Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FILSAFAT IMAM AL-GHAZALI

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Filsafat Umum
Dosen Pengampu: Nesia Mu’asyara, M. Ag.

Disusun oleh:
1. Madiana Fadillah (2031080407)
2. Maudy Tiara P. R. (2031080277)
3. Maya Destalia (2031060274)

KELAS D
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTANLAMPUNG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tugas makalah yang berjudul Filsafat Imam
Al-Ghazali ini tepat pada waktunya.

Shalawat beriring sala msenantiasa tercurah pada Sang Kekasih, Sang Penyejuk Hati, Nabi


Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Yang telah membawa kita dari
zaman jahiliyyah hingga zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Keberhasilan penulisan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, maka oleh sebab itu saya
ingin mengatur ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada
Ibu Nesia Mu’asyara, M. Ag. selaku dosen pembimbing dan pengampu yang telah membimbing
kami dalam pembuatan makalah ini. Adapun makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Umum.

Akhirnya saya menyadari bahwa apa yang disajikan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik
menyangkut isi maupun penulisan. Kekurangan kekurangan tersebut disebabkan kelemahan dan
keterbatasan pengetahuan serta kemampuan penulis sendiri. Hanya dengan kearifan dan bantuan
dari berbagai pihak untuk memberikan teguran, saran dan kritikan demi kesempurnaan dengan
harapan dapat berguna bagi penulis dan bagi pembaca.

Bandar lampung, Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. Pendahuluan......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
A. Biografi dan Pendidikannya..............................................................................................5
B. Karya-Karya Al-Ghazali...................................................................................................7
C. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali..........................................................................................7
D. Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat...........................................................................9
DAFTAR  PUSTAKA...................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,
dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih
filsafat Islam dikembangkan.

Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang
ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur.
Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam.
Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang
teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali
yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim
lainnya.

B. Rumusan Masalah
 Bagaimana Biografi dan Pendidikan Imam Al-Ghazali?
 Apa saja karya-karya Imam Al-Ghazali?
 Apa pemikiran Imam Al-Ghazali tengtang metafisika, iradat, dan etika?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi dan Pendidikannya


Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid
Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya
termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman
akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-
Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup
dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H
(1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin
Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali),
kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri
beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-
Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan
dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika),
falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karenad kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain
mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke


Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al
Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan
sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-
Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M.
Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat
perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang
jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.

Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai
konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di
Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa,
baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara
musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali
dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana
meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nidham Al-
Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di
daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat
pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.

Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini
dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai
ulama yang terkenal.[5] Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah
Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan
bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah
untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran
Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri
Nidham Al-Muluk.

Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa
Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya,
tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan
karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya
aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul
Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti
masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian
timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini
tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.

Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-


pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi
khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di
pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi  dan terobosan yang ia lakukan antara
lain:

a. Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama


4 (empat) tahun.
b. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir
2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri,
akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid
Damaskus.
c. Kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem,
tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu
pertama dari Allah.
d. Tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai
Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M,
lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan
kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia
hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama
Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari
tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah
Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko,
ia tetap tinggal di Mekkah, ia  berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima
dalam rukun Islam, yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan
Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah
ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk
melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya.

B. Karya-Karya Al-Ghazali
Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk
menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang
berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh
Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat
Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada
hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang
dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab
yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang
dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.

Mengenai kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer
pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf,
mantiq, falsafat, dan lainnya.

C. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali


a. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat


terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia
mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal
ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara


mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan
mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-
syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang
mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun
menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang
mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada
kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan
suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika
(ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah
Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap
kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat
metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya
para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

b. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu
berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang
berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan
zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang
abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang
kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek)
manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa
tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan
merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan
akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat
bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh,
kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu
di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus
tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal
itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau
mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh
api.

c. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali
adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui
pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-
Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”.
Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-
sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur,
sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta


yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan)
bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap
bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu
pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan
sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di


mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu
kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari
syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang
merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti
kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan.
Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang
makna-makna yang terkandung di dalamnya.

D. Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat


Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang
filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di
lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni
sebagai berikut :

”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku
pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-
prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ...,
mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya
pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran
yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”

Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan
dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-
sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan
untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya
Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang
keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi
atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan
buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap
filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai
seorang filosof?.

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan
filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:

1. Filosof Materialis (Dhariyyun)

Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos
ini ada dengan sendirinya.

2. Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)

Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-
keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini.
Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari
berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan
nafsu seperti hewan.

3. Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)

Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah
menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri
tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu,
ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang
menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
DAFTAR  PUSTAKA

Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit Terang, t.t

----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960

----------------, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj.Abdullah bin Nuh, Jakarta: Tinta Mas, 1960

-----------------, lihat “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1928

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1981

Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986

Nasution, Harun,  Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983

Rusyd, Ibnu,  Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka
Setia, 2009

Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: CV ROSDA, 1988

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Anda mungkin juga menyukai