Anda di halaman 1dari 14

AYAT-AYAT

MUHKAM
DAN
MUTASYABIH
Pengertian Ayat Muhkam dan Mutasyabih
• Menurut etimologi Muhkam artinya suatu
ungkapan yang maksud dan makna lahirnya
tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam
al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) adapun
Mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan
maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh).
[1]
• [1] Al-jurjani, At-Ta’rift, Ath –Thaba’ah wa An-Naysr wa At-Tauzi, Jeddah, t.th, h. 200.
Sedangkan menurut pengertian terminology, Ayat-
ayat Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat
diketahui secara gamblang, baik melalui takwil
(metapora) atau tidak.[2] Sedangkan Ayat-ayat
Mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya
dapat diketahui Allah SWT, seperti saat kedatangan
hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf
muqththa’ah.[3]
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h.90.
[3] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’anI, cet II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004, h. 125.
Muhkam ayat yang mengandung penakwilannya hanya mengandung satu
makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung pengertian
bermacam-macam.[4] Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya
dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-
ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan.
Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu. Muhkam adalah ayat
yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram,
hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu
ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani
tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang
dimaksud.
[4] Kamaluddin Marzuki, Ulum al-qur’an, Bandung: Remaja Rodaskarya, 1994, h. 115
SIKAP PARA ULAMA TERHADAP
AYAT-AYAT MUTASYABIHAT
Madzab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat
mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka
menyucikan Allah SWT dari pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an.
diantara ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah
SWT dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an
ketika ditanya tentang istiwa; ia menjawab: Istiwa itu maklum, sedangkan
caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang
yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan
pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan
para pemuka fiqih. Kepada mazhab ini pulalah, para imam dan pemuka Hadis
mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari
kalangan kami yang menolak mazhab ini.
Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-
ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti
yang sesuai dengan keluhuran Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada
mulanya termasuk mazhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-
Risalah An-Nizamiyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam
beragama adalah mengikuti mazhab salaf sebab mereka yang memperoleh derajat
dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. Untuk menengahi kedua
mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan
yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan
itu tidak perlu di ingkari. Jika dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap
tawqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya) dan mengimani
maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka mensucikan Allah
SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat di pahami melalui percakapan orang
Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.
Ibn Quthaibah (w.276 H ) menentukan dua syarat bagi
absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang
dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang di akui
oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang
dipilih dikenal oleh bahasa Arab yang klasik, syarat yang
dikemukakan ini lebih longgar dari pada syarat kelompok
Azh-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih
tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat
Arab pada masa awal.
Hikmah Keberadaaan
Ayat Mutasyabih Dalam
Al-Qur’an
Diantara hikmah keberadaan
ayat-ayat Mutasyabih di dalam
Al-Qur’an dan ketidakmampuan
akal untuk mengetahuinya
adalah sebagai berikut :
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan
ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT
memberikan cobaan pada badan untuk beribadah.
Seandainya akal merupakan anggota badan paling
mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang
berpengetahuan tinggi akan menyombongkan
keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada
naluri kehambaannya.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih.
Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya,
yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat
mutasyabih sehingga mereka berkata” rabbanaa la tuzigh quluubana.
[28]Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu laduni.
menurut penulis disini Allah memberikan pujian bagi orang yang beriman
karena keimanannya dan memberikan petunjuk-Nya. Sementara bagi orang
kafir yang suka mengotak-atik ayat-ayat al-Qur’an Allah SWT akan tambah
menyesatkan mereka. Adanya ayat muhkam memudahkan manusia
mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk diamalkan dalam
kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk
senantiasa menggunakan dalil akal di samping dalil naqal.
3. Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman indrawi
yang biasa disaksikannya
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran
inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT memberikan
gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu,
bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan[29].
Menurut penulis adanya muhkam dan mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang
memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk
Muhammad SAW, tetapi produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah
SWT memberikan penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat
memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh
dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan Allah SWT di atas
tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa memahami secara tekstual
tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga
artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan mereka.

Anda mungkin juga menyukai