1
Hossein Ziai, ”Mulla Sadra : Kehidupan dan Karyanya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Terj Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 902.
24
25
2
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 44.
3
A Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 157 – 8.
26
dari metode rasional, yang menurutnya bersifat dangkal dan tidak dapat
mencapai kebenaran hakiki dan perasaan bersalah karena dia begitu
tergantung kepada kemampuan intelektualnya sendiri, bukan meng-
hambakan diri kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dengan jiwa yang
suci dan ikhlas.6
3. Periode ketiga, masa Mengajar dan Menulis
Periode ini berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur Syiraz,
Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di
kota itu. Memenuhi panggilan itu, Mulla Sadra kembali ke kota
kelahirannya untuk mendidik sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya
menarik perhatian pelajar dari jauh dan dekat dan menjadikan Syiraz
kembali sebagai sebuah kota pusat ilmu seperti dulu. Pusat Kajian Khan
atau Madrasah Khan menjadi sangat masyhur hingga ia menarik perhatian
pengembara luar. Thomas Herbert, pengembara abad ke-11 H / 17 M yang
pernah melawat ke Syiraz semasa hidup Sadra, menulis bahwa di Syiraz
terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia dan
matematika yang menyebabkannya termasyhur di seluruh Parsi.7
Dalam karirnya sebagai guru, Mulla Sadra telah berhasil
melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di
dalam aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid
yang paling terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka
masih tetap dikaji hingga kini yaitu Mulla Abdul Razzaq Lahiji
(w. 1072 H / 1661 M) dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H /
1680 M).8
Disamping bertugas sebagai pendidik di Madrasah Khan yang
dilaluinya selama tiga puluh tahun, di periode ini juga beliau banyak
menulis karya-karyanya.9
6
Syaifan Nur, Op.cit..,hlm. 48 – 49.
7
Seyyed Hossen Nasr, Op.cit.,hlm. 27 – 28.
8
Syaifan Nur, Op cit.,hlm.55.
9
Ibid., hlm.56.
28
Mulla Sadra menyusun tidak kurang dari lima puluh buah karya
yang sebagian besarnya dalam bahasa Arab. Menurut Fazlur Rahman,
karya Mulla Sadra seluruhnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Kebanyakan
karya Sadra diterbitkan sejak seperempat terakhir abad ke-19, sebagian
lebih dari satu kali, sedang risalah-risalah tertentu yang lebih kecil belum
diterbitkan.11
Dari keseluruhan karya Mulla Sadra itu ada yang berusaha
membaginya menjadi karya murni bersifat filosofis dan karya yang
bersifat religius, berdasarkan tema sentral yang dikandungnya. Begitu
juga, berdasarkan orisinalitas ide dalam karya Mulla Sadra, ada yang
membaginya menjadi karya asli dan karya yang memuat penjelasan-
penjelasan tentang tulisan-tulisan filosofis sebelumnya; seperti
penjelasannya tentang metafisika Ibnu Sina yang terdapat di dalam al-
Syifa dan Hikmat al-Isyraq Suhrawardi.12
Namun Mulla Sadra sendiri menganggap bahwa kedua komponen
atau kumpulan ilmu itu berkaitan dan tidak boleh dipisahkan satu sama
lain. Keduanya lahir dari suatu puncak atau sumber yang sama, yaitu
hadirat Tuhan (Nasr, 1992 : 30). Dengan itu maka kita dapati Sadra
membincangkan persoalan ilmu akal atau intelek di dalam kumpulan kitab
ilmu naqli, dan sebaliknya pula membincangkan ilmu ketuhanan di dalam
10
Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm.28.
11
Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin, Pustaka, Bandung, 2000, hlm.23.
12
Ibid.
29
kumpulan kitab ilmu akal. Oleh karena itu, sebenarnya pembagian di atas
tidak dapat dipertahankan meskipun bukan tanpa makna sama sekali.13
Karya-karya Mulla Sadra tidak hanya merupakan khazanah
mistikal dan pandangan kosmologisnya serta penjelasan tentang eskatologi
yang telah ditemukan dalam sejumlah teks-teks Filsafat Islam, tetapi juga
menghubungkan pandangan-pandangan berbagai ajaran pemikiran Islam
maupun pra Islam. Oleh karena itu, karya-karyanya benar-benar
merupakan ensiklopedi Filsafat Islam yang memadukan ajaran Avicennan,
Suhrawardi, Ibnu ‘Arabi, serta pemikiran Kalam.14
Di sini akan dipaparkan sebagian dari karya-karya utama Sadra,
antara lain :
1. Al-Hikmat Al-Muta’aliyah fil-Asfar Al-Aqliyyah Al-Arba’ah (Hikmah
Muta’aliyah Tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa), yang lebih
dikenal dengan judul Asfar (Perjalanan) saja.
Merupakan karya yang paling fundamental dan
monumental. Kitab ini dipandang sebagai summa philosophiae al-
Syirazi, karena menjadi dasar dari karyanya yang lebih pendek dan
juga sebagai risalah pemikiran pasca Avicennian pada umumnya. Di
dalamnya memuat simbol-simbol pengembaraan intelektual dan
spiritual manusia ke hadirat Tuhan. Juga memuat hampir semua
persoalan seperti Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Dalam
pengajiannya menggunakan pendekatan morfologis, metafisis dan
historis. Sampai saat ini di Iran, Asfar digunakan sebagai teks tertinggi
dalam memahami hikmah dan hanya dibaca oleh mereka yang telah
memahami teks-teks standar ilmu kalam, filsafat peripatetik, teosofi
isyraqi dan dasar-dasar ajaran ‘irfan.
2. Mafatih Al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib)
Merupakan karya Sadra yang sangat mendasar dalam masa
kematangan dalam ilmu. Ramuan ilmu berdasarkan doktrin ‘irfan
13
Syaifan Nur, Op.cit., hlm.57.
14
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan
Jamaluddin MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm.80.
30
15
Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm 38 – 50.
16
Syaifan Nur, Op.cit., hlm.109.
31
spiritual. Makna inilah yang lebih dulu terbuka kepada seorang pencari
kebenaran, sebelum terungkap di hadapannya makna batin dari teks suci.17
Selain kedua sumber yang fundamental tersebut, sebagai aliran yang
dilahirkan dan berkembang di lingkungan tradisi Syi’ah, al-hikmah al-
muta’aliyah juga bersumber kepada ucapan-ucapan para imam, khususnya
Imam ‘Ali, yang juga dianggap sebagai teks-teks suci.
Disamping sumber-sumber yang bersifat tradisional tersebut di atas,
al-hikmah al-muta’aliyah juga dibangun berdasarkan sumber-sumber yang
bersifat historis.
Dalam disiplin kalam atau teologi, Mulla Sadra, meskipun diselubungi
oleh pemikiran Syi’ah, ia memahami aliran ilmu kalam Sunni sebaik
pengetahuannya tentang aliran kalam Syi’ah.
Mengenai kalam Syi’ah, yang menjadi sumber utamanya adalah karya
Nasir al-Din al-Tusi yang berjudul Tajrid al-Aqa’id beserta seluruh komentar
dan penjelasannya yang merupakan suatu kumpulan tulisan dalam bidang
filsafat kalam, karya-karya kalam Syi’ah yang bersifat filosofis dan mistis,
atau yang menggunakan metode-metode pembuktian secara filosofis dan
berusaha memadukannya dengan sufisme, serta kalam Syi’ah Isma’iliyah,
yang telah membentuk kalam dan filsafat secara khusus sejak periode awal
sejarah Islam, seperti tulisan dari Hamid al-Din al-Kirmani(w.412H/1021 M)
yang berjudul Rahat al-‘Aql dan juga Rasa’il dari Ikhwan al-Safa.
Sumber-sumber yang berasal dari kalam Sunni, baik Asy’ariyah
maupun Mu’tazilah juga memiliki peranan yang berarti terhadap al-hikmah al-
muta’aliyah terutama Asy’ariyah melalui karya-karya al-Gazali, Fakhr al-Din
al-Razi, dan ‘Adud al-Din al-Iji (701-756 H/1301-1355 M) serta Sayyid Syarif
Jurjani (740 – 816 H/1339-1413 M).18
Dalam bidang filsafat, Sadra mengambil filsafat sejak dari pra-
Sokrates hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. Namun,
17
Ibid, hlm. 110.
18
Ibid., hlm. 111 – 112.
32
hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi
bagi sistem pemikiran Sadra.
Pertama, pemikiran Ibn Sina (980-1037 M). Pengetahuan Mulla Sadra
terhadap pemikiran Ibn Sina adalah yang paling luas dan terperinci dan
dipandang sebagai sumber terpentingnya selain Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi.
Mulla Sadra mengenal karya-karya filosofis Ibn Sina seperti al-Syifa, al-
Najat, al Mabda wa al-Ma’ad, Risalah fi al-‘Isyq, dan ‘Uyun al-Hikmah, dan
juga sering mengutip sebagian karya penting Ibn Sina lainnya seperti Ta’liqat
dan Mubahasat. Mengenai filosof peripatetik yang kemudian, yang paling
memperoleh perhatian khusus adalah Nasir al-Din al-Tusi dengan karya
filosofisnya yang penting seperti Syarh al-Isyarat.19
Ajaran Ibnu Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan Filsafat
Sadra, sehingga semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al-
Syaikh al-Rais (guru kepala), gelar bagi Ibn Sina. Ia juga mengambil
pendapat-pendapat Ibn Sina untuk mendukung konsep-konsepnya sendiri,
seperti soal realitas wujud dan kelemahan essensi. Namun, Sadra juga
mengkritik dan memodifikasi Filsafat Ibn Sina. Menurut Fazlur Rahman,
kritik Sadra yang paling keras terhadap Ibn Sina adalah dalam soal
epistemologi, yakni ketika Ibn Sina menolak kesatuan absolut antara subyek
dan obyek yang diketahui.20
Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Suhrawardi
merupakan sumber utama pengetahuan Mulla Sadra dalam aliran Isyraqi. Ia
menggunakan karya-karya Suhrawardi seperti Talwihat, Mutarahat, dan
Hayakil al-Nur, yang semuanya dijadikan rujukan, baik di dalam Al-Hikmah
al-Muta’aliyah maupun buku-bukunya yang lain. Pengaruh Suhrawardi dapat
dilihat dalam kritikan dan penolakannya, dan sebagian yang lain dalam
penerimaannya.
Pandangan Suhrawardi bahwa essensi bukan realitas diambil Sadra
dengan doktrinnya tentang ashalah al-wujud, (principiality of being) bahwa
19
Ibid., hlm. 115 – 6.
20
A. Khudhori Soleh, Op.cit., hlm. 60.
33
yang pokok dalam realitas adalah eksistensi, bukan essensi. Essensi hanya
sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya. Sementara
itu, gagasan Suhrawardi tentang “jenjang cahaya” mengilhami Sadra untuk
menelorkan gagasannya tentang tasykik al-wujud (gradation of being), bahwa
meski realitas ini tunggal tetapi muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan
manifestasi.21
Ketiga, pemikiran Ibn ‘Arabi (1165-1240 M). Menurut Fazlur
Rahman, pengaruh Ibn ‘Arabi terhadap Mulla Sadra terutama terlihat dalam
tiga persoalan penting, yaitu : Ketidaknyataan mahiyyah, hakikat sifat-sifat
Tuhan, dan peranan psikologis eskatologis dari ‘alam al-khayyal (dunia
imajinasi). Dalam persoalan yang pertama, Mulla Sadra sering mengutip
pernyataan Ibn ‘Arabi yang terkenal : “mahiyyah-mahiyyah tidak akan pernah
mencium keharuman wujud”, untuk mendukung prinsip asalah al-wujud, dan
cukup memungkinkan bahwa Syaikh Akbar berperan dalam mengilhami
prinsip tersebut.22
Sedangkan dalam persoalan yang kedua, di bawah pengaruh ajaran-
ajaran Ibn ‘Arabi, Mulla Sadra memodifikasi secara drastis pandangan
peripatetik neo Platonik tentang tentang akal-akal, menjadikannya sebagai
bagian dari Tuhan, dan menyamakannya dengan sifat-sifat Tuhan serta Dunia
Ide dari Plato. Selanjutnya, dia menerangkan seluruh uraian tentang emanasi
dalam bahasa Ibn ‘Arabi dan alirannya.
Dalam pemikiran Mulla Sadra, kedua persoalan tersebut di atas
menjadi lebih terkait erat daripada dalam sistem Ibn ‘Arabi, dimana
mahiyyah-mahiyyah dianggap masih tetap menyimpan realitas, dan Mulla
Sadra mengkritik Ibn ‘Arabi dalam hal ini. Kejeniusan Mulla Sadra terletak
dalam keberhasilannya memadukan kedua ide di atas, dengan memahami
secara utuh implikasi-implikasi dari masing-masing ide tersebut, dan
menjadikannya menghasilkan suatu prinsip yang unik, yang dikenal dengan
istilah al-harakah al-jauhariyyah.
21
Ibid., hlm. 160 – 161.
22
Syaifan Nur, Op.cit., hlm. 118 – 9.
34
23
Ibid., hlm. 119 – 120.
24
Ibid., hlm. 120.
35
25
Ibid., hlm. 121.
26
Seyyed Hossen Nasr, Op.cit., hlm.915 – 916.
36
27
Ibid.
28
A. Khudhori Soleh, Op.cit., 164.
37
29
Ibid., hlm. 165.
30
Ibid.
31
Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm. 917 – 8.
38
32
Ibid.
33
Fazkur Rahman, Op.cit., hlm.15.
39
34
A. Khudori Sholeh, Op.cit., hlm. 166 – 7.
40
35
Ibid., hlm. 167.
36
Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra dan Ajaran-ajarannya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan, bandung, 2003, hlm. 930.
37
Ibid.
41
malakah), akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), dan akal yang diperoleh ( al’aql bi al-
mustafad).38
Pada tingkat potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah) disertakan pada jiwa
dari sejak awalnya dan sebagaimana jiwa itu sendiri, tidak memiliki
pembuktian terhadap dirinya sendiri, dan pemahaman-pemahaman spekulatif.
Kondisi eksistensi jiwa ini adalah tahap terakhir dalam alam fisik dan tahap
pertama untuk memasuki alam metafisika.
Tingkat akal posesif (al-‘aql bi al-malakah) terjadi tepat setelah yang
sebelumnya, dikatualkan melalui pemerolehan pemahman-pemahaman primer
(konsep dan kesepakatan) atau data primer, data melalui eksperimen, data
melalui transmisi, dsb. (yang sama pada seua orang) seperti “keseluruhan itu
lebih besar dari bagian”, “berbohong itu bukan perbuatan baik”, stau adalah
setengah dari dua”, dan seterusnya. Persepsi-persepsi tersebut diperlukan
untuk mengaktualkan tingkatan yang berikutnya.
Tingkat ketiga adalah akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l). Ketika
pemahaman-pemahaman tersebut digerakkan menuju jiwa, maka refleksi dan
kerinduan untuk menyimpulkan pemahaman-pemahaman yang belum
dipahaminya akan muncul dalam diri manusia, yang pada gilirannya akan
membuatnya secara sukarela merenung menggunakan dengan apa yang
sebelumnya telah ia miliki untuk memperoleh pemahaman mental yang baru.
Walaupun pemahaman-pemahaman intelektual spekulatif tidak secara aktual
hadir bersama dengan akal, mereka akan dpahami segera setelah jiwa mau
melakukannya, dan tidak akan dilakukan pencarian bukti dan gerak pemikiran
(menuju yang dipahami, kemudian dari yang dipahami menuju kapda yang
tidak dipahami); karena pengamatan yang sering terhadap pemahaman
spekulatif dan intelektual ini, gerak intelektual menuju prinsip yang begitu
banyak, dan terhubungan dengan prinsip tersebut, telah menyebabkan suatu
hubungan kepemilikan dan pemahaman akal, dan karenanya, akan hadir secara
aktual bersamanya.
38
Seyyed Mohsen Miri, “Mulla Sadra Kehidupan dan Pemikirannya”, jurnal Al-Huda, Vol.2
No.8, Islamic Center, Jakarta, 2003, hlm.137.
42
39
Ibid., hlm. 138.
40
Syaifan Nur, Op.cit., hlm. 123.
43
41
Ibid., hlm.
42
Ibid., hlm. 124
44
tidak akan bertentangan dengan agama, demikian pula agama, selalu sesuai
dengan akal.43
Mulla Sadra menyatakan bahwa untuk memperoleh petunjuk yang
benar tidak cukup hanya dengan bertaklid kepada keterangan-keterangan
agama, tetapi harus disertai penyelidikan dan penalaran. Sebab, tidak ada
tempat bersandar bagi agama kecuali ucapan-ucapan Nabi dan pembuktian
akal yang menjelaskan tentang kebenaran misinya. Akan tetapi, petunjuk yang
benar tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan akal, tanpa sinar agama.
Dengan kata lain, langkah akal akan terbatas dan kemampuannya menjadi
berkurang jika dia tidak diberi petunjuk oleh sinar agama.
Oleh karena itu, harus terjadi kombinasi yang serasi antara agama dan
akal, salah satunya tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Agama yang benar dan
bersinar terang tidak akan menjadikan hukum-hukumnya bertentangan dengan
pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai akal adalah
cahaya di atas cahaya.44
Menurut Sadra metode kasyf dapat menyampaikan seseorang kepada
pengetahuan yang sejati .Ia menegaskan bahwa hakikat hikmah diperoleh
melalui ilmu ladunni, dan selama seseorang belum sampai pada tingkatan
tersebut, maka jangan dijadikan sebagai ahli hikmah, yang merupakan salah
satu karunia ketuhanan. Diadakan penjelasannya dia mengemukakan bahwa
ada dua macam cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan belajar dan
usaha sendiri dan melalui karunia ketuhanan yang berupa ketersingkapan.
Cara pertama dapat berasal dari dalam dan dari luar, atau melalui perenungan
pribadi dan yang didengar dari guru serta membaca tulisan yang
digoreskannya. Sedangkan cara yang kedua adalah melalui pengajaran
langsung dari Tuhan tanpa perantara. Inilah yang disebut ilmu ladunni atau
kasyfiyyah atau ilhamiyyah, yang hanya dapat diperoleh melalui dzauq dan
wijdan.45
43
Ibid. hlm.
44
Ibid. hlm. 125
45
Ibid., hlm. 125 – 6
45
46
Mulla Sadra, Al-Himah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah, Dar Ihya’ al-Turas al
‘Arabi, Beirut, 1981, Jilid V, hlm. 205
46
Pengetahuan tentang hal itu hanya bisa diperoleh melalui bantuan Tuhan,
pengetahuan yang utuh tentang hikmah, dan pemahaman terhadap rahasia-
rahasia kenabian.
Selanjutnya Mulla Sadra menggunakan simbol perjalanan atau safar
bagi menggambarkan proses intelek manusia mencapai hakekat kebenaran.
Empat perjalanan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.47
Perjalanan pertama adalah dari makhluk (khalq) menuju Hakikat
Kebesaran atau Pencipta (Haqq). Perjalanan pertama ini menunjukkan
pengembaraan dari maqam nafsu (nafs) ke maqam hati (qalb), dari maqam
hati ke maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan akhir (al-maqshad al-
aqsha) atau tujuan tertinggi (al-bahjah al-kubra).
Setiap manusia pada umumnya melalui tiga maqam ini. Manakala
seseorang manusia telah mnecapai al-maqsha al-aqsha, berarati ia telah
menghadapkan wajahnya kepada Keindahan Hadirat Tuhan dan ia fana’ di
dalam-Nya. Maqam terakhir ini disebut juga maqam fana’ di dalam Dzat
Tuhan (al-fana’ al-Dzat) yang di dalamnya terkandung rahasia (sirr) dan yang
paling tersembunyi (al-akhfa).
Perjalanan kedua adalah dari Hakikat ke Hakikat dengan Hakikat (min
al-Haqq ila al-Haqq bi al-Haqq). Perjalanan dimulai dari maqam Dzat
menuju maqam Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan Tuhan dan
mengetahui seluruh Nama Tuhan. Seseorang yang telah mencapai maqam ini,
dzatnya, sifatnya dan perbuatannya fana’ di dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan
Tuhan. Sirr adalah kefana’an dzatnya khafa adalah kefana’an sifat dan
perbuatannya. Perjalanan kedua ini berakhir sampai daerah kewalian (dairat
al-waliyat).
Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat menuju makhluk dengan Hakikat
(min al-Haqq ila al-khlaq bi al-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui
maqam-maqam, kefana’annya berakhir lalu ia kekal (baqa’) dalam kekekalan
(baqa’) Tuhan. Kemudian ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut,
alam malakut, dan alam nasut, melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat dan
47
Ibid., Jilid I hlm. 13 – 6
47