PEMBAHASAN
Mulla Sadra adalah nama populer dari Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-
Qawami al-syirazi, yang memiliki gelar “Sadr al-Din”. Sadra terlahir dari keluarga
qawam pada tahun 979/1571 di syiraz.ayahnya bernama ibrahim bin yahya al-qawami
al-syirazi, salah seorang yang berilmu lagi saleh. Ayahnya juga seorang gubernur di
Fars yang cukup berpengaruh di kotanya. Sejak usia dini, telah memperlihatkan
tingkat kesalihan yang tajam. Dengan pengetahuan yang kuat terhadap bahasa arab
dan persia, al-quran dan hadist serta disiplin- disiplin dasar keislaman lainya.
Merasa tidak puas akan ilmu yang di peroleh di Syiraz, sadra pergi ke Isfaham.
Isfahan memberikan kepuasan kepadanya akan mereguk ilmu. Perkembangan
terhadap keilmuan yang ditekuninya tidak memberikan kepuasan sepenuhnya. Dalam
perkembangannya kemudian dia mencari dimensi kehidupan yang lain, yakni asketik.
Berkaitan dengan pencarian itu, ia pergi dari isfahan untuk menjalani pelatihan
spiritual di kahak, sebuah desa terpencil dekat qum.
Sadra memulai pengunduran dirinya dengan adanya perasaan tidak puas
terhadap dunia, watak dunia yang selalu tidak pasti, terutama karena adanya motif-
motif untuk memperoleh kemegahan duniawi yang secara umum terdapat pada para
intelektual kartika itu. Disisilain pengunduran dirinya itu juga berasal dari rasa
bersalah karena dari hasil renungannya, ia merasa begitu bergantung kepada
kemampuan intelektualnya sendiri. Dan tidak menghambakan diri kepada kehendak
dan kekuasaan tuhan dengan jiwa yang suci dan ikhlas.
Pada tahun 1722 M Syah Abbas meminta sadra untuk kembali mengajar.
Selain itu juga gubernur Syiraz ketika itu, Allahwirdi Khan membangun sebuah
lembaga pendidikan yang dilengkapi dengan sebuah masjid besar. Gubernur
mengundangnya untuk mengajar dimadrasah itu.
Dengan adanya permintaan itu, sadrapun kembali kekota asalnya, selama
periode ini, ia menulis sebagian besar karya-karya nya dan mendidik muridnya.
3
4
Disinilah puncak popularitasnya tersebar luas. Banyak posisi penting yang ditawarkan
untuknya tapi semuanya ditolak.
Selama jangka waktu 30 tahun yang diisi dengan mengajar dan menulis, Mulla
Sadra melakukan ibadah haji sampai 7 kali. Dan semuanya itu di lakukan dengan jalan
kaki. Sekembalinya dari haji yang 7 itu sadra menderita sakit di basrah dan meninggal
dunia disana pada tahun 1050H/1640M.
Mulla Sadra, panggilan popular Shadr al-Din al-Ayirazi (w.1641 M), telah
menulis banyak karya yang agung filosofis, seperti Al-syawahid al-Rububiyyah,
Hikmah al-‘Arsiyyah, al-Masyair, dan yang terpenting dari semua karya nya yang
telah menjadi masterpiecenya, al-asfar al- Arbaah fi al-hikmah al-muta‟aliyyah.
B. Karya-karya
Dalam bidang filsafat, sadra mengambil filsafat sejak dari pra sokrates
hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. Namun hanya ada tiga
pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi bagi sistem
pemikiran sadra.
1
Wikipedia, Free Encyclopedia
6
2
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan Jamaluddin
MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm.80.
3
Ibid., hlm 91
7
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa seluruh ide yang diambil
Mulla Sadra dari berbagai sumber tersebut digunakannya sebagai penyangga-
penyangga konstruksi pemikirannya, dengan kreativitas dan gayanya yang khas,
yang menunjukkan adanya suatu perspektif intelektual baru dalam pandangan
dunia Islam tradisional.
Kata kunci penting dari aliran filsafat ini adalah “wujud” sehingga ada yang
menyebutnya sebagai eksistensialisme islam. Sadra membedakan secara tegas
antara wujud dan realitasnya. Secara konseptual,wujud merupakan suatu konsep
yang paling universal dan paling dikenal diantara seluruh konsep yang ada,
sedangkan realitasnya adalah suatu yang paling tersembunyi, meskipun
sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang paling nyata. 4
5
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan
Jamaluddin MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm 915
9
realitas ini terbentang dari kutub Tiada mutlak sampai kutub Ada mutlak dengan
perbedaan tingkat kualitas dan intensitasnya.
Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang
gradasi cahaya, tetapi Sadra mengubah prinsip dasar tersebut secara mendasar.
Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada essensi seperti pada Suhrawardi
tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra, eksistensilah realitas asli satu-satunya.
Kedua, bahwa eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi
yang sistematis, sebab kenyataannya wujud tidak statis melainkan bergerak terus
menerus. Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih
tidak menentu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentukbentuk
eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu. Setiap model
eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau materi kemudian tertelan ke
dalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau
bentuk. Daya dorong gerak universal ini
adalah „isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak ke arah
yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke arah yang
lebih sempurna ini tidak dapat dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah
bergerak ke belakang.
Selanjutnya, karena eksistensi merupakan obyek keinginan universal, maka
eksistensi berarti baik dan eksistensi mutlak adalah kebaikan mutlak. Ini sekaligus
menunjukkan bahwa eksistensi adalah riil, bukan sekedar konsep.
Juga menunjukkan bahwa eksistensi mutlak tidak mempunyai lawan atau
tandingan, karena lawan atau genus dapat digolongkan ke dalam genus.
Sebaliknya, keburukan tidak mutlak tetapi hanya relatif, parsial dan negatif, dan
muncul dari wujud parsial yang memiliki essensi. 6
3. Ashalah al-Wujud ( Keutamaan Wujud )
Pandangan tentang wujud di atas dilengkapi dengan prinsip ashalah al-
wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama
kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam Filsafat Islam antara eksistensi
6
Ibid., hlm 219
10
Mulla Sadra yang sangat relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim, ia
mencoba mendamaikan ruang pemikiran filsafat ke arah yang lebih komprehensif
dan compatible dengan pola berpikir Qur‟any dengan menawarkan worldview yaitu
metode berpikir al-Hikmah al-Muta‟alliyah yang kemudian diartikan sebagai filsafat
transeden adapula yang memahami sebagai filsafat eksistensialisme, filsafat teosofi,
atau di kalangan para pemikir Muslim dikatakan sebagai filsafat irfani. Al-Hikmah
al-Muta‟alliyah yang berbeda dengan al-hikmah al-masya‟iyyah (peripatetic
philosophy) serta al-hikmah alisyraqiyyah (illuminasionist theosophy).1 Hikmah
Muta'aliyah (filsafat transendental) mirip dengan filsafat israqiyyah dalam
memadukan pendekatan rasional dengan pendekatan kasyf dan syuhud, tetapi
berbeda dalam sisi interpretasi dan konklusi telah berhasil mendamaikan dan
memecahkan perselisihan-perselisihan yang ada antara Masysyaiyyah dengan
isyraqiyyah, atau antara filsafat dengan irfan, antara filsafat dengan kalam. 4
Karakter filsafat Mulla Sadra menekankan pada wujudiyah (eksistensialisme),
yang mensintesiskan kalam, irfan (tasawuf), dan falsafah dalam sebuah bingkai
yang disebut sebagai teosofi-transendental (hikmah muta‟alliyah).
4 4
Nurkhalis, ”Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadr”, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2,
Oktober 2011, Hal 180
13
yang dikembangkan Mulla Sadra merupakan sintesis dari beragam corak pemikiran
Islam maka warna tersebut terlihat jelas dalam pandangan eskatologinya, sebuah
pandangan yang didasari demonstrasi rasional, sekaligus menawarkan gagasan-
gagasan yang berkesesuaian dengan doktrin agama dan pemaknaan-pemaknaan
yang bersifat metaforis (irfani).