Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT MULLA SADRA

Tugas ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah pemikiran islam dan filsafat

Dosen Pengampu: Afran Aziz, M. Soc.Sc, Ph.D

DISUSUN OLEH

IMAM AKBAR (602180025)

HALIM ADRIAN PUTRA (60218000

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIRAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN


JAMBI 2019/2020

BAB I

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian
dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam.
Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat mandiri,
terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya
sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil
dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan
sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah.
Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan
kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara pemikiran-
pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Mulla Sadra?
2. Apa karya Mulla Sadra?
3. Bagaimana filsafat Mulla Sandra?
4. Bagaimana pengeritikan filsafat mulla sadra?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi dari Mulla Sadra
2. Untuk mengetahui karya Mulla sadra
3. Untuk mengetahui filsafat Mulla sadra
4. Untuk mengetahui pengeritikan filsafat Mulla Sadra

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Biografi Mulla Shadra (1571-1640 M.)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-
Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla
Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta
pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/
1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu
keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah
seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai
Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang
istimewa di kota asalnya, Syira

Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya


untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri
dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke
dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di
bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia
menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah
Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang
meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof
peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama
adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041
H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai
orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi).
Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang
umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para
pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik
terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-
dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa


meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya

3
dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan
melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini,
pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta
menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-
Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali
mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki
jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia
tidak berhenti untuk menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga
melakukan praktek asketis -sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga
beberapa argument filosofisnya dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman
visionernya (mukasyafah)

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang
kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada
masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh
kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat
pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya.

B. Karya Mulla Sadra


Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah.
Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-
Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat
Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid
besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan
substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-
sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain
diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi
ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-
Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-
Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj (tentang
psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam
(penciptaan Alam),Kasr Al-Asnam Al-Jahiliyah Fi Daimni Al-Mutawasifin, kolq al-
a’mal, Al-A’mal, Al-Lama’ah Al- masyriqiyyah fi Al-funun Al-Mantiqiyyah
(percikan cahaya illuminasionis dalam seni logika), Al-mabda’ wa Al-Ma’ad

4
(permulaan dan pengembalian), mofatih Al-Gaib (kunci alam gaib), Kitab Al-
masya’ir (kitab penembus metafisika), Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan),
mutasyabihat Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran), Al-qada wa
Al-Qadar fi Af’ali Al-basyar (kada dan kadar dalam perbuatan manusia), Asy-
syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manhij As –Suluqiyah (penyaksian illahi akan jalan
kearah kesederhanaan rohani), sarh-i Safa, Sarh-i Hikmah Al-isra, Attihad Al-
‘aqqu’il wa Al-ma’qul, Ittisaf Al-Mahiyyah bil Wujud, at – tasakhkhus, Sarayan
Nur Wujud, limmi’yya Ikhtisas Al-Mintaqah, Khalq Al-A’mal, Zad Al-Musafir,
Isalat –i Ja’l – i wujud, Al – hasriyyah, Al-alfaz Al – Mufradah, Radd-i Subahat-i
Iblis, At-Tanqih, At- Tasawur wa At-Tasdiq, Diwan Sih’r.
C. Filsafat Mulla Sadra
1. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang
sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti
prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime
Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab
filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut
metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa
setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola
perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang
benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan
kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka
Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini.
Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer
dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan,
sedangkan esensi dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina,
eksistensi dan esensi ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang
nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi .
Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu
yaitu Tuhan. Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam
pengetahuannya

5
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari esistensi,
sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas
yang sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada
bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu
sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya
atau kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas,
tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan
Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak
Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-
benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi
yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio,
karena rasio hanya mampun menangkap esensi atau gagasan umum. Karena
itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi Shadra,
eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi adalah
gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun
demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai
cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental
yang abstrak pasti mengandung kesalahan
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya
terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua
aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman
intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya
antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung,
seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan
dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga
kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan
bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis
adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis
sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang
bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia

6
dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan
konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan
atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan
pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-
pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen
rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi.
Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan
menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis
mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui
keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang
bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam
keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.
2. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi
benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun
demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi
mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu
mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak
hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga.
Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai
kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah
pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-
Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa
besar antara teologi, filsafat dan mistik.
Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu
realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan
bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang
beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu
dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah
kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan
konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah
al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.

7
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni
kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam
filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya.
Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya
bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.
3. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)
Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan
orsinil Mulla Shadra terhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian
lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis
tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi
tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-
prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa
substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat
kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-
aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi,
juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak,
dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti
dan berjalan terus menerus.
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al-
Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka
berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden;
kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn).
Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori
akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat
menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia
sudah berubah menjadi yang lain.
Mulla Shadra berpendapat bahwa disamping perubahan pada empat
kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa
dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu
kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda,
kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami
perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi,
maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga.

8
Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama
yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan
berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla
Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen
dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut
ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam
bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya
sebagai tempat kebaruannya.
4. Filsafat Jiwa
Mulla shadra sebagaimana Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai
Entelenchy badan. Oleh sebab itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula,
jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi . untuk menyatakan
bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan menyakini
adanya praeksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan Mulla shadra menolak
pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep
Realisional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa
sejak lahir berada dalam satu materi, kejiwaannya tidak dapat diartikan
sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas, maka
tidak mungkin untuk meyatukan jiwa dengan badan.
Sedangkan menurut Shadra , jiwa itu bersandar pada prinsip dasar yang
disebut perubahan subtantif (istihala jauhariyyah). Pada umumnya, jiwa itu
bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya (jismaniyat
Al- hudus ruhaniyat al-baqa’) artinya manakala jiwa muncul atas landasan
materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan
prinsip perubahan subtansif ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi
dari landasan dimana jiwa berada. Oleh sebab itu dalam bentuk kehidupan
yang paling rendah sekalipun, seperti tumbuh-tumbuhan yang bergantung
pada materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrumen dan merupakan
langkah pertama untuk perpindahan dari alam materi menuju alam spiritual.
Sadra menegaskan bahwa badan sebagaimana ia akan “dibangkitkan “secara
identik adalah sama dengan badan, pada titik ini sadra menduduki posisi
yang sama dengan Al-Ghazali dan mencela pandangannya tentang
kebangkitan badan sebagai varian dari perpindahan jiwa.

9
5. Filsafat pengetahuan atau Epistimologi
Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau
pengetahuan : jalan wahyu, jalan inteleksi (ta’aaqul), dan jalan musyahdah
dan mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata hati)
dengan menggunakan istilah lain. Mulla sadra menyebut jalan tersebut
sebagai jalan al-Quran, jalan Al-Burhan, dan jalan Al-irfan. Istilah husuli
(konseptual) tersebut merupakan kunci penting memahami teori
pengetahuan mulla sadra . dalam teori pengetahuannya, Mulla sadra
membagi pengetahuan menjadi dua jenis yaitu pengetahuan husuli atau
konseptual dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini
menyatu dalam diri seseorang yang telah mencapai pengetahuan
berperingkat tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra berkaitan erat
dengan idenya tentang wahdah (unity), asalah (principality), tasykik
(gradation) dan ide perubahan substantif.
Bagi sadra filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama yaitu
bersifat teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya. bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian
kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Mulla sadra memandang adanya titik
temu antara filsafat dan agama sebagai satu bangunan kebenaran ia
membuktikannya melalui pelacakan atas jejak-jejak kesejarahan manusia
dan membentangkan seluruh faktanya. Menurut sadra ditiap tempat dalam
kurun waktu tertentu selalu ada sosok yang bertanggung jawab dalam
menyebarkan kebijakan (hikmah). Jika dikaitkan dengan teori
pengetahuannya tampak bahwa titik pusat flsafat mulla sadra ialah
pengalaman makrifat (al-irfan) tentang wujud sebagai hakikat atau
kenyataan tertinggi. Bagi mulla sadra bukan keberadaan benda itu yang
penting, melainkan penglihatan bathin subjek yang mengamati alam
keberadaan atau kewujudan.
6. Filsafat ketuhanan (metafisika)
Gagasan mulla sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan ketuhanan
yang dimiliki oleh Al-Farabi dan ibnu Sina. Mulla sadra berpendapat bahwa
ketidak butuhan dan kesempurnaan esensi tuhan tak cukup dengan
menegaskan kekadiman dan kemanunggalan esensi tuhan dan wujud. Dalam

10
pandangannya teori bahwa tuhan yang merupakan wujud murni dan basit,
bukan dalil atas keniscayaan dan ketidakbutuhan mutlak tuhan. Teori ini tak
lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud hakiki,
bukan maujud majasi. Dalam sistem metafisika hikmah Muta’aliyyah dengan
berpijak pada teori kehakikian wujud, wujud Tuhan ditegaskan sebagai
wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas, sedangkan makhluk merupakan
suatu wujud yang berintensitas rendah , membutuhkan dan mustahil
menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, karen itu dia harus bergantung
pada wujud mutlak. Mulla sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak
memiliki kesempurnaan dan zatNya menyatu secara hakiki dengan sifatNya.
Perbedaan tuhan dengan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang
memiliki batasan dan garis pemisah. Tapi perbedaan keduanya terletak pada
kesempurnaan Tuhan dan kekurangan Makhluk, kekuatanNya dan
kelemahannya. Oleh sebab itu perbedaan antara keduanya bukan perbedaan
yang saling berhadapan, tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi “ dan “
meliputi”. Dengan ungkapan lain segala wujud selainNya merupakan suatu
rangkaian gradasi dan manifestasi cahaya Zat dan SifatNya bukan sebagai
realitas-realitasyang mandiri dan berpisah secara hakiki dari WujudNya.
Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas
kemajemukan keduanya. Menurut Mulla sadra, pemahaman Tauhid seperti
itu merupakan tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimliki oleh para
monoteis sejati.1
D. Pengeritik Filsafat Mulla Sadra
Ontologi merupakan persoalan yang sangat penting dan fundamental yang
muncul dalam filsafat islam dengan sejarah yang panjang. Berbicara tentang
“keberadaan” menjadi unsur penting yang berkaitan langsung dengan aqidah dan
ketuhanan secara filosofis.
Pembahasan tentang Ontologi dalam Filsafat Islam semakin mendalam ketika
muncul pembedaan antara mahiyyah dan wujud yang ada pada masa ibnu sina
melahirkan dua aliran besar yaitu : pendukung prinsip Keunggulan Esensi

1 Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam. Bandung : Risalah. hlm 24-35

11
(ashalatul al-mahiyah), yang memandang bahwa hanya mahiyah (esensi) yang
lebih mendasar (ashil), sedangkan wujud adalah I’tibari, dan aliran pendukung
prinsip Keunggulan Existensi/Wujud (ashalatal-wujud), yang berpendirian
sebaliknya, yaitu bahwa wujudlah yang mendasar dan mahiyah hanyalah bersifat
I’tibari.
Dengan prinsip “ashalatul -mahiyyah” suhrawardi ingin menekankan bahwa
perbedaan secara konsep bukan berarti berbeda dalam realitas. Dua hal yang secara
konseptual dapat berbeda satu sama lain bukan berarti pasti berbeda (dalam
realitas), sebagaimana perbedaan antara mahiyyah dan wujud hanya dalam pikiran
sebagai analisis konseptual, sedang dalam dunia eksternal (realitas) dua hal tersebut
adalah sama.
Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai
konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya, ada atau
mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam
Daras filsafat Islam, subjek filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud
mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi ma huwa maujud). Begitu jelasnya
mafhum wujud, maka la tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) clan
diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud
itu sendiri. Secara konseptual, mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat jelas dan
bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa
dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh Manzumahnya berkata: Its (wujud’s)
notion is one ofthe best-known things, But its deepest reality is in the extremity of
hiddenness.Hal ini mengingat bahwa untuk mendefinisikan suatu objek diperlukan
suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang wujud
adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam benak.
Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-
maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan
bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan
mengenai masalah ini sebenarnya mulai merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan
pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Ibnu Sina mengatakan
bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu (united) yang kemudian
disebut sebagai maujud (eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai
maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah
(quiditas).

12
Perdebatan yang sangat sengit antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah yang
diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh
Mulla Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai
sifat umum segala yang ada, yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki
realitas sebagai konsep sekunder yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas
yang ada. Ia hanyalah konsep dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata
suhrawardi selanjutnya, kita menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang
sebenarnya, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab,
apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain
yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan
berakhir atau mengalami regresi yang infinite.
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil
adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya
wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun
ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni
simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam seluruh celah-celah apa yang
disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di
hadapan kita tidak lebih dari pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan
bentangan wujud itu sendiri.2

2 Khudori, Sholeh. 2016. Filsafat Islam. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. hlm 174-195

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar
jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya
sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan
mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-
Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara
aliran filsafat yang ada.
Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil
kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam,
kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi
intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan
harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui
sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau
yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam
arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat
dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang
mendahuluinya.
Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu:
iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ),
dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat
menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan
(mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya
hikmah
B. Saran
Sebagai penyusun, penulis merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, saya mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar penulis dapat
memperbaiki makalah yang selanjutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam. Bandung : Risalah.

Khudori, Sholeh. 2016. Filsafat Islam. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.

15

Anda mungkin juga menyukai