Anda di halaman 1dari 18

TOKOH-TOKOH TASAWUF ABAD KE-5 HIRIYYAH

MAKALAH
Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Drs. Nurmawan, M.Ag

Disusun oleh:

Ahmad Fahrizal Ramadhan 17.03.1662


Diansyah 17.03.1658
Khoerunnisa Alashfahani 17.03.1702
Imas Nursanti Amalia 17.03.1839
Natsuky Juardhan R 17.03.1560
Ulfa Fazriah 18.03.2193
Kelas : PAI C
Semester : V (Lima)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS
BANDUNG
2019 M/1441 H
Jalan Ciganitri No.2 Desa Cipagalo Kecamatan Bojongsoang
Kabupaten Bandung
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia serta
hidayah yang tiada terkira, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta
salam semoga selalu terlimpahkan pada Nabi Muhammad saw dan pengikutnya hingga akhir
zaman.

Makalah ini berjudul “Tokoh-Tokoh Tasawuf Pada Abad Ke-5 Hiriyyah”. Makalah ini
ditulis guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ilmu Tasawuf.

Kami sebagai penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, semua saran dan kritik serta petunjuk dari dosen atau pembaca
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami mengharapkan kepada dosen atau pembaca makalah ini berupa saran
serta kritik yang membangun, semoga karya yang sederhana ini dapat memberi manfaat
terhadap perkembangan pendidikan Islam di masa depan.

Jazaakumullahu khoiran, semoga Allah senantiasa meridhoinya, Aamiin...

Bandung, Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….... i

DAFTAR ISI…………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1


B. Rumusan Masalah………………………………………………. 2
C. Tujuan Pembahasan…………………………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Corak Perkembangan Tasawuf Abad Ke-5 Hijriyah…………… 3


B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Abad Ke-5 Hijriyah…………………… 4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………... 14

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf dapat diartikan sebagai suatu revolusi spiritual. Tidak seperti dimensi keagamaan

lainnya, tasawuf akan selalu memperbaharui dan menyamai kekosongan jiwa manusia.

Kehidupan di dunia ini bagi sang sufi adalah fakta yang tidak dapat diingkari. Semangat mereka

dalam beraktivitas selalu menyala, sebab semua yang dilakukan bertujuan mencari rida Allah

SWT.1

Dalam perkembangan selanjutnya gerakan zuhud berubah menjadi aliran “mistik”. Di

dalam tasawuf pengalaman ajaran mistik dijiwai dan diabadikan sebelum abad ke-2.

Perkembangan zuhud kearah tasawuf sebagai ilmu yang sistematis mulai tampak pad

apermulaan abad ke-3 Hijriyah. Masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan

terminology-terminologi khusus ilmu mereka. Terlepas dari setuju atau tidak, al-Ghazali dalam

sejarah pemikiran Islam adalah merupakan tokoh sufi terbesar, yang lahir pada abad ke-5

Hijriyah, yang telah banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan khasanah pemikiran

tasawuf hingga dewasa ini.2

Pada abad ke-5 ini pula terdapat beberapa tokoh sufi yang ikut menyumbangkan

pemikiran-pemikiran nya dalam perkembangan tasawuf diantaranya: Al-Qusyairi, Al-Harawi

dan Al-Hujriwi yang akan di bahas secara lengkapnya di makalah ini. Bagaimana kontribusi

para tokoh sufi di abad ke-5 ini dan apa pengaruhnya terhadap ilmu tasawuf.

1
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Teruna Grafica, 2012), hal. vii
2
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), Hal.
119-120

1
B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana perkembangan tasawuf pada abad kelima hijriyah?

2. Siapa tokoh-tokoh sufi pada abad kelima hijriyah?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui perkembangan tasawuf pada abad kelima hijriyah.

2. Mengetahui tokoh-tokoh sufi pada abad kelima hijriyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Corak Perkembangan Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyyah

Pada periode ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan

dengan kemajuannya pada periode ke-4, sebab usaha maksimal para ulama tasawuf untuk

mengembangkan ajaran tasawufnya telah menemukan momentumnya secara nyata.3 Fase ini

disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu

al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang

sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi

terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau

tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya.

Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang sangat tidak

baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami tasawuf pada abad

sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama fiqih dengan para sufi sebagaimana

yang telah dijelaskan sebelumnya. Ditambah lagi pada masa itu berkembang mazhab Syi’ah

Ismailiyah dengan konsep imamah-nya yang mampu mendekatkan para sufi dengan kaum

Syi’ah. Sehingga mendekatnya kaum sufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan semakin

buruknya pandangan ulama fiqih terhadap tasawuf.4

Pada abad ke-4, tasawuf, fiqih dan ilmu kalam sangat berkembang dalam Islam. Filsafat

Yunani dan lain-lain masuk kedalam masyarakat Islam sebagaimana setelah dipergunakan

menjadi bahan perbandingan. Soal-soal ganjil pun timbullah. Karena kesungguhan mencari

maka kerapkali terjadi perselisihan dan pertikaian.

3
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hal. 128
4
Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 21-23.

3
Dekatnya hubungan kaum shufi dengan kaum Syi’ah menyebabkan sebagian besar kaum

sunni yang bergabung dalam Empat Mazhab, ditambah lagi dengan mazhab-mazhab Zahiri,

Sayuthi dan Auzai (ketiganya ini telah musnah), menambah buruk pandangan Kaum Sunni

kepada tasawuf. 5

Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi. Sebab pada

masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf sunni dan tasawuf semi

falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni. Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan

menangnya aliran teologi Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-

Asy’ari, yang mengkritik keras terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang

nampak bertentangan dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung

mengadakan pembaharuan.6 Filsafat tasawuf merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-

Platonisme, dan di pihak lain dengan ajaran Persia dan India.7

Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan pengembalian tasawuf ke

landasan awalnya, al-Quran dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini

antara lain Al-Ghazali (450- 505H), Al-Qusyairi (376-465 H), dan Al-Harawi (w. 396 H).8

B. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyyah


1. Al-Ghazali
a. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin

Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i9 al-Ghazali, lahir di Ghazaleh –sebuah kota kecil dekat Thus

di Khurasan– pada tahun 450 H/1058 M, empat setengah abad setelah hijrahnya Nabi

5
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), hal. 120
6
Amin Syukur dan Masyaruddin, hal. 24-25
7
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, hal. 93-95
8
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah, Mazhab, dan Inti Ajarannya, Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat. Vol.
XII, No. 1, Januari-Juni 2015, hal. 105
9
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal.233.

4
Muhammad dari Makkah ke Madinah. Ia meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima

tahun, pada tahun 1111 M di Tabaran, sebuah kota dekat Thus.10

Muhammad, ayah al-Ghazali, adalah pengusaha kecil yang bisa dibilang kurang atau

miskin ia seorang pemintal kain wol yang sangat mencintai ulama sehingga menginginkan

anaknya menjadi sufi dan ahli hukum. Al-Ghazali dan adiknya Ahmad menjadi yatim ketika

masih muda, dan meninggalkan mereka sedikit uang dalam perawatan seorang sufi.

Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani.

Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur. Di sinilah ia berguru

kepada Iman Haramain (Al-Juwaini, w. 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu mantik,

ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan. Sehingga karena

kemahirannya dalam memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya dalam

berdebat, Al-Juwaini menjuluki nya “bahr muriq” (lautan yang menghanyutkan).11

Al-Ghazali dimintai oleh Perdana Mentri Nizam Al-Muluk (w. 485 H/1091 M) untuk

menjadi guru besar di Universitas Nizhamyah, Baghdad pada tahun 483 H/1090 M, pada

usianya yang ke 30 tahun. Dan juga aktif dalam perdebatan dengan golongan-golongan yang

berkembang pada waktu itu. Namun dalam kegiatan itu beliau merasa belum cukup dalam

kepuasan batinya, sehingga memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan hijrah ke Syiria,

Palestina, dan Mekah untuk mencari kebenaran, setelah mendapatkan kebenaran tersebut di

akhir hidupnya, tidak lama kemudian beliau meninggal pada tahun 505 H/1111 M.12

Selama masa hidupnya Imam Al-Ghazali membuat karangan hingga mencapai 300

buah. Dimana diawal mengarangnya di umur 25 tahun. Yang setiap tahunnya ada 10 kitab

kecil atau besar yang sudah dikarannya yang meliputi ilmu filsafat, ilmu kalam, fiqh-ushl

fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.

10
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hal.70-71
11
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 233
12
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008), hlm. 136.

5
b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ditambah

dengan doktrin ahlu Sunnah wal jama’ah. Al-Ghazali menghindarkan semua

kecenderungan gnostic yang mempengaruhi para sufi Islam, seperti sekte Syi’ah,

Isma’iliyyah dan Ikhwan Ash-Shafa dari paham Aristoteles seperti emanasi (pancaran) dan

penyatuan. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral.

Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya nya, seperti Ihya Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan

Al-‘Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayyuha Al-Walad.13

Menurut al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan

hambatan-hambatan jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu

lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat-Nya. Ia berpendapat bahawa

sosok yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalh yang

paling bersih. Sebab, gerak, dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya

kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu

memberi penerangan.

Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham

baru tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah tanpa diikuti penyatuan dengan-

Nya. Ringkasan al-Ghazali patut disebut berhasil dalam mendeskripsikan jalan menuju

Allah SWT. Oleh karena itu, al-Ghazali mempunyai peran besardalm dunia Islam, yaitu

tasawuf, fiqih dan ilmu kalam. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah

rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan

kebahagiaan (as-Sa’adah).14

13
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 236-237
14
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 237-238

6
c. Pandangan al-Ghazali tentang Ma’rifat
Secara bahasa, ma’rifah berarti mengetahui sesuatu apa adanya, atau berarti ilmu yang

tidak lagi menerima keraguan. 15 Menurut al-Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia
16
Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Alat

memperoleh ma’rifah bensandar pada sir, kalbu dan roh. Setelah kalbu dan roh menjadi

kosong dan suci, kemudian dilimpahi cahaya Tuhan, maka seseorang dapat mengetahui

hakikat segala yang ada. Ia menerima iluminasi (kasyaf) dari Allah sehingga yang dilihat

hanyalah Dia. Pada saat itulah ia sampai ketingkat ma’rifat.17

Perjalana menuju ma’rifah tidak mudah. Keyakinan seseorang mengindikasikan

kekuatan imanya kepada Allah, hari akhir, surga dan neraka. Setelah keyakinan ini naik ke

stage berikutnya yaitu khauf dan raja’. Berikutnya tahap shabr, yang mengantar kepada satu

tahap di atasnya yaitu mujahadah, zikr, dan tafakkur. Zikr mengantarkan kepada tahap uns.

Tafakkur mengantarkan kepada sempurnanya ma’rifah dan uns mengantarkan kepada

mahabbah.

Yang tercangkup dalam ma’rifah adalah empat hal, yaitu mengetahui diri, mengetahui

Tuhan, mengetahui dunia, dan mengetahui akhirat. Tanda adanya ma’rifah adalh hidupnya

hati beserta Allah.18

Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum Ad-Din, membedakan jalan pengetahuan untuk

sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat

perumpamaan bagi orang awam tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah tanpa

menyelidiki lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya fulan dirumah dari tanda seperti terdengar

15
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, hal. 76
16
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 78
17
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 238
18
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, hal. 87-88

7
suara. Sementara orang arif tidak hanya dengan tanda-tanda tetapi lebih jauh, ia pun

memasuki rumah dan menyaksikan nya sendiri.19

d. Pandangan al-Ghazali tentang As-Sa’adah (Kebahagiaan)


Menurut al-Ghazali, kelezatan dan kebahagian paling tinggi adalah melihat Allah

(ru’yatullah). Menurut al-Ghazali, kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu

dan akan hilang setelah manusia mati. Sementara kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan

bergantung pada kalbu dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena,

kalbu tidak ikut mati, justru kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan

menuju cahaya terang.20

2. Al-Qusyairi
a. Biografi Singkat Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qurairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun

376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya.

Disini lah ia bertemu dengan gurunya, abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi

selalu menghadiri majelis gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf.

Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia

selalu mempelajari fiqih dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-

Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakr bin

Farauk (wafat tahun 406 H)21.

Al-Qusyairi adalah orang yang paling keras dalam menentang doktrin aliran-aliran

Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassimah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat

serangan dan dipenjarakan sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek yang terhasut

menterinya yang menganut paham Mu’tazilah Rafidhah. Al-Qusyairi wafat tahun 456

19
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 238
20
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 239
21
Muzakkir, Studi Tasawuf, (Medan : Ciptapustaka Media Perintis, 2009), hal. 58

8
Hijriyyah. Ia adalah orang yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat.22. Karya-

karyanya diantaranya beliau menulis kitab-kitab seperti At-Tafsir Al-Kabir dan Ar-Risalah

Al-Qusyairiyyah fi ‘ilm at-Tasawufi.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf Al-Qusyairi

1) Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah

Seandainya karya al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara medalam,

akan tampak secara jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke

atas landasan doktrin Ahlu Sunnah, sebagaimana pernyataannya,

“Ketahuilah ! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip
tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari
penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlu
Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Merekapun tahu hak yang lama,
dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh
aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan
hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti
yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Muhammad Al-Jariri bahwa barang
siapa tidak mendasarkan Ilmu Tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat
tergelincirnya kaki yang tertipu kedalam jurang kehancurannya.”
Secara implisit ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penilakan terhadap para sufi

syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan

antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya dengan sifat-sifat kemanusiaan,

khususnya sifat baharunya. Bahkan dengan konotasi lain, secra terang-terangan Al-

Qusyairi mengkritik mereka,

“Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu
dan berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih
jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, di mana hukum-hukum-Nya berlaku
atas diri mereka, sementara mereka dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka,
tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan
kepada mereka disingkapkan rahasia-rahsia Keesaan, dan setelah fana, mereka pun
tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu”23

22
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 229
23
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 230

9
2) Kesehatan Batin

Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran

mereka mempergunakan pakaian orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang

sama bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan

berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian

lahiriah. Sebagaimana perkataannya,

“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan
yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab ketika hakikat-hakikat realitas itu
tersingkapkan, niscaya tersingkap keburukan para sufi yang mengada-ada dalam
berpakaian. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan
diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu
bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin… dan setiap
tauhid yang tidak dibenarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan
dan bukan tauhid; dan stiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi
kerendahhatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap
Allah.”
3) Penyimpangan Para Sufi

Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi

mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima hijriyah,

“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah
tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-
bekas mereka.”Kemah itu hanya serupa kemah mereka.Kaum wanitanya itu, kulihat, bukan
mereka.”

“Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak bahkan jalan ini telah menyimpang dari
hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak
banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka.
Sirnalah kerendahhatian dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin
mengelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan agama dari kalbu.
Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang menolak
membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati
orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap enteng
pelaksanaan ibadah, melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan.
Dan mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-
hal yang tidak diperbolehkan.”

Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apa pun maslahnya,

paling tidak, hal itu menunjukan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari

10
perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan

tingkah laku.

Oleh karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena

dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud

menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada

penyimpangan sebagian penyerun ya. Risalahnya itu, menurutnya sekadar “pengobat

keluhan” atau apa yang menimpa tasawuf pada masanya.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-

Qusyairi, harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dalam

hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah

yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.

Dalam hal ini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-

Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu Al-asy’ariyyah, yang nanti akan

merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun al-

Junaid, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-

ungkapan ganjil.24

3. Al-Harawi
a. Biografi Singkat al-Harawi

Tokoh sufi yang lahir pada 396 H dan wafat pada 481 H/1088 M di Herat ini

mempunyai nama lengkap Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad

bin Ahmad bin Ali bin Ja'far bin Manshur bin Matta al-Anshari al-Harawi. Adalah tokoh

Khurasan, keturunan sahabat Nabi SAW, yaitu Abu Ayyub al-Anshari ra. Ia juga seorang

pemuka dalam ilmu hadis, tafsir, bahasa, dan tasawuf dari kalangan mazhab Hambali yang

penuh semangat.

24
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal. 231-233

11
Seperti yang dikatakan Massignon, dia adalah seorang faqih yang bermadzhab

Hanbali. Dalam karya-karyanya dipandang sangat berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah

dalam pembaruhuan tasawuf, dimana menggunakan doktrin As-sunnah yang menentang

ungkapan-ungkapan dari Al-Hallaj dan Al-Bustami yang menyatakan penyatuan dengan

tuhan.

Karya-karyanya tentang Tasawuf diantaranya Manazil al-sa’irin illa rabb al-Alamin.

Dimana dalam karya ringkas ini beliau menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniah para

sufi, yang menyatakan tingkatan dari para sufi mempunyai awal dan akhir. Seperti katanya :

“kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang

benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal. Seperti halnya dengan sebuah bangunan

dimana tidaklah kokoh jika fondasinya juga tidak kokoh. Dan yang dimaksud tingkatan

awal ini adalah menegakkan rasa ikhlas terhadap keikutannya dengan As-sunnah.”

b. Ajaran Tasawuf Al-Harawi

Dalam kitabnya, Manazil Al Sa’irin Ila Rabb Al ‘Alamin, beliau menguraikan bahwa

tingkatan – tingkatan rohaniyah para sufi mempunyai awal dan akhir. Beliau juga

mengatakan bahwa maqom ketenangan timbul dari perasaan ridlo terhadap Allah, sebagai

pencegah ungkapan aneh25

Dalam kedudukannya sebagai sufi, Al-Hurawi tidak sependapat dengan sufi yang

terkenal dengan keanehan dalam pengucapannya, dengan pembicaraanya tentang maqam

ketenangan (sakinah) yang menimbulkan rasa ridha. Perigkat ketiga dari sakinah adalah

ketenangan yang timbul dari rasa ridha atas bagian yang diterimannya menghindari dari

pengucapan aneh yang menyesatkan. Karena jika ketenangan tersebut telah bersemayam

25
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, hal. 320-322

12
dalam maka kalbu maka terhindarlah dari ungkapan-ungkapan yang menyesatkan

tersebut.

Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada

batas tinkatan kedudukannya sebagai hamba. Ditegaskan tidaklah melewati dari batas-

batasnya sebagai hamba. Menurut Al-Harawi tidaklah sampai ketenangan tersebut kecuali

di kalbu para nabi atau wali.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada abad ke lima hijriah ini tasawuf mengapai puncak ke emasanya. Dimana, pada

masa ini ajaran tasawuf dikembalikan kepada ajaran aslinya yaitu Ar-ruju ila Qur’an was

Sunnah (kembali kepada al Qur’am dan Sunnah). Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi

Tokoh tokoh abad ke lima hijriah yang terkenal antara lain

1. Al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i al-Ghazali, lahir di Ghazaleh –sebuah kota

kecil dekat Thus di Khurasan– pada tahun 450 H/1058 M. isi ajaranya yaitu bertasawuf

dengan bimbingan dua pusaka yaitu Qur’an dan Sunnah baik dalam bertasawuf itu sendiri,

fiqih dan ilmu kalam. Adapun karya-karya nya, seperti Ihya Ad-Din, Minhaj Al-Abidin,

Mizan Al-‘Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayyuha Al-Walad.

2. Al-Qusyairi. Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi,

lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur. Ajaranya mengembalikan penyimpanya

taswuf kepada ahlussunnah. Adapun karyanya yaitu Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah

3. Al-Harawi. Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad

bin Ali bin Ja'far bin Manshur bin Matta al-Anshari al-Harawi. beliau menguraikan

bahwa tingkatan – tingkatan rohaniyah para sufi mempunyai awal dan akhir. Beliau juga

mengatakan bahwa maqom ketenangan timbul dari perasaan ridlo terhadap Allah,

sebagai pencegah ungkapan an Adapun karyanya yaitu Manazil Al Sa’irin Ila Rabb Al

‘Alamin

14
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Teruna Grafica.

Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam

Mashar, Aly. 2015. Tasawuf: Sejarah, Mazhab, dan Inti Ajarannya. Al-A’raf Jurnal Pemikiran

Islam dan Filsafat. Vol. XII, No. 1

Muzakkir. 2009. Studi Tasawuf. Medan : Ciptapustaka Media Perintis.

Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media.

Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi. Jakarta:

Rajawali Pers.

Solihin, M dan Anwar, Rosihon. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.

Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf . Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

15

Anda mungkin juga menyukai