Anda di halaman 1dari 24

BAB III

MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA


TENTANG EPISTEMOLOGI

A. Biografi Mulla Sadra


1. Riwayat Hidup

Shadr al-Din Shirazi adalah salah seorang filosof yang paling


dihormati dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang
ini. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrahim al-Qawami al-Shirazi,
yang dikenal dengan Mulla Sadra. Gelar kehormatannya Shadr al-Din (Ahli
Agama), menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis
tradisional, sementara sebutannya sebagai “Teladan” atau Otoritas Filosof-
filosof Ilahi (Sadr al-Muta’allihin) menandakan posisi uniknya di mata
generasi-generasi filosof yang datang setelahnya. Ia lahir di Shiraz, Persia
Selatan, pada 979 H/1572 M dari sebuah keluarga yang berada. Ayahnya
konon adalah menteri dalam istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama.
Shadr al-Din, menurut suatu riwayat, telah berhaji ke Makkah sebanyak enam
kali, dan dalam perjalanan yang ketujuh pada 1050 H/1640 M ia meninggal
dan di kuburkan di Basrah.1
Kebanyakan sejarawan dan komentator atas karya-karyanya membagi
kehidupannya menjadi tiga periode terpisah.
1. Masa Pendidikan Formal
Masa ini dia lalui di Shiraz dan Isfahan. Perlu diketahui bahwa
selama berabad-abad, sebelum kemunculan dinasti Safawi, Shiraz telah
menjadi pusat filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional lainnya. Posisi
ini terus berlanjut sampai abad ke-10/ke-16, meskipun fungsinya tidak lagi
sehebat sebelumnya. Di dalam tradisi pendidikan inilah Mulla Sadra
memperoleh pendidikan awalnya.

1
Hossein Ziai, ”Mulla Sadra : Kehidupan dan Karyanya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Terj Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 902.

24
25

Merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Shiraz, dia


berangkat ke Isfahan. Ketika itu, Isfahan telah menjadi pusat intelektual
yang penting di Persia, dan mungkin di belahan Timur dunia Islam secara
keseluruhan.2
Isfahan tidak mengecewakan Sadra, karena di sini ia menjumpai
beberapa orang mursyid yang memberikan pengaruh mendalam terhadap
dirinya. Di sini ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh
terkemuka saat itu : Baha’ al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad (w.
1631 M) dan Mir Abu al-Qasim Findirishi (w. 1641 M).
Al-Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (fiqh), teolog, arsitek
dan pujangga, sedangkan Mir Damad adalah seorang teolog, filosof dan
mistikus di samping pujangga, mengajar filsafat Ibn Sina dengan
interpretasi Isyraqiyyah (illuminatif). Karya yang merupakan master
piecenya, Qabasat (Fire Brands) menjelaskan tentang pergumulan antara
filsafat, teologi dan gnosis. Tokoh inilah yang mendirikan ajaran yang
kemudian dikembangkan Mulla Sadra, yakni al-hikmah al-muta’aliyah
(Transcendent Theosophy). Sementara itu al-Findirishi adalah seorang
guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis
komentar tentang Hindu dan Yoga.3
Di bawah bimbingan para mursyid tersebut, Mulla Sadra dengan
cepat menjadi tokoh yang berwibawa dalam bidang ilmu keislaman dan
kemudian mencari peringkat yang melebihi gurunya sendiri.
2. Masa Pelatihan Spiritual
Setelah periode formal studinya, Mulla Sadra uzlah dari
masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih mengasingkan diri
di desa kecil, Kahak, tidak jauh dari kota suci Qum. Periode ini menandai
kesibukan Mulla Sadra yang kian meningkat dengan kehidupan
kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar
bagi kebanyakan karya utamanya. Periode ini ditandai dengan periode

2
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 44.
3
A Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 157 – 8.
26

panjang meditasi dan praktek spiritual yang menyertai dan melengkapi


studi formalnya. Sehingga menyempurnakan program untuk melatih
seorang filosof sejati menurut Suhrawardi. Selama periode inilah tercapai
pengetahuan yang kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.4
Bagi Sadra latihan rohani adalah satu keperluan asas dan penting
bagi mereka yang bercita-cita untuk mencapai “rahasia Ilahi” dan
menghirup udara suci ilmu hakikat yang dinamakan Hikmat Ilahi atau
ilmu Ilahiyat (teosofi). Dengan sunyi menyendiri semua keperluan jiwa
yang ingin bermujahadah akan dapat dicapai dan pertemuan dengan alam
ruhani pada “diri batin yang tentram” adalah syarat awal bagi penghidupan
spiritual yang sebenarnya.
Sadra menjalani kehidupan menyendiri ini dalam jangka waktu
kira-kira tujuh tahun, tetapi ada sumber lain yang menyatakan sebelas
tahun dan ada pula yang menyatakan lima belas tahun. Sadra mengabdikan
dirinya dengan renungan kalbu dan latihan ruhani lainnya hingga akhirnya
keluar dari persemadian ini sebagai seorang hukama yang jiwa metafisika
(ilahiyah) bukan lagi pemahaman akal tetapi yang diturunkan sampai ke
hati.5
Alasan lain, dari kemunduran Mulla Sadra dari kehidupan ramai
adalah didorong oleh kekecewaannya terhadap orang-orang sezamannya
yang sudah kehilangan sifat-sifat terpuji, berperilaku tidak beradab, dan
kehilangan sifat intelektual, juga kaum intelektual yang hanya terlihat
secara lahiriah saja, namun senantiasa melakukan kejahatan dan
keburukan. Demikian pula para mutakallimun telah keluar dari logika
yang benar dan berada di luar kebenaran. Sedangkan para fuqaha telah
kehilangan rasa penghambaan diri, menyimpang dari kepercayaan
terhadap metafisika, bersifat taqlid dan menyangkal keberadaan darwisy.
Disamping itu pengunduran dirinya juga didorong oleh rasa
ketidakpuasan terhadap kebenaran-kebenaran filosofis yang bersumber
4
Hossein Ziai, Op.cit., hlm.904.
5
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta’aliyah, Terj. Baharuddin Ahmad,
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992, hlm. 23 – 27
27

dari metode rasional, yang menurutnya bersifat dangkal dan tidak dapat
mencapai kebenaran hakiki dan perasaan bersalah karena dia begitu
tergantung kepada kemampuan intelektualnya sendiri, bukan meng-
hambakan diri kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dengan jiwa yang
suci dan ikhlas.6
3. Periode ketiga, masa Mengajar dan Menulis
Periode ini berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur Syiraz,
Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di
kota itu. Memenuhi panggilan itu, Mulla Sadra kembali ke kota
kelahirannya untuk mendidik sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya
menarik perhatian pelajar dari jauh dan dekat dan menjadikan Syiraz
kembali sebagai sebuah kota pusat ilmu seperti dulu. Pusat Kajian Khan
atau Madrasah Khan menjadi sangat masyhur hingga ia menarik perhatian
pengembara luar. Thomas Herbert, pengembara abad ke-11 H / 17 M yang
pernah melawat ke Syiraz semasa hidup Sadra, menulis bahwa di Syiraz
terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia dan
matematika yang menyebabkannya termasyhur di seluruh Parsi.7
Dalam karirnya sebagai guru, Mulla Sadra telah berhasil
melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di
dalam aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid
yang paling terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka
masih tetap dikaji hingga kini yaitu Mulla Abdul Razzaq Lahiji
(w. 1072 H / 1661 M) dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H /
1680 M).8
Disamping bertugas sebagai pendidik di Madrasah Khan yang
dilaluinya selama tiga puluh tahun, di periode ini juga beliau banyak
menulis karya-karyanya.9

6
Syaifan Nur, Op.cit..,hlm. 48 – 49.
7
Seyyed Hossen Nasr, Op.cit.,hlm. 27 – 28.
8
Syaifan Nur, Op cit.,hlm.55.
9
Ibid., hlm.56.
28

Sepanjang periode ini juga, Mulla Sadra melakukan beberapa kali


perjalanan haji ke kota Makkah yang kesemuanya dilakukan dengan
berjalan kaki. Intensitas kesalehannya tidak hanya semakin meningkat,
tetapi bahkan semakin tercerahkan melalui pandangan spiritual yang
dihasilkannya dari praktek-praktek spiritual selama bertahun-tahun.
Sekembalinya dari perjalanan haji yang ketujuh, Mulla Sadra jatuh sakit
dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H / 1640 M.10

2. Karya-Karya Mulla Sadra

Mulla Sadra menyusun tidak kurang dari lima puluh buah karya
yang sebagian besarnya dalam bahasa Arab. Menurut Fazlur Rahman,
karya Mulla Sadra seluruhnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Kebanyakan
karya Sadra diterbitkan sejak seperempat terakhir abad ke-19, sebagian
lebih dari satu kali, sedang risalah-risalah tertentu yang lebih kecil belum
diterbitkan.11
Dari keseluruhan karya Mulla Sadra itu ada yang berusaha
membaginya menjadi karya murni bersifat filosofis dan karya yang
bersifat religius, berdasarkan tema sentral yang dikandungnya. Begitu
juga, berdasarkan orisinalitas ide dalam karya Mulla Sadra, ada yang
membaginya menjadi karya asli dan karya yang memuat penjelasan-
penjelasan tentang tulisan-tulisan filosofis sebelumnya; seperti
penjelasannya tentang metafisika Ibnu Sina yang terdapat di dalam al-
Syifa dan Hikmat al-Isyraq Suhrawardi.12
Namun Mulla Sadra sendiri menganggap bahwa kedua komponen
atau kumpulan ilmu itu berkaitan dan tidak boleh dipisahkan satu sama
lain. Keduanya lahir dari suatu puncak atau sumber yang sama, yaitu
hadirat Tuhan (Nasr, 1992 : 30). Dengan itu maka kita dapati Sadra
membincangkan persoalan ilmu akal atau intelek di dalam kumpulan kitab
ilmu naqli, dan sebaliknya pula membincangkan ilmu ketuhanan di dalam

10
Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm.28.
11
Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin, Pustaka, Bandung, 2000, hlm.23.
12
Ibid.
29

kumpulan kitab ilmu akal. Oleh karena itu, sebenarnya pembagian di atas
tidak dapat dipertahankan meskipun bukan tanpa makna sama sekali.13
Karya-karya Mulla Sadra tidak hanya merupakan khazanah
mistikal dan pandangan kosmologisnya serta penjelasan tentang eskatologi
yang telah ditemukan dalam sejumlah teks-teks Filsafat Islam, tetapi juga
menghubungkan pandangan-pandangan berbagai ajaran pemikiran Islam
maupun pra Islam. Oleh karena itu, karya-karyanya benar-benar
merupakan ensiklopedi Filsafat Islam yang memadukan ajaran Avicennan,
Suhrawardi, Ibnu ‘Arabi, serta pemikiran Kalam.14
Di sini akan dipaparkan sebagian dari karya-karya utama Sadra,
antara lain :
1. Al-Hikmat Al-Muta’aliyah fil-Asfar Al-Aqliyyah Al-Arba’ah (Hikmah
Muta’aliyah Tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa), yang lebih
dikenal dengan judul Asfar (Perjalanan) saja.
Merupakan karya yang paling fundamental dan
monumental. Kitab ini dipandang sebagai summa philosophiae al-
Syirazi, karena menjadi dasar dari karyanya yang lebih pendek dan
juga sebagai risalah pemikiran pasca Avicennian pada umumnya. Di
dalamnya memuat simbol-simbol pengembaraan intelektual dan
spiritual manusia ke hadirat Tuhan. Juga memuat hampir semua
persoalan seperti Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Dalam
pengajiannya menggunakan pendekatan morfologis, metafisis dan
historis. Sampai saat ini di Iran, Asfar digunakan sebagai teks tertinggi
dalam memahami hikmah dan hanya dibaca oleh mereka yang telah
memahami teks-teks standar ilmu kalam, filsafat peripatetik, teosofi
isyraqi dan dasar-dasar ajaran ‘irfan.
2. Mafatih Al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib)
Merupakan karya Sadra yang sangat mendasar dalam masa
kematangan dalam ilmu. Ramuan ilmu berdasarkan doktrin ‘irfan
13
Syaifan Nur, Op.cit., hlm.57.
14
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan
Jamaluddin MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm.80.
30

tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi dan mengandung


rujukan yang banyak terhadap al Qur’an dan hadis.
Al-Shawahid Al-Rububiyyah fil-Manahij Al-Sulukiyyah
(Penyaksian Ilahi akan Jalan ke Arah Kesadaran Rohani)
Merupakan adi karya pribadi Mulla Sadra dengan lima bab
ditulis dari pandangan ‘irfan. Merupakan ringkasan doktrinnya yang
paling lengkap.
3. Al-Masya’ir (Kitab)
Merupakan salah satu dari kitab Sadra yang utama dan paling
banyak dikaji dewasa ini, mengandung ringkasan teori ontologinya.15

B. Konstruksi Pemikiran Mulla Sadra


Sebagai sebuah kontruksi pemikiran, al-hikmah al-muta’aliyah tentu
saja tidak dibangun berdasarkan hasil kreasi individualistik Mulla Sadra
semata-mata, tetapi bersumber pada bahan-bahan atau unsur-unsur yang telah
tersedia sebelumnya, baik yang bersifat tradisional maupun historis.
Sumber pertama bagi al-hikmah al-muta’aliyah adalah sumber-sumber
tradisi Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an. Pengaruh al-Qur’an terhadap dirinya
tidak saja terbatas pada penafsiran-penafsirannya secara formal, sebagaimana
tertuang di dalam karya-karya tafsirnya, tetapi juga di dalam hampir seluruh
tulisannya, yang secara praktis disinari oleh ayat-ayat Al-Qur’an.16
Dengan demikian jelas bahwa al Qur’an telah dijadikan Mulla Sadra
sebagai fondasi utama di dalam membangun struktur al-hikmah al-
muta’aliyah.
Al-hikmah al-muta’aliyah juga menggunakan hadis sebagai dasar atau
sumber kedua yang melengkapi pesan-pesan al Qur’an. Menurut Mulla Sadra,
hadis juga memiliki tingkatan-tingkatan makna yang bersifat esoterik seperti
halnya al-Qur’an, yang hanya dapat disentuh melalui pertolongan iluminasi

15
Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm 38 – 50.
16
Syaifan Nur, Op.cit., hlm.109.
31

spiritual. Makna inilah yang lebih dulu terbuka kepada seorang pencari
kebenaran, sebelum terungkap di hadapannya makna batin dari teks suci.17
Selain kedua sumber yang fundamental tersebut, sebagai aliran yang
dilahirkan dan berkembang di lingkungan tradisi Syi’ah, al-hikmah al-
muta’aliyah juga bersumber kepada ucapan-ucapan para imam, khususnya
Imam ‘Ali, yang juga dianggap sebagai teks-teks suci.
Disamping sumber-sumber yang bersifat tradisional tersebut di atas,
al-hikmah al-muta’aliyah juga dibangun berdasarkan sumber-sumber yang
bersifat historis.
Dalam disiplin kalam atau teologi, Mulla Sadra, meskipun diselubungi
oleh pemikiran Syi’ah, ia memahami aliran ilmu kalam Sunni sebaik
pengetahuannya tentang aliran kalam Syi’ah.
Mengenai kalam Syi’ah, yang menjadi sumber utamanya adalah karya
Nasir al-Din al-Tusi yang berjudul Tajrid al-Aqa’id beserta seluruh komentar
dan penjelasannya yang merupakan suatu kumpulan tulisan dalam bidang
filsafat kalam, karya-karya kalam Syi’ah yang bersifat filosofis dan mistis,
atau yang menggunakan metode-metode pembuktian secara filosofis dan
berusaha memadukannya dengan sufisme, serta kalam Syi’ah Isma’iliyah,
yang telah membentuk kalam dan filsafat secara khusus sejak periode awal
sejarah Islam, seperti tulisan dari Hamid al-Din al-Kirmani(w.412H/1021 M)
yang berjudul Rahat al-‘Aql dan juga Rasa’il dari Ikhwan al-Safa.
Sumber-sumber yang berasal dari kalam Sunni, baik Asy’ariyah
maupun Mu’tazilah juga memiliki peranan yang berarti terhadap al-hikmah al-
muta’aliyah terutama Asy’ariyah melalui karya-karya al-Gazali, Fakhr al-Din
al-Razi, dan ‘Adud al-Din al-Iji (701-756 H/1301-1355 M) serta Sayyid Syarif
Jurjani (740 – 816 H/1339-1413 M).18
Dalam bidang filsafat, Sadra mengambil filsafat sejak dari pra-
Sokrates hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. Namun,

17
Ibid, hlm. 110.
18
Ibid., hlm. 111 – 112.
32

hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi
bagi sistem pemikiran Sadra.
Pertama, pemikiran Ibn Sina (980-1037 M). Pengetahuan Mulla Sadra
terhadap pemikiran Ibn Sina adalah yang paling luas dan terperinci dan
dipandang sebagai sumber terpentingnya selain Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi.
Mulla Sadra mengenal karya-karya filosofis Ibn Sina seperti al-Syifa, al-
Najat, al Mabda wa al-Ma’ad, Risalah fi al-‘Isyq, dan ‘Uyun al-Hikmah, dan
juga sering mengutip sebagian karya penting Ibn Sina lainnya seperti Ta’liqat
dan Mubahasat. Mengenai filosof peripatetik yang kemudian, yang paling
memperoleh perhatian khusus adalah Nasir al-Din al-Tusi dengan karya
filosofisnya yang penting seperti Syarh al-Isyarat.19
Ajaran Ibnu Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan Filsafat
Sadra, sehingga semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al-
Syaikh al-Rais (guru kepala), gelar bagi Ibn Sina. Ia juga mengambil
pendapat-pendapat Ibn Sina untuk mendukung konsep-konsepnya sendiri,
seperti soal realitas wujud dan kelemahan essensi. Namun, Sadra juga
mengkritik dan memodifikasi Filsafat Ibn Sina. Menurut Fazlur Rahman,
kritik Sadra yang paling keras terhadap Ibn Sina adalah dalam soal
epistemologi, yakni ketika Ibn Sina menolak kesatuan absolut antara subyek
dan obyek yang diketahui.20
Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Suhrawardi
merupakan sumber utama pengetahuan Mulla Sadra dalam aliran Isyraqi. Ia
menggunakan karya-karya Suhrawardi seperti Talwihat, Mutarahat, dan
Hayakil al-Nur, yang semuanya dijadikan rujukan, baik di dalam Al-Hikmah
al-Muta’aliyah maupun buku-bukunya yang lain. Pengaruh Suhrawardi dapat
dilihat dalam kritikan dan penolakannya, dan sebagian yang lain dalam
penerimaannya.
Pandangan Suhrawardi bahwa essensi bukan realitas diambil Sadra
dengan doktrinnya tentang ashalah al-wujud, (principiality of being) bahwa

19
Ibid., hlm. 115 – 6.
20
A. Khudhori Soleh, Op.cit., hlm. 60.
33

yang pokok dalam realitas adalah eksistensi, bukan essensi. Essensi hanya
sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya. Sementara
itu, gagasan Suhrawardi tentang “jenjang cahaya” mengilhami Sadra untuk
menelorkan gagasannya tentang tasykik al-wujud (gradation of being), bahwa
meski realitas ini tunggal tetapi muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan
manifestasi.21
Ketiga, pemikiran Ibn ‘Arabi (1165-1240 M). Menurut Fazlur
Rahman, pengaruh Ibn ‘Arabi terhadap Mulla Sadra terutama terlihat dalam
tiga persoalan penting, yaitu : Ketidaknyataan mahiyyah, hakikat sifat-sifat
Tuhan, dan peranan psikologis eskatologis dari ‘alam al-khayyal (dunia
imajinasi). Dalam persoalan yang pertama, Mulla Sadra sering mengutip
pernyataan Ibn ‘Arabi yang terkenal : “mahiyyah-mahiyyah tidak akan pernah
mencium keharuman wujud”, untuk mendukung prinsip asalah al-wujud, dan
cukup memungkinkan bahwa Syaikh Akbar berperan dalam mengilhami
prinsip tersebut.22
Sedangkan dalam persoalan yang kedua, di bawah pengaruh ajaran-
ajaran Ibn ‘Arabi, Mulla Sadra memodifikasi secara drastis pandangan
peripatetik neo Platonik tentang tentang akal-akal, menjadikannya sebagai
bagian dari Tuhan, dan menyamakannya dengan sifat-sifat Tuhan serta Dunia
Ide dari Plato. Selanjutnya, dia menerangkan seluruh uraian tentang emanasi
dalam bahasa Ibn ‘Arabi dan alirannya.
Dalam pemikiran Mulla Sadra, kedua persoalan tersebut di atas
menjadi lebih terkait erat daripada dalam sistem Ibn ‘Arabi, dimana
mahiyyah-mahiyyah dianggap masih tetap menyimpan realitas, dan Mulla
Sadra mengkritik Ibn ‘Arabi dalam hal ini. Kejeniusan Mulla Sadra terletak
dalam keberhasilannya memadukan kedua ide di atas, dengan memahami
secara utuh implikasi-implikasi dari masing-masing ide tersebut, dan
menjadikannya menghasilkan suatu prinsip yang unik, yang dikenal dengan
istilah al-harakah al-jauhariyyah.

21
Ibid., hlm. 160 – 161.
22
Syaifan Nur, Op.cit., hlm. 118 – 9.
34

Mengenai persoalan ketiga, Dunia Imajinasi, meskipun pada awalnya


berasal dari al-Gazali dan kemudian diformalkan oleh Suhrawardi, namun Ibn
‘Arabi tidak saja yang menguraikannya secara menyeluruh, tetapi memberikan
kepada jiwa manusia, terutama di hari kemudian, suatu peranan penting dalam
membangkitkan imajinasi-imajinasi yang dapat ditangkap dengan jelas.
Doktrin ini digunakan oleh Mulla Sadra dalam membuktikan adanya
kebangkitan jasmani dan kenikmatan-kenikmatan serta penderitaan-
23
penderitaan yang bersifat fisik.
Dalam kaitan ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa melalui al-
hikmah al-muta’aliyah pengaruh Ibn ‘Arabi sampai kepada para hukama’ dan
‘urafa Persia generasi berikutnya.
Disamping pentingnya pengaruh Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibn
‘Arabi, pendahulu yang juga paling berpengaruh terhadap Mulla Sadra adalah
gurunya sendiri, yaitu Mir Damad, pendiri Aliran Isfahan. Mir Damad adalah
pengikut Ibn Sina dengan warna isyraqi, dan dalam beberapa hal berbeda
dengan Mulla Sadra. Akan tetapi, gurunya itulah yang mempersiapkan jalan
bagi kemunculannya, yang memperlihatkan prestasi puncak “Aliran Isfahan”.
Mulla Sadra memahami sepenuhnya pandangan-pandangan gurunya itu, dan
dijadikannya sebagai rujukan dalam berbagai karyanya, terutama al-Hikmah
al-Muta’aliyah. Karya Mir Damad yang paling sering dikutipnya adalah
Qobasat.24
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa seluruh ide yang
diambil Mulla Sadra dari berbagai sumber tersebut digunakannya sebagai
penyangga-penyangga konstruksi pemikirannya, dengan kreativitas dan
gayanya yang khas, yang menunjukkan adanya suatu perspektif intelektual
baru dalam pandangan dunia Islam tradisional.
Di lingkungan tradisional, kreativitas tidak berarti adanya penemuan
atau penciptaan suatu “kebenaran” oleh seseorang, melainkan adanya suatu
visi baru tentang realitas. Sebagai suatu visi yang baru, kreativitas berarti

23
Ibid., hlm. 119 – 120.
24
Ibid., hlm. 120.
35

adanya suatu tindakan kreatif, dimana kebenaran-kebenaran universal yang


sama memperoleh interpretasi dan aplikasi yang baru, sesuai dengan
momentum tertentu perjalanan historis suatu tradisi.25
Iluminasi intelektual yang diperolehnya melalui penghayatan spiritual,
unsur-unsur yang berasal dari para ‘urafa, hukama’ dan filosof-filosof muslim
sebelumnya, dengan landasan al-Qur’an dan Hadis Nabi serta ajaran-ajaran
para Imam Syi’ah, kesemuanya menghantarkannya untuk menciptakan suatu
sintesa besar miliknya sendiri, yang dikenal sebagai al-hikmah al-muta’aliyah.
Bangunan metafisis raksasa yang diciptakan oleh Mulla Sadra serta
teologi, kosmologi, psikologi, eskatologinya semua bertumpu pada prinsip-
prinsip : wahdah al-wujud, tasykik al-wujud, ashalah al-wujud, dan gerak
susbtansi (harakah jauhariyah) hanya dari sudut pandang prinsip-prinsip
inilah doktrin-doktrin Mulla Sadra dapat dipahami.
1. Wahdah al-Wujud ( Kesatuan Wujud )
Mulla Sadra membedakan dengan tegas antara konsep tentang
mafhum al-wujud (wujud) dan haqiqah al-wujud (realitas wujud). Yang
pertama, adalah konsep yang terjelas dan yang paling mudah dipahami
dari semua konsep, sedangkan yang kedua, adalah yang terkabur dan
tersulit karena ia mensyaratkan persiapan mental ekstensif dan juga
penyucian jiwa agar memungkinkan intelek yang berada dalam diri
seseorang berfungsi sepenuhnya tanpa selubung-selubung nafsu, dan agar
dapat melihat wujud sebagai realitas.26
Mulla Hadi Sabziwari, murid dan penerus ajaran Mulla Sadra,
meringkas ajaran gurunya dalam buku Syarh al-Manzamah sebagai
berikut :
Gagasan (tentang wujud)-nya adalah sesuatu yang sudah umum
diketahui, namun realitas terdalaminya berada di ujung ketersembunyian.
Konsekuensi dari pengalaman gnostik tentang wujud adalah tuntutan atau
persatuan dengannya (hakikat wujud). Mulla Sadra menyebutnya Wahdah

25
Ibid., hlm. 121.
26
Seyyed Hossen Nasr, Op.cit., hlm.915 – 916.
36

al-Wujud (Kesatuan Transenden Wujud). Menurut Ibn ‘Arabi dan Ibn


Sabi’in, kesatuan transenden wujud bermakna “hanya Tuhan yang nyata,
kewujudan yang lain hanya sementara atau tidak nyata”. Bagi Ibn Arabi
penampakan wujud yang berbagai-bagai itu merupakan bentuk dari tajalli
(teofani) nama dan sifat-Nya di depan cermin ketiadaan. Dalam pandangan
Sadra, yang membandingkan ajaran kesatuan transenden wujud dan
pelbagai wujud dengan hubungan matahari dan berkas sinar matahari yang
dipancarkannya, berkas sinar matahari itu bukan matahari dan pada saat
yang sama bukan apa-apa selain matahari.27
2. Tasykik al-Wujud ( Gradasi Wujud )
Seperti disinggung di atas, Sadra berpendapat bahwa semesta ini
bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti
eksistensi Tuhan. Namun demikian, Sadra tidak menyimpulkan sebagai
wahdah al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud, yakni bahwa
eksistensi ini mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra,
dari Ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi”
yang tak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub
Tiada mutlak sampai kutub Ada mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas
dan intensitasnya.28
Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi
tentang gradasi cahaya, tetapi Sadra mengubah prinsip dasar tersebut
secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada essensi
seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra,
eksistensilah realitas asli satu-satunya. Kedua, bahwa eksistensi tidak
hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi yang sistematis, sebab
kenyataannya wujud tidak statis melainkan bergerak terus menerus.
Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih tidak
menentu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentuk-
bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu.

27
Ibid.
28
A. Khudhori Soleh, Op.cit., 164.
37

Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau


materi kemudian tertelan ke dalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang
bertindak sebagai diferensia atau bentuk. Daya dorong gerak universal ini
adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak ke
arah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke
arah yang lebih sempurna ini tidak dapat dibalik, karena eksistensi
memang tidak pernah bergerak ke belakang.29
Selanjutnya, karena eksistensi merupakan obyek keinginan
universal, maka eksistensi berarti baik dan eksistensi mutlak adalah
kebaikan mutlak. Ini sekaligus menunjukkan bahwa eksistensi adalah riil,
bukan sekedar konsep. Juga menunjukkan bahwa eksistensi mutlak tidak
mempunyai lawan atau tandingan, karena lawan atau genus dapat
digolongkan ke dalam genus. Sebaliknya, keburukan tidak mutlak tetapi
hanya relatif, parsial dan negatif, dan muncul dari wujud parsial yang
memiliki essensi.30
3. Ashalah al-Wujud ( Keutamaan Wujud )
Pandangan tentang wujud di atas dilengkapi dengan prinsip
ashalah al-wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk memahami doktrin ini,
pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam Filsafat Islam
antara eksistensi (wujud dalam maknanya yang terkait dengan dunia yang
majemuk) dan mahiyyah atau kuiditas yang dalam bentuk orisinal
Latinnya diturunkan langsung dari bahasa Arab, mahiyyah.31
Semua obyek tersusun dari dua komponen, pertama, yang
berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan “apa?”, dan kedua, atas
pertanyaan “bagaimana?”. Pertanyaan yang diajukan dalam Filsafat Islam
terkemudian, dan khususnya oleh Mulla Sadra, adalah manakah di antara
kedua unsur ini yang lebih utama dan memberikan realitas kepada suatu
obyek.

29
Ibid., hlm. 165.
30
Ibid.
31
Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm. 917 – 8.
38

Menurut Mulla Sadra wujudlah yang memberikan realitas kepada


sesuatu dan bahwa mahiyyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya
sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan
suatu tindakan tertentu wujud. Ketika kita menyatakan ada seekor kuda,
dengan mengikuti akal sehat kita berpikir bahwa kuda itu adalah suatu
realitas yang eksistensinya merupakan tambahan baginya. Namun dalam
realitas, apa yang kita pahami adalan tindakan tertentu wujud yang melalui
fakta itulah ia tampak secara terbatas pada bentuk tertentu yang kita
pahami sebagai kuda. Bagi orang-orang yang telah menyadari kebenaran
tersebut, fakta bahwa seekor kuda itu ada kemudian ditransformasikan ke
dalam realitas yang telah dimanifestasikan, oleh tindakan wujud itu sendiri
ke dalam suatu bentuk tertentu yang kita sebut kuda. Bentuk atau
mahiyyah kuda tidak mempunyai realitas sendiri, tetapi mendapatkan
semua realitasnya dari tindakan wujud.32
Jadi, realitas itu tak lain tak bukan adalah wujud, yang satu
sekaligus bergradasi, yang mengeksistensikan realitas segala sesuatu.
Metafisika Mulla Sadra sebetulnya dapat dipahami bukan hanya dengan
memahami prinsip-prinsip ini melainkan juga dengan memahami
hubungan antar prinsip itu. Wujud bukan hanya satu, melainkan juga
bergradasi. Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan juga sejati,
atau, dengan perkataan lain, yang memberikan realitas kepada semua
kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas sama sekali dalam diri mereka.
4. Gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah)
Teori gerak substansial (al-harakah al-jauhariyah), menurut
Rahman, adalah sumbangan orisinal Sadra terhadap filsafat Islam. Ajaran
ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi
wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat
rendah menuju eksistensi tingkat tinggi.33

32
Ibid.
33
Fazkur Rahman, Op.cit., hlm.15.
39

Menurut para filosof sebelum Sadra, gerak membutuhkan


pendukung dasar berupa sesuatu yang diam sekaligus bergerak, yakni
wujud potensial sekaligus aktual, sebab aktualitas terjadi dalam gerak.
Karena itu, bagi mereka, gerak tidak mengenai substansi tetapi hanya
terjadi dalam aksiden, yakni kualitas, kuantitas, posisi dan tempat.
Substansi tidak ikut bergerak karena jika itu terjadi, ia tidak bisa menerima
judgement. Begitu kita memberi judgement ia telah berubah menjadi yang
lain.
Sadra tidak bisa menerima pendapat seperti itu. Menurutnya, gerak
tidak bisa disebabkan karena sesuatu yamg diam, karena ia hanya mengerti
dirinya sebagai sesuatu yang tetap dan kenyataan saat ini. entitas semacam
ini bisa mempunyai essensi yang tetap tetapi bukan eksistensi tetap yang
hanya ada dalam perubahan dan perpindahan. Karena itu, menururt Sadra,
mesti ada perubahan gerak lain disamping gerak aksiden, gerak yang lebih
fundamental, yakni gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah), di mana
gerak aksiden pada akhirnya bisa dilacak.34
Dengan kata lain, bagi Sadra, gerak atau perubahan hanya terjadi
pada empat kategori aksiden, tetapi juga pada substansi. Bahkan, gerak
substansi inilah yang paling penting dan fundamental. Karena aksiden
bergantung pad substansi, maka gerak substansi menyebabkan perubahan
pada aksiden. Buah apel berubah dari hijau tua menjadi hijau muda,
kemudian kuning dan merah, karena disana ada perubahan rasa, berat dan
lainnya. Semua realitas wujud yang bersifat gradasi berada dalam gerak
yang terus menerus ini. Hasilnya, (1) tingkatan-tingkatan wujud tidak lagi
statis tetapi terus bergerak dan mencapai bentuk-bentuk yang labih tinggi
dalam waktu. (2) gerak semesta berkahir pada alam ketuhanan dan bersatu
dengan sifat-sifat Tuhan. (3) wujud dapat diterapkan pada seluruh tangga
evolusi dengan gradasi. (4) masing-masing tangga wujud yang lebih
melampaui dan meliputi semua tangga yang lebih rendah. (5) semakin
sempurna eksistensi sesuatu semakin sedikit essensi yang dimiliki, karena

34
A. Khudori Sholeh, Op.cit., hlm. 166 – 7.
40

eksistensi bersifat riil, konkret, individual dan bercahaya, sedang essensi


adalah kebalikan eksistensi dan hanya ada dalam pikiran karena pengaruh
eksistensi.35

C. Pemikiran Mulla Sadra Tentang Epistemologi


Dalam epistemologi Mulla Sadra, al-Qur’an merupakan jalan utama
untuk mencapai pengetahuan hakiki. Kitab suci bagi Mulla Sadra merupakan
sumber ilham pemikiran filsafat dan teosofi yang tak dapat diganti oleh kitab
lain.36
Mulla Sadra menilai al-Qur’an dengan wujud itu sendiri. Wujud,
seperti al-Qur’an, mempunyai huruf-huruf (huruf) yang merupakan “kunci-
kunci menuju dunia gaib” dan dari gabungan huruf terbentuklah ayat-ayat dan
dari ayat-ayat tersusun surah-surah Kitab Suci. Selanjutnya, dari kombinasi
surah dihasilkan “kitab wujud”yang memanifestasikan diri dalam dua cara:
sebagai al-furqon atau pembeda, dan al-Qur’an atau bacaan (kedua istilah ini
merupakan nama al-Qur’an). Aspek furqani kitab suci adalah makrokosmos
dengan segala keragamannya, sedangkan aspek qur’aninya adalah realitas
spiritual da arketipe manusia atau yang umum disebut manusia
universal/sempurna (al-insan al-kamil). Karena itu, kunci-kunci (mafatih)
menuju dunia gaib, sejauh wahyu al-Qur’an dikaji, juga merupakan kunci-
kunci bagi pemahaman akan dimensi tak tampak dari dunia eksistensi
eksternal dan wujud batin manusia dan sebaliknya.37
Mengenai akal sebagai sumber pengetahuan, Mulla Sadra berpendapat
bahwa akal yang di dalam pikiran merupakan pantulan bayangan akal semesta
dalam jiwa manusia, merupakan semacam nabi atau pembimbing manusia
menuju pesan ilahi, yakni apabila orang tersebut memahami kandungan al-
Qur’an secara mendalam.Dalam hal ini beliau membedakan akal menjadi
empat tingkat: potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah), akal posesif (al-‘aql bi al-

35
Ibid., hlm. 167.
36
Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra dan Ajaran-ajarannya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan, bandung, 2003, hlm. 930.
37
Ibid.
41

malakah), akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), dan akal yang diperoleh ( al’aql bi al-
mustafad).38
Pada tingkat potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah) disertakan pada jiwa
dari sejak awalnya dan sebagaimana jiwa itu sendiri, tidak memiliki
pembuktian terhadap dirinya sendiri, dan pemahaman-pemahaman spekulatif.
Kondisi eksistensi jiwa ini adalah tahap terakhir dalam alam fisik dan tahap
pertama untuk memasuki alam metafisika.
Tingkat akal posesif (al-‘aql bi al-malakah) terjadi tepat setelah yang
sebelumnya, dikatualkan melalui pemerolehan pemahman-pemahaman primer
(konsep dan kesepakatan) atau data primer, data melalui eksperimen, data
melalui transmisi, dsb. (yang sama pada seua orang) seperti “keseluruhan itu
lebih besar dari bagian”, “berbohong itu bukan perbuatan baik”, stau adalah
setengah dari dua”, dan seterusnya. Persepsi-persepsi tersebut diperlukan
untuk mengaktualkan tingkatan yang berikutnya.
Tingkat ketiga adalah akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l). Ketika
pemahaman-pemahaman tersebut digerakkan menuju jiwa, maka refleksi dan
kerinduan untuk menyimpulkan pemahaman-pemahaman yang belum
dipahaminya akan muncul dalam diri manusia, yang pada gilirannya akan
membuatnya secara sukarela merenung menggunakan dengan apa yang
sebelumnya telah ia miliki untuk memperoleh pemahaman mental yang baru.
Walaupun pemahaman-pemahaman intelektual spekulatif tidak secara aktual
hadir bersama dengan akal, mereka akan dpahami segera setelah jiwa mau
melakukannya, dan tidak akan dilakukan pencarian bukti dan gerak pemikiran
(menuju yang dipahami, kemudian dari yang dipahami menuju kapda yang
tidak dipahami); karena pengamatan yang sering terhadap pemahaman
spekulatif dan intelektual ini, gerak intelektual menuju prinsip yang begitu
banyak, dan terhubungan dengan prinsip tersebut, telah menyebabkan suatu
hubungan kepemilikan dan pemahaman akal, dan karenanya, akan hadir secara
aktual bersamanya.

38
Seyyed Mohsen Miri, “Mulla Sadra Kehidupan dan Pemikirannya”, jurnal Al-Huda, Vol.2
No.8, Islamic Center, Jakarta, 2003, hlm.137.
42

Tingkat keempat, akal yang diperoleh (al-‘aql bi al-mustafad).


Tingkatan ini sama persis dengan akal katual kecuali bahwa semua
pemahaman spekulatif sebenarnya hadir bersamanya, dan tidak membutuhkan
kemauan dan perhatian. Alasannya adalah bahwa jiwa mencari semua
pembuktian atas dirinya sendiri dan semua bentuk pemahaman spekulatif,
yang sesuai dengan kebenaran yang lebih tinggi atau yang lebih rendah, tanpa
adanya perantara material pada saat ia dihubungkan dengan Akal aktif (al-‘Aql
al-fa’al), dan oelh karenanya dunia intelektual semacam itu menjadi sama
dengan alam obyektif. Itulah mengapa akal seperti itu disebut diperoleh :
karena manfaat yang diterimanya berasal dari luar, yaitu akal aktif.39
Dari segi ini manusia merupakan kesempurnaan tempat kembali,
sebagaimana akal aktif merupakan suatu kesempurnaan dan akhir bagi alam
yang menjadi awal; karena puncak dari penciptaan alam material adalah
penciptaan manusia dan puncak dari penciptaan manusia adalah tahap akal
yang diperoleh, yakni pencarian tahap pemahaman dan hubungan terhadap
alam yang lebih tinggi.
Selanjutnya Mulla Sadra meyakini sepenuhnya bahwa metode yang
paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah kasyf, yang
ditopang oleh wahyu, dan tidak bertentangan dengan burhan. Di dalam Tafsir
Surah al-Waqi’ah, Mulla Sadra mengemukakan bahwa pada mulanya dia
disibukkan dengan pengkajian terhadap buku-buku yang bersifat diskursif,
sehingga dia merasa bahwa dirinya telah memiliki pengetahuan yang luas.
Akan tetapi, ketika visi spiritualnya mulai terbuka, dia baru menyadari bahwa
ternyata dirinya kosong dari ilmu yang sejati dan hakikat yang meyakinkan,
sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui zauq dan wijdan.40
Menurut Mulla Sadra hakikat pengetahuan seperti itu tidak dapat
diperoleh kecuali melalui pengajaran langsung dari Tuhan, dan tidak akan
terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian. Untuk mencapai hal
itu, diperlukan proses penyucian kalbu dari segala hawa nafsu, mendidiknya

39
Ibid., hlm. 138.
40
Syaifan Nur, Op.cit., hlm. 123.
43

agar tidak terpesona kepada kemegahan duniawi, dengan mengasingkan diri


dar pergaulan, merenungkan ayat-ayat Tuhan dan Hadis Nabi, dan mencontoh
perilaku kehidupan orang-orang saleh.
Ketika dia menyadari kelemahan dirinya dan meyakini bahwa dia tidak
memiliki sesuatu apa pun, dibangkitkannyalah semangatnya dengan sekuat-
kuatnya dan berkobarlah kalbunya dengan cahaya yang gilang-gemilang. Di
saat itulah, ketika dirinya dipenuhi oleh sinar cemerlang yang merupakan
karunia Tuhan, tebuka di hadapannya rahasia dari sebagian ayat-ayat Tuhan
dan bukti-bukti yang meyakinkan.41
Mulla Sadra mengakui bahwa permasalahan ketuhanan mengandung
dasar-dasar pemikiran dan konsep-konsep yang fundamental. Permasalahan
ketuhanan tersebut baru bisa dipahami setelah dasar-dasar pemikiran dan
konsep-konsep fundamentalnya dipahami lebih dulu. Pemahaman ini bisa
terjadi dengan dua cara, yaitu: melalui intuisi intelektual dan gerak cepat, atau
melaui pemikiran konseptual dan gerak lambat. Para nabi, orang-orang suci,
dan mereka yang memiliki visi spiritual memperolehnya dengan cara yang
pertama, sedangkan cara yang kedua ditempuh oleh para ilmuwan, ahli pikir,
dan mereka yang selalu menggunakan pertimbangan akal.42
Mulla Sadra menegaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh pada
tingkat kewalian sekalipun tidak bisa diterima jika mustahil menurut
keputusan akal. Namun, harus diingat bahwa jika hanya mengandalkan akal
semata, pengetahuan semacam itu kemungkinan tidak bisa terjangkau.
Mulla Sadra menegaskan perlunya dibedakan antara sesuatu yang
mustahil menurut akal dan sesuatu yang tidak dapat terjangkau oleh akal.
menurutnya, untuk mengukur kebenaran akal dan menghindarinya dari
kesalahan, diperlukan timbangan wahyu. Dia menyatakan bahwa hikmah
harus berdasarkan pada agama, dan mereka yang tidak memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang hakikat sesuatu tidak pantas disebut sebagai ahli
hikmah. Seperti halnya burhan yang meyakinkan selalu sesuai dan selamanya

41
Ibid., hlm.
42
Ibid., hlm. 124
44

tidak akan bertentangan dengan agama, demikian pula agama, selalu sesuai
dengan akal.43
Mulla Sadra menyatakan bahwa untuk memperoleh petunjuk yang
benar tidak cukup hanya dengan bertaklid kepada keterangan-keterangan
agama, tetapi harus disertai penyelidikan dan penalaran. Sebab, tidak ada
tempat bersandar bagi agama kecuali ucapan-ucapan Nabi dan pembuktian
akal yang menjelaskan tentang kebenaran misinya. Akan tetapi, petunjuk yang
benar tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan akal, tanpa sinar agama.
Dengan kata lain, langkah akal akan terbatas dan kemampuannya menjadi
berkurang jika dia tidak diberi petunjuk oleh sinar agama.
Oleh karena itu, harus terjadi kombinasi yang serasi antara agama dan
akal, salah satunya tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Agama yang benar dan
bersinar terang tidak akan menjadikan hukum-hukumnya bertentangan dengan
pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai akal adalah
cahaya di atas cahaya.44
Menurut Sadra metode kasyf dapat menyampaikan seseorang kepada
pengetahuan yang sejati .Ia menegaskan bahwa hakikat hikmah diperoleh
melalui ilmu ladunni, dan selama seseorang belum sampai pada tingkatan
tersebut, maka jangan dijadikan sebagai ahli hikmah, yang merupakan salah
satu karunia ketuhanan. Diadakan penjelasannya dia mengemukakan bahwa
ada dua macam cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan belajar dan
usaha sendiri dan melalui karunia ketuhanan yang berupa ketersingkapan.
Cara pertama dapat berasal dari dalam dan dari luar, atau melalui perenungan
pribadi dan yang didengar dari guru serta membaca tulisan yang
digoreskannya. Sedangkan cara yang kedua adalah melalui pengajaran
langsung dari Tuhan tanpa perantara. Inilah yang disebut ilmu ladunni atau
kasyfiyyah atau ilhamiyyah, yang hanya dapat diperoleh melalui dzauq dan
wijdan.45

43
Ibid. hlm.
44
Ibid. hlm. 125
45
Ibid., hlm. 125 – 6
45

Mulla Sadra mengakui bahwa memang banyak orang yang


mengingkari keberadaan ilmu yang diperoleh secara gaib tersebut, yang
menjadi landasan bagi para pengembara ruhani dan ahli makrifat. Padahal
ilmu tersebut adalah yang paling kuat dan paling kokoh di antara seluruh ilmu
yang ada. Mereka yang mengingkarinya beranggapan bahwa tidak ada ilmu
kecuali yang diperoleh melalui belajar, perenungan atau periwayatan. Mereka
yang berpandangan seperti itu seolah-lah tidak mengerti al-Qur’an dan tidak
membenarkan bahwa al-Qur’an itu merupakan lautan yang luas yang
mencakup seluruh realitas. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa
seseorang akan mengikari sesuatu yang di luar pengetahuanya, dan ini
merupakan penyakit kronis, yaitu sekedar bertaklid kepada mazhab guru dan
orang-orang terdahulu serta berhebti pada pemindahan kata-kata belaka.
Seperti halnya akal, seluruh pencapaian kasyf harus ditimbang oleh
agama, dan kasyf tidak akan berarti jika tidak sesuai dengan ukuran agama. Di
samping itu, pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf tidak mungkin
dijelaskan kepada orang lain kecuali d engan menggunakan burhan.
Oleh karena itu, di dalam al-hikmah al-muta’aliyah disyaratkan
pengetahuan tentang burhan, penyaksian bukti-bukti kebenaransecara
intuitifmelalui kasyf, dan komitmen yang tinggi terhadap agama. Mengenai
hal ini, Mulla Sadra mengatakan :
“Pembicaraan kami tidak semata-mata berkaitan dengan dzauq dan kasyf, atau
hanya mengikuti agama tanpa argumentasi dan burhan serta komitmen
terhadap hukum-hukumnya. Sesungguhnya, kasyf semata-mata, tanpa burhan,
tidak mencukupi dalam pencarian kebenaran. Demikian pula, dengan
mengandalkan penyelidikan semata-mata, tanpa kasyf, merupakan suatu
kekurangan yang besar.”46

Dalam pandangan Mulla sadra, hikmah tidak bertentangan dengan


agama, bahkan keduanya memiliki tujuan yang sama. Orang yang
menganggapnya berbeda berarti tidak mengetahui kesesuaian antara
keputusan-keputusan agama dan pembuktian-pembuktian hikmah.

46
Mulla Sadra, Al-Himah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah, Dar Ihya’ al-Turas al
‘Arabi, Beirut, 1981, Jilid V, hlm. 205
46

Pengetahuan tentang hal itu hanya bisa diperoleh melalui bantuan Tuhan,
pengetahuan yang utuh tentang hikmah, dan pemahaman terhadap rahasia-
rahasia kenabian.
Selanjutnya Mulla Sadra menggunakan simbol perjalanan atau safar
bagi menggambarkan proses intelek manusia mencapai hakekat kebenaran.
Empat perjalanan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.47
Perjalanan pertama adalah dari makhluk (khalq) menuju Hakikat
Kebesaran atau Pencipta (Haqq). Perjalanan pertama ini menunjukkan
pengembaraan dari maqam nafsu (nafs) ke maqam hati (qalb), dari maqam
hati ke maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan akhir (al-maqshad al-
aqsha) atau tujuan tertinggi (al-bahjah al-kubra).
Setiap manusia pada umumnya melalui tiga maqam ini. Manakala
seseorang manusia telah mnecapai al-maqsha al-aqsha, berarati ia telah
menghadapkan wajahnya kepada Keindahan Hadirat Tuhan dan ia fana’ di
dalam-Nya. Maqam terakhir ini disebut juga maqam fana’ di dalam Dzat
Tuhan (al-fana’ al-Dzat) yang di dalamnya terkandung rahasia (sirr) dan yang
paling tersembunyi (al-akhfa).
Perjalanan kedua adalah dari Hakikat ke Hakikat dengan Hakikat (min
al-Haqq ila al-Haqq bi al-Haqq). Perjalanan dimulai dari maqam Dzat
menuju maqam Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan Tuhan dan
mengetahui seluruh Nama Tuhan. Seseorang yang telah mencapai maqam ini,
dzatnya, sifatnya dan perbuatannya fana’ di dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan
Tuhan. Sirr adalah kefana’an dzatnya khafa adalah kefana’an sifat dan
perbuatannya. Perjalanan kedua ini berakhir sampai daerah kewalian (dairat
al-waliyat).
Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat menuju makhluk dengan Hakikat
(min al-Haqq ila al-khlaq bi al-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui
maqam-maqam, kefana’annya berakhir lalu ia kekal (baqa’) dalam kekekalan
(baqa’) Tuhan. Kemudian ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut,
alam malakut, dan alam nasut, melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat dan

47
Ibid., Jilid I hlm. 13 – 6
47

Perbuatan Tuhan. Ia (salik) mengecap nikmat kenabian meskipun ia bukan


nabi. Di sini berakhir perjalan ketiga dan bermula perjalanan keempat.
Perjalanan keempat dari makhluk menuju makhluk dengan Hakikat
(min al-khalq ila al-khalq bi al-Haqq). Seorang salik mengamati makhluk dan
menangkap kesan-kesan yang pada makhluk. Ia mengetahui kebaikan dan
kejahatan makhluk, lahir dan batinnya, didunia ini dan dunia yang akan
dating. Ia membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana yang
mudarat dan mana yang manfaat. Dalam kehidupannya ia senantiasa bersama
yang Haqq karena wujudnya telah terpaut dengan Tuhan dan perhatiannnya
kepada makhluk tidak mengganggu perhatiannya pada Tuhan.
Demikianlah Mulla Sadra menggambarkan sebuah perjalanan akal
yang lengkap, yang membawa fikiran melalui tahap atau martabat penjauhan
dari ketidaksempurnaan, atau sebagai “katarsis” (tajrid) satu pemikiran dalam
arti kata fikir yang sebenarnya ke arah ketuhanan dan dari sana ke arah segala
kejadian dilihat dari kacamata metafisika dalam pengertiannya yang
sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai