Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia, 1(1) February 2016
ABSTRACT: “Muslim Students Association and Welfare: An Indonesian Context”. The establishment of HMI (Muslim Students
Association) on 5th February 1947 was to participate in maintaining the independence of Indonesia. In the realm of Indonesian
independent, Islam can flourish and Indonesia became an umbrella for the development of Islam. Indonesia and Islam are together
in the body of the HMI since its inception. Themes of “Indonesia” and “Islam” have always been the nature and character of HMI.
Imbued with the spirit of a young student, Indonesia and Islam became excited. In the HMI, Islam and Indonesia should not be
separated, there is no split or dichotomy, and taught in every training of HMI’s cadres. In the history of HMI, Islam and Indonesia
has never broken up in the 1980s, in the case of “Pancasila”, and two themes were contracted among his supporters, including in the
HMI, until the New Order regime step down in the late 1990s. In the era of freedom of information and democracy today, precisely
the theme of the “student”, “Indonesian”, and “Islam” like obtaining its place again in the HMI. But, more importantly now is after
68 years of HMI stands and participate to guard the achievement journey of the goals of nation-state, in accordance with the goals
of the HMI, how far the objectives have been achieved. HMI has managed successfully to defend the Indonesian independence, and
HMI has also successfully participated to straighten the implementation of the ideology and constitution of Indonesia’s nation-state.
Now, HMI is challenged to continue in guarding the nation-state policies in order to benefit all Indonesian people to become more
faithful and knowledgeable, advanced and modern, as well as fair and prosperous.
KEY WORD: Muslim Students Association, Indonesian nation-state, regeneration process, challenges and opportunities,
reflection and action, and fair and prosperous of Indonesian society.
About the Author: Dr. Harry Azhar Azis adalah mantan Ketua Umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam)
periode 1983-1986; dan sekarang menjabat sebagai Ketua BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) di Jakarta.
Untuk kepentingan akademik, penulis dapat dihubungi dengan alamat emel: ha_azis@yahoo.com
How to cite this article? Azhar Azis, Harry. (2016). “Himpunan Mahasiswa Islam dan Kesejahteraan: Konteks Indonesia” in
INSANCITA: Journal of Islamic Studies in Indonesia and Southeast Asia, Vol.1(1), February, pp.43-54. Bandung, Indonesia: Minda
Masagi Press, ISSN 2443-1776.
Chronicle of the article: Accepted (August 3, 2015); Revised (December 5, 2015); and Published (5 February 2016).
2010:2). Hanya beberapa tokoh dari generasi Generasi ketiga HMI, baik alumni maupun
ini yang mencapai puncak karier dalam mahasiswa aktif, menghadapi perubahan yang
kehidupan negara. Apabila rata-rata usia waktu tidak terbayang sebelumnya: complicated,
masuk HMI sekitar 20 tahunan, berarti usia interconnected, dan globalized. Dunia menyatu,
termuda pada generasi pertama, saat ini, adalah jarak dan waktu menyempit, tetapi sekaligus
63 tahun dan yang tertua adalah 88 tahun. terpisah (Piliang, 2011b). Bila pada generasi
Kini, usia generasi kedua HMI diperkirakan pertama, semangat komunal menonjol; maka
antara 38-63 tahun, sedangkan generasi ketiga, di generasi ketiga, budaya dan kompetensi
di bawah dari usia itu. individual mengkristal. Teknologi memang
Pada generasi kedua, organisasi ini mulai telah membuat manusia menjadi individu, dan
dewasa dan ikut berperan membangun bangsa. informasi masuk ke ruang individu dengan
Jika dikaitkan dengan pembabakan perjuangan cara yang sangat individualistik (Piliang,
HMI menurut Agussalim Sitompul (2010), 2011b:109-111). Beberapa informasi yang
maka generasi kedua berkiprah sejak 1969 masuk ke kamar pribadi, tetapi diproduksi
sampai sekarang pada fase ketujuh, yaitu secara massif, bahkan mampu menggerakkan
fase partisipasi HMI dalam pembangunan kebersamaan (cf Piliang, 2011a dan 2011b;
(Sitompul, 2010:2). Dari generasi ini, muncul dan Saptaningrum, 2011).
tokoh-tokoh alumni HMI di posisi penting, Pada era generasi pertama HMI, seperti
di hampir semua sektor kehidupan negara dalam peristiwa 1966, kebersamaan dipicu
dan swasta di Indonesia. Sebagian di antara oleh gerakan mahasiswa, termasuk HMI, yang
mereka kini menduduki posisi-posisi penting kemudian didukung oleh kekuatan politik dan
dan ikut berperan mengubah masyarakat di kelompok bersenjata (Sitompul, 2001:13-14).
lingkungannya. Di era akhir generasi kedua, atau awal generasi
Dalam konteks ini, kita selalu berharap ketiga HMI, seperti peristiwa 1997/1998,
agar mereka terus mengayuh arus cita HMI kebersamaan dipicu oleh informasi melalui
– sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4 gadget, teknologi yang menyatukan gerakan
Anggaran Dasar HMI – yaitu: “[...] terbinanya mahasiswa dan unsur masyarakat lainnya secara
insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang meluas (Susanto, 2014).
bernafaskan Islam, yang bertanggung jawab atas Karakter zaman berubah, ketika HMI
teruwujudnya masyarakat adil dan makmur, mencapai usia 50 tahun. Persamaan dari kedua
yang diridhoi Allah Subhanahu Wa-Ta’ala” peristiwa itu karena batin masyarakat banyak
(Rachman, 2011:878; dan PB HMI, 2013). dengan mudah menyatu, karena tidak rela
Dunia kerja yang digeluti alumni HMI melihat kebijakan negara melenceng jauh dari
pun beragam, mulai dunia politik, baik politik cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa.
partai, negara, maupun daerah; birokrasi Dalam dua peristiwa tersebut, HMI termasuk
di pemerintah pusat dan lembaga negara kelompok masyarakat yang selalu tampil di
serta pemerintahan daerah termasuk RW depan, karena sifat independensinya yang kritis
(Rukun Warga) dan RT (Rukun Tetanggan); (Barton, 1999:58-65). Menariknya, kendati
dunia pendidikan dan pendidikan tinggi tiap generasi mempunyai karakternya masing-
dengan menjadi guru, dosen, dan guru besar; masing, tema kemahasiswaan, ke-Indonesia-an,
dunia usaha dengan menjadi pengusaha dan ke-Islam-an berdengung di setiap periode
kecil, menengah, dan besar; serta di dunia HMI (Sitompul, 2001:644-645; dan Latif,
profesional sebagai kaum profesional (Effendy, 2012:426). Artinya, menjadi mahasiswa adalah
2011); bahkan mungkin saja ada yang tetap syarat keanggotaan HMI.
menganggur sebagai MA (Mahasiswa Abadi), Tugas utama mahasiswa adalah belajar
yang terus berjuang bersama mahasiswa yang dan menguasai ilmu. Akan tetapi, penekanan
masih aktif. belajar pada tiap generasi berbeda. Kata
“belajar” bisa diartikan bukan hanya di Kata quality bukan saja mengacu kepada
Perguruan Tinggi (Lunandi, 1987). Bahkan, competency (kompetensi atau kemampuan),
HMI dianggap bentuk Perguruan Tinggi tetapi juga networking (jaringan). Seseorang
kedua, atau bagi sebagian lagi malah yang anggota bisa memperoleh jabatan di HMI,
pertama. Jabatan di HMI dapat juga diartikan karena karakter dan kemampuan dirinya, tetapi
semacam sertifikat atau gelar tersendiri. Itu bisa juga karena luasnya jaringan (networking)
sebabnya selalu terjadi kompetisi ketat dan yang mendukungnya. Bila yang pertama
ramai, baik dalam setiap Rapat, Musyawarah, menyangkut individual capacity (kapasitas
Konferensi, maupun Kongres HMI. individual), maka yang kedua adalah social
Sepertinya, McClelland’s Achievement capacity (kapasitas sosial) atau political capacity
Motivation Theory (Teori Motivasi Berprestasi (kapasitas politik). Pola yang sama juga terjadi
dari David McClelland) menemukan ketika mereka menjadi alumni HMI di tempat
relevansinya dalam proses perkaderan perjuangannya masing-masing. Dua faktor
dan aktivitas HMI. Stephen P. Robbins inilah, yaitu sistem perkaderan dan sistem
(2001) mengatakan bahwa McClelland’s demokrasi yang selalu dipertahankannya, yang
Achievement Motivation Theory memandang membuat HMI tetap eksis hingga kini.
individu memiliki cadangan energi potensial, Lafran Pane, tokoh pendiri HMI, selalu
sedangkan bagaimana energi ini dilepaskan menekankan bahwa berdirinya HMI adalah
dan dikembangkan tergantung kepada untuk ikut mempertahankan kemerdekaan
kekuatan atau dorongan motivasi individu dan Indonesia (Sitompul, 1976:20; Sitompul,
situasi serta peluang yang tersedia (Robbins, 1995:246; dan Latif, 2012:426). Di alam
2001:173). Indonesia merdeka, Islam berkembang
Uniknya, justru motivasi berprestasi itu dan menjadi wadah berkembangnya Islam.
pula yang membuat HMI sangat menarik. Indonesia dan Islam menyatu di HMI sejak
Roh berprestasi dan kompetisi telah merasuk awal berdirinya. Menurut Yudi Latif (2012),
kedalam anggota HMI. Bahkan, ia menjadi api jika dinilai dari perspektif hari ini, maka
yang tak kunjung padam dan terus mengalir pandangan nasionalistik dalam rumusan
kedalam darah para alumni HMI, begitu HMI tahun 1947 barangkali tidak tampak
mereka masuk ke kancah aktualisasi. Kompetisi luar biasa. Namun, jika ditinjau dari standar
ini diramu dalam mekanisme organisasi, tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa
yang disebut “sistem demokrasi a la HMI”. itu, tujuan nasionalistik tersebut menandai
Semangat demokrasi ditanam sejak perkaderan sebuah pengakuan bahwa ke-Islam-an dan ke-
pertama dan terus dipupuk ke tingkat Indonesia-an tidaklah berlawanan, melainkan
perkaderan tertinggi. berjalin-berkelindan (Latif, 2012:426).
Dalam konteks itulah, sesungguhnya Keyakinan ini merupakan filosofi pendiri
HMI berhutang pada struktur organisasi HMI. Para pemimpin awal HMI lebih
level terbawahnya, seperti Komisariat, atau bersedia menerima Pancasila (Latif, 2012).
di beberapa daerah, Cabang, yang konsisten Karena itu, tema ke-Indonesia-an dan ke-
dan perhatian utamanya adalah pelatihan dan Islam-an selalu menjadi sifat dan karakter
perkaderan secara sistematis dan berjenjang. HMI. Dengan diimbuhi semangat muda,
Terutama kepada Komisariat, karena di level mahasiswa, Indonesia dan Islam menjadi
inilah, pertama-tama, perekrutan para kader bergairah. Di HMI, Islam dan Indonesia yang
baru melalui LK (Latihan Kader) I, atau Basic tidak seharusnya dipisahkan dan tiada split
Training, dilakukan. Pada struktur di atasnya, (perpecahan) atau dikotomi, diajarkan dalam
perkaderan memang masih menjadi pekerjaan setiap perkaderan.
utama pengurus HMI, tetapi nuansanya lebih Dalam sejarah HMI, Islam dan Indonesia
pada quality of competition (kualitas kompetisi). tidak pernah pecah sampai di era 1980-an,
dalam kasus pemaksaan asas tunggal Pancasila baiklah Indonesia ke depan dan semakin luas
(Shaleh, 1996; dan Malik, 2002). Pada era pula syariat Islam dipraktekkan.
1980-an, dua tema itu pernah berkontraksi Dalam konteks ini, mewujudkan
dalam diri para pendukungnya, termasuk masyarakat adil dan makmur – sebagaimana
di HMI, tetapi isu tersebut sirna dengan tertera dalam Pasal 4 Anggaran Dasar
sendirinya begitu rejim Orde Baru tenggelam HMI – adalah cita-cita HMI (PB HMI,
pada akhir tahun 1990-an. Dengan demikian, 2013:2 dan 79). Dengan motto Yakin Usaha
di era kebebasan informasi dan demokrasi Sampai, apapun yang dicita-citakan, insha
sekarang ini, justru tema kemahasiswaan, Allah, terwujud. Seperti bunyi hymne-nya,
ke-Indonesia-an, dan ke-Islam-an seperti keberadaan HMI akan sangat berbeda dengan
memperoleh tempatnya kembali di HMI. pameo wujuduhu ka adamihi (ada tetapi
Banyak alumni HMI generasi pertama telah seperti tiada). Sebagaimana kata Panglima
mendahului kita, dan kini menjadi legenda. Besar Jenderal Soedirman, Bapak Pendiri
Sebagian generasi kedua HMI, juga sudah TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada masa
mulai pergi dan sebagian lagi menuju sepuh revolusi, HMI harus hadir, tidak hanya menjadi
alias tua. Lalu, menjelang munculnya generasi Harapan Masyarakat Islam, tetapi juga menjadi
keempat HMI, sebagian generasi ketiga mulai Harapan Masyarakat Indonesia (Tanja, 1982).
menunjukan perannya masing-masing. Wajah Dengan niat yang ikhlas, ilmu yang tinggi,
HMI dari seluruh generasi merupakan lukisan dan amal yang luas, Allah SWT (Subhanahu
indah warna-warni anggota, kader, dan alumni Wa-Ta’ala) akan membuka jalan-jalan secara
organisasi ini. Menariknya, walaupun ada tidak terduga. Maka, kita optimis untuk
warna hitam di sana-sini, dan kadangkala mencapai tujuan HMI tersebut. HMI
terlihat sangat hitam dalam lukisan itu, namun berpandangan bahwa tangan di atas lebih
semakin hari lukisan itu kelihatan semakin mulia dari pada tangan di bawah. Tangan
hidup oleh warna-warna lain, seperti kuning, kanan memberi, tangan kiri tidak tahu. HMI
hijau, biru, dan merah, berikut tonjolan hadir untuk memberi, bukan meminta.
campurannya yang terus memberi harapan. You have to have a dream before your dream
Jadi, sesungguhnya, harapan ke depan come true (Kamu memiliki mimpi sebelum
terletak pada generasi ketiga HMI sekarang, mimpimu menjadi kenyataan). HMI memiliki
yang sedang bertungkus-lumus mengasah mimpi (dream). Impian HMI di-carry
kualitas insancita HMI dan terus menantang over (digenggam) para anggota, kader, dan
arus kehidupan, memetik ilmu, dan beramal alumninya.
dengan ikhlas, serta terus mewujudkan mimpi Dengan demikian, seperti kata John F.
sejahtera ilahiah, masyarakat adil dan makmur. Kennedy, Presiden Amerika Serikat tahun
Generasi keempat, insha Allah, mulai muncul 1960-an, sebagaimana dapat disimak dalam
di usia HMI ke-75 tahun nanti, bila dua faktor pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika
utama kesinambungan organisasi tetap dijaga, Serikat, “Ask what you can do for your country,
yakni: kaderisasi dan sifat demokrasi HMI. not your country can do for you!”. Artinya:
Cita-cita berdirinya HMI terakumulasi tanyakan apa yang dapat kamu berikan
dengan terus melahirkan kader-kader baru untuk negaramu, bukan menanyakan apa
HMI. Kader lama menghilang, kader baru yang dapat negaramu berikan untukmu!
muncul. Satu pergi, seribu datang. Kader-kader (dalam WHSA, 1961).
itu seperti telor emas yang menetas ketika
mereka menjadi alumni dan akan berkokok MEMERANGI KEMISKINAN,
di masanya nanti. Dengan kian banyaknya MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN
alumni HMI yang mengambil peran, sesuai Bila pada generasi pertama HMI
tujuan HMI di masa hidupnya, maka semakin (Himpunan Mahasiswa Islam), perjuangan
dalam arena demokrasi sebagai harga untuk dan lulusan SD (Sekolah Dasar) dan putus
harapan hidup yang lebih baik, harga menuju sekolah adalah 29.70 persen. Laju penganggur
kesejahteraan, dan harga untuk memberantas lulusan PT bentuk lainnya, seperti Akademi,
kemiskinan, dikanvaskan oleh politik uang. sebanyak 61,007 orang pada tahun 1989 dan
Pintu kecerdasan yang tertutup, akibat 241,413 pada tahun 1995.
kemiskinan dan kekufuran, berkontribusi dan Persentase pertumbuhan penganggur
membuat suara yang dimiliki oleh seorang lulusan Universitas terhadap total angkatan
penduduk miskin dipergunakan agar bisa kerja menempati posisi tertinggi kedua setelah
makan untuk hari ini dan esok, namun lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas), yakni:
mengabaikan faedah-faedah lainnya dalam 10.93 persen tahun 1989 (SMA = 16.87
jangka waktu – setidak-tidaknya – 5 tahun persen) dan 12.36 persen tahun 1995 (SMA
masa kepemimpinan para pemimpin negara. = 18.09 persen). Sejak 1997 sampai 2004,
Tampak bahwa tidak ada kecocokan antara jumlah penganggur terbuka di Indonesia
harga (uang yang diperoleh si miskin) dengan terus menanjak, dari 4.18 juta jiwa menjadi
suara yang diberikannya dalam pemilihan kurang lebih 11.35 juta jiwa. Sebagian besar
langsung. Sebab, di satu pihak, nilai suara yang diantaranya dialami generasi usia muda
diberikannya berlaku selama 5 tahun untuk (Saripudin, 2010:128).
politisi yang memperoleh suara; sedangkan di Artinya, sebagian besar angkatan muda
pihak lain, uang yang diperoleh si miskin dari negeri ini termasuk dalam kelompok angka
praktik “jual suara” habis seketika atau habis penganggur terbuka dan tidak memiliki
dalam beberapa hari saja. pekerjaan sama sekali. Kehidupan mereka
Itulah sebabnya, rasional belaka menjadi beban bagi orang lain. Data tahun
manakala muncul anggapan bahwa 2001 memperlihatkan jumlah penganggur
demokrasi yang dibangun dalam keadaan muda mencapai 6.1 juta jiwa (sekitar 76 persen
digerogoti kemiskinan tidak akan memberi dari keseluruhan jumlah penganggur). Tingkat
manfaat apa-apa selama demokrasi tidak penganggur pada kelompok usia muda sekitar
menghasilkan pemimpin negara yang concern 15 persen di daerah pedesaan dan 25 persen di
(memperhatikan) dan mampu memerangi perkotaan.
kemiskinan, sekaligus mewujudkan masyarakat Selanjutnya, sebagian dari mereka yang
yang sejahtera. menganggur di Tanah Air itu pergi ke negara
Berdasarkan data dari suratkabar Koran lain untuk beroleh pekerjaan, meski harus
Sindo (16/9/2015), di Indonesia banyak bersedia menerima resiko dipermalukan,
penduduk yang miskin disebabkan faktor disiksa, diperbudak, dan diperkosa
ketiadaan pekerjaan. Dalam pertautan antara (Balitbanginfo, 2014:31-32). Sebagian lagi dari
pendidikan dan dunia kerja, Didin Saripudin mereka yang tidak mendapat pekerjaan tetap
(2010) mengemukakan bahwa kira-kira dalam menjadi pengangguran, yang memerangkap
15 tahun terakhir di Tanah Air, tampak bahwa mereka dalam kemiskinan. Pada pihak yang
para lulusan universitas semakin banyak yang lain, khususnya para penyelenggara negara,
menganggur. seperti membiarkan begitu saja kenyataan itu.
Berpijak dari sejumlah data yang Padahal, mereka (orang-orang miskin yang
dikumpulkan, Didin Saripudin (2010) bekerja ke luar negeri) pergi tanpa bantuan,
selanjutnya menerangkan bahwa pada tahun bahkan malah rela diperas oleh oknum
1989 dan 1995, laju peningkatan jumlah pejabat atau pegawai negara, agar bisa bekerja,
penganggur lulusan PT (Perguruan Tinggi) sehingga keluar dari belenggu kemiskinan.
adalah 22.73 persen per tahun, SLTP (Sekolah Mereka pergi ke luar negeri juga karena
Lanjutan Tingkat Pertama) dan SLTA (Sekolah Indonesia tidak mampu menyediakan lapangan
Lanjutan Tingkat Atas) adalah 14.97 persen; pekerjaan.
serta mengarahkan dan mengawal kebijakan Studi Gerakan BEM UI [Badan Eksekutif Mahasiswa
yang mampu mengangkat penduduk miskin Universitas Indonesia].
Budiardjo, Miriam. (1992). Dasar-dasar Ilmu Politik.
menjadi sejahtera. Kita selalu diajarkan di Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
HMI untuk memberikan yang terbaik dari kita Chaldun, Ibn. (1962). Filsafat Islam tentang Sedjarah:
untuk bangsa dan negara. Maka, berikanlah, Pilihan dari Muqaddimah, Karangan Ibn Chaldun
karena dengan memberi yang terbaik, kita akan dari Tunis (1332-1406). Djakarta: Penerbit
memperoleh yang terbaik juga, baik di dunia Tintamas, Terdjemahan.
Depag RI [Departemen Agama Republik Indonesia].
maupun di akhirat. Semoga HMI, seperti (1982/1983). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:
kata-kata bersayap dari Penglima Besar Jenderal Departemen Agama Republik Indonesia.
Soedirman pada masa revolusi Indonesia, Effendy, Bahtiar. (2011). Islam dan Negara: Transformasi
senantiasa menjadi “Harapan Masyarakat Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Islam” dan “Harapan Masyarakat Indonesia”.2 Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, edisi digital.
Faz, Ahmad Thoha. (2007). Titik Ba: Paradigma
Revolusioner dalam Kehidupan dan Pembelajaran.
Bandung: Penerbit Mizan.
Hart, K. (2002). “Jacques Derrida” dalam Peter Beilharz
Referensi [ed]. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap
para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Terjemahan.
al-Bukhari, Imam Muhammad bin Ismail. (2012). Sahih Hatta, Mohamad. (1979). Pengantar ke Jalan Ilmu dan
Al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Sunnah, Terjemahan. Pengetahuan. Jakarta: Penerbit Mutiara.
al-Habsyi, Muhammad Bagir. (2002). Fiqih Praktis: Hatta, Mohamad. (2005). Indonesia Merdeka (Indonesie
Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Vrij). Yogyakarta: Aditya Media dan PUSTEP UGM.
Ulama. Bandung: Penerbit Mizan, Terjemahan. Hatta, Mohamad. (2012). Ke Arah Indonesia Merdeka.
Anam. (2013). “Ketegasan Abu Bakar Soal Zakat”. Jakarta: Yayasan Hatta.
Tersedia secara online juga di: http://www.nu.or.id/ Koran Sindo [suratkabar]. Jakarta, Indonesia: 16
a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,46384-lang,id- September 2015.
c,hikmah-t,Ketegasan+Abu+Bakar+Soal+Zakat-.phpx Latif, Yudi. (2012). Intelegensia Muslim dan Kuasa:
[diakses di Jakarta, Indonesia: 30 Oktober 2015]. Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20.
Atmoko, Citro. (2014). “Masalah Ketimpangan Masih Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, edisi digital.
Jadi Isu Besar”. Tersedia secara online juga di: http:// Lunandi, A.G. (1987). Pendidikan Orang Dewasa.
www.antaranews.com/berita/458001/masalah- Jakarta: Penerbit Gramedia.
ketimpangan-masih-jadi-isu-besar [diakses di Jakarta: Madjid, M. Nurcholish. (1992). Islam Doktrin dan
30 Oktober 2015]. Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan,
Balitbanginfo [Badan Penelitian, Pengembangan, dan Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan
Informasi]. (2014). Data dan Informasi Penempatan Wakaf Paramadina.
Tenaga Kerja Luar Negeri. Jakarta: Kementerian Madjid, M. Nurcholish. (1999). Islam: Doktrin dan
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Peradaban. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, edisi
Barton, Greg. (1999). Gagasan Islam Liberal di Indonesia: digital.
Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Malik, Kholis. (2002). Konflik Ideologi: Kemelut Asas
Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Tunggal di Tubuh HMI. Yogyakarta: Insani Press.
Wahid. Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, Mishra, Ramesh. (2000). Globalization and the Welfare
Terjemahan. State. London: McMillan.
Barton, Greg. (2003). Biografi Gus Dur: The Authorized PB HMI [Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam].
Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: (2013). Hasil-hasil Kongres Himpunan Mahasiswa
Penerbit LKiS, Terjemahan. Islam ke-XVIII. Jakarta: Pengurus Besar Himpunan
BEM UI [Badan Eksekutif Mahasiswa]. (2012). Kajian Mahasiswa Islam.
Energi, Bagian 1: BBM. Jakarta: Pusat Kajian dan Piliang, Yasraf Amir. (2011a). Bayang-Bayang Tuhan:
Agama dan Imajinasi. Jakarta: Mizan Publika.
2
Pernyataan: Dengan ini saya menyatakan bahwa maka- Piliang, Yasraf Amir. (2011b). Dunia yang Dilipat:
lah ini, beserta seluruh isinya, adalah benar-benar karya saya Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan Bandung: Penerbit Matahari.
dengan cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang
Rachman, Budhy Munawar. (2011). Ensiklopedi
berlaku dalam masyarakat akademik. Makalah ini juga belum
direviu dan belum diterbitkan oleh jurnal ilmiah lain.
Nurcholish Madjid: Jilid 2, H-L. Jakarta: Yayasan