Abstrak
Jiwa adalah pembahasan yang sangat kompleks dan juga bersifat metafisik. Jiwa tidak
bisa dipahami oleh daya sensorik saja, jiwa harus bisa dipahami melalui beberapa perspektif
keilmuan. Perspektif keilmuan tersebut itu nantilah yang akan membawa kita pada
pemahaman yang kompleks mengenai jiwa. Diskursus soal jiwa ini mengingatkan pada filsuf
muslim yang mempunyai kontribusi pikiran untuk memberikan perspektifnya soal jiwa,
diantara filsuf muslim tersebut diantaranya Al-Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibn
Thufail, Mulla Sadra dan lainnya. Namun, dalam tulisan ini penulis akan mengambil
perspektif Mulla sadra. Mulla sadra mempersepsikan bahwa perkembangan jiwa itu bergerak
melalui gerak substansi, mempunyai tingkatan yang beragam untuk mencapai kesempurnaan
dan terbebas dari pikiran-pikiran yang bersifat material dan kehidupan yang abadi. Jiwa
manusia memang berada dari badan akan tetapi jiwa memiliki substansi spiritual untuk
mencapai level tertentu untuk tidak membutuhkan tubuh lagi. Dalam perspektif Mulla sadra
jiwa itu adalah aspek yang membawa kesempurnaan. Kesempurnaan tersebut membuat
menjadi ada secara aktual. Mulla sadra mengkategorialkan kesempurnaan jiwa menjadi dua,
yaitu kesempurnaan primer dan sekunder. Kebahagian hakiki dalam perspektif filsuf muslim
adalah kesempurnaan eksistensi jiwa yang mengoptimalkan daya teoritis dan praktisnya
sampai bisa untuk melepaskan dirinya dari hal-hal yang bersifat materi (duniawi).
Abstract
PENDAHULUAN
Dalam sejarah Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog
(mutakallimun) menggunakan filsafat untuk membela iman dari serangan para cendikiawan
Yahudi dan Kristiani, yang saat itu lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosofnya,
mencoba membuktikan, bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat mereka, tidak bertentangan
dengan ajaran iman. Mereka berusaha memadukan ketegangan antara agama- syari’ah dan
filsafat, antara iman dan akal.1Pada masa lalu, minat dunia Barat mempelajari Filsafat Islam
terpusat pada pengaruh aktif yang diberikan oleh para filosof muslim terhadap pembentukan
historis filsafat Skolastik Kristen Abad Pertengahan. Untuk meneliti secara historis ide-ide
filosofis para pemikir besar seperti Thomas Aquinas (1225-1274 M) dan Duns Scotus (1266-
1308 M ), paling tidak harus diketahui secara akurat dan terperinci dua filosof muslim
terkenal, yaitu Ibn Sina (370-428 H/980-1037 M) dan Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198 M).
Akan tetapi, sejarah filsafat Islam dari perspektif tersebut secara praktis berakhir dengan
kematian Ibn Rusyd, sehingga meninggalkan kesan kepada para pembacanya bahwa filsafat
Islam juga berakhir ketika filosof besar Islam tersebut wafat. Sebenarnya, yang berakhir
adalah pengaruh yang diberikan oleh filsafat Islam terhadap proses pembentukan filsafat
Barat. Dengan kematian Ibn Rusyd, memang filsafat Islam berakhir bagi dunia Barat, tetapi
tidak berarti di belahan Timur juga demikian. Tradisi filsafat tipe hikmah yang berkembang
di Persia tersebut menghasilkan sejumlah pemikir terkemuka dan karya-karya yang bernilai
tinggi. Ke atas, bisa ditelusuri kembali melewati dinasti Safawi sampai ke Ibn Sina, dan ke
bawah bahkan sampai abad sekarang ini. Di antara sejumlah pemikir tersebut, tampil seorang
figur yang paling menonjol dan menempati posisi paling terkemuka di kalangan Islam Syi’ah,
yaitu Sadr al-Din al-Syirazi, yang lebih populer dan lebih dikenal dengan sebutan Mulla
Sadru al-Dien Muhammad ibn Ibrahim al-Syirâzi al-Qawâmi atau lebih dikenal
dengan sebutan Mulla Sadra.Di kalangan muridnya, dia lebih dikenal sebagai Shadr Al-
Mutha’allihin. Dinamakan demikian karena ketinggian tingkat pengetahuannya tentang
hikmah. Beliau adalah salah seorang filosof yang paling dihormati dalam Islam,
khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang ini. Ia dilahirkan di Syiraz sebuah
kota yang paling terkenal di Iran, di kawasan sekitar Persepolis pada tahun 979 H/1571 M
dan meninggal pada umur 71 tahun pada tahun 1050 H saat keberangkatan (dan atau masa
kepulangan dari ) menunaikan ibadah haji yang ke tujuh kali dengan berjalan kaki dan di
kuburkan di Basrah.
Ia berasal dari keluarga yang berada, ayahnya bernama Ibrahim ibn Yahya al-
Qawâmi adalah seorang cendekiawan dan politisi yang sangat beriman, kaya dan
memegang posisi tinggi di pemerintahan Persia. Kelahiran Shadrâ bagi kedua orang
tuanya merupakan sebuah penantian yang panjang sekaligus menjadi putera semata
wayang.
Ia adalah tokoh filsuf Islam yang berhasil mengintegrasikan empat aliran filsafat
seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, ‘irfan (mistisme Islam) dan tradisi Islam.
Dan Ia juga merupakan filosof pertama yang membawa susunan dan keserasian lengkap
ke dalam pembahasan-pembahasan mengenai masalah-masalah filsafat.Ia menyusun dan
mengatur persoalan-persoalan itu sebagai persoalan matematika dan pada waktu yang
sama dia memadukan ilmu filsafat dengan ilmu makrifat.Ia memberikan metode filsafat
yang baru dalam membahas dan memecahkan ratusan persoalan, di mana persoalan
tersebut tidak dapat diselesaikan dengan filsafat Peripatetika, yaitu sistem filsafat yang
dikembangkan oleh Aristoteles.Pendapat-pendapatnya yang dimilikinya lebih
berpengaruh dalam pemikiran Islam dibandingkan dengan para ahli kalam, sekalipun dia
bukanlah seorang ahli kalam.
Keistimewaan Sadrâ sudah terlihat sejak kecil, ia sangat cerdas, tegas, energik,
tekun, dan memiliki keingintahuan yang besar. Potensi dan kelebihan Shadra kecil
sangatlah sepadan dengan fasilitas belajar yang disediakan oleh orangtuanya yang
tergolong aristocrat. Berkat potensi dan berbagai fasilitas belajar yang dimiliki ia dapat
menguasai semua pelajaran yang berhubungan dengan sastra Persia dan Arab, serta seni
Menurut Tabataba’i sebagai dikutip Nasr, karya Mulla Shadra tidak kurang dari
46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetap Fazlur Rahman
menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karya tersebut telah
dipublikasi semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu
saja yang belum dipublikasi.
Sebagai penerus aliran isyraq dan penyempurna berbagai aliran filsafat Islam
sebelumnya, tentu saja hal tersebut memberi dampak terhadap kuantitas karya Mulla
Shadra. Penulis sajikan karya-karya besar dari seseorang Mulla Shadra lebih dari 20
karya yang ditulisnya, sebagai berikut:
1. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah (teosofi transendental
yang membicarakan empat perjalanan akal pada jiwa).
2. Al-Hasyr (tentang kebangkitan).
3. Al-Hikmah Al-‘Arsyiyah (hikmah diturunkan dari ‘Arsy Ilahi).
4. Hunduts Al-‘Alam (penciptaan alam).
5. Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala
jahiliyah dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi ahli Sufi).
6. Kalq Al-A’mal (buku ini membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia).
7. Al-Lama’ah Al-Masyriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyyah (percikan cahaya
illuminasionis dalam seni logika).
8. Al-Mabda’wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).
9. Matafih Al-Ghaib (kunci alam gaib).
10. Kitab Al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika).
11. Al-Mizani (tentang perilaku perasaan).
12. Mutasyabihat Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an), membicarakan
ayat-ayat Qur’an yang sukar dipahami dan metafosis dari sudut gnosis.
13. Al-Qadha wa Al-Qadar Fi Af’ali Al-Basyar (tentang masalah Qadha dan Qadar dalam
perbuatan manusia).
14. Asy-Syawahid Ar-Rububiyah Fi Al-Manahij As-Sulukiyah (Penyaksian Ilahi akan
jalan kea rah kesederhanaan rohani) adalah ringkasan doktrin-doktrin Mulla Shadra
yang paling lengkap yang ditulis berdasarkan tinjauan gnosis.
15. Sharh-i Shafa.
16. Sharh-I Hikmat Al-Ishraq.
D. Filsafat Jiwa
Jiwa itu bersandar pada prinsip dasar yang disebut perubahan subtantif (istihala
jauhariyyah). Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual
selamanya (jismaniyat Al- hudus ruhaniyat al-baqa’) artinya manakala jiwa muncul atas
landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip
perubahan subtansif ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi dari landasan jiwa
berada. Oleh sebab itu dalam bentuk kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti
tumbuh-tumbuhan yang bergantung pada materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrumen
dan merupakan langkah pertama untuk perpindahan dari alam materi menuju alam spiritual.
Sadra menegaskan bahwa badan sebagaimana ia akan istihala “dibangkitkan “secara identik
adalah sama dengan badan, pada titik ini sadra menduduki posisi yang sama dengan Al-
Ghazali dan mencela pandangannya tentang kebangkitan badan sebagai varian dari
perpindahan jiwa.
b. Jiwa Kesempurnaan
Defenisi jiwa menurut Mulla Sadra adalah Kesempurnaa primer bagi raga natural
yang menggunakan instrument dalam aktivitasnya. Kesempurnaan yang dimaksud adalah
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama,
memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya.
Seperti munculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut
dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla
Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap
wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi
dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara
mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan”
(apperiance) belaka
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak
menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni
kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat
Suhrawardi hanya ditopang satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah
tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana
dalam gradasi wujud.
Kesimpulan
Defenisi jiwa menurut Mulla Sadra adalah Kesempurnaa primer bagi raga natural
yang menggunakan instrument dalam aktivitasnya. Mulla Sadra sendiri menetapkan tiga
jalan utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan, yaitu jalan wahyu, jalan
inteleksi, dan jalan musyahdah dan mukasyafah. Bagi sadra, filsafat dapat dibedakan
menjadi dua bagian utama yaitu bersifat teoritis dan bersifat praktis. Filsafat Mulla Sadra
Daftar Pustaka
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. 2005. Jakarta: Gaya Media Pratama
Nurkhalis. Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadr. 2011. Jurnal Substantia, Vol 13
No. 2
Fajar, Dadang Ahmad. Jiwa Dalam Pandangan Filsafat Mulla Sadra. 2018. Jurnal Akidah dan
Filsafat Islam, Vol. 3, No. 1
Budiman, Syafni Hasri. Skripsi: Konsep Jiwa Menurut Mulla Sadra. 2021. Bukittinggi: IAIN
Bukittinggi