Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Mulla Shadra

Mulla Sadra adalah nama populer dari Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-
Qawami al-syirazi, yang memiliki gelar “Sadr al-Din”. Sadra terlahir dari keluarga
qawam pada tahun 979/1571 di syiraz.ayahnya bernama ibrahim bin yahya al-qawami
al-syirazi, salah seorang yang berilmu lagi saleh. Ayahnya juga seorang gubernur di
Fars yang cukup berpengaruh di kotanya. Sejak usia dini, telah memperlihatkan
tingkat kesalihan yang tajam. Dengan pengetahuan yang kuat terhadap bahasa arab
dan persia, al-quran dan hadist serta disiplin- disiplin dasar keislaman lainya.
Merasa tidak puas akan ilmu yang di peroleh di Syiraz, sadra pergi ke Isfaham.
Isfahan memberikan kepuasan kepadanya akan mereguk ilmu. Perkembangan
terhadap keilmuan yang ditekuninya tidak memberikan kepuasan sepenuhnya. Dalam
perkembangannya kemudian dia mencari dimensi kehidupan yang lain, yakni asketik.
Berkaitan dengan pencarian itu, ia pergi dari isfahan untuk menjalani pelatihan
spiritual di kahak, sebuah desa terpencil dekat qum.
Sadra memulai pengunduran dirinya dengan adanya perasaan tidak puas
terhadap dunia, watak dunia yang selalu tidak pasti, terutama karena adanya motif-
motif untuk memperoleh kemegahan duniawi yang secara umum terdapat pada para
intelektual kartika itu. Disisilain pengunduran dirinya itu juga berasal dari rasa
bersalah karena dari hasil renungannya, ia merasa begitu bergantung kepada
kemampuan intelektualnya sendiri. Dan tidak menghambakan diri kepada kehendak
dan kekuasaan tuhan dengan jiwa yang suci dan ikhlas.
Pada tahun 1722 M Syah Abbas meminta sadra untuk kembali mengajar.
Selain itu juga gubernur Syiraz ketika itu, Allahwirdi Khan membangun sebuah
lembaga pendidikan yang dilengkapi dengan sebuah masjid besar. Gubernur
mengundangnya untuk mengajar dimadrasah itu.
Dengan adanya permintaan itu, sadrapun kembali kekota asalnya, selama
periode ini, ia menulis sebagian besar karya-karya nya dan mendidik muridnya.

3
4

Disinilah puncak popularitasnya tersebar luas. Banyak posisi penting yang ditawarkan
untuknya tapi semuanya ditolak.
Selama jangka waktu 30 tahun yang diisi dengan mengajar dan menulis, Mulla
Sadra melakukan ibadah haji sampai 7 kali. Dan semuanya itu di lakukan dengan jalan
kaki. Sekembalinya dari haji yang 7 itu sadra menderita sakit di basrah dan meninggal
dunia disana pada tahun 1050H/1640M.
Mulla Sadra, panggilan popular Shadr al-Din al-Ayirazi (w.1641 M), telah
menulis banyak karya yang agung filosofis, seperti Al-syawahid al-Rububiyyah,
Hikmah al-‘Arsiyyah, al-Masyair, dan yang terpenting dari semua karya nya yang
telah menjadi masterpiecenya, al-asfar al- Arbaah fi al-hikmah al-muta‟aliyyah.

B. Karya-karya

1. Al-Hikmah Al-Muta‟aliyah fi Asfar Al-A‟qliyah Al-Arba‟ah ( teosofi


transcendental yang membicarakan empat perjalanan akal pada jiwa).
2. Al-hasyr ( tentang kebangkitan ) atau Tarh Al-Kawnyan fi Hasyr Al-Alamin.
3. Al-Hikmah Al-‘Arsyiyah ( Hikmah diturunkan dari „Arsy Ilahi).
4. Huduts Al-Alam ( penciptaan alam ).
5. Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi dhaimini al-Mutawashawifin (pemusnahan
berhala jahiliyah dalam mendebati mereka yang berpura-puramenjadi ahli Sufi).
6. Kalq Al-‘Amal
7. Al-Lama’ah Al-Masyriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyah (percikan cahaya
iluminasionis dalam seni logika).
8. Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).
9. Mafatih Al-Ghaib (kunci alam ghaib).
10. Kitab Al-Masya’ir ( kitab penembusan metafisika).
11. Al-Mizaj (tentang perilaku perasaan).
12. Mutasyabihat Al-qur’an (Ayat-ayat mutasyabihat dalam al-qur‟an).
13. Al-qadha wa Al-Qadar fi Af’ali Al-Basyar (tentang masalah qadha‟ dan qadar
dalam perbuatan manusia).
14. Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyahi (penyaksian ilahi akan
jalan kearah kesederhanaan rohani).
15. Sharh-i Shafa.
16. Sharh-i Hikmat Al-Ishraq.
5

17. Ittihad Al-‘Aquil wa’l – Ma’qul.


18. Ajwibah Al-Masa’il.
19. Ittisaf Al-Mahiyyah bi’l Wujud.
20. At-Tashakhkhus.
21. Sarayyan Nur Wujud.
22. Limmi’yya Ikhtisas Al-Mintaqoh.
23. Khalq Al-‘Amal.
24. Zad Al-Musafir.
25. Isalat-i Ja’l-i Wujud.
26. Al-Hashriyyah.
27. Al-alfazh Al-Mufradah.
28. Radd –i Shubahat-i Iblis.
29. At-Tanqih.
30. At-Tasawwur wa’l-Tashdiq.
31. Diwan Shi’r.1

C. Pemikiran Mulla Shadra

Dalam bidang filsafat, sadra mengambil filsafat sejak dari pra sokrates
hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. Namun hanya ada tiga
pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi bagi sistem
pemikiran sadra.

Pertama, pemikiran ibnu sina (980-1037). Pengetahuan mulla sadra terhadap


pemikiran ibn sina adalah yang paling kuat yang paling luas dan terperinci dan
dipandang sebagai sumber terpentingnya selain Suhrawardi dan Ibn „Arabi. Ajaran
Ibnu Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan Filsafat Sadra, sehingga semua
persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan alSyaikh al-Rais (guru kepala),
gelar bagi Ibn Sina. Ia juga mengambil pendapat-pendapat Ibn Sina untuk
mendukung konsep-konsepnya sendiri, seperti soal realitas wujud dan kelemahan
essensi. Namun, Sadra juga mengkritik dan memodifikasi Filsafat Ibn Sina. Menurut
Fazlur Rahman, kritik Sadra yang paling keras terhadap Ibn Sina adalah dalam soal
epistemologi, yakni ketika Ibn Sina menolak kesatuan absolut antara subyek dan

1
Wikipedia, Free Encyclopedia
6

obyek yang diketahui.2

Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Suhrawardi


merupakan sumber utama pengetahuan Mulla Sadra dalam aliran Isyraqi.
Pandangan Suhrawardi bahwa essensi bukan realitas diambil Sadra dengan
doktrinnya tentang ashalah al-wujud, (principiality of being) bahwa yang pokok
dalam realitas adalah eksistensi, bukan essensi. Essensi hanya sesuatu yang ada
dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya. Sementara itu, gagasan Suhrawardi
tentang “jenjang cahaya” mengilhami Sadra untuk menelorkan gagasannya tentang
tasykik al-wujud (gradation of being), bahwa meski realitas ini tunggal tetapi
muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan manifestasi.3

Ketiga, pemikiran Ibn „Arabi (1165-1240 M). Menurut Fazlur Rahman,


pengaruh Ibn „Arabi terhadap Mulla Sadra terutama terlihat dalam tiga persoalan
penting, yaitu : Ketidaknyataan mahiyyah, hakikat sifat-sifat Tuhan, dan peranan
psikologis eskatologis dari „alam al-khayyal (dunia imajinasi). Dalam persoalan
yang pertama Mulla Shadra sering

2
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan Jamaluddin
MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm.80.
3
Ibid., hlm 91
7

mengutip pernyataan Ibn „Arabi yang terkenal : “mahiyyah-mahiyyah tidak


akan pernah mencium keharuman wujud”, untuk mendukung prinsip asalah al-
wujud, dan cukup memungkinkan bahwa Syaikh Akbar berperan dalam mengilhami
prinsip tersebut.3

Disamping pentingnya pengaruh Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibn „Arabi,


pendahulu yang juga paling berpengaruh terhadap Mulla Sadra adalah gurunya
sendiri, yaitu Mir Damad, pendiri Aliran Isfahan. Mir Damad adalah pengikut Ibn
Sina dengan warna isyraqi, dan dalam beberapa hal berbeda dengan Mulla Sadra.
Akan tetapi, gurunya itulah yang
mempersiapkan jalan bagi kemunculannya, yang memperlihatkan prestasi
puncak “Aliran Isfahan”. Mulla Sadra memahami sepenuhnya pandangan-pandangan
gurunya itu, dan dijadikannya sebagai rujukan dalam berbagai karyanya, terutama al-
Hikmah al-Muta‟aliyah.

Berdasarkan paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa seluruh ide yang diambil
Mulla Sadra dari berbagai sumber tersebut digunakannya sebagai penyangga-
penyangga konstruksi pemikirannya, dengan kreativitas dan gayanya yang khas,
yang menunjukkan adanya suatu perspektif intelektual baru dalam pandangan
dunia Islam tradisional.

Kata kunci penting dari aliran filsafat ini adalah “wujud” sehingga ada yang
menyebutnya sebagai eksistensialisme islam. Sadra membedakan secara tegas
antara wujud dan realitasnya. Secara konseptual,wujud merupakan suatu konsep
yang paling universal dan paling dikenal diantara seluruh konsep yang ada,
sedangkan realitasnya adalah suatu yang paling tersembunyi, meskipun
sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang paling nyata. 4

Bangunan metafisis raksasa yang diciptakan oleh Mulla Sadra serta


teologi, kosmologi, psikologi, eskatologinya semua bertumpu pada prinsip-
prinsipn : wahdah al- wujud, tasykik al-wujud, ashalah al-wujud, dan gerak
susbtansi (harakah jauhariyah) hanya dari sudut pandang prinsip-prinsip
inilah doktrin-doktrin Mulla Sadra dapat dipahami.
8

1. Wahdah Al- Wujud ( Kesatuan Wujud )


Mulla Sadra membedakan dengan tegas antara konsep tentang mafhum al-
wujud (wujud) dan haqiqah al-wujud (realitas wujud). Yang pertama, adalah
konsep yang terjelas dan yang paling mudah dipahami dari semua konsep,
sedangkan yang kedua, adalah yang terkabur dan tersulit karena ia mensyaratkan
persiapan mental ekstensif dan juga penyucian jiwa agar memungkinkan intelek
yang berada dalam diri seseorang berfungsi sepenuhnya tanpa selubung-selubung
nafsu, dan agar dapat melihat wujud sebagai realitas. 5
Mulla Hadi Sabziwari, murid dan penerus ajaran Mulla Sadra, meringkas
ajaran gurunya dalam buku Syarh al-Manzamah sebagai berikut : Gagasan (tentang
wujud)-nya adalah sesuatu yang sudah umum diketahui, namun realitas
terdalaminya berada di ujung ketersembunyian. Konsekuensi dari pengalaman
gnostik tentang wujud adalah tuntutan atau persatuan dengannya (hakikat wujud).
Mulla Sadra menyebutnya Wahdah al-Wujud (Kesatuan Transenden Wujud).
Menurut Ibn „Arabi dan Ibn Sabi‟in, kesatuan transenden wujud bermakna “hanya
Tuhan yang nyata, kewujudan yang lain hanya sementara atau tidak nyata”. Bagi
Ibn Arabi penampakan wujud yang berbagai-bagai itu merupakan bentuk dari
tajalli (teofani) nama dan sifat-Nya di depan cermin ketiadaan. Dalam pandangan
Sadra, yang membandingkan ajaran kesatuan transenden wujud dan pelbagai wujud
dengan hubungan matahari dan berkas sinar matahari yang dipancarkannya, berkas
sinar matahari itu bukan matahari dan pada saat yang sama bukan apa-apa selain
matahari.
2. Tasykik al-Wujud ( Gradasi Wujud )
Seperti disinggung di atas, Sadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya
ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan.
Namun demikian, Sadra tidak menyimpulkan sebagai wahdah al-wujud, tetapi
mengajukan tasykik al-wujud, yakni bahwa eksistensi ini mempunyai gradasi yang
kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat
gradasi “ada-ada nisbi” yang tak terhingga. Dengan kata lain,

5
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan
Jamaluddin MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm 915
9

realitas ini terbentang dari kutub Tiada mutlak sampai kutub Ada mutlak dengan
perbedaan tingkat kualitas dan intensitasnya.
Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang
gradasi cahaya, tetapi Sadra mengubah prinsip dasar tersebut secara mendasar.
Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada essensi seperti pada Suhrawardi
tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra, eksistensilah realitas asli satu-satunya.
Kedua, bahwa eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi
yang sistematis, sebab kenyataannya wujud tidak statis melainkan bergerak terus
menerus. Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih
tidak menentu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentukbentuk
eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu. Setiap model
eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau materi kemudian tertelan ke
dalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau
bentuk. Daya dorong gerak universal ini
adalah „isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak ke arah
yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke arah yang
lebih sempurna ini tidak dapat dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah
bergerak ke belakang.
Selanjutnya, karena eksistensi merupakan obyek keinginan universal, maka
eksistensi berarti baik dan eksistensi mutlak adalah kebaikan mutlak. Ini sekaligus
menunjukkan bahwa eksistensi adalah riil, bukan sekedar konsep.
Juga menunjukkan bahwa eksistensi mutlak tidak mempunyai lawan atau
tandingan, karena lawan atau genus dapat digolongkan ke dalam genus.
Sebaliknya, keburukan tidak mutlak tetapi hanya relatif, parsial dan negatif, dan
muncul dari wujud parsial yang memiliki essensi. 6
3. Ashalah al-Wujud ( Keutamaan Wujud )
Pandangan tentang wujud di atas dilengkapi dengan prinsip ashalah al-
wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama
kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam Filsafat Islam antara eksistensi
6
Ibid., hlm 219
10

(wujud dalam maknanya yang terkait dengan dunia yang majemuk)


dan mahiyyah atau kuiditas yang dalam bentuk orisinal Latinnya
diturunkan langsung dari bahasa Arab, mahiyyah.7
Semua obyek tersusun dari dua komponen, pertama, yang berkaitan dengan
jawaban atas pertanyaan “apa?”, dan kedua, atas pertanyaan “bagaimana?”.
Pertanyaan yang diajukan dalam Filsafat Islam terkemudian, dan khususnya
oleh Mulla Sadra, adalah manakah di antara kedua unsur ini yang lebih utama
dan memberikan realitas kepada suatu obyek.
Menurut Mulla Sadra wujudlah yang memberikan realitas kepada sesuatu dan
bahwa mahiyyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya sendiri, melainkan
diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan suatu tindakan tertentu
wujud. Ketika kita menyatakan ada seekor kuda, dengan mengikuti akal sehat kita
berpikir bahwa kuda itu adalah suatu realitas yang eksistensinya merupakan
tambahan baginya. Namun dalam realitas, apa yang kita pahami adalan tindakan
tertentu wujud yang melalui fakta itulah ia tampak secara terbatas pada bentuk
tertentu yang kita pahami sebagai kuda. Bagi orang- orang yang telah menyadari
kebenaran tersebut, fakta bahwa seekor kuda itu ada kemudian ditransformasikan
ke dalam realitas yang telah dimanifestasikan, oleh tindakan wujud itu sendiri ke
dalam suatu bentuk tertentu yang kita sebut kuda. Bentuk atau mahiyyah kuda tidak
mempunyai realitas sendiri, tetapi mendapatkan semua realitasnya dari tindakan
wujud.
Jadi, realitas itu tak lain tak bukan adalah wujud, yang satu sekaligus
bergradasi, yang mengeksistensikan realitas segala sesuatu. Metafisika Mulla Sadra
sebetulnya dapat dipahami bukan hanya dengan memahami prinsip- prinsip ini
melainkan juga dengan memahami hubungan antar prinsip itu. Wujud bukan hanya
satu, melainkan juga bergradasi. Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan
juga sejati, atau, dengan perkataan lain, yang memberikan realitas kepada semua
kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas sama sekali dalam diri mereka.
7
Ibid., hlm. 225
11

4. Gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah)


Teori gerak substansial (al-harakah al-jauhariyah), menurut Rahman, adalah
sumbangan orisinal Sadra terhadap filsafat Islam. Ajaran ini merupakan uraian
lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi
dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingkat tinggi.
Menurut para filosof sebelum Sadra, gerak membutuhkan pendukung dasar
berupa sesuatu yang diam sekaligus bergerak, yakni wujud potensial sekaligus
aktual, sebab aktualitas terjadi dalam gerak. Karena itu, bagi mereka, gerak tidak
mengenai substansi tetapi hanya terjadi dalam aksiden, yakni kualitas, kuantitas,
posisi dan tempat. Substansi tidak ikut bergerak karena jika itu terjadi, ia tidak bisa
menerima judgement. Begitu kita memberi judgement ia telah berubah menjadi
yang lain. Sadra tidak bisa menerima pendapat seperti itu.
Menurutnya, gerak tidak bisa disebabkan karena sesuatu yamg diam, karena ia
hanya mengerti dirinya sebagai sesuatu yang tetap dan kenyataan saat ini. entitas
semacam ini bisa mempunyai essensi yang tetap tetapi bukan eksistensi tetap yang
hanya ada dalam perubahan dan perpindahan. Karena itu, menururt Sadra, mesti ada
perubahan gerak lain disamping gerak aksiden, gerak yang lebih fundamental, yakni
gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah), di mana gerak aksiden pada akhirnya bisa
dilacak.
Dengan kata lain, bagi Sadra, gerak atau perubahan hanya terjadi pada empat
kategori aksiden, tetapi juga pada substansi. Bahkan, gerak substansi inilah yang
paling penting dan fundamental. Karena aksiden bergantung pad substansi, maka
gerak substansi menyebabkan perubahan pada aksiden. Buah apel berubah dari
hijau tua menjadi hijau muda, kemudian kuning dan merah, karena disana ada
perubahan rasa, berat dan lainnya. Semua realitas wujud yang bersifat gradasi
berada dalam gerak yang terus menerus ini.8 Hasilnya,
a. tingkatan-tingkatan wujud tidak lagi statis tetapi terus bergerak dan
mencapai bentuk-bentuk yang labih tinggi dalam waktu.
8
Ibid., hlm 229
12

b. gerak semesta berkahir pada alam ketuhanan dan bersatu dengan


sifat- sifat Tuhan.
c. wujud dapat diterapkan pada seluruh tangga evolusi dengan gradasi.
d. masing-masing tangga wujud yang lebih melampaui dan meliputi
semua tangga yang lebih rendah.
e. semakin sempurna eksistensi sesuatu semakin sedikit essensi yang
dimiliki, karena eksistensi bersifat riil, konkret, individual dan bercahaya, sedang
essensi adalah kebalikan eksistensi dan hanya ada dalam pikiran karena pengaruh
eksistensi.

D. Karakteristik Mulla Shadra

Mulla Sadra yang sangat relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim, ia
mencoba mendamaikan ruang pemikiran filsafat ke arah yang lebih komprehensif
dan compatible dengan pola berpikir Qur‟any dengan menawarkan worldview yaitu
metode berpikir al-Hikmah al-Muta‟alliyah yang kemudian diartikan sebagai filsafat
transeden adapula yang memahami sebagai filsafat eksistensialisme, filsafat teosofi,
atau di kalangan para pemikir Muslim dikatakan sebagai filsafat irfani. Al-Hikmah
al-Muta‟alliyah yang berbeda dengan al-hikmah al-masya‟iyyah (peripatetic
philosophy) serta al-hikmah alisyraqiyyah (illuminasionist theosophy).1 Hikmah
Muta'aliyah (filsafat transendental) mirip dengan filsafat israqiyyah dalam
memadukan pendekatan rasional dengan pendekatan kasyf dan syuhud, tetapi
berbeda dalam sisi interpretasi dan konklusi telah berhasil mendamaikan dan
memecahkan perselisihan-perselisihan yang ada antara Masysyaiyyah dengan
isyraqiyyah, atau antara filsafat dengan irfan, antara filsafat dengan kalam. 4
Karakter filsafat Mulla Sadra menekankan pada wujudiyah (eksistensialisme),
yang mensintesiskan kalam, irfan (tasawuf), dan falsafah dalam sebuah bingkai
yang disebut sebagai teosofi-transendental (hikmah muta‟alliyah).
4 4
Nurkhalis, ”Pemikiran Filsafat Islam Perspektif Mulla Sadr”, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2,
Oktober 2011, Hal 180
13

Al-Hikmah al-Muta‟âliyah telah menyingkap sejumlah realitas yang selama ini


masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep filsafat yang
sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak dunia filsafat
metafisika dengan konsep kesejatian wujud (ashalah al-wujud) dan menggugurkan
klaim orisinalitas esensi (ashalah al-mahiyah)-nya Suhrawardi dan para pendukung
Iluminasi. Ia juga mengganti klaim multiplisitas wujudnya Ibnu Sina dan para
pendukung filsafat peripatetik dengan gagasan tentang unitas wujud yang gradual
(al-wahdah fî „ain al-katsrah) dan gagasan tentang „wujud mandiri‟ (al-wujud al-
mustaqil) dan „wujud bergantung” (al-wujûd ar-rabith). Mulla Sadra merekonstruksi
kembali pemikiran Shadrul-Muta‟allihin (Penghulu para filosof ketuhanan) „gerak
substansial‟ (al-harakah al-jawhariyah) dan memberikan penafsiran baru tentang
kesatuan subjek „akal‟ dan „objek akal‟ (ittihad al-aqil wa al-ma‟qul).
Adapun secara epistemologis, hikmah muta‟aliyah ini berarti kebijaksanaan
yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq),
pembuktian rasional („aql atau istidlal), dan syari‟at. Dengan demikian, hikmah
muta‟aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan
ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan
menggunakan argumentasi-argumentasi rasional. Hikmah Muta‟aliyah ini bukan
hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud
penerima pencerahan untuk merealisasikan pengetahuan sehingga terjadinya
transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari‟at.4 Adapun
pengertian al-Hikmah al-Muta‟aliah menurut Mulla Sadra adalah pengetahuan yang
didasarkan pada argumentasi rasional/ burhani,teologi dan filsafat, dan visi
rohani/zauq, tasawuf, serta sesuai dengan syari‟at.
Al-Hikmah al-Muta‟āliyyah, Mulla Sadra merupakan sintesis dari ketiga corak
berpikir tersebut, yaitu : Teologi dengan karakter dialektikal-polemikal (Jaddali),
filsafat dengan karakter demonstratif/burhany, theosofi Illuminastik dangnostic
dengan karakter dhawq ditambah dengan elemen naqli yang berasal dari al-Qur‟an,
dan Hadis. Paling tidak ada tiga aliran pemikiran yang berhasil disintesis Mulla
Sadra antara lain; tasawuf, teologi dan filsafat. Filsafat al-Hikmah al-Muta‟aliyyah
14

yang dikembangkan Mulla Sadra merupakan sintesis dari beragam corak pemikiran
Islam maka warna tersebut terlihat jelas dalam pandangan eskatologinya, sebuah
pandangan yang didasari demonstrasi rasional, sekaligus menawarkan gagasan-
gagasan yang berkesesuaian dengan doktrin agama dan pemaknaan-pemaknaan
yang bersifat metaforis (irfani).

Anda mungkin juga menyukai