MAKALAH
Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Drs. Nurmawan, M.Ag
Disusun oleh:
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia serta
hidayah yang tiada terkira, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta
salam semoga selalu terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Makalah ini berjudul “Tokoh-Tokoh Tasawuf Pada Abad Ke-5 Hiriyyah”. Makalah ini
ditulis guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ilmu Tasawuf.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, semua saran dan kritik serta petunjuk dari dosen atau pembaca
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami mengharapkan kepada dosen atau pembaca makalah ini berupa saran
serta kritik yang membangun, semoga karya yang sederhana ini dapat memberi manfaat
terhadap perkembangan pendidikan Islam di masa depan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………….... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan……………………………………………………... 14
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf dapat diartikan sebagai suatu revolusi spiritual. Tidak seperti dimensi keagamaan
lainnya, tasawuf akan selalu memperbaharui dan menyamai kekosongan jiwa manusia.
Kehidupan di dunia ini bagi sang sufi adalah fakta yang tidak dapat diingkari. Semangat mereka
dalam beraktivitas selalu menyala, sebab semua yang dilakukan bertujuan mencari rida Allah
SWT.1
dalam tasawuf pengalaman ajaran mistik dijiwai dan diabadikan sebelum abad ke-2.
Perkembangan zuhud kearah tasawuf sebagai ilmu yang sistematis mulai tampak pad
apermulaan abad ke-3 Hijriyah. Masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan
terminology-terminologi khusus ilmu mereka. Terlepas dari setuju atau tidak, al-Ghazali dalam
sejarah pemikiran Islam adalah merupakan tokoh sufi terbesar, yang lahir pada abad ke-5
Hijriyah, yang telah banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan khasanah pemikiran
Pada abad ke-5 ini pula terdapat beberapa tokoh sufi yang ikut menyumbangkan
dan Al-Hujriwi yang akan di bahas secara lengkapnya di makalah ini. Bagaimana kontribusi
para tokoh sufi di abad ke-5 ini dan apa pengaruhnya terhadap ilmu tasawuf.
1
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Teruna Grafica, 2012), hal. vii
2
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), Hal.
119-120
1
B. Rumusan Masalah.
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada periode ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan
dengan kemajuannya pada periode ke-4, sebab usaha maksimal para ulama tasawuf untuk
mengembangkan ajaran tasawufnya telah menemukan momentumnya secara nyata.3 Fase ini
disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu
al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang
sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi
terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau
Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang sangat tidak
baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad
sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada masa itu berkembang mazhab Syi’ah
Ismailiyah dengan konsep imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum
Syi’ah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan semakin
Pada abad ke-4, tasawuf, fiqih dan ilmu kalam sangat berkembang dalam Islam. Filsafat
Yunani dan lain-lain masuk kedalam masyarakat Islam sebagaimana setelah dipergunakan
menjadi bahan perbandingan. Soal-soal ganjil pun timbullah. Karena kesungguhan mencari
3
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hal. 128
4
Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 21-23.
3
Dekatnya hubungan kaum shufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan sebagian besar kaum
sunni yang bergabung dalam Empat Mazhab, ditambah lagi dengan mazhab-mazhab Zahiri,
Sayuthi dan Auzai (ketiganya ini telah musnah), menambah buruk pandangan Kaum Sunni
kepada tasawuf. 5
Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Sebab pada
masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi
falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan
menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-
Asy’ari, yang mengkritik keras terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang
nampak bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung
landasan awalnya, al-Quran dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini
antara lain Al-Ghazali (450- 505H), Al-Qusyairi (376-465 H), dan Al-Harawi (w. 396 H).8
Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i9 al-Ghazali, lahir di Ghazaleh –sebuah kota kecil dekat Thus
di Khurasan– pada tahun 450 H/1058 M, empat setengah abad setelah hijrahnya Nabi
5
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hal. 120
6
Amin Syukur dan Masyaruddin, hal. 24-25
7
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, hal. 93-95
8
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah, Mazhab, dan Inti Ajarannya, Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat. Vol.
XII, No. 1, Januari-Juni 2015, hal. 105
9
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal.233.
4
Muhammad dari Makkah ke Madinah. Ia meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima
Muhammad, ayah al-Ghazali, adalah pengusaha kecil yang bisa dibilang kurang atau
miskin ia seorang pemintal kain wol yang sangat mencintai ulama sehingga menginginkan
anaknya menjadi sufi dan ahli hukum. Al-Ghazali dan adiknya Ahmad menjadi yatim ketika
masih muda, dan meninggalkan mereka sedikit uang dalam perawatan seorang sufi.
kepada Iman Haramain (Al-Juwaini, w. 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu mantik,
ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Sehingga karena
Al-Ghazali dimintai oleh Perdana Mentri Nizam Al-Muluk (w. 485 H/1091 M) untuk
menjadi guru besar di Universitas Nizhamyah, Baghdad pada tahun 483 H/1090 M, pada
usianya yang ke 30 tahun. Dan juga aktif dalam perdebatan dengan golongan-golongan yang
berkembang pada waktu itu. Namun dalam kegiatan itu beliau merasa belum cukup dalam
kepuasan batinya, sehingga memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan hijrah ke Syiria,
Palestina, dan Mekah untuk mencari kebenaran, setelah mendapatkan kebenaran tersebut di
akhir hidupnya, tidak lama kemudian beliau meninggal pada tahun 505 H/1111 M.12
Selama masa hidupnya Imam Al-Ghazali membuat karangan hingga mencapai 300
buah. Dimana diawal mengarangnya di umur 25 tahun. Yang setiap tahunnya ada 10 kitab
kecil atau besar yang sudah dikarannya yang meliputi ilmu filsafat, ilmu kalam, fiqh-ushl
10
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hal.70-71
11
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 233
12
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008), hlm. 136.
5
b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ditambah
kecenderungan gnostic yang mempengaruhi para sufi Islam, seperti sekte Syi’ah,
Isma’iliyyah dan Ikhwan Ash-Shafa dari paham Aristoteles seperti emanasi (pancaran) dan
Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya nya, seperti Ihya Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan
Menurut al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan
hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu
lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat-Nya. Ia berpendapat bahawa
sosok yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalh yang
paling bersih. Sebab, gerak, dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya
kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu
memberi penerangan.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham
baru tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah tanpa diikuti penyatuan dengan-
Nya. Ringkasan al-Ghazali patut disebut berhasil dalam mendeskripsikan jalan menuju
Allah SWT. Oleh karena itu, al-Ghazali mempunyai peran besardalm dunia Islam, yaitu
tasawuf, fiqih dan ilmu kalam. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah
rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan
kebahagiaan (as-Sa’adah).14
13
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 236-237
14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 237-238
6
c. Pandangan al-Ghazali tentang Ma’rifat
Secara bahasa, ma’rifah berarti mengetahui sesuatu apa adanya, atau berarti ilmu yang
tidak lagi menerima keraguan. 15 Menurut al-Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia
16
Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Alat
memperoleh ma’rifah bensandar pada sir, kalbu dan roh. Setelah kalbu dan roh menjadi
kosong dan suci, kemudian dilimpahi cahaya Tuhan, maka seseorang dapat mengetahui
hakikat segala yang ada. Ia menerima iluminasi (kasyaf) dari Allah sehingga yang dilihat
kekuatan imanya kepada Allah, hari akhir, surga dan neraka. Setelah keyakinan ini naik ke
stage berikutnya yaitu khauf dan raja’. Berikutnya tahap shabr, yang mengantar kepada satu
tahap di atasnya yaitu mujahadah, zikr, dan tafakkur. Zikr mengantarkan kepada tahap uns.
mahabbah.
Yang tercangkup dalam ma’rifah adalah empat hal, yaitu mengetahui diri, mengetahui
Tuhan, mengetahui dunia, dan mengetahui akhirat. Tanda adanya ma’rifah adalh hidupnya
Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum Ad-Din, membedakan jalan pengetahuan untuk
sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat
perumpamaan bagi orang awam tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah tanpa
menyelidiki lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya fulan dirumah dari tanda seperti terdengar
15
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, hal. 76
16
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 78
17
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 238
18
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, hal. 87-88
7
suara. Sementara orang arif tidak hanya dengan tanda-tanda tetapi lebih jauh, ia pun
(ru’yatullah). Menurut al-Ghazali, kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu
dan akan hilang setelah manusia mati. Sementara kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan
bergantung pada kalbu dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena,
kalbu tidak ikut mati, justru kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan
2. Al-Qusyairi
a. Biografi Singkat Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qurairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun
376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya.
Disini lah ia bertemu dengan gurunya, abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi
selalu menghadiri majelis gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf.
Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia
selalu mempelajari fiqih dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-
Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakr bin
Al-Qusyairi adalah orang yang paling keras dalam menentang doktrin aliran-aliran
serangan dan dipenjarakan sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek yang terhasut
menterinya yang menganut paham Mu’tazilah Rafidhah. Al-Qusyairi wafat tahun 456
19
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 238
20
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 239
21
Muzakkir, Studi Tasawuf, (Medan : Ciptapustaka Media Perintis, 2009), hal. 58
8
Hijriyyah. Ia adalah orang yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat.22. Karya-
karyanya diantaranya beliau menulis kitab-kitab seperti At-Tafsir Al-Kabir dan Ar-Risalah
“Ketahuilah ! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip
tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari
penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlu
Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Merekapun tahu hak yang lama,
dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh
aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan
hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti
yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Muhammad Al-Jariri bahwa barang
siapa tidak mendasarkan Ilmu Tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat
tergelincirnya kaki yang tertipu kedalam jurang kehancurannya.”
Secara implisit ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penilakan terhadap para sufi
khususnya sifat baharunya. Bahkan dengan konotasi lain, secra terang-terangan Al-
“Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu
dan berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih
jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, di mana hukum-hukum-Nya berlaku
atas diri mereka, sementara mereka dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka,
tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan
kepada mereka disingkapkan rahasia-rahsia Keesaan, dan setelah fana, mereka pun
tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu”23
22
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 229
23
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 230
9
2) Kesehatan Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran
mereka mempergunakan pakaian orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang
sama bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian
“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan
yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab ketika hakikat-hakikat realitas itu
tersingkapkan, niscaya tersingkap keburukan para sufi yang mengada-ada dalam
berpakaian. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan
diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu
bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin… dan setiap
tauhid yang tidak dibenarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan
dan bukan tauhid; dan stiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi
kerendahhatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap
Allah.”
3) Penyimpangan Para Sufi
mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima hijriyah,
“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah
tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-
bekas mereka.”Kemah itu hanya serupa kemah mereka.Kaum wanitanya itu, kulihat, bukan
mereka.”
“Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak bahkan jalan ini telah menyimpang dari
hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak
banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka.
Sirnalah kerendahhatian dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin
mengelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan agama dari kalbu.
Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang menolak
membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati
orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap enteng
pelaksanaan ibadah, melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan.
Dan mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-
hal yang tidak diperbolehkan.”
Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apa pun maslahnya,
paling tidak, hal itu menunjukan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari
10
perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan
tingkah laku.
Oleh karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena
dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud
menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-
Qusyairi, harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam
hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah
Dalam hal ini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-
Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu Al-asy’ariyyah, yang nanti akan
merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun al-
Junaid, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-
ungkapan ganjil.24
3. Al-Harawi
a. Biografi Singkat al-Harawi
Tokoh sufi yang lahir pada 396 H dan wafat pada 481 H/1088 M di Herat ini
mempunyai nama lengkap Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad
bin Ahmad bin Ali bin Ja'far bin Manshur bin Matta al-Anshari al-Harawi. Adalah tokoh
Khurasan, keturunan sahabat Nabi SAW, yaitu Abu Ayyub al-Anshari ra. Ia juga seorang
pemuka dalam ilmu hadis, tafsir, bahasa, dan tasawuf dari kalangan mazhab Hambali yang
penuh semangat.
24
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 231-233
11
Seperti yang dikatakan Massignon, dia adalah seorang faqih yang bermadzhab
Hanbali. Dalam karya-karyanya dipandang sangat berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah
tuhan.
Dimana dalam karya ringkas ini beliau menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniah para
sufi, yang menyatakan tingkatan dari para sufi mempunyai awal dan akhir. Seperti katanya :
“kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang
benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal. Seperti halnya dengan sebuah bangunan
dimana tidaklah kokoh jika fondasinya juga tidak kokoh. Dan yang dimaksud tingkatan
awal ini adalah menegakkan rasa ikhlas terhadap keikutannya dengan As-sunnah.”
Dalam kitabnya, Manazil Al Sa’irin Ila Rabb Al ‘Alamin, beliau menguraikan bahwa
tingkatan – tingkatan rohaniyah para sufi mempunyai awal dan akhir. Beliau juga
mengatakan bahwa maqom ketenangan timbul dari perasaan ridlo terhadap Allah, sebagai
Dalam kedudukannya sebagai sufi, Al-Hurawi tidak sependapat dengan sufi yang
ketenangan (sakinah) yang menimbulkan rasa ridha. Perigkat ketiga dari sakinah adalah
ketenangan yang timbul dari rasa ridha atas bagian yang diterimannya menghindari dari
pengucapan aneh yang menyesatkan. Karena jika ketenangan tersebut telah bersemayam
25
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, hal. 320-322
12
dalam maka kalbu maka terhindarlah dari ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada
batas tinkatan kedudukannya sebagai hamba. Ditegaskan tidaklah melewati dari batas-
batasnya sebagai hamba. Menurut Al-Harawi tidaklah sampai ketenangan tersebut kecuali
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada abad ke lima hijriah ini tasawuf mengapai puncak ke emasanya. Dimana, pada
masa ini ajaran tasawuf dikembalikan kepada ajaran aslinya yaitu Ar-ruju ila Qur’an was
Sunnah (kembali kepada al Qur’am dan Sunnah). Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi
1. Al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i al-Ghazali, lahir di Ghazaleh –sebuah kota
kecil dekat Thus di Khurasan– pada tahun 450 H/1058 M. isi ajaranya yaitu bertasawuf
dengan bimbingan dua pusaka yaitu Qur’an dan Sunnah baik dalam bertasawuf itu sendiri,
fiqih dan ilmu kalam. Adapun karya-karya nya, seperti Ihya Ad-Din, Minhaj Al-Abidin,
2. Al-Qusyairi. Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi,
3. Al-Harawi. Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad
bin Ali bin Ja'far bin Manshur bin Matta al-Anshari al-Harawi. beliau menguraikan
bahwa tingkatan – tingkatan rohaniyah para sufi mempunyai awal dan akhir. Beliau juga
mengatakan bahwa maqom ketenangan timbul dari perasaan ridlo terhadap Allah,
sebagai pencegah ungkapan an Adapun karyanya yaitu Manazil Al Sa’irin Ila Rabb Al
‘Alamin
14
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam
Mashar, Aly. 2015. Tasawuf: Sejarah, Mazhab, dan Inti Ajarannya. Al-A’raf Jurnal Pemikiran
Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Solihin, M dan Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.
Pelajar
15