Anda di halaman 1dari 13

Pemikiran Filsafat Suhrawardi

(Biografi, Karya, dan Pemikiran Filsafat (Isyraqi) Suhrawardi)

Sri Wardani Hasibuan1, Musdalipah Siregar2, Ulfa Sri Desy3, MuhammadnRoihan Daulay123
ProgramnStudinPendidikannAgamanIslamnFakultasnTarbiyahndannIlmunKeguruannInstitutnAgama
IslamnNegerinPadangsidimpuan
sriwardanihsb123@gmail.com,musdalifahsiregar1@gmail.com, sridesyulfa@gmail.com, roihan@iain-
padangsidimpuan.ac.id

Abstract
Suhrawardi is one of the many philosophical figures, who is known by several nicknames, including al-Maqtul
(the death), and who is closely related to his own philosophical thought, namely Shaykh al-Ishraq or in English
Master of Illuminationist (father of enlightenment). Isyraqi, which can generally be interpreted as light/east, is
symbolic which he gave as a symbol or illustration that there are two opposite conditions, namely West
(Maghrib) and East (masyriq), in the West, where the sun sets and it is always dark. material things, ignorance
and deviation. in the East, is the place where the sunrises, which is considered source of all knowledge of truth,
which is contrary to human reason. This good thought about Suhrawardi is to know our knowledge about our
knowledge of philosophy, one of which is about the theory put forward by Suhrawardi about his al-isyraqiyah.
In this case, the author conducts this research on literature research, through descriptive analysis of journal
articles and literature such as philosophy books.
Keywords: Suhrawardi's Biography, Suhrawardi's Works, Suhrawardi's Isyraqi Philosophy

Abstrak
Suhrawardi adalah salah seorang dari banyaknya tokoh filsafat, dimana ia terkenal dengan beberapa julukan,
diantaranya adalah al-Maqtul (yang terbunuh), dan yang berhubungan dengan pemikiran filsafatnya sendiri,
yakni Syaikh al-Isyraq yang dalam bahasa Inggrisnya Master of Iluminasionist (bapak pencerah). Isyraqi yang
secara umum dapat diartikan sebagai cahaya/timur ini merupakan simbolis yang beliau berikan sebagai lambang
atau gambaran bahwa ada dua keadaan yang bertolak belakang yakni Barat (Maghrib) dan Timur (masyriq),
dinBarat, nmataharinterbenam dannkeadaan gelapnadalahnalamnkebendaan, nkejahilanndannpenyimpangan.
SedangkanndinTimur, adalah tempatnterbitnyanmataharinyangndianggapnsebagainsumberndarinsegalanilmu
kebenarannyangnmeneranginakalnbudinmanusia. Pemikiran filsafat Suhrawardi ini bagus sekali untuk kita
ketahui untuk memperbanyak pengetahuan kita tentang ilmu filsafat salah satunya tentang teori yang
dikemukakan oleh Suhrawardi tentang al-isyraqiyah nya. Dalam hal ini, penulis melalukan penelitian ini dengan
penelitian tinjauan pustaka, melalui analysis deskriftif terhadap articel jurnal dan literatur seperti buku- buku
tentang filsafat.
Kata kunci: Biografi Suhrawardi, Karya Suhrawardi, Filsafat Isyraqi Suhrawardi
PENDAHULUAN
Dalam dunia filsafat tentunya banyak tokoh-tokoh yang bermunculan, begitupula
dalam dunia filsafat Islam yang mempunyai tokoh-tokoh filsuf Islam yang mendalami
hakikat dari sesuatu, sebagai keleluasaan nya berpikir dan tidak berdiam diri dalam
ketidaktahuan tentang sesuatu.
Kali ini, tokoh filsafat Islam yang akan dibahas adalah tentang Suhrawardi yang
terkenal dengan pemikiran filsafat nya, yakni "al-Isyraqi", yang bertugas memperbaiki
kekurangan-kekurangan filsafatnperipatetiknyangnsudahnmendominasi pemikiran umat
Islam. SuhrawardinmemadukannrasionalitasnAristotelianndengannperasaannberagama
(dzauq) nuntukndapatnmencapainpengetahuanntertingginsebagai upaya dari filsafat iluminasi
yang dikemukakan olehnya(Merangin et al. 2018)
Teori baru ini diformulasikan oleh Suhrawardi sebagaimana yang telah beliau
kemukakan pada hikmahnal-isyraq, ndan cara baru ininsebenarnya adalahnkoreksinya
terhadap pembatasannakalnsepuluh. Pada teorinini, posisinakalnsebagainwajibnal-
wujudnlighairihi, munkinnal-wujudnlidzatihi, ndannmahiyah, sangat
ditentangnolehnSuhrawardi. Ia berpendapat, bagaimananmungkinndarinsatunpemikiran
memunculkanmfalak-falakndannkawakibnyangntidaknterbatas? dengannhanyanmenetapkan
tigantempatnbagi akaln (wajib, nmunkinndannmahiyah) , sepertinpembagian tersebut, nmaka
tidak mungkin baginakalntertingginmemilikinpersambunganndengannfalak-falakndan
kawakibnyangnsangatnbanyaknitu. nOleh sebabnya, Suhrawardinmenolaknpembatasannakal
pikiran hanyanpadanjumlahnsepuluh. Selanjutnya akalnpikiran dalamnteoriniluminasi
Suhrawadindigantikanndengannistilahncahaya-cahayandominator. (Natsir 2014)
Pemikirannya tentang filsafat isyraqi ini lebih dalamnya menjelaskan bahwa semua
bersumber dari cahaya. Kemudian cahaya didefinisikan bahwa tidak memiliki sifatnmaterial
danntidakndapat dijelaskan. Sebagainkenyataan yangnmeliputi setiap hal, cahaya nyang
melewati kedalam bagian setiapnentitas, nbaiknfisiknmaupunnnon-fisik, nsebagainsesuatu
intindaripadanya.
Ia membebaskan manusia dari kegelapan hingga mencapai tingkat ilmu yang benar
dan lebih tinggi dan terang. Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa Suhrawardi
mengajak manusia untuk merenung dan berpikir, bahwa eksistensi Tuhan di alam jagad ini,
merupakan hal yang mutlak yang bisa dirasakan dengan konsep kesucian jiwa dan kesucian
batin melalui penggunaan simbol-simbol sebagai suatu ungkapan yang bersifat analogis.
Melalui kalimat simbolis yang dikatakan oleh Suhrawardi bahwasanya Allah Yang Maha Esa
adalah “Nur al-Anwar”, yakni sumber setiap yang ada dan begitupula peristiwa. Cahaya-
cahaya yang menjadikan sumber kejadian dialam ruh dan dialam materi terpancar dari "Nur
al-Anwar" ini.(Ahmad 2006)

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berdasarkan tinjauan pustaka yang memakai fenomenal melalui analysis
deskriftif terhadap articel jurnal dan literatur seperti buku- buku tentang filsafat. Dengan
memilih jurnal dan buku yang sesuai dengan sub pembahasan tentu saja akan mempermudah
dalam melakukan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Biografi Suhrawardi
Suhrawardi, yang terkenal dengan julukan sebagai bapak pencerahan ini
mempunyai nama lengkap Syaikh Syihabbal-DinbAbubal-FutuhbYahyabibn
HabasybibnnAmiraknal-Suhrawardi, lahirbdi pedesaan Suhraward, yakni desa
terpencil dinnegerinIrannBaratnLaut, ntidaknjauhndarinZanjan, npadantahunn548
H/1153nM.n(A.bKhudoribSoleh,nWacananBarunfilsafatnIslam,n(Yogyakarta:nPus
takan Pelajar,n2004),nhlm. 117)
Selain dikenalnsebagainSyaikhnal-IsyraqnataunMasternofnIluminasionist
(BapaknPencerahan), ia juga dikenal dengan julukannal-Hakimn (SangnBijak), nal-
Syahidn (SangnMartir), dannal-Maqtul (yangnterbunuh. nAl-Suhrawardi diberi
julukannal-Maqtuln (yangnterbunuh), karenanininterkaitndenganncarankematiannya
yangndineksekusindinHalbn (Aleppo) natasnperintahnShalahuddinnal-Ayyubinpada
tahunn587nH/1191nM. Julukan al-Maqtul inilah yangnmembedakanndiandengan
duantokohnsufinlainnya yang mempunyai nama Suhrawardi, yaitu nAbunal-Najib
al-SuhrawardindannAbunHafahnSyihabuddinnal-Suhrawardinal-Baghdadi.
(M.nSubkhannAnshori, FilsafatnIslamnAntaranIlmu dan Kepentingan,
(Kediri:nPustakanAzhar,n2011), Cetakan ke. 2, hlmn. 229u)
Pendidikan beliau pertamakali di mulai di Maragha, sebuah kota yang
kelak menjadi lokasi aktivitas astronomi al- Thusi. Disana, Suhrawardi belajar
filsafat, hukum dan teologi pada Majd ad-Din al-Jili yang juga merupakan guru
dari Fakhruddinnal-Razi.Selanjutnya, SuhrawardinperginkenIsfahannuntuk
memperdalamnkajian filsafati pada Fakhrnal-Dinnal-Mardini, yang adalah gurui
filsafati yang paling penting untuk Suhrawardi. Setelah itu, Suhrawardi belajar
kepada Zhahir al-Din al-Qari al-Farsi dan mengkaji kitab al-Bashair al- Nashiriyah
karangan umar Ibn Sahlan al-Sawi, yang akrab dikenal sebagai komentator Risalah
al-Thair karangan Ibn Sina. (Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2005), hlm. 143.)
Selain menekuni bidang falsafah, Suhrawardi juga mempelajari ajaran dan
doktri tasawuf sampai akhirnya Suhrawardi mempelajari mistisisme. Suhrawardi
menjadi seorang zahid yang menjalani hidupnya dengan ibadah, merenung dan
berfilsafat, sehingga Suhrawardi dikenal sebagai sosok sufi dan juga menjadi
seorang filsuf dalam bingkai teosofi, karena hidup dalam pola seperti itu. Teosofi
merupakan pemahaman tentang misteri-misteri ke-Tuhanan yang diperoleh melalui
pemikiran filosof-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu
mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa
melalui tasawuf dalam mencapai pemahaman tersebut. (Dewi 2015)
Setelah itu, Suhrawardi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui
guru-guru sufi. Perjalanan Suhrawardi dalam mengarungi dunia pendidikannya
semakin lebar sehingga mencapai Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus, Syiria, ia
pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syafir Iftikhar al-Din, dan di kota ini
Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para fuqoha yang iri
mengecamnya.Sehingga mengakibatkan Pangeran Malik al-Zahir, putra dari Sultan
Shalah al-Din al-Ayyubi itu memanggilnya untuk dipertemukan dengan para
fuqaha dan teolog. Dan dalam perdebatan ini, ia mampu mengemukakan
argumentasi-argumentasi yang kuat yang itu justru membuatnya dekat dengan
pangeran Zahir dan pendapat-pendapatnya disambut secara baik. (Al-Ghanimi,
Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka, 1985),hlm. 194)
Saat di Aleppo, dalam usianya yang masih sangat muda, Suhrawardi
telahmampu menguasai secara mendalam ilmu filsafat, tasawuf, ushul fiqh, dan ia
begitu cerdas serta faqih dalam ungkapannya, sehingga orang-orang yang tidak
menyukainya (para fuqaha) semakin iri dan membencinya. Mereka pun mulai
mencari jalan untuk melenyapkan Suhrawardi. Para fuqaha yang beriri hati itu
memanfaatkan kelemahan Suhrawardi yang menyampaikan keyakinan batiniah
secara terbuka. Setelah melihat cara berpikir Suhrawardi yang mereka rasa sangat
aneh dengan ajaran-ajaran rohani yang dibawanya, kemudian mereka pun
menganggap bahwa Suhrawardi sebagai tokoh yang berbahaya sehinnga dapat
merusak akidah umat Islam dan merusak agama. Kemudian, para fuqaha
memutuskan untuk menyeret Suhrawardi ke penjara dan diberi hukuman gantung
(eksekusi) di umurnya yang ke-38. (Amroeni Drajat, Suhrawardi; Kritik Falsafah
Paripatetik, (Yogyakarta : LKIS, 2005), hlm. 36-37)
B. Karya Suhrawardi
Selama rentang perjalanan hidupnya yang terhitung tidak begitu lama,
Suhrawardi meninggalkan sekitar 50 judul buku yang ia tulis dalam bahasa Arab
dan Persia yang sebagian besar masih beredar sampai sekarang. Karya-karya
peninggalannya itu tentunya memiliki bahasa yang indah dan memiliki nilai sastra
yang tinggi. Buku-buku itu meliputi berbagai bidang dan ditulis dengan metode
yang berbeda. Secara umum, kelima puluh buku tersebut, dapat di bagi ke dalam 5
bagian, yaitu; 1) buku empat besar yang berisi tentang pengajaran dan doktrin,
yang semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Kumpulan ini membentuk kelompok
yang membahas filsafat paripatetik, yang terdiri atas al-Talwîhât, al-Muqâwimât,
dan al-Muthârahât yang ketiganya berisi pembenaran filsafat Aristoteles.Terakhir
Hikmah al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light) yang membicarakan
tentang sekitar konsep illuminasi,2) risalah-risalah pendek yang masing-masing
ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Sebenarnya, materi tulisan risalah-risalah ini
juga telah ada dalam kumpulan buku yang empat, akan tetapi, ditulis dalam bahasa
yang lebih sederhana. Karya-karya tersebut adalah, Haykal al Nur (kuil-kuil
cahaya, Al Alwah al-’imadiyah (lembaran-lembaran yang didedikasikan untuk
’mad al Din, Patraw-namah (risalah tentang iluminasi) , Fi I’tiqad al-Hukama’
(simbol keimanan para Filosof), al-Lamahat (gemerlap cahaya, Yazdan Shinakht
(pengetahuan Tuhan) dan Bustan al-Qulub (kebun hati). (Natsir 2014)
kisah-kisah sufisme yang melukiskan perjalanan ruhani dalam semesta yang
mencari keunikan dan illuminasi. Dan hampir semua kisah-kisah ini ditulis dalam
bahasa Persia. Karya-karya tersebut adalah ‘Aql-i Surkh, Awaz-i Pari Jibra’il, al-
Ghurbat al-Gharbiyyah, juga dalam bahasa Arab Lughah-i Muran, Risalah fi
Halat al-Tufuliyyah, Ruzi Ba Jamaat-I Sufi, Risalat fial-Mi’raj danShafi-ial-
Simurgh, (Maskhuroh 1996)nukilan-nukilan, terjemahan dan penjelasan terhadap
buku filsafat lama, seperti terjemahan Risâlah al-Thair karya Ibn Sina (980-
1037M) dalam bahasa Persia, penjelasan al-Isyârat serta Risâlah fi Haqîqah al-
Isyqi (On the Reality of Love) yang terpusat pada risâlah fi al-Isyqi karya Ibn Sina,
dan tafsir sejumlah ayat serta hadits-hadits Nabi, 5) wirid-wirid dan doa-doa dalam
bahasa Arab, yang dimana pada masa Abad-abad pertengahan Islam biasa disebut
dengan Kutub al-Sa’at (The Book of Hours/Buku Waktu). (Husein Nasr, Tiga
Pemikir Islam, terj. Mujahid, (Bandung: Risalah, 1986), hlm. 72-73)
C. Pemikiran Filsafat (Isyraqi) Suhrawardi
Mengulas pemikiran filsafat Suhrawardi, tentunya tidak terlepas dari
pembahasan tentang Isyraqi (ilumination), yang dimana kata isyraqi memiliki
banyak arti, diantaranya yaitu, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena
disinari dan menerangi. Jelasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau
cahaya yang pada biasanya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan,
ketenangan dan hal lain yang membahagiakan. Sedangkan dari istilah “penyinaran”
dalam term Isyraqi itu, berhubungan dengan simbol dari matahari yang selalu terbit
di timur dan memberikan sinarnya keseluruh alam. (Ahmad 2006).
Lawan dari benderang adalah kegelapan yang dijadikan sebagai lambang
keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.
Dalam bahasa Inggris, yakni ilumination, yang dijadikan sebagai padanan kata
isyraq, yang juga berarti cahaya atau penerangan. (Soleh 2011)
Suhrawardi, mengambil terminologi (Isyraqi) ini berasal dari peristilahan
yang akrab dalam tradisi sufi, yaitu suatu kebijaksanan isyraq (hikmah al-
isyraq). Dalam dunia sufi, istilah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Jurjani
dalam kitab al-Ta’rifat-nya, yang diidentikkan dengan para filosof yang
mempunyai Plato sebagai gurunya.(Maskhuroh 1996)
Sedangkan dalam bahasa filsafat sendiri, iluminasi merupakan sumber
kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional kepada pencapaian
tindakan harmoni. Kaum isyraqi menganggap apa yang disebut hikmah bukan
hanya sekedar teori yang diyakini, akan tetapi perpindahan ruhani secara praktis,
yaitu dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan
merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang
didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai bersama-sama. Cahaya
digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, dan
materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual,
dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik.(Dewi 2015)
Suhrawardi mengadopsi istilah isyraqi ini menjadi konsep bagi aliran yang
dicetuskan oleh nya, setidaknya mengandung beberapa argumen. Pertama, untuk
membedakan dengan corak pemikiran filsafat yang sudah ada, yaitu masya’i
yang fokus terhadap aspek intuitif. Kedua, simbolisme cahaya ini digunakan untuk
mengidentifikasi problem-problem logis, epistemologis, fisik dan metafisik.
Suhrawardi, dalam melakukan pemilihan terhadap terminologi ini, sejalan dengan
konsepnya bahwa filsafat yang membawa kebenaran, menjadikan kebenaran
puncak kebersihan, kejelasan dan terang. Tidak ada yang lebih penting dari
pada cahaya. Inti seluruh filsafat isyraqi adalah sifat dan penggambaran
cahaya. Cahaya demikian dijelaskan, tidak bersifat material dan tidak dapat
didefinisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus
kedalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun yang non-fisik, sebagai
sesuatu esensial daripadanya.(Maskhuroh 1996)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Isyraqiyah merupakan
aliranbyangnmenetapkannbahwanpengetahuannitunberasalndarinpenyinaran,
seperti hads yang menggabungkan antara diri yang tahu dengan substansi cahaya.
Terdapat lima aliran yang bersumber dari pengetahuan yangnmembentuk
pemikiran Suhrawardi, yaitu: Pertama, pemikiran-pemikirannsufisme terkhusus
karya-karyaaal-Hallaj, al-Ghazali. Salahbsatunya dari karya al-Ghazali yang
mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran ilmunasi Suhrawardi adalah
Misykatnal-Anwar, yang didalamnya menerangkan terdapat hubunganbantarabnur
(cahaya)bdenganbiman.
Kedua, pemikiran paripatetik Islam, terkhusus filsafat ibnu Sina.
Suhrawardi memandang filsafat Ibnu Sina sebagai azas terpenting untuk
memahami kepercayaan isyraqi meskipun ia tetap mengkritik sebagiannya.
Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, seperti aliran Pyithagoras,
Platonisme, dan Hermenisme yang berasal di alexanderia, yang setelah itu
disebarkan di timur oleh kaum Syabiah Harran, yang berpendapat kumpulan aliran
Hermes kitab sebagai kitab samawi mereka.
Keempat, pemikiran-pemikran (hikmah) Iran-Kuno. Suhrawardi mencoba
membangkitkan keyakinan-keyakinan baru dan memandang para pemikir Iran-
Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana
taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes). Kelima, Suhrawardi dalam
menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu
malaikat, ia bersandar pada ajaran Zoroaster yang kemudian ditambah dengan
istilah-istilah sendiri. Tetapi, Suhrawardi secara tegas menyatakan bahwa dirinya
bukan penganut dualisme dan tidak menuduh mazhab Zahiriyah sebagai pengikut
Zoroaster. Ia justru mengklaim dirinya sebagai anggota jamaah hukama Iran,
pemilik keyakinan-keyakinan kebatinan yang berdasarkan prinsip kesatuan
ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
(Museum 2019)
Isyraqi (masyriq) dalam pengistilahannya menggambarkan dua keadaan
yang bertolak belakang yakni Barat (Maghrib) dan Timur (masyriq), di Barat,
dimana matahari tenggelam dan selalu gelap adalah alam kebendaan, kejahilan dan
penyimpangan. Sebaliknya di Timur, merupakan tempat terbitnya matahari yang
dianggap sebagai sumber dari segala ilmu kebenaran yang menerangi akal budi
manusia. Ia membebaskan manusia dari kegelapan hingga mencapai tingkat ilmu
yang benar dan lebih tinggi dan terang. Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami
bahwa Suhrawardi mengajak manusia untuk merenung dan berpikir, bahwa
eksistensi Tuhan di alam jagad ini, merupakan hal yang mutlak yang bisa dirasakan
dengan konsep kesucian jiwa dan kesucian batin melalui penggunaan simbol-
simbol sebagai suatu ungkapan yang bersifat analogis. Melalui kalimat simbolis,
Suhrawardi mengatakan bahwa Allah Yang Maha Esa adalah “Nur al-Anwar”
sumber segala yang ada dan seluruh kejadian. Cahaya-cahaya yang menjadi
sumber kejadian alam ruh dan alam materi terpancar dari "Nur al-Anwar" ini.
Alam rohani yang meliputi jiwa-jiwa yang suci, dan bintang-bintang
dilangit serta yang menguasai manusia, dalam hal ini “Nur al-Anwar” merupakan
substansi nilai ke-Tuhanan yang melekat pada setiap roh yang suci, seperti
malaikat, para Nabi dan para auliah yang dianggap sudah mampu berhubungan
secara langsung dengan penciptanya (Allah swt). Alam ragawi yang meliputi benda
elementer yang berada di bawah pelanet bulan bintang, benda-benda eter dan form
atau substansi benda-benda langit. (Ahmad 2006)
Lalu, bagaimanakah cara mengetahui Tuhan yang disimbolkan dengan
Cahaya di atas cahaya (Nur Al-Anwar) ? Suhrawardi menyatakan bahwa relasi
cahaya di atas cahaya dengan cahaya cahaya yang lahir darinya mulai dari cahaya
yang paling dekat (Nur al-Aqrab) hingga cahaya-cahaya turunannya mengambil
bentuk secara berhadapan; relasi dominasi-cinta (qahhar-mahabbah), relasi
iluminasi-penyaksian (isyraq-musyahadah), relasi ketidakbutuhan-kebutuhan
(istighna’-al-iftiqar). Relasinya mengambil bentuk: dari cahaya yang tinggi ke yang
di bawahnya mengambil bentuk “dominasi”, atau “iluminasi”, atau
“ketidakbutuhan”; sedangkan dari cahaya yang dibawahnya ke cahaya yang di
atasnya mengambil bentuk “cinta”, atau “penyaksian”, atau “kebutuhan”.
Sebagaimana filsuf peripatetik, Suhrawardi menilai cahaya-cahaya itu bertingkat.
Di mana cahaya yang berada pada tingkat dibawahnya lahir dari cahaya yang
berada pada tingkat di atasnya. Namun kelahiran tersebut tidak dalam arti
emanasionis melainkan dalam arti iluminasi (al-isyraq). Prosesnya dimulai dari
Nur al-Anwar yang memancarkan satu cahaya yang disebut cahaya paling dekat
(nur al-aqrab) dengan nur al-anwar. Dari nur al-alqrab lahir cahaya kedua, dari
cahaya kedua lahir cahaya ketiga dan seterus. Begitu seterusnya setiap cahaya
beriluminasi.(Merangin et al. 2018)
Dengan konsep di atas, Suhrawardi menyimpulkan bahwa dengan idea
inilah akan memancar wujud-wujud materi yang beraneka ragam sebagaimana
yang terlihat pada alam semesta ini. Alam ini merupakan bayang-bayang dari
pancaran seluruh Nur al-Anwar, sehingga menurut paham Isyraqyyahnya, bahwa
alam ini terdiri dari dua aspek, yaitu aspek alam makna yang terdiri alam uluhiyat,
dan aspek akal budi.
Lambang-lambang yang disampaikan oleh Suhrawardi itu menurut Sayed
Husein Nasr adalah Qairawan yang merupakan lambang dari dunia Barat yang
materialistis, diliputi oleh kegelapan rohani serta jauh dari kebenaran yang
diartikan sebagai sumber baik, yang dimaksud dengan negeri Timur, jauh lebih
baik dari dunia Barat sekaligus melukiskan nafs (kebendaan dan materi) yang
menanggalkan pakaian sebagai gambaran bahwa manusia yang ingin kembali ke
Tuhan-Nya, harus melepaskan diri dari dunia materi dan hawa nafsu dengan segala
macam bentuknya.(Ahmad 2006)
Dalam sufisme, dijumpai sebuah pemahaman bahwa Tuhan diformulasikan
sebagai intisari nurani yang memiliki atribut mutlak, transenden dan sempurna.
Paham ini mencerminkan dimana manusia adalah pancaran (emanasi) atau
percikan dari lautan yang serba Ilahiyah. Inilah yang dalam sufisme disebut Union
Mistik yaitu suatu mazhab mistik yang menempatkan manusia bersumber dari
Tuhan untuk kemudian mencapai penghayatan dan kebersatupaduan kembali
dengan Tuhan.Untuk mencapai tingkat persatupaduan kembali dengan Tuhan atau
Hakekat Nur al-Anwar, maka manusia harus melalui beberapa maqam. Di antara
maqam itu adalah; taubat, zuhud, ridha tawakal dan mahabbah.
Disamping itu, dia juga harus melakukan amalan ibadah yang konsisten,
diantaranya berpuasa, bangun salat di tengah malam, berzikir,membaca Alquran
sebagai wujud rasa rindu ingin bertemu dan berdialog dengan Tuhan sebagai
sumber dari segala sumber Nur al-Anwar. Apabila seorang sufi telah memasuki
alam ke-Tuhanan, maka yang akan dialami atau dirasakan adalah kenikmatan dan
ketenangan batin melalui tingkatan-tingkatan syahadat sebagai wujud pengakuan
terhadap Allah swt.
Adapun tingkatan syahadat yang dimaksudkan al-Suhrawardi adalah;
Pertama, La ilaha illa-Allah (Tiada Tuhan Melainkan Allah). Maksudnya, yang
pertama diikrarkan adalah sifat dasar pengakuan kita terhadap Allah swt. (Nur al-
Anwar), dengan demikian hanya orang berimanlah yang terbuka kemungkinan
bersatu dengan Tuhan-Nya; kedua, La hua illa Hua, yang berarti hanya Allah
(Anwar) yang berhak disebut Dia. Merupakan kesungguhan sebagai penyebab
segala sesuatu atau penyebab timbulnya dari segala cahaya-cahaya yang ada
(pancaran Nura al-Anwar); ketiga, La anta illa Anta, yang berarti hanya Allah (Nur
al-Anwar) yang layak disebut Engkau. Term Engkau (anta). dalam kalimat ini
menunjukan bahwa, pada saat yang demikian sudah terjadi syuhud (penyatuan)
dalam posisi saling berhadapan, sehingga terbuka dialog antara manusia dengan
Tuhan; keempat, La Ana illa Ana. Maksudnya bahwa hanya Allah disebut Aku, hal
ini berarti bahwa pada tingkatan ini yang memiliki personaliti atau syakhsyiyah
(kemutlakan) hanya Dia Allah, sedangkan akunya manusia sudah lebur dari
kesdarannya karena sudah fana’ dan pada saat itu sudah tidak ada jarak antara
manusia dengan Tuhan, dan percakapan yang terjadi adalah menolong (yang
berbicara pada hakikatnya adalah Tuhan melalui lidah insaniyah); kelima, Kullu
syaihalikun illa wajhahu, selain Allah sudah lebur dan yang tinggal abadi hanya
Dia, karena manusia sudah fana fiAllah, maka dia memasuki dalam Ilahiyat
sehingga kekal bersama Dia. Pada pase inilah sehingga terjadi kesatuan wujud,
karena segala sesuatu telah fana. Seperti halnya Abu Yasid al-Bustami dalam
konsep kefanaannya. Beliau mengungkapkan bahwa sirnanya segala sesuatu selain
Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali
hakekat yang satu yaitu Allah swt., bahkan dia tidak lagi melihat dirinya karena
terlebur dalam Dia, dan keadaan seperti inilah terjadi penyatuan dengan yang Maha
Benar. Penyatuan ini tersurat dalam ucapan Abu Yasid al-Bustami : “Aku pun
keluar dari yang Maha Benar dan menuju yang Maha Benar, aku pun berseru, dan
Engkau yang aku dari yang Maha Benar (ibarat cermin ketika hamba melihat
dirinya)”(Ahmad 2006)
Filsafat Isyraqi dalam kaitannya dengan pengetahuan. Suhrawardi
berpendapat bahwa pengetahuan adalah apa yang diberikan oleh cahaya, bukan
pemberian objek yang diketahui. Hal yang membentuk objek tersebut dalam hal ini
adalah Jiwa. Apa yang ditemukan jiwa dalam alam analogi (alam ide) melalui
perantara sebuah cahaya, akan terealisasikan dalam alam nyata. Apa yang
diberikan cahaya kepada jiwa adalah kebenaran, sedangkan apa yang diberikan
akal melalui akal adalah kepalsuan. Akal hanya digunakan untuk memperkokoh
capain yang telah diketahui oleh jiwa bukan turut campur dalam menemukan
capaian tersebut.
Masalah yang berkaitan dengan pengetahuan pun telah di bahas oleh
Suhrawardi, pada akhirnya berdasarkan iluminasi dan mengusulkan satu pendapat
visi yang pada beberapa hal mirip dengan psikologi Gestalt. Suhrawardi
menggabungkan cara nalar dengan intuisi, menganggap kedua hal tersebut adalah
saling melengkapi. Menurutnya, dalam iluminasi bahwa nalar tidak dibarengi
intuisi merupakan sifat anak kecil, rabun dan tidak pernah menggapai sumber
transenden dari setiap kebenaran dan penalaran, sedangkan intuisi tidak dibarengi
penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional dapat
tersesat dan tidak akan dapat mengungkap dirinya secara ringkas dan metodis.
Indera dan akal adalah dua alat dalam mencapai sumber pengetahuan.
Terdapat sumber pengetahuan lain yang disebut dzauq, yaitu persepsi batiniyah
yang mengungkapkan tingkat-tingkat non-temporal dan non-ruang makhluk. Studi
atas filsafat atau kebiasaan merenung-renung konsep-konsep murni yang dipadu
dengan praktek kebijaksanaan, mengatur ke pematangan indera-indera misterius
ini, yang menguatkan dan membetulkan kesimpulan intelek.
Suhrawardi dalam pemikiran filsafatnya juga mengungkapkan pendapatnya,
bahwa: akal tidak dibarengi Dzauq tidak bisa dipercaya. Dzauq memiliki fungsi
untuk menyerap misterius segala esensi dan membuang segala skeptisisme.
Pencapaian akhiri dari semua pengetahuani ialah iluminasi dan ma'rifat (gnosis),
inilah ciri filsafat Isyraqi yang dibangun oleh Suhrawardi
Dengan demikian, Filsafat isyraqi dalam memandang pengetahuan tidak
hanya memanfaatkan kekuatan intuitif saja, namun juga kekuatan rasio. Ia
menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif
dipergunakan untuk meraih segala hal yang tidak tercapai oleh kekuatan rasio
sehingga menghasilkan merupakan pengetahuan yang tinggi dan terpercaya.
(Hasyim Asy’ari 2018).
Secara aplikatif, dalam epistemologi iluminasi, untuk memperoleh ilmu
pengetahuan terdapat empat tahap yang harus dilalui. Tiga tahap pertama
menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang
memaparkan pengalaman. Tahap pertama ditandai dengan kegiatan persiapan pada
diri filsuf; ia harusmeninggalkan dunia agar mudah menerima pengalaman.Tahap
kedua adalah iluminasi (pencerahan), ketika filsuf mencapai visi (melihat) ‘cahaya
ilahi (an-Nur-al-Ilahi). Tahap ketiga atau tahap konstruksi, yang ditandai dengan
perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yaitu pengetahuan
iluminasionis (al-ilm al-isyraqi) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir adalah
pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang.
Suhrawardi memiliki persepsi bahwa sebagian dari cahaya Tuhanbersemayam
dalam diri filsuf, yang memiliki daya intuitif. Jadi, dengan menjalani aktivitas-
aktivitas dalam tahap pertama, filsuf dapat, melalui ilham pribadidanvisi
(musyahadah wa mukasyafah), menerima realitas eksistensi dirinya dan mengenal
kebenaran intuisinya sendiri. (Merangin et al. 2018)

KESIMPULAN
Syaikh Syihabbal-DinbAbubal-FutuhbYahyabibn HabasybibnnAmiraknal-Suhrawardi
yang biasa dikenal dengan sebutan Suhrawardi ini merupakan salah satu tokoh filsafat Islam
yang mengemukakan pemikiran nya tentang isyraqi. Secara etimologi, isyraqi dapat diartikan
sebagai cahaya, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Lebih
jelasnya, isyraqi dapat dimaknai sebagai pencahayaan, yang adalah penggabungan antara
tasawufidanifilsafat.
Suhrawardi dalam rentang perjalanan hidupnya yang tidak terlalu lama, telah
menciptakan karya-karya yang luarbiasa di bungkusidenganikata-kata indah serta
penggunaan sastranyangntinggi. Karya-karya tersebut berupa buku-buku yang berkaitan
dengan filsafat, risalah-risalah pendek, kisah-kisah sufisme, nukilan-nukilan, dan wirit serta
doa-doa. Filsafat Isyraqiyah merupakan alirannyangnmenetapkannbahwa pengetahuannitu
bersumber darinpenyinaran, seperti hadsnyang menggabungkan antarandirinyangntahu
dengannsubstansincahaya.
Melalui kalimat simbolis, Suhrawardi mengatakan bahwa Allah Yang Maha Esa
adalah Nur al-Anwar yang merupakan sumber segala yang ada dan seluruh
kejadian.Suhrawardi mengajak manusia untuk merenung dan berpikir, bahwa eksistensi
Tuhan di alam jagad ini, merupakan hal yang mutlak yang bisa dirasakan dengan konsep
kesucian jiwa dan kesucian batin melalui penggunaan simbol-simbol sebagai suatu ungkapan
yang bersifat analogis. Cahaya-cahaya yang menjadi sumber kejadian alam ruh dan alam
materi terpancar dari "Nur al-Anwar".
Filsafat isyraqi dalam memandang pengetahuan tidak merta menggunakan kekuatan
intuitifmsaja, namun jugamkekuatanmrasio. Iammenggabungkanmkeduanya, metodemintuitif
danmdiskursif, dimanamcaramintuitifmdigunakanmuntuk mencapai segalanhal yangmtidak
tercapai olehmkekuatannrasiomsehingga menghasilkan pengetahuanmyang tinggi dan
terpercayai.

REFERENSI
Akademika, W., Muhammad, M., & Natsir, N. (2016). KOMPARASI PEMIKIRAN IBNU
SINA DAN SUHRAWARDI: (Telaah terhadap Teori Emanasi dan Teori Jiwa).
Wahana Akademika: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 1(2), 181–206.
https://doi.org/10.21580/WA.V1I2.812

Fathurrahman, F. (2018). Filsafat Iluminasi Suhrawardi Al-Maqtul. TAJDID: Jurnal


Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan, 2(2), 439–456.
https://doi.org/10.52266/TADJID.V2I2.173

Halim, M. (2011). EKSISTENSI WILAYATUL HISBAH DALAM SISTEM


PEMERINTAHAN ISLAM. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 10(2), 65–81.
https://doi.org/10.22373/JIIF.V10I2.45

Sebuah, M., Filsafat, K., & Sumanto, E. (n.d.). View metadata, citation and similar papers at
core.ac.uk.

SUHRAWARDI : KONSTRUKTOR FILSAFAT ILUMINASI | Urwatul Wutsqo. (n.d.).


Retrieved April 27, 2022, from
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/wutsqa/article/view/996

Anda mungkin juga menyukai