Anda di halaman 1dari 13

FILSAFAT JIWA MENURUT MULLA SADRA

Dewi Apriliani, Rizkia Hidayati, Sharifah Ardelia


dewiapriliani22az@gmail.com rzkiahdyati@icloud.com sharifahardelia3@gmail.com

Abstrak

Jiwa adalah pembahasan yang sangat kompleks dan juga bersifat metafisik. Jiwa tidak
bisa dipahami oleh daya sensorik saja, jiwa harus bisa dipahami melalui beberapa perspektif
keilmuan. Perspektif keilmuan tersebut itu nantilah yang akan membawa kita pada
pemahaman yang kompleks mengenai jiwa. Diskursus soal jiwa ini mengingatkan pada filsuf
muslim yang mempunyai kontribusi pikiran untuk memberikan perspektifnya soal jiwa,
diantara filsuf muslim tersebut diantaranya Al-Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibn
Thufail, Mulla Sadra dan lainnya. Namun, dalam tulisan ini penulis akan mengambil
perspektif Mulla sadra. Mulla sadra mempersepsikan bahwa perkembangan jiwa itu bergerak
melalui gerak substansi, mempunyai tingkatan yang beragam untuk mencapai kesempurnaan
dan terbebas dari pikiran-pikiran yang bersifat material dan kehidupan yang abadi. Jiwa
manusia memang berada dari badan akan tetapi jiwa memiliki substansi spiritual untuk
mencapai level tertentu untuk tidak membutuhkan tubuh lagi. Dalam perspektif Mulla sadra
jiwa itu adalah aspek yang membawa kesempurnaan. Kesempurnaan tersebut membuat
menjadi ada secara aktual. Mulla sadra mengkategorialkan kesempurnaan jiwa menjadi dua,
yaitu kesempurnaan primer dan sekunder. Kebahagian hakiki dalam perspektif filsuf muslim
adalah kesempurnaan eksistensi jiwa yang mengoptimalkan daya teoritis dan praktisnya
sampai bisa untuk melepaskan dirinya dari hal-hal yang bersifat materi (duniawi).

Kata Kunci: Mulla Sadra, Jiwa

Abstract

Soul is an extremely complex discussion and also metaphysical. Soul cannot be


understood by sensory power, soul must be understood through several scientific
perspectives. The scientific perspective is later what will bring us to complex understanding
of life. Discourse on this soul reminds the Muslim philosopher, which has a contribution of
mind to contribute his perspective to the soul, among the Muslim philosophers including Al-
Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Thufail, Mulla Sadra and others. However, in this
writing the author will take a Mulla sadra perspective. Mulla sadra perceiving that the
mental development is moving through substance movement, has a diverse level to achieve

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 1


perfection and free from thoughts that are material and eternal life. The human soul is
indeed from the body but the soul has a spiritual substance to reach a certain level not to
need the body again. In a Mulla Sadra perspective, it is an aspect that brings perfection. This
perfection makes you become in actual. Mulla sadra categorizes the perfection of soul into
two, namely primary and secondary perfection. Happiness rights in the Muslim philosopher
perspective is the perfection of the soul that optimizes the theoretical and practical power so
that they can to release themselves from material (worldly).

Keywords: Mulla Sadra, Soul

PENDAHULUAN

Dalam sejarah Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog
(mutakallimun) menggunakan filsafat untuk membela iman dari serangan para cendikiawan
Yahudi dan Kristiani, yang saat itu lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosofnya,
mencoba membuktikan, bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat mereka, tidak bertentangan
dengan ajaran iman. Mereka berusaha memadukan ketegangan antara agama- syari’ah dan
filsafat, antara iman dan akal.1Pada masa lalu, minat dunia Barat mempelajari Filsafat Islam
terpusat pada pengaruh aktif yang diberikan oleh para filosof muslim terhadap pembentukan
historis filsafat Skolastik Kristen Abad Pertengahan. Untuk meneliti secara historis ide-ide
filosofis para pemikir besar seperti Thomas Aquinas (1225-1274 M) dan Duns Scotus (1266-
1308 M ), paling tidak harus diketahui secara akurat dan terperinci dua filosof muslim
terkenal, yaitu Ibn Sina (370-428 H/980-1037 M) dan Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198 M).
Akan tetapi, sejarah filsafat Islam dari perspektif tersebut secara praktis berakhir dengan
kematian Ibn Rusyd, sehingga meninggalkan kesan kepada para pembacanya bahwa filsafat
Islam juga berakhir ketika filosof besar Islam tersebut wafat. Sebenarnya, yang berakhir
adalah pengaruh yang diberikan oleh filsafat Islam terhadap proses pembentukan filsafat
Barat. Dengan kematian Ibn Rusyd, memang filsafat Islam berakhir bagi dunia Barat, tetapi
tidak berarti di belahan Timur juga demikian. Tradisi filsafat tipe hikmah yang berkembang
di Persia tersebut menghasilkan sejumlah pemikir terkemuka dan karya-karya yang bernilai
tinggi. Ke atas, bisa ditelusuri kembali melewati dinasti Safawi sampai ke Ibn Sina, dan ke
bawah bahkan sampai abad sekarang ini. Di antara sejumlah pemikir tersebut, tampil seorang
figur yang paling menonjol dan menempati posisi paling terkemuka di kalangan Islam Syi’ah,
yaitu Sadr al-Din al-Syirazi, yang lebih populer dan lebih dikenal dengan sebutan Mulla

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 2


Shadra. Selanjutnya, tulisan ini akan membahas tentang Mulla Shadra sekitar biografi
singkat, karya, epistemologi, tentang jiwa dan argumentasi jiwa.

A. Biografi Mulla Sadra

Sadru al-Dien Muhammad ibn Ibrahim al-Syirâzi al-Qawâmi atau lebih dikenal
dengan sebutan Mulla Sadra.Di kalangan muridnya, dia lebih dikenal sebagai Shadr Al-
Mutha’allihin. Dinamakan demikian karena ketinggian tingkat pengetahuannya tentang
hikmah. Beliau adalah salah seorang filosof yang paling dihormati dalam Islam,
khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang ini. Ia dilahirkan di Syiraz sebuah
kota yang paling terkenal di Iran, di kawasan sekitar Persepolis pada tahun 979 H/1571 M
dan meninggal pada umur 71 tahun pada tahun 1050 H saat keberangkatan (dan atau masa
kepulangan dari ) menunaikan ibadah haji yang ke tujuh kali dengan berjalan kaki dan di
kuburkan di Basrah.
Ia berasal dari keluarga yang berada, ayahnya bernama Ibrahim ibn Yahya al-
Qawâmi adalah seorang cendekiawan dan politisi yang sangat beriman, kaya dan
memegang posisi tinggi di pemerintahan Persia. Kelahiran Shadrâ bagi kedua orang
tuanya merupakan sebuah penantian yang panjang sekaligus menjadi putera semata
wayang.
Ia adalah tokoh filsuf Islam yang berhasil mengintegrasikan empat aliran filsafat
seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, ‘irfan (mistisme Islam) dan tradisi Islam.
Dan Ia juga merupakan filosof pertama yang membawa susunan dan keserasian lengkap
ke dalam pembahasan-pembahasan mengenai masalah-masalah filsafat.Ia menyusun dan
mengatur persoalan-persoalan itu sebagai persoalan matematika dan pada waktu yang
sama dia memadukan ilmu filsafat dengan ilmu makrifat.Ia memberikan metode filsafat
yang baru dalam membahas dan memecahkan ratusan persoalan, di mana persoalan
tersebut tidak dapat diselesaikan dengan filsafat Peripatetika, yaitu sistem filsafat yang
dikembangkan oleh Aristoteles.Pendapat-pendapatnya yang dimilikinya lebih
berpengaruh dalam pemikiran Islam dibandingkan dengan para ahli kalam, sekalipun dia
bukanlah seorang ahli kalam.
Keistimewaan Sadrâ sudah terlihat sejak kecil, ia sangat cerdas, tegas, energik,
tekun, dan memiliki keingintahuan yang besar. Potensi dan kelebihan Shadra kecil
sangatlah sepadan dengan fasilitas belajar yang disediakan oleh orangtuanya yang
tergolong aristocrat. Berkat potensi dan berbagai fasilitas belajar yang dimiliki ia dapat
menguasai semua pelajaran yang berhubungan dengan sastra Persia dan Arab, serta seni

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 3


kaligrafi, dalam waktu yang sangat singkat.Tidak sebatas itu, tradisi lama pada zamannya
juga mengharuskan ia belajar berkuda, berburu, dan teknik berkelahi. Shadrâ juga lebih
cepat dari usianya untuk mempelajari dan menguasai matematika, astronomi, kedokteran
(dalam bidang-bidang tertentu), usul fiqh, hukum Islam, logika. Sadra muda telah
memperoleh sesuatu dalam semua bidang pengetahuan, terutama ia tertarik pada filsafat
khususnya dalam ilmu gnosis. Hal ini terdokumentasikan dalam catatan-catatan yang
tertulis dari masa mudanya yang menunjukkan secara umum minatnya pada literatur
gnostik, dan puisi-puisi Persia. Syiraz sebagai kota kelahiran Mulla Sadra juga sekaligus
menjadi kota pertama perjalanan pendidikan masa kanak-kanaknya dimulai.
Perpindahannya ke Qazwin mengikuti tempat tugas ayahnya di kementrian, hingga
sebagian besar pendidikannya diselesaikan di sana. Ia juga mengunjungi Isfahan setelah
ayahnya wafat untuk memperdalam dan mengembangkan pengetahuannya. Isfahan tidak
mengecewakan bagi Mulla Shadra, karena di sini ia menjumpai beberapa orang mursyid
yang memberikan pengaruh mendalam terhadap dirinya. Disini ia belajar dan mendalami
pengetahuan pada tokoh-tokoh terkemuka saat itu yaitu Baha’ al-Din al-Amili, Mir
Damad dan Mir Abu al-Qasim Findirishi. Di bawah bimbingan para mursyid tersebut,
Mulla Sadra dengan cepat menjadi tokoh yang berwibawa dalam bidang ilmu keislaman
dan kemudian mencari peringkat yang melebihi gurunya sendiri.
Masa Mengajar dan Menulis berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur
Syiraz, Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di kota itu.
Memenuhi panggilan itu, Mulla Sadra kembali ke kota kelahirannya untuk mendidik
sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya menarik perhatian pelajar dari jauh dan dekat
dan menjadikan Syiraz kembali sebagai sebuah kota pusat ilmu seperti dulu. Pusat Kajian
Khan atau Madrasah Khan menjadi sangat masyhur hingga ia menarik perhatian
pengembara luar. Thomas Herbert, pengembara abad ke-1 1 H / 17 M yang pernah
melawat ke Syiraz semasa hidup Sadra, menulis bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang
mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia dan matematika yang menyebabkannya
termasyhur di seluruh Persia.
Dalam karirnya sebagai guru, Mulla Sadra telah berhasil melahirkan sejumlah
murid terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam aktivitas filosofis di Persia
pada periode berikutnya. Ada dua murid yang paling terkemuka yang perlu disebutkan
karena karya-karya mereka masih tetap dikaji hingga kini yaitu Mulla Abdul Razzaq
Lahiji dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani.

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 4


B. Karya-karya Mulla Shadra

Menurut Tabataba’i sebagai dikutip Nasr, karya Mulla Shadra tidak kurang dari
46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetap Fazlur Rahman
menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karya tersebut telah
dipublikasi semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu
saja yang belum dipublikasi.
Sebagai penerus aliran isyraq dan penyempurna berbagai aliran filsafat Islam
sebelumnya, tentu saja hal tersebut memberi dampak terhadap kuantitas karya Mulla
Shadra. Penulis sajikan karya-karya besar dari seseorang Mulla Shadra lebih dari 20
karya yang ditulisnya, sebagai berikut:
1. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah (teosofi transendental
yang membicarakan empat perjalanan akal pada jiwa).
2. Al-Hasyr (tentang kebangkitan).
3. Al-Hikmah Al-‘Arsyiyah (hikmah diturunkan dari ‘Arsy Ilahi).
4. Hunduts Al-‘Alam (penciptaan alam).
5. Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala
jahiliyah dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi ahli Sufi).
6. Kalq Al-A’mal (buku ini membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia).
7. Al-Lama’ah Al-Masyriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyyah (percikan cahaya
illuminasionis dalam seni logika).
8. Al-Mabda’wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).
9. Matafih Al-Ghaib (kunci alam gaib).
10. Kitab Al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika).
11. Al-Mizani (tentang perilaku perasaan).
12. Mutasyabihat Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an), membicarakan
ayat-ayat Qur’an yang sukar dipahami dan metafosis dari sudut gnosis.
13. Al-Qadha wa Al-Qadar Fi Af’ali Al-Basyar (tentang masalah Qadha dan Qadar dalam
perbuatan manusia).
14. Asy-Syawahid Ar-Rububiyah Fi Al-Manahij As-Sulukiyah (Penyaksian Ilahi akan
jalan kea rah kesederhanaan rohani) adalah ringkasan doktrin-doktrin Mulla Shadra
yang paling lengkap yang ditulis berdasarkan tinjauan gnosis.
15. Sharh-i Shafa.
16. Sharh-I Hikmat Al-Ishraq.

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 5


17. Ittihad Al-‘aquil wa’l-Ma’qul.
18. Ajwibah Al-Masa’il.
19. Ittisaf Al-Mahiyyah bi’l wujud.
20. At-Tashakhus.
21. Sarayan Nur Wujud.
22. Limmi’yya ikhtisas Al-Mintaqah.
23. Khalaq Al-A’mal.
24. Zad Al-Musafir.
25. Isalat-i Ja’l-I Wujud.
26. Al-Hashriyyah.
27. Al-alfaladz Al-Mufradah.
28. Radd-i Shubahat-I Iblis.
29. At-Tanqih.
30. At-Tasawwur wa’l-Tasdiq.
31. Diwan Shi’r.
C. Filsafat pengetahuan atau Epistimologi
Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau
pengetahuan, yaitu jalan wahyu, jalan inteleksi (ta’aaqul), dan jalan musyahdah dan
mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata hati) dengan menggunakan
istilah lain. Mulla sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-Quran, jalan Al-Burhan,
dan jalan Al-irfan. Istilah husuli (konseptual) tersebut merupakan kunci penting untuk
memahami teori pengetahuan mulla sadra. Dalam teori pengetahuannya, Mulla sadra
membagi pengetahuan menjadi dua jenis, yaitu pengetahuan husuli atau konseptual dan
pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini menyatu dalam diri seseorang
yang telah mencapai pengetahuan yang tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra
berkaitan erat dengan idenya tentang wahdah (unity), asalah (principality), tasykik
(gradation) dan ide perubahan substantif. Menurut sadra wujud atau realitas itu hanyalah
satu yang membentuk hierarki dari debu hingga singgasana illahi. Tuhan sendiri adalah
wujud mutlak yang menjadi titik wujud permulaan itu.
Bagi sadra filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama: (1) bersifat teoritis,
yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya.(2) bersifat
praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Mulla sadra
memandang adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai satu bangunan kebenaran
ia membuktikannya melalui pelacakan atas jejak-jejak kesejarahan manusia dan

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 6


membentangkan seluruh faktanya. Menurut sadra ditiap tempat dalam kurun waktu
tertentu selalu ada sosok yang bertanggung jawab dalam menyebarkan kebijakan
(hikmah). Jika dikaitkan dengan teori pengetahuannya tampak bahwa titik pusat flsafat
mulla sadra ialah pengalaman makrifat (al-irfan) tentang wujud sebagai hakikat atau
kenyataan tertinggi. Bagi mulla sadra bukan keberadaan benda itu yang penting,
melainkan penglihatan bathin subjek yang mengamati alam keberadaan atau kewujudan.

D. Filsafat Jiwa

Mulla Sadra sebagaimana Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai Entelenchy badan.


Oleh sebab itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula, jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan
bebas dari materi. untuk menyatakan bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah
dengan menyakini adanya praeksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan Mulla sadra menolak
pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep Realisional dan
bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak lahir berada dalam satu
materi, kejiwaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa
memiliki eksistensi bebas, maka tidak mungkin untuk meyatukan jiwa dengan badan.

a. Jiwa Menurut Mulla Sadra

Jiwa itu bersandar pada prinsip dasar yang disebut perubahan subtantif (istihala
jauhariyyah). Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual
selamanya (jismaniyat Al- hudus ruhaniyat al-baqa’) artinya manakala jiwa muncul atas
landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip
perubahan subtansif ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi dari landasan jiwa
berada. Oleh sebab itu dalam bentuk kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti
tumbuh-tumbuhan yang bergantung pada materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrumen
dan merupakan langkah pertama untuk perpindahan dari alam materi menuju alam spiritual.
Sadra menegaskan bahwa badan sebagaimana ia akan istihala “dibangkitkan “secara identik
adalah sama dengan badan, pada titik ini sadra menduduki posisi yang sama dengan Al-
Ghazali dan mencela pandangannya tentang kebangkitan badan sebagai varian dari
perpindahan jiwa.

b. Jiwa Kesempurnaan

Defenisi jiwa menurut Mulla Sadra adalah Kesempurnaa primer bagi raga natural
yang menggunakan instrument dalam aktivitasnya. Kesempurnaan yang dimaksud adalah

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 7


factor penentu aktualisasi Bagi raga, sebab raga tidak memiliki kemampuan menyempurna
tanpa adanya jiwa. Mulla Sadra mengatakan bahwa jiwa merupakan kesempurnaan primer
bagi raga materi yang mana raga melakukan aktifitasnya dengan properti yang ada pada jiwa.
Defenisi lain dari jiwa yaitu jiwa adalah substansi yang secara esensinya imateri dan dalam
aktualitasnya terikat pada materi. Jiwa yang pada awalnya merupakan badan (jism) menjadi
jiwa tumbuhan (al- nafs al nabatiyah) kemudian menjadi jiwa hewan (al-nafs
alhayawaniyah)dan akhirnya menjadi jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah). Sperma manusia
awalnya merupakan mineral tapi secara potensial merupakan tumbuhan. Setelah bertemu
dengan ovum maka berkembang menjadi rahim dan berubah menjadi tumbuhan secara actual
dan berpotensi untuk menjadi hewan. Saat lahir ia berubah menjadi hewan dan berpotensi
menjadi manusia.

Pada perkembangan selanjutnya ia berubah menjadi manusia dan berpotensi untuk


menjadi malaikat atau setan. Menurut Mulla Sadra tingkatan perkembangan jiwa tersebut
bergerak melalui gerak substansi, melintas beragam level dan tingkatan wujud hingga
akhirnya mencapai kesempurnaan, terbebas dari materi dan menikmati kehidupan abadi.
Jadi meskipun jiwa manusia berasal dari badan akan tetapi ia memiliki substansi spiritual
dan melalui gerak substansi mampu mencapai level tertentu yang tidak membutuhkan
badan lagi. Aspek yang menjadi tumpuan dalam mendefenisikan jiwa adalah aspek
kesempurnaan. Kesempurnaan berarti apa yang menjadi sesuatu ada secara actual.
Kesempurnaan terbagi menjadi dua yakni kesempurnaan primer dan kesempurnaan
sekunder. Mulla Sadra membatasi aspek general jiwa sebagai kesempurnaan primer.
Batasan kesempurnaan primer adalah untuk mengeluarkan kesempurnaan sekunder, yang
mana kesempurnaan sekunder tidak akan actual tanpa kesempurnaan primer.
Kesempurnaan Primer ini yaitu apa saja yang mengaktual setelah jiwa mengaktual.
Seperti pengetahuan manusia yang aktual setelah jiwa memiliki kesiapan untuk
mengetahui melalui daya- dayanya. Sedangkan untuk memperoleh kesempurnaan
sekunder jiwa mengaktual melalui instrument dalam aktifitasnya pada raga natural. Jiwa
beraktifitas dengan raga natural menggunakan instrument. Ada dua makna instrument.
Pertama organ seperti:tangan, hidung, mata, otak dan lainnya. Kedua yaitu sebagai daya
yang menggerakkan organ seperti indra penciuman, indra penglihatan dan lainnya.
Kebahagiaan hakiki dalam pandangan filsuf muslim terkandung dalam kesempurnaan
eksistensi jiwa yang mengoptimalkan daya teoritis dan daya praktis sampai ia bisa
melepaskan dirinya dari hal- hal yang bersifat materi. Kebahagiaan sejati sangat

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 8


tergantung pada bagaimana jiwa manusia bergerak aktif menuju kesempurnaanya.
Semakin tinggi eksistensi jiwa yang kesempurnaan maka semakin tinggi pula
kebahagiaannya. Menurut Mulla Sadra kebahagiaan dapat tercapai dengan penyucian diri
melalui perenungan dan pertimbangan pengetahuan. Upaya penyucian jiwa ini penting
karena penderitaan yang dirasakan oleh manusia di sebabkan oleh tindakan- tindakan
maksiat akibat ketidaktaatan. Hal ini bisa terjadi karena tunduknya daya intelektual
kepada daya-daya lain yang lebih rendah yaitu syahwat, amarah dan nafsu.
E. Substansial Jiwa
Beberapa argumentasi untuk membuktikan substansial jiwa:
1. Beragam efek yang keluar seperti tumbuh, bergerak dan sebagainyan dari beragam
makhluk baik manusia, hewan dan tumbuhan bukanlah sesuatu yang berada diluar
dirinya melainkan berasal dari dalam diri makhluk tersebut.
2. Mulla Sadra membuktikan substansial jiwa meelalui ilmu hiduri. Persepsi terhadap
sesuatu adalah sampainya forma objek pada diri subjek. Jika subjek mempersepsi
dirinya sendiri maka pastilah ketika persepsi itu terjadi dia tidak membutuhkan ruang
tertentu (sebagai media bagi munculnya diri sebagai objek persepsi) akan tetapi
berdiri pada dirinya sendiri. Jika persepsi hadir diruang tertentu maka forma dirinya
tidak akan hadir pada ruang tersebut karena keberadaan objek yang menempati selalu
terikat pada ruang yang ditempati dan hal ini bertentangan dengan apa yang telah
ditetapkan.

F. Filsafat Mulla Sadra

a. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama,
memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya.
Seperti munculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut
dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla
Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)

Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap
wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi
dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara
mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan”
(apperiance) belaka

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 9


Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi tentang esensi lebih
fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang
merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain
dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya (Tuhan). Cahaya itu hanya satu
sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau
kebenderangannya, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil
pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu
Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra, benda-benda disekitar
kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti
eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa
ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi atau gagasan umum.
Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi Sadra,
eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi adalah gambaran umum
tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum
tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena
transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap


wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan
spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi
mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan
pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa
sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah
juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa
sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah kebenaran
yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang
bersifat kognitif. Pengalaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan
penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif
dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.

b. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak
menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 10


solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra,
dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak
terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub
Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan
kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut
Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat, dan
mistik.

Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas


tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini
berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam
secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang
ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda
dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-
syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.

Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni
kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat
Suhrawardi hanya ditopang satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah
tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana
dalam gradasi wujud.

c. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)

Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil


Mulla Shadra terhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari
pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari
eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan
bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima
bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan
sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan
kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut
Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan
pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.

Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah)


melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 11


terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisi
(wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat
kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat
menetapkan judgment tentangnya.

Mulla Sadra berpendapat bahwa di samping perubahan pada empat kategori


aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal
perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel
kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat
juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi
substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga.
Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang
immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu
non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari
dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi
keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan
akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya
sebagai tempat kebaruannya.

Kesimpulan

Mulla Sadra atau dikenal dengan Shadr Al-Mutha’allihin di kalangan muridnya


karena ketinggian tingkat pengetahuannya tentang hikmah. Beliau adalah salah seorang
filosof yang paling dihormati dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim
sekarang ini. Keistimewaan Sadra sudah terlihat sejak kecil, ia sangat cerdas, tegas,
energik, tekun, dan memiliki keingintahuan yang besar. Dalam karirnya sebagai guru,
Mulla Sadra telah berhasil melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan
penting di dalam aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Mulla Sadra
menulis 20 karya lebih.

Defenisi jiwa menurut Mulla Sadra adalah Kesempurnaa primer bagi raga natural
yang menggunakan instrument dalam aktivitasnya. Mulla Sadra sendiri menetapkan tiga
jalan utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan, yaitu jalan wahyu, jalan
inteleksi, dan jalan musyahdah dan mukasyafah. Bagi sadra, filsafat dapat dibedakan
menjadi dua bagian utama yaitu bersifat teoritis dan bersifat praktis. Filsafat Mulla Sadra

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 12


terbagi menjadi tiga yaitu Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud), Gradasi Wujud
(tasykik al-wujud), dan Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah).

Daftar Pustaka
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. 2005. Jakarta: Gaya Media Pratama

Praja, Juhaya. Filsafat Islam. 2009. Bandung: CV. Pustaka Setia

Nurkhalis. Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadr. 2011. Jurnal Substantia, Vol 13
No. 2

Fajar, Dadang Ahmad. Jiwa Dalam Pandangan Filsafat Mulla Sadra. 2018. Jurnal Akidah dan
Filsafat Islam, Vol. 3, No. 1

Budiman, Syafni Hasri. Skripsi: Konsep Jiwa Menurut Mulla Sadra. 2021. Bukittinggi: IAIN
Bukittinggi

Ilwandi, Muhammad Syakib. Makalah Filsafat Islam: Mulla Sadra. 2015.


https://risnalilwandi.wordpress.com/2015/09/03/makalah-filsafat-islam-mulla-shadra/
diakaes pada 10 Desember 2022

Filsafat Jiwa Menurut Mulla Sadra 13

Anda mungkin juga menyukai