Anda di halaman 1dari 18

EPISTEMOLOGI

EPISTEMOLOGI FILSAFAT TRANSENDENTAL MULLA SHADRA

Disusun Oleh:

Kelompok 13

Yovanda Dwi Tiara (1830302085)

Desi Romilah Sari (1830302089)

Dosen Pengampu:

Rahmat Hidayat, Lc., M.Phil

PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penulisan makalah
dengan judul “Epistemologi Filsafat Transendental Mulla Shadra” ini.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti
sekarang ini. Penyusunan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Mata Kuliah Epistemologi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.Akhirnya dengan segala
keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki oleh penulis, maka sangat di harapkan kritik dan
saran yang membangun agar dapat menjadi pengalaman untuk lebih baik lagi.Harapan
penulis, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Palembang, Desember 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 1
1.3 Tujuan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

2.1 Biografi Mulla Shadra......................................................................... 2


2.2 Karya-Karya Pemikiran Mulla Shadra................................................ 4
2.3 Pemikiran Mulla Shadra tentang Epistemologi .................................. 6
2.4 Nalar Epistemologi Filsafat Transendental Mulla Shadra .................. 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 13

3.1 kesimpulan ......................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengkajian epistemologi merupakan salah satu komponen yang mempunyai


kedudukan penting dalam pembahasan mengenai Filsafat Islam.Seperti yang diketahui, Mulla
Shadra merupakan salah satu tokoh yang memiliki konsep epistemologi yang komprehensif
di dalam kajian filsafatnya.Mulla Shadra dipengaruhi oleh empat aliran Islam klasikpasca
Mongol yaitu masysya’i (Peripatetik), isyraqi (Illmunianionis), ‘Irfani (Gnosis, Sufisme atau
Tasawuf), dan kalam (Teologi Islam). Keempat aliran tersebut saling mendekat satu sama
lain, sehingga mempersiapkan dasar baginya untuk kemudian menciptakan suatu sintesis
besar (grand synthesis). 1

Filsafat Mulla Shadra yaitu yanglebih dikenal dengan sebutan al-hikmah al-
muta’aliyah, adalah sejenis hikmah atau falsafah yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang
murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan diformulasikan secara rasional dengan
menggunakan argumen-argumen yang rasional.Mulla Shadra membagi filsafat kepada dua
pembagian utama, Pertama, bersifat teoritis, yang mengacu kepada pengetahuan tentang
segala sesuatu sebagaimana adanya.Perwujudannya tercermin dalam dunia akali, termasuk
jiwa di dalamnya sebagai dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina.Kedua, bersifat praktis,
yang mengacu pada pencapaian kesempurnaankesempurnaan yang cocok bagi jiwa.2

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi Mulla Shadra?
2. Bagaimana penjelasan mengenai karya-karyanya?
3. Bagaimana pemikiran Mulla Shadra mengenai epistemologi?
4. Bagaimana nalar epistemologi filsafat transendental Mulla Shadra?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Mulla Shadra.
2. Untuk mengetahui karya-karya Mulla Shadra.
3. Untuk memahami pemikiran Mulla Shadra mengenai epistemologi.
4. Untuk memahami bagaimana nalar epistemologi filsafat transendental Mulla Shadra.

1
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002), hlm. 32.
2
H.A Musthofa. Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm. 336

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Mulla Shadra

Mulla Shadra atau yang bernama lengkap Muhammad ibn Ibrahim Yahya Al-Qawami
Al-Syirazi, dia diberi gelar Shadr al-Din al-Syirazi lalu pupler dengan sebutan Akhund Mulla
Shadra atau Shadr al-Muta’allihin.Mulla Shadra adalah salah seorang filosof Muslim
terbesar.Di kalangan murid-muridnya dikenal dengan Shadr al-Muta’allihin.Ia dilahirkan di
Syiraz pada tahun 979/980 H atau 1571/1572 M dari sebuah keluarga terkenal dan
berpengaruh, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi,
seorang yang berilmu dan saleh, pernah menjadi gubernur wilayah Provinsi Fars. Secara
3
sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.

Status sosial keluarganya tersebut dan sebagai satu-satunya anak laki-laki dari sebuah
keluarga mampu yang sudah lama merindukannya, ia berkesempatan. Memperoleh
pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna di kota kelahirannya. Sebagai anak yang
cerdas dan shaleh, ia dengan cepat menguasai hampir apa saja yang diajarkan kepadanya,
bahasa Arab, bahasa Persia, al-Qur’an, hadis dan disiplin ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Dalam usia muda, Mulla Shadra melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang
penting untuk dunia Timur Islam pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha’ al-Din al-
‘Alimi (w. 1031 H/1622 M), kemudian kepada filsuf paripatetik Mir Abu al-Qasm Fendereski
(w. 1050 H/1641). Tetapi gurunya yang paling utama adalah seorang filsuf-teolog bernama
Muhammad atau lebih dikenal Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), seorang penggagas
berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal sebagai “Aliran Isfahan”. 4

Teman-teman seperguruan Mulla Shadra di Isfahan, antara lain Sayyid Ahmad


‘Alawi, ‘Aqa Husaya Khwansari, dan Mulla Muhammad Baqir Sabzawari, tertutupi karena
kemasyhurannya. Barulah mereka terkenal setelah Mulla Shadra meninggalkan Isfahan
menuju Kahak.Kahak adalah sebuah desa di pedalaman berdekatan dengan Qum. Di Kahak,
Mulla Shadra menjalani hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan
rohani untuk mencapai hikmah Illahi (Rahasia Ilahi) atau teosofi (theo yaitu Tuhan, sophia
yaitu cinta). Shadra menjalani hidup zuhud ini selama tujuh tahun, tetapi ada riwayat yang

3
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002), hlm. 42-43.
4
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam ; Teologi, Filsafat dan Gnosis. Terj. Suharsono dan Jamaluddin MZ,
(Yogyakarta : CIIS Press. 1995), hlm. 79

2
menyebutnya selama 11 tahun.Jalan yang dipilih Shadra ini dikritik oleh ulama zahir bahkan
ada yang menuduhnya “kafir”. Padahal ia seorang shalih, tidak pernah mengabaikan tugas
dan tangguh jawab agama sepanjang hayatnya. Hal ini diutarakannya dalam kata pengantar
kitabnya, Al-Asfar al-Arba’ah dan Sih Ashl (semacam autobiografi).5

Atas desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas II (1588-1629) dari Dinasti
Safawi, Mulla Shadra diminta menjadi guru di Madrasah Allahwirdi Khan yang didirikan
oleh gubernur propinsi Fars di Syiraz. Berkat kesungguhan Shadra, kota kelahirannya ini
kembali menjadi pusat ilmu pengetahuan seperti sebelumnya. Disamping bertugas sebagai
pendidik di Madrasah Khan yang dilaluinya selama 30 tahun, di sini pulalah ia banyak
melahirkan karya. Hal ini diakui oleh Thomas Herbert, pengembara abad 11 H/17 M yang
pernah melawat ke Syiraz semasa hidup Shadra.Herbert menulis bahwa di Syiraz terdapat
perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika yang
menyebabkannya termasyhur di seluruh dunia.

Kesibukannya sebagai guru dan penulis, ternyata tidak menghalanginya untuk


menunaikan ibadah haji ke Mekah, bahkan perjalanan hajinya sebanyak tujuh kali
dilakukannya dengan berjalan kaki. Malang, dalam perjalanan pulang dari hajinya yang ke
tujuh, Mulla Shadra jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H/1641 M,
makamnya sangat termasyhur di kota itu.Di bawah asuhan keduanya Mulla Shadra memiliki
keunggulan ilmu di bidang filsafat, tafsir, hadis, dan Irfan. Mulla Shadra selama empat belas
tahun berdiam di Kahak, sebuah desa di Qum untuk melakukan uzlah akibat tuduhan sebagai
murtad oleh para seterunya. Pada saat itu, ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk membaca
dan menulis buku. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, dia diminta untuk mengajar di
Madrasah-ye Khan. Para sejarahwan membagi kehidupan Mulla Shadra ke dalam tiga
periode:

Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah asuhan guruguru


terbaik pada zaman itu, ia menerima pendidikan dalam tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis,
tafsir, dan syarah al-Qur’an di bawah asuhan Baha’ al-Din al-Amili, yang meletakkan dasar
dari fiqih baru Syiah. Pada tahap berikutnya, dia mempelajari ilmu-ilmu filosofis di bawah
asuhan Mir Damad. Setelah Mulla Shadra merampungkan pendidikan formalnya, ia terpaksa

5
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Fazlur Rahman, (Bandung :
Mizan. 1989), hlm. 136-137

3
meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandanganpandangannya dari kaum
Syiah dogmatis.

Lalu dalam periode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan menjalani uzlah di
sebuah desa kecil dekat Qum.Selama periode ini pengetahuan yang pernah diperolehnya
mengalami kristalisasi yang semakin utuh, dan kreativitasnya menemukan tempat
penyalurannya.Dalam periode ketiga, dia kembali sebagai pengajar di Syiraz, dan menolak
tawaran untuk mengajar atau menduduki jabatan resmi di Isfahan.Semua karya pentingnya
dilahirkan dalam periode ini, dia menghidupkan semangat kontemplatifnya dan melakukan
praktek asketis, beberapa argument filosofisnya diperoleh melalui pengalaman-pengalaman
mukasyafah.

Mulla Shadra telah menghabiskan hidupnya di beberapa tempat, selain di Syiraz,


Qaswin, Isfahan, Qum dan desa Kahak, terdapat beberapa catatan yang menunjukkan bahwa
Mulla Shadra juga pernah ke beberapa kota suci di Irak, selain ke kota suci Makkah yang
dilakukannya dengan jalan kaki, dia juga ke Masyhad, dan akhirnya dalam perjalanan hajinya
yang ketujuh dengan jalan kaki, Mulla Shadra jatuh sakit di kota Basrah, Irak. Tidak lama
berselang dalam sakit yang dideritanya Mulla Shadra akhirnya kembali kepada Allah pada
tahun 1640 M (1050 H), atau dalam sumber lain dikatakan tahun 1636 M (1045 H) atau 1637
M. Mulla Shadra dimakamkan di kota Najaf, tempat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
dimakamkan.

2.2 Karya-Karya Pemikiran Mulla Shadra

Karya Mulla Shadra berusaha dibagi berdasarkan tema kandungannya, yaitu yang
bersifat filosofis dan karya yang bersifat religius.Dalam karya-karyanya, kedua sisi tersebut
telah menyatu atau melengkapi. Bahkan, Mulla Shadra beranggapan bahwa antara filsafat dan
agama merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya lahir
dari satu puncak atau sumber yang sama, yaitu Tuhan.

Karya-karya Mulla Shadra dimaksud, di antaranya:

1. Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah (Kebijakan Transendental


tentang Empat perjalanan Akal pada Jiwa). Di dalamnya memuat simbol-simbol
pengembaraan intelektual dan spritual manusia ke hadirat Tuhan. Memuat hampir
semua persoalan yang berkaitan dengan wacana pemikiran dalam Islam, seperti Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf.

4
2. Al-Hasyr, (tentang kebangkitan). Terdiri dari delapan babmengenai hari kebangkitan,
dan betapa semua benda, termasuk barang tambang, akan kembali kepada Allah.
3. Al-Hikmah al-‘Arsyiyyah (Hikmah diturunkan dari ‘Arsy Ilahi). Memperbincangkan
kebangkitan dan perihal nasib masa depan manusia sesudah mati. Buku ini menjadi
sumber pertikaian hebat di kalangan aliran ilmu kalam kemudiannya.
4. Mafatih al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib). Karya mendasar yang ditulisnya setelah
mencapai kematangan ilmu. Berkisar doktrin Irfan tentang metafisika, kosmologi, dan
eskatologi serta mengandung rujukan yang banyak dari al-Qur’an dan Hadis.
5. Kitab al-Masya’ir (Kitab penembusan metafisika). Mengandung teori ontologi. Latar
belakang epistemologi Mulla Shadra kemunculan figur dengan kapasitas intelektual
dan spiritual, menunjukkan adanya kehidupan suatu tradisi intelektual kuat,
memungkinkan baginya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, yang kemudian
mendorongnya untuk tampil ke permukaan dengan membawa arus-arus terdalam
tradisi tersebut. 6

Untuk memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnyaal-Hikmah


al- Muta’aliyah terlebih dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang sudah
dipelajari oleh Mulla Shadra, yang meliputi:

a. Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Ibnu Sina dan
para pengikutnya.
b. Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para pengikutnya, seperti Qutb alDin
Syirazi dan Jalal al-Din Dawani.
c. Doktrin Gnosis (‘Irfan) Ibn ‘Arabi dan mereka yang bertanggung jawab dalam
penyebaran doktrin Ibn ‘Arabi, seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya
tokoh sufi terkemuka, antara lain Ayn Qudat Hamadani dan Mahmud Syabistari.
d. Ilmu Kalam Syi’ah Imamiyah.
e. Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi saw. dan para imam Syi’ah.

Ketika Mulla Shadra muda datang ke Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang
matang dan memiliki akar sejarah yang panjang. Mulla Shadra mewarisi khazanah intelektual
dan mengetahui secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah setiap aliran pemikiran.
Akhirnya, dengan penghayatannya yang mendalam tentang tradisi pemikiran Islam sebagai

6
Fazlur Rahman, The Philoshophy of Mulla Sadra. (Albani : State University of New York Press. 1975), 16.
dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. hlm. 169

5
perspektif intelektual yang terus hidup dan berkembang dan kesungguhannya dalam
memahami keterkaitan doktrin antar aliran pemikiran Islam, Mulla Shadra berusaha
membentuk suatu sintesis dalam dimensi yang baru, yang dinamakan al-Hikmah al-
Muta’aliyah. Sintesis yang dilakukan Mulla Shadra bukanlah sekedar menggabungkan teori
atau gagasan aliran pemikiran Islam, melainkan meramunya dalam perspektif yang belum
pernah ada sebelumnya. 7

2.3 Pemikiran Mulla Shadra Tentang Epistemologi

Dalam epistemologi Mulla Shadra, al-Qur’an merupakan jalan utama untuk mencapai
pengetahuan hakiki. Kitab suci bagi Mulla Sadra merupakan sumber ilham pemikiran filsafat
dan teosofi yang tak dapat diganti oleh kitab lain. Mulla Sadra menilai al-Qur’an dengan
wujud itu sendiri.Wujud, seperti al-Qur’an, mempunyai huruf-huruf (huruf) yang merupakan
“kuncikunci menuju dunia gaib” dan dari gabungan huruf terbentuklah ayat-ayat dan dari
ayat-ayat tersusun surah-surah Kitab Suci. Selanjutnya, dari kombinasi surah dihasilkan
“kitab wujud”yang memanifestasikan diri dalam dua cara: sebagai al-furqon atau pembeda,
dan al-Qur’an atau bacaan (kedua istilah ini merupakan nama al-Qur’an). Aspek furqani kitab
suci adalah makrokosmos dengan segala keragamannya, sedangkan aspek qur’aninya adalah
realitas spiritual da arketipe manusia atau yang umum disebut manusia universal/sempurna
(al-insan al-kamil). Karena itu, kunci-kunci (mafatih) menuju dunia gaib, sejauh wahyu al-
Qur’an dikaji, juga merupakan kunci bagi pemahaman akan dimensi tak tampak dari dunia
eksistensi eksternal dan wujud batin manusia dan sebaliknya. 8

Mengenai akal sebagai sumber pengetahuan, Mulla Sadra berpendapat bahwa akal
yang di dalam pikiran merupakan pantulan bayangan akal semesta dalam jiwa manusia,
merupakan semacam nabi atau pembimbing manusia menuju pesan ilahi, yakni apabila orang
tersebut memahami kandungan al-Qur’an secara mendalam.Dalam hal ini beliau
membedakan akal menjadi empat tingkat: potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah), akal posesif
(al-‘aql bi al malakah), akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), dan akal yang diperoleh (al’aql bi
almustafad).

Pertama, pada tingkat potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah) disertakan pada jiwa dari
sejak awalnya dan sebagaimana jiwa itu sendiri, tidak memiliki pembuktian terhadap dirinya

7
Fazlur Rahman, The Philoshophy of Mulla Sadra. (Albani : State University of New York Press. 1975), 16.
dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. hlm. 170
8
Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra dan Ajaran-ajarannya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim
Penerjemah Mizan, bandung, 2003, hlm. 930.

6
sendiri, dan pemahaman-pemahaman spekulatif.Kondisi eksistensi jiwa ini adalah tahap
terakhir dalam alam fisik dan tahap pertama untuk memasuki alam metafisika.

Kedua, tingkat akal posesif (al-‘aql bi al-malakah) terjadi tepat setelah yang
sebelumnya, dikatualkan melalui pemerolehan pemahman-pemahaman primer (konsep dan
kesepakatan) atau data primer, data melalui eksperimen, data melalui transmisi, dan
sebagainya. (yang sama pada seua orang) seperti “keseluruhan itu lebih besar dari bagian”,
“berbohong itu bukan perbuatan baik”, stau adalah setengah dari dua”, dan seterusnya.
Persepsi-persepsi tersebut diperlukan untuk mengaktualkan tingkatan yang berikutnya.

Ketiga yaitu tingkat akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), terjadi ketika pemahaman-
pemahaman tersebut digerakkan menuju jiwa, maka refleksi dan kerinduan untuk
menyimpulkan pemahaman-pemahaman yang belum dipahaminya akan muncul dalam diri
manusia, yang pada gilirannya akan membuatnya secara sukarela merenung menggunakan
dengan apa yang sebelumnya telah ia miliki untuk memperoleh pemahaman mental yang
baru. Walaupun pemahaman-pemahaman intelektual spekulatif tidak secara aktual hadir
bersama dengan akal, mereka akan dpahami segera setelah jiwa mau melakukannya, dan
tidak akan dilakukan pencarian bukti dan gerak pemikiran (menuju yang dipahami, kemudian
dari yang dipahami menuju kapda yang tidak dipahami); karena pengamatan yang sering
terhadap pemahaman spekulatif dan intelektual ini, gerak intelektual menuju prinsip yang
begitu banyak, dan terhubungan dengan prinsip tersebut, telah menyebabkan suatu hubungan
kepemilikan dan pemahaman akal, dan karenanya, akan hadir secara aktual bersamanya.

Lalu tingkat keempat, akal yang diperoleh (al-‘aql bi al-mustafad). Tingkatan ini
sama persis dengan akal katual kecuali bahwa semua pemahaman spekulatif sebenarnya hadir
bersamanya, dan tidak membutuhkan kemauan dan perhatian. Alasannya adalah bahwa jiwa
mencari semua pembuktian atas dirinya sendiri dan semua bentuk pemahaman spekulatif,
yang sesuai dengan kebenaran yang lebih tinggi atau yang lebih rendah, tanpa adanya
perantara material pada saat ia dihubungkan dengan Akal aktif (al-‘Aql al-fa’al), dan oleh
karenanya dunia intelektual semacam itu menjadi sama dengan alam obyektif. Itulah
mengapa akal seperti itu disebut diperoleh : karena manfaat yang diterimanya berasal dari
luar, yaitu akal aktif. 9

9
Seyyed Mohsen Miri, “Mulla Sadra Kehidupan dan Pemikirannya”, jurnal Al-Huda, Vol.2 No.8, Islamic
Center, Jakarta, 2003, hlm.137-138.

7
Dari segi ini manusia merupakan kesempurnaan tempat kembali, sebagaimana akal
aktif merupakan suatu kesempurnaan dan akhir bagi alam yang menjadi awal; karena puncak
dari penciptaan alam material adalah penciptaan manusia dan puncak dari penciptaan
manusia adalah tahap akal yang diperoleh, yakni pencarian tahap pemahaman dan hubungan
terhadap alam yang lebih tinggi.

Selanjutnya Mulla Shadra meyakini sepenuhnya bahwa metode yang paling berhasil
untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah kasyf, yang ditopang oleh wahyu, dan tidak
bertentangan dengan burhan.Di dalam Tafsir Surah al-Waqi’ah, Mulla Sadra mengemukakan
bahwa pada mulanya dia disibukkan dengan pengkajian terhadap buku-buku yang bersifat
diskursif, sehingga dia merasa bahwa dirinya telah memiliki pengetahuan yang luas.Akan
tetapi, ketika visi spiritualnya mulai terbuka, dia baru menyadari bahwa ternyata dirinya
kosong dari ilmu yang sejati dan hakikat yang meyakinkan, sesuatu yang hanya bisa
diperoleh melalui zauq dan wijdan.

Menurut Mulla Shadra hakikat pengetahuan seperti itu tidak dapat diperoleh kecuali
melalui pengajaran langsung dari Tuhan, dan tidak akan terungkap kecuali melalui cahaya
kenabian dan kewalian. Untuk mencapai hal itu, diperlukan proses penyucian kalbu dari
segala hawa nafsu, mendidiknya agar tidak terpesona kepada kemegahan duniawi, dengan
mengasingkan diri dar pergaulan, merenungkan ayat-ayat Tuhan dan Hadis Nabi, dan
mencontoh perilaku kehidupan orang-orang saleh.

Ketika dia menyadari kelemahan dirinya dan meyakini bahwa dia tidak memiliki
sesuatu apa pun, dibangkitkannyalah semangatnya dengan sekuatkuatnya dan berkobarlah
kalbunya dengan cahaya yang gilang-gemilang. Di saat itulah, ketika dirinya dipenuhi oleh
sinar cemerlang yang merupakan karunia Tuhan, tebuka di hadapannya rahasia dari sebagian
ayat-ayat Tuhan dan bukti-bukti yang meyakinkan.10

Mulla Sadra mengakui bahwa permasalahan ketuhanan mengandung dasar-dasar


pemikiran dan konsep-konsep yang fundamental.Permasalahan ketuhanan tersebut baru bisa
dipahami setelah dasar-dasar pemikiran dan konsep-konsep fundamentalnya dipahami lebih
dulu. Pemahaman ini bisa terjadi dengan dua cara, yaitu: melalui intuisi intelektual dan gerak
cepat, atau melaui pemikiran konseptual dan gerak lambat. Para nabi, orang-orang suci, dan
mereka yang memiliki visi spiritual memperolehnya dengan cara yang pertama, sedangkan

10
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002), hlm. 123.

8
cara yang kedua ditempuh oleh para ilmuwan, ahli pikir, dan mereka yang selalu
menggunakan pertimbangan akal. Mulla Sadra menegaskan bahwa pengetahuan yang
diperoleh pada tingkat kewalian sekalipun tidak bisa diterima jika mustahil menurut
keputusan akal.Namun, harus diingat bahwa jika hanya mengandalkan akal semata,
pengetahuan semacam itu kemungkinan tidak bisa terjangkau.Menurutnya, untuk mengukur
kebenaran akal dan menghindarinya dari kesalahan, diperlukan timbangan wahyu.Dia
menyatakan bahwa hikmah harus berdasarkan pada agama, dan mereka yang tidak memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang hakikat sesuatu tidak pantas disebut sebagai ahli
hikmah. Seperti halnya burhan yang meyakinkan selalu sesuai dan selamanya tidak akan
bertentangan dengan agama, demikian pula agama, selalu sesuai dengan akal.

Mulla Shadra menyatakan bahwa untuk memperoleh petunjuk yang benar tidak cukup
hanya dengan bertaklid kepada keterangan-keterangan agama, tetapi harus disertai
penyelidikan dan penalaran.Sebab, tidak ada tempat bersandar bagi agama kecuali ucapan-
ucapan Nabi dan pembuktian akal yang menjelaskan tentang kebenaran misinya. Akan tetapi,
petunjuk yang benar tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan akal, tanpa sinar agama.
Dengan kata lain, langkah akal akan terbatas dan kemampuannya menjadi berkurang jika dia
tidak diberi petunjuk oleh sinar agama. Oleh karena itu, harus terjadi kombinasi yang serasi
antara agama dan akal, salah satunya tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Agama yang benar
dan bersinar terang tidak akan menjadikan hukum-hukumnya bertentangan dengan
pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai akal adalah cahaya di atas
cahaya.

Menurut Sadra metode kasyf dapat menyampaikan seseorang kepada pengetahuan


yang sejati .Ia menegaskan bahwa hakikat hikmah diperoleh melalui ilmu ladunni, dan
selama seseorang belum sampai pada tingkatan tersebut, maka jangan dijadikan sebagai ahli
hikmah, yang merupakan salah satu karunia ketuhanan. Diadakan penjelasannya dia
mengemukakan bahwa ada dua macam cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan
belajar dan usaha sendiri dan melalui karunia ketuhanan yang berupa ketersingkapan. Cara
pertama dapat berasal dari dalam dan dari luar, atau melalui perenungan pribadi dan yang
didengar dari guru serta membaca tulisan yang digoreskannya. Sedangkan cara yang kedua
adalah melalui pengajaran langsung dari Tuhan tanpa perantara. Inilah yang disebut ilmu

9
ladunni atau kasyfiyyah atau ilhamiyyah, yang hanya dapat diperoleh melalui dzauq dan
wijdan.11

Mulla Shadra mengakui bahwa memang banyak orang yang mengingkari keberadaan
ilmu yang diperoleh secara gaib tersebut, yang menjadi landasan bagi para pengembara
ruhani dan ahli makrifat.Padahal ilmu tersebut adalah yang paling kuat dan paling kokoh di
antara seluruh ilmu yang ada.Mereka yang mengingkarinya beranggapan bahwa tidak ada
ilmu kecuali yang diperoleh melalui belajar, perenungan atau periwayatan.Mereka yang
berpandangan seperti itu seolah-lah tidak mengerti al-Qur’an dan tidak membenarkan bahwa
al-Qur’an itu merupakan lautan yang luas yang mencakup seluruh realitas. Memang sudah
menjadi kebiasaan bahwa seseorang akan mengikari sesuatu yang di luar pengetahuanya, dan
ini merupakan penyakit kronis, yaitu sekedar bertaklid kepada mazhab guru dan orang-orang
terdahulu serta berhebti pada pemindahan kata-kata belaka.

Seperti halnya akal, seluruh pencapaian kasyf harus ditimbang oleh agama, dan kasyf
tidak akan berarti jika tidak sesuai dengan ukuran agama. Di samping itu, pengetahuan yang
diperoleh melalui kasyf tidak mungkin dijelaskan kepada orang lain kecuali d engan
menggunakan burhan.Oleh karena itu, di dalam al-hikmah al-muta’aliyah disyaratkan
pengetahuan tentang burhan, penyaksian bukti-bukti kebenaran secara intuitifmelalui kasyf,
dan komitmen yang tinggi terhadap agama. Mengenai hal ini, Mulla Sadra mengatakan:
“Pembicaraan kami tidak semata-mata berkaitan dengan dzauq dan kasyf, atau hanya
mengikuti agama tanpa argumentasi dan burhan serta komitmen terhadap hukum-hukumnya.
Sesungguhnya, kasyf semata-mata, tanpa burhan, tidak mencukupi dalam pencarian
kebenaran.Demikian pula, dengan mengandalkan penyelidikan semata-mata, tanpa kasyf,
merupakan suatu kekurangan yang besar.”

Dalam pandangan Mulla sadra, hikmah tidak bertentangan dengan agama, bahkan
keduanya memiliki tujuan yang sama. Orang yang menganggapnya berbeda berarti tidak
mengetahui kesesuaian antara keputusan-keputusan agama dan pembuktian-pembuktian
hikmah.12

11
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002), hlm. 124-126.
12
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/

10
2.4 Nalar Epistemologi Filsafat Transendental Mulla Shadra

Konsep epistemologi filsafat transendental menurut Mulla Shadra atau yang lebih
dikenal dengan sebutan hikmah al-muta’alliyah, yaitu mencakupi:

Pertama, manusia terdiri dari dua unsur jasad (badan) dan jiwa. Sementara itu,
manusia mempunyai tiga alat pengetahuan; pertama, indra lahir meliputi lima indra, seperti
peraba (al-lums), dan penglihatan (al-bashar). Kedua, indra batin meliputi hismusytarak,
hayal (khayal), berpikir (al-dzakairah), estimasi (wahm), dan ingatan (al-hafizah), ketiga,
akal (Shadra menggunakan istilah qalb). Akal terbagi lagi menjadi dua kategori; akal teoretis,
seperti hayulani, milkiyah, mustafad dan fa’al; kedua; akal praktis, seperti penyucian lahir,
penyucian batin, menghiasi diri dengan ilmu tentang Allah (ilmu kalam), dan fana’ fi al-
tauhid.

Kedua, objek pengetahuan. Dalam hal ini, objek pengetahuan sama dengan ontologi,
sehingga untuk mengetahui objek pengetahuan dalam epistemologi hikmah al-muta’alliyah
adalah dengan membahas aspek ontologinya. Ada tiga kunci yang menjadi bahasan
pemikiran ontologis hikmah al-muta’alliyah Shadra dan ketiganya saling terkait satu sama
lain, yakni “keutamaan eksistensi” (ashalat al-wujud), “gradasi eksistensi” (tasykik al-
wujud), dan “gerak substansial” (al-harkah al-jauhariyyah).

Mulla Shadra memulai logika bahasan ontologinya dengan membedakan dua hal:
wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi). Wujud adalah sesuatu yang benar-benar ada dalam
kenyataan dan wujud itulah yang paling berhak menyandang “realitas sejati” sehingga ia
tidak membutuhkan definisi. Sebaiknya, mahiyah (esensi) menurut Shadra hanya sebuah
“penampakan” yang ada dalam pikiran manusia.Dalam arti, wujud (eksistensi) adalah asal
yang bersifat tetap, sedangkanmahiyah (esensi) adalah sesuatu yang posisinya mengikuti
wujud.Misalnya, ketika berbicara tentang manusia, “siapakah manusia?”, kita mendapati dua
unsur pada manusia: wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi). Wujud manusia adalah
keberadaan manusia dalam alam nyata yang sosoknya adalah berjalan, duduk, berdiri dan
berbicara, sedang mahiyah adalah definisi manusia, yakni “hewan yang berpikir”.Definisi ini
mengacu pada yang pertama.Jadi, yang asal dan yang benar-benar nyata adalah wujud
manusia, sedang mahiyah atau definisi tentang manusia hanya ada dalam akal orang yang
mendefisinikan.

11
Tidak hanya membuat pembedaan wujud dan mahiyah, Shadra juga membedakan
“status” keduanya.Oleh karena yang benar-benar nyata adalah wujud, Shadra menyebut
“yang utama” adalah wujud.Wujud lebih utama daripada mahiyah karena yang disebut
terakhir ini hanya ada dalam pikiran manusia.Ketika subjek yang memikirkan tidak ada,
mahiyah juga tidak ada. Sebaliknya wujud akan tetap ada, kendati subjek yang memikirkan
tidak ada. Dengan pembedaan status itu, Shadra kemudian memilih membahas wujud
(eksistensi) daripada mahiyah (esensi).Pengutamaan wujud daripada mahiyah inilah yang
disebut ashalat al-wujud dalam filsafat Shadra.Pada hakikatnya, wujud hanyalah satu (wahdat
al-wujud), tetapi ia bergradasi (tasykik wujud), karena setiap wujud mempunyai potensi dan
kesiapan yang berbeda dalam hal kekuatan, kelemahan, kesempurnaan dan kekurangan.
Gradasi wujud tergantung pada empat unsur itu.13

13
Aksin Wijaya, Satu Islam, Ragam Epistemologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014), hlm. 135-138.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mulla Shadra menunjukkan adanya kehidupan suatu tradisi intelektual yang kuat,
yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, yang mendorongnya untuk
tampil ke permukaandengan membawa arus terdalam dari tradisi yang melahirkannya.

Epistemologi Mulla Shadra dibangun dari empat aliran pemikiran Islam klasik pasca
Mongol, yaitu masysya’i (Peripatetik), isyraqi (Illmunianionis), ‘Irfani (Gnosis, Sufisme atau
Tasawuf), dan kalam (Teologi Islam), yangberkembang luas selama empat abad sebelum
Mulla Shadra.Keempat aliran tersebut saling mendekat satu sama lain, sehingga
mempersiapkan dasar baginya untuk menciptakan suatu sintesis besar (grand synthesis).

Karya-karyanya Mulla Shadra terbagi ke dalam dua macam karya yang bersifat
filosofis dan religius yang mencakupi Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asfar al-‘Aqliyyah al-
Arba’ah(Kebijakan Transendental tentang Empat perjalanan Akal pada Jiwa), Al-Hasyr
(tentang kebangkitan), Al-Hikmah al-‘Arsyiyyah (Hikmah diturunkan dari ‘Arsy Ilahi),
Mafatih al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib), Kitab al-Masya’ir (Kitab penembusan metafisika),
dan masih banyak lagi.

Mengenai akal sebagai sumber pengetahuan, Mulla Sadra berpendapat bahwa akal
yang di dalam pikiran merupakan pantulan bayangan akal semesta dalam jiwa manusia,
merupakan semacam nabi atau pembimbing manusia menuju pesan ilahi, yakni apabila orang
tersebut memahami kandungan al-Qur’an secara mendalam.Dalam hal ini beliau
membedakan akal menjadi empat tingkat: potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah), akal posesif
(al-‘aql bi al malakah), akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), dan akal yang diperoleh (al’aql bi
almustafad).

Implikasi penting al-hikmah al-muta’aliyah terhadap filsafat Islam secara khusus dan
pemikiran Islam pada umumnya adalah bahwa kehadirannya telah menembus tembok-
tembok pemisah antara satu disiplin keislaman tertentu dengan yang lainnya, yang selama
berabad-abad terpisah secara tajam.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hossein Nasr, Seyyed. 1995. Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis.Terj.Suharsono
dan Jamaluddin MZ. Yogyakarta: CIIS Press

Nur, Syaifan. 2002. Filsafat Wujud Mulla Shadra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahman, Fazlur. 2010. The Philosophy of Mulla Shadra (Filsafat Mulla Shadra). Bandung:
Pustaka

Wijaya, Aksin, 2014, Satu Islam Ragam Epistemologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1-2005-rahmatfauz-524-
BAB3_419-3.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai