitu:

a. Sanguine: pembicara

Karakter ini sangat gampang dikenali. Dia pusat perhatian,

selalu riang, ramah, bersemangat, suka bergaul atau luwes dan suka

berbicara. Segaa sesuatu yang dihadapi dianggap sangat penting

hingga dilebih-lebihkan tapi selalu pula dapat dilupakan begitu saja.

Inilah salah satu kejelekan mereka disamping tidak disiplin, tidak bisa

tenang atau gelisah, tidak dapat diandalkan dan cenderung egois.

b. Kolerik: pemimpin

Karakter kolerik amat suka memerintah. Dia penuh dengan

ide-ide, tidak mau diganggu dengan pelaksanaanya sehingga lebih

suka menyuruh orang lain untuk menjalakanya. Kemauannya yang

keras, optimistik, tegas, produktif dipadu dengan kegemaran untuk

berpenampilan megah, suka formalitas dan kebanggaan diri

menjadikanya seseorang yang berbakat pemimpin. Tapi karena dia

juga senang menguasai seseorang, tidak acuh, licik, bisa sangat tidak

berperasaan (sarkastis) terhadap orang dekatnya sekalipun, akan

menjadikan dia sangat dibenci.

c. Melankolik: pelaksana

Segala sesuatu amat penting bagi dia. Perasaanya adalah hal

yang paling utama. justru karena itu dia melihat sisi seni sesuatu,

64 Hipocrates dan Darwis, ilmu kehidupan eksistensi manusia,(inggris


management,1859),
hal.126
59

idealis, cermat, dan amat perfeksionis. Kelemahnya ialah ia selalu

berfikir negative, berprasangka buruk, yang membuatnya khawatir,

dan sibuk berfikir.

d. Flegmatik: penonton

Pembawaan tenang, lembut, efisien, kurang bergairah, tapi

juga tidak gampang kena pengaruh. Orang-orang akan menyangka dia

tidak berminat atau tidak tertarik disebabkan oleh lamanya dia

mengambil tindakan atas sesuatu. Dia bertindak atas dasar

keyakinanya bukan atas dorongan naluri. Suka melindungi diri, tidak

tegas, penakut, kikir adalah kelemahanya.

Dari keempat macam-macam karakter diatas, seseorang pasti

mempunyai salah satu kepribadian dan juga dipengaruhi kepribadian

lain. Jadi bagaimana cara kita untuk membentuk karater yang baik

pada diri kita dan bisa mengembangkan agar menjadi jauh lebih baik

lagi.

3. Upaya pembentukan karakter

Menurut Walgito karakter itu terbagi tiga sebab, yaitu:

a. Pembentukan karakter dengan kondisioning

Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang

diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. Cara ini

didasarkan atas teori belajar kondisioning baik yang dikemukakan

65
oleh Pavlov maupun oleh Thorendike dan Skiner.

65 Pavlov,dkk, karakter kebiasaan,(inggris:generations work,2010),hal.36


60

b. Pembentukan karakter dengan pengertian

Disamping pembentukan karakter atau perilaku dapat

ditempuh dengan pengertian atau insight. Cara ini berdasarkan atas

teori belajar kognitif, yaitu belajar disertai dengan adanya

66
pengertian.

c. Pembentukan karakter dengan model

Pembentukan karakter masih dapat ditempuh dengan

menggunakan model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa orang tua

sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yag

dipimpinya, hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan

model. Cara didasarkan atas teori belajar social (social learning

theory) atau (observational learning theory) yang dikemukakan oleh

67
bandura.

Dari penjelasan diatas, untuk membentuk karakter para santri

pondok pesantren panggung tulungagung. perlu adanya pembiasaan

seperti halnya sholat jama‟ah, sholat malam, mengaji dalam waktu

yang ditentukan, dan mengikuti kegiatan-kegiatan pondok yang lain.

4. Santri

Kata santri, menurut C.C Berg berasal dari bahasa india, shastri,

yaitu orang yang tahu buku-buku suci agama hindu tau seseorang sarjana

ahli kitab suci agama hindu. Sementara itu, A. H. John menyebutkan

bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang beerarti guru

66 Thorendike dan Skiner, teori perilaku,(inggris: generations work,2010),hal.52


67 M. Furqon Hidayatullah, model pembentukan karakter,(Surakarta:Yuma pustaka,2010),
hal.13
61

68
mengaji. Nurcholish Madjid juga memiliki pendapat berbeda. Dalam

pandanganya asal usul kata “Santri” dapat dilihat dari dua pendapat.

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata

“sastri”, sebuah kata dari sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat

ini menurut Nurcholish Madjid didasarkan atas kaum santri literary bagi

orang jawa yang beruaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan

dan berbahasa Arab. Kedua, penndapat yang mengatakan bahwa perkataan

santri berasal dari bahasa jawa dari kata “cantrik” berarti seseorang yang

69
selalu mengikuti seseorang guru kemana guru ini pergi menetap.

Santri adalah nama lain dari murid atau siswa. Nama santri dipakai

khusus untuk lembaga pendidikan pondok pesantren, sedangkan gurunya

70
bernama kyai, syekh, ustadz atau sebutan yang lain. Pendapat lain

tentang santri adalah siswa yang tinggal dipesantren, guna menyerahkan

diri. Ini merupakan persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya

menjadikan anak didik kyai dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain, ia

harus memperoleh kerelaan sang kyai dengan mengikuti segenap

71
kehendaknya dan juga melayani segenap kepentinganya.

Santri dalam dunia pesantren dikelompokkan menjadi dua macam,

yaitu:

68 Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat: Reiventing Eksistensi Pesantrendi


Era Globalisasi (Surabaya: Imtiyaz, 2011 ),hal. 9
69 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional,( Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 61
70 Soeleman fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah
NU, buku 1, ,(Surabaya: khlmista, 2012), hal. 140
71 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 51-52
62

a) Santri Mukim

Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh

dan menetap di pesantren. Santri yang sudah lama mukim di pesantren

biasanya menjadi kelompok tersendiri dan sudah memiku tanggung

jawab mengurusi kepentingan sehari-hari, mengajar santri-santri muda

tentang kitab-kitab yang rendah dan menengah.

b) Santri Kalong

Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa

sekelilingnya, yang biasanya mereka tidak tinggal di pondok

pesantren kecuali waktu-waktu belajar(sekolah dan mengaji) saja,

72
mereka bolak balik dari rumah.

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang “Manajemen Kurikulum Pondok Pesantren dalam

Membentuk Karakter Santri di Pondok Pesantren Tulungagung” sejauh

sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang

memiliki kesamaan dengan tema penelitian ini diantaranya;

1. Muhamad Nawawi, Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran pada

Lembaga Pendidikan Berbasis Pesantren (Studi Multi Kasus MTs

Ma‟arif NU 2 Sutojayan, Kabupaten Blitar dan SMP Terpadu al-Anwar

Baruharjo, Kabupaten Trenggalek) Tesis. (Tulungagung: Program

Pascasarjana Institut Agama Islam Negri Tulungagung, 2017). Penelitian

milik Muhamad Nawawi tersebut dilakukan untuk mengetahui

bagaimanakah perencanaan, sikronisasi, pelaksanaan, dan evaluasi

72 Zamakhsyari Dhofier, tradisi Pesantren, (Yogyakarta:LKiS, 2001), hal. 3


63

kurikulum dan Pembelajaran pada Lembaga Pendidikan Berbasis

Pesantren (Studi Multi Kasus MTs Ma‟arif NU 2 Sutojayan, Kabupaten

Blitar dan SMP Terpadu al-Anwar Baruharjo, Kabupaten Trenggalek).

Hasil penelitian ini adalah (1) perencanaan kurikulum dan pembelajaran

berlandaskan filosofis nilai-nilai falsafah pancasila, sosiologis;

kebutuhan masyarakat akan pendidikan, psikologis; pembentukan

manusia melalui lingkungan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional,

dan berisi 4 kompetensi inti / 5 kelompok mata pelajaran, muatan lokal

dan pengembangan diri, (2) Sinkronisasi kurikulum dan pembelajaran

merupakan dua sub sistem pendidikan yang berbeda, namun saling

terkait dan melengkapi satu sama lainnya Didukung mata pelajaran yang

dikembangkan dan dipadukan dengan madrasah diniyah dengan asrama

dan kelas yang homogen, (3) Pelaksanaan kurikulum dan pembelajaran

dimulai dari pembuatan RPP yang disesuaikan dengan dokumen

kurikulum, (4) evaluasi kurikulum dan pembelajaran bertujuan untuk

perbaikan dan mengukur ketercapaian kurikulum dan pembelajaran yang

dilakukan oleh Guru, Siswa, Kepala Sekolah, Sekolah, Pemerintah dan

73
Instansi lain yang tidak terikat.

2. Puji Rahayu, Implementasi Kurikulum Pondok Pesantren dalam

membentuk akhlak siswa di MAN Rejoso Peterongan Jombang, Skripsi,

(Tulungagung: Program Sarjana Institut Agama Islam Negri

Tulungagung, 2017). Hasil penelitian ini adalah (1) Struktur Kurikulum

73
Muhamad Nawawi, Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran pada Lembaga
Pendidikan Berbasis Pesantren (Studi Multi Kasus MTs Ma’arif NU 2 Sutojayan, Kabupaten
Blitar dan SMP Terpadu al-Anwar Baruharjo, Kabupaten Trenggalek) dalam http://repo.iain-
tulungagung.ac.id/9688/di akses pada rabu,17 juli 2019 pukul 14.00WIB
64

Pondok Pesantren di MAN Rejoso Peterongan Jombang adalah data

mengenai mata pelajaran Kepondokkan dan Aplikasi Keagamaan serta

alokasi waktu ditetapkan oleh madrasah, (2) Pelaksanaan Kurikulum PAI

Kepesantrenan dalam membentuk akhlak siswa dilaksanakan oleh guru

mata pelajaran diniyah dengan menggunakan modul yang diterbitkan

oleh Pondok dan kitab klasik dengan menggunakan metode bandongan,

sorogan pembiasaan dan keteladanan untuk evaluasinya menggunakan

ujian tertulis dan praktek agar atsar dari pembelajaran dapat tetap selalu

ada, (3) Aplikasi keagamaan yang diterapkan adalah Program yang

bertujuan memberikan pembiasaan untuk mengamalkan syari‟at Islam

Ahlussunnah Wal Jama‟ah. Dengan adanya program keagamaan yang

tersebut maka hal tersebut termasuk usaha madrasah depan membentuk

akhlak siswa, agar siswa terlatih dan akhirnya terbiasa melakukan hal-hal

74
yang berguna dan mendatangkan pahala bagi yang melaksanaknnya.

3. Luluk Ilmahnun, Pelaksanaan Manajemen Kurikulum dalam Membentuk

Karakter Santri di Pondok Pesantren Al-Huda Wal-Hidayah Bulungan

Jepara, Skripsi. (Semarang: Institut Agama Islam Negri Walisongo

Semarang, 2012). Hasil penelitian ini adalah (1) Perencanaan kurikulum

di Pondok Pesantren Al-Huda Wal- Hidayah Bulungan Jepara dengan

dua tahap: penyusunan draf dan pembahasan. Penyusunan draf

perencanaan dilakukan dalam diskusi kelompok, sedangkan pembahasan

draf dilakukan dalam workshop. Dari segi prosesnya, dua nilai yang

menjadi sasaran pondok kurikulum ini yaitu nilai ukhuwah dan nilai

74
Puji Rahayu, Implementasi Kurikulum Pondok Pesantren dalam membentuk akhlak
siswa di MAN Rejoso Peterongan Jombang dalam http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5650/ di
akses pada rabu, 17 juli 2019 pukul 15.34 WIB
65

akhlak (pengembangan kepribadian/karakter) serta ditemukan dalam

perencanaan kurikulum, terutama dalam diskusi kelompok dan workshop.

Poin terpenting dalam pendidikan karakter santri adalah mengajarkan

para santri untuk berperilaku sesuai dengan fitrahnya sesuai dengan Al-

Qur‟an dan Sunnah, (2) Implementasi kurikulum Al-Huda Wal- Hidayah

telah memuat nilai-nilai ukhuwah dan nilai-nilai yang mencerminkan

pendidikan akhlaq santri. Nilai-nilai tersebut antara lain, terdapat dalam

kajian kitab ajar yang digunakan di Al-Huda Wal-Hidayah, yaitu: nilai

demokrasi, nilai solidaritas dan kebersamaan, nilai kasih sayang dan

memaafkan, serta nilai perdamaian dan toleransi. Pada pelaksanaan

pendidikan karakter menggunakan metode pengajaran, keteladanan, dan

refleksi yang ada dalam Al-Qur‟an Hadist serta kajian kitab kuning, (3)

Evaluasi kurikulum di ponpes Al-Huda Wal- Hidayah dilakukan pada

setiap akhir semester, dengan menekankan pada aspek implementasi

kurikulum Evaluasi dilakukan terhadap implementasi kurikulum pondok.

Evaluasi terhadap implementasi kurikulum difokuskan pada kemampuan

santri membaca kitab, sarana pembelajaran, hubungan antar santri,

75
kedisiplinan santri, dan kebiasaan santri pada saat liburan di rumah.

4. Soraya Agustin, manajemen pengembangan kurikulum 2013 sekolah

menengah kejuruan dalam meningkatkan mutu pendidikan studi multi

kasus di SMK Negri 1 Kota Kediri dan SMK Al huda Kota Kediri, Tesis.

(Tulungagung: Institut Agama Islam Negri Tulungagung, 2017). Hasil

75
Luluk Ilmahnun, Pelaksanaan Manajemen Kurikulum dalam Membentuk Karakter
Santri di Pondok Pesantren Al-Huda Wal-Hidayah Bulungan Jepara, dalam
http://eprints.walisongo.ac.id/324/ diakses pada rabu, 17 juli 2019. Pukul 15.40 WIB
66

penelitian ini adalah (1) Landasan dan Prinsip Pengembangan Kurikulum

2013 di SMK Negeri 1 dan SMK Al Huda. kurikulum 2013 merupakan

kurikulum pengembangan dari kurikulum sebelumnya (KTSP 2016 DAN

KBK 2004). Dalam konteks pengembangan kurikulum pemerintah

memberikan kebijakan melalui kurikulum tingkat satuan pendidikan,

yang mana setiap lembaga pendidikan mempunyai wewenang untuk

mengembangkan kurikulum 2013. Dari kebijakan tersebut SMK Negeri

dan SMK Al Huda mempunyai wewenang dalam mengembangkan

kurikulum berdasarkan pada landasan filosofis pancasila, landasan

psikologis, landasan sosiologis, landasan yuridis, landasan IPTEK, dan

landasan agama. Dan prinsip pengembangan yang digunakan adalah

prinsip relevansi, prinsip efektivitas, prinsip efisiensi, kontinuitas,

fleksibilitas yang berorientasi pada tujuan. (2) tujuan pengembangan

kurikulum 2013 di SMKN 1 dan SMK Al Huda. Perumusan tujuan

pengembangan kurikulum 2013 di SMKN 1 dan SMK Al Huda meliputi

hubungan antara tujuan institusional dan tujuan instruksional. Tujuan

institusional dengan berpedoman pada visi, misi sekolah, sedangkan

tujuan instruksional dengan peraturan permendiknas yaitu berdasarkan

KI-KDmata pelajaran kelompok A,B, dan C (kejuruan). (3) implementasi

pengembangan kurikulum 2013 di SMKN 1 dan SMK Al Huda. Upaya

meningkatkan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan keterkaitanya

dengan manajemen mutu pendidikan. Dalam manajemen mutu, semua

fungsi manajemen yang dijalankan oleh para manajer pendidikan di

sekolah (kepala sekolah) diarahkan untuk dapat memberikan keputusan


67

kepada para pelangganya, terutama kepad pelanggan eksternal seperti:


76
siswa, orang tua, masyarakat pemakai lulusan.

5. Mashadi, Manajemen Kurikulum Pondok Pesantren Salaf dalam

Meningkatkan Mutu di Pondok Pesantren Salaf Hidayatul Mubtadi‟in

Desa Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Tesis. (Surakarta:

Institut Agama Islam Negri Surakarta, 2014). Hasil penelitian ini adalah

(1) Program kurikulum di lakukan oleh BPK-P2L (Badan Pengawas

Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo), bersama pengurus pondok

dan pengurus madrasah diniyah dengan berlandaskan kaidah memakai,

menganalisa kebutuhan santri dan menerima usulan; (2) Pelaksanaan

terbagi menjadi dua pelaksanaan, Kepala Madrasaah dan Ketua Pondok,

yang kedua pelaksanaan kelas dilakukan oleh guru; (3) Pengawasan

program dilakukan oleh Pengasuh Pondok; (4) Evaluasi terhadap

program dan pelaksanaan kurikulum dilakukan oleh BPK-P2L.

Manajemen Kurikulum Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi‟in dalam

meningkatkan mutu dapat dilihat dari kegiatan perencanaan,

pembelajaran, evaluasi dapat menghasilkan ouput yang berkualitas.

Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dari kelima

penelitian diatas yang membahas tentang manajemen kurikulum yang semua

objeknya adalah lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan non

formal. Sedangkan peneliti melakukan penelitian di pondok pesantren

panggung tulungagung walaupun terdapat kemiripan penggunaan judul

76
Soraya Agustin, “Manajemen Pengembangan Kurikulum 2013 sekolah menengah
kejuruan dalam meningkatkan mutu pendidikan” (studi multikasus di SMK Negeri 1 Kota Kediri
dan SMK Al Huda Kota Kediri) (Program Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana
IAIN Tulungagung, tesis tidak diterbitkan, 2017), dalam repo.iain-tulungagung.ac.id, diakses
kamis, 18 juli 2019 pukul 10.00 WIB
68

skripsi antara peneliti sekarang dengan peneliti terdahulu, akan tetapi tetap

terdapat perbedaan pada fokus penelitian dan tempat penelitian.

Tabel 2.1 posisi penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu


No Nama, Tahun, dan judul persamaan Perbedaan
1 Muhamad Nawawi tahun 1. Sama-sama 1. Penelitian
2017, Manajemen Kurikulum meneliti dilakukan di
dan Pembelajaran pada tentang lembaga
Lembaga Pendidikan manajemen pendidikan
Berbasis Pesantren (Studi kurikulum sedangkan
Multi Kasus MTs Ma‟arif 2. Focus peneliti
NU 2 Sutojayan, Kabupaten penelitian melakukan
Blitar dan SMP Terpadu al- terkait penelitian di
Anwar Baruharjo, Kabupaten dengan pondok
Trenggalek) POAC pesantren.
2. Ada dua subjek
yang diteliti,
yaitu
manajemen
kurikulum dan
pembelajaran,
sedangkan
peneliti hanya
satu subjek
yaitu
manajemen
kurikulum
2 Puji Rahayu tahun 2017 1. Sama-sama 1. Penelitian ini
Implementasi Kurikulum meneliti dilakukan di
Pondok Pesantren dalam tentang MAN Rejoso
membentuk akhlak siswa di Manajmen Peterongan
MAN Rejoso Peterongan Kurikulum di Jombang,
Jombang Pesantren sedangkan
peneliti
melakukan
penelitian di
Pondok
Pesantren
Panggung
Tulungagung
3 Luluk Ilmahnun tahun 2012 1. Sama-sama 1. Penelitian ini
Pelaksanaan Manajemen meneliti dilakukan di
Kurikulum dalam tentang Pondok
Membentuk Karakter Santri manajemen Pesantren Al-
di Pondok Pesantren Al-Huda kurikulum Huda Wal-
Wal-Hidayah Bulungan 2. Fokus Hidayah
69

Jepara penelitian Bulungan


terkait Jepara,
dengan sedangkan
POAC peneliti
melakukan
penelitian di
Pondok
Pesantren
Panggung
Tulungagung
4 Soraya Agustin tahun 2017, 1. Sama- 1. Penelitian ini
manajemen pengembangan sama dilakukan di
kurikulum 2013 sekolah meneliti SMK Negri 1
menengah kejuruan dalam tentang Kota Kediri dan
meningkatkan mutu manajeme SMK Al huda
pendidikan studi multi kasus n Kota Kediri,
di SMK Negri 1 Kota Kediri kurikulum sedangkan
dan SMK Al huda Kota peneliti
Kediri melakukan
penelitian di
Pondok
Pesantren
Panggung
Tulungagung
5 Mashadi tahun 2014 1. Sama-sama 1. Penelitian ini
manajemen kurikulum meneliti dilakukan di
pondok pesantren salaf dalam tentang Pondok
meningkatkan mutu di manajemen Pesantren Salaf
Pondok Pesantren Salaf kurikulum Hidayatul
Hidayatul Mubtadi‟in Desa Mubtadi‟in
Lirboyo, Kecamatan Desa Lirboyo,
Mojoroto, Kota Kediri, Kecamatan
Mojoroto, Kota
Kediri,
sedangkan
peneliti
melakukan
penelitian di
Pondok
Pesantren
Panggung
Tulungagung
70

F. Paradigma penelitian

Penelitian ini lebih terfokus pada pentingnya membentuk karakter

santri yang terdapat pada pelaksanaan manajemen kurikulum di pondok

pesantren panggung tulungagung. keberhasilan membentuk karakter pada

santri melalui kurikulum pondok pesantren panggung tulungagung ditandai

dengaan adanya perubahan karakter yang jelas pada diri seorang santri yang

bisa mengaplikasikan di dalam maupun diluar pondok dalam kehidupan

sehari-hari.

Dari beberapa faktor pendukung yang mendukung tercapainya

keberhasilan membentuk karakter santri harus selalu dipertahankan agar

seimbang, dan segala masalah yang ada harus segera ditanggulangi agar tidak

menghambat jalanya pembentukan santri dan juga agar tidak memberikan

dampak buruk dalam pembentukan karakter santri tersebut. Adapun alur dari

kerangka berfikir dari penelitian ini ialah:

perencanaan

Manajemen
kurikulum Pondok pelaksanaan Karakter santri
Pesantren

evaluasi

Gambar. 2.1 Paradigma Penelitian

Anda mungkin juga menyukai