Anda di halaman 1dari 17

SUH239 ULUM HADITH

BENTUK PERIWAYATAN HADITH

Pengertian Periwayatan Hadith

Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses
kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang bermaksud dpat
dengan periwayatan. Perkataan al-riwayah adalah kata masdar dari kata kerja rawa dan
dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’
(pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga
biasa disebut dengan riwayat.

Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-
riwayah adalah:

“Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima
hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain,
maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi
ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka
orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis”.

Dari definisi di atas, terdapat beberapa perkara penting yang harus ada dalam periwayatan
hadis Nabi, iaitu

1. orang yang melakukan periwayatan hadis dikenali dengan ar-rawiy (periwayat),

2. apa yang diriwayatkan (al-marwiy)

3. susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

4. kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan

5. kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-
tahamul wa ada al- Hadis).

Adapun metode mempelajari hadits/ menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh
ulama berbagai generasi adalah:

1. Al-Sima’ (Mendengar), iaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau
yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya.
Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama
hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping
mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang
menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh (Bacaan). Iaitu seorang murid membaca hadits ( yang
boleh jadi diperolehi daripada guru yang lain) di depan guru. Barangkali metode ini
adalah ilham daripada satu peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperolehi
informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah
memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

3. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru
kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata
demi satu.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

4. Al-Munawalah. Iaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab
utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa
murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

5. Al-Mukatabah (Catatan). Iaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya


tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain.
Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang
berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami
dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

6. I’lam al-Syaikh Iaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits
yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan,
tanpa menyebut izin/ ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

7. Al-Wasiyah iaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya


sebelum pergi atau meninggal.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

8. Al-Wijada iaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis
oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah
bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada
masa lalu banyak juga dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang
memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

Bentuk Periwayatan Hadith

a. Bil Lafaz

Periwayatan adalah perkataan yang berasal dari kata “riwayat” iaitu cerita yang turun
temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz bermaksud periwayatan hadis dengan
menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata,
penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis
dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, ini kerana sahabat menerima secara
langsung daripada Nabi sama ada melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu
sahabat langsung menulis atau menghafalnya.

Sahabat yang terkenal mengekalkan dan menjaga kesahihan hadis adalah Abdullah
bin Umar. Ia tidak membenarkan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun
dari hadis. Dalam sebuah kes, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa
dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor
empat.

Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah
do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’
menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap
meneruskan dengan kata “bi nabiyyika.

Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar
jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul
kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan
keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan
karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada
golongan pendusta hadis.

Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari
pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan
hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit
jumlahnya.

Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafaz ini hanya terbatas pada antara
lain:

a. Hadis yang merupakan lafaz-lafaz ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan,
zikir, doa,syahadat.

Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafaz ibadah ini seperti bacaan dzikir yang
diriwayatkan dariShaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw.bersabda,.

“Paling tinggi ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain
Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-
Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa
ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang dapat mengampuni segala dosaku
selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini
dibaca pada waktu pagi kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk
dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi. ”

b. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw
memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh
seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah
bersabda
‫ والمهاجر من هجر ما نهى هللا عنه‬. ‫المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده‬
“Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan
tangannya.”

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

c. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun
Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis
tentang sifat Allah

“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya.
Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”

Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan
saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras
mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin
Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka
berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya
diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan
kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan
Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan
mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada
Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak
semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal
itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan
oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah,
ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.

Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahawa Nabi menyampaikan hadisnya
dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:

1. Cara lisan dihadapan ramai orang yang terdiri daripada kaum lelaki.

2. Pengajian rutin dikalangan kaum lelaki dan

3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya
melalui iaitu:

a) Dengan lisan dan perbuatan dihadapan ramai orang, di masjid pada waktu
malam dan subuh.

b) Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan


“korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.

c) Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak,
berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu
berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.

d) Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara
permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah
sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.

e) Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan


bentuk tulisan.

f) Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk
kegiatan melainkan berupa keadaan.

Begitulah bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui
perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.

Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:

 Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang
mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.

 Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan


lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

Yang penting dari hadis ialah : “isi” Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain,
asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan
lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.

b. Bil Ma’na

Dalam sejarah perjalanan hadits, diketahui bahawa selepas wafat Rasulullah SAW,
periwayatan hadits diperketatkan agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari
Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus mengikut keadaan
asal, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami
perubahan.

Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan
dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq
‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits
dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi
terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang
diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati
maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat
berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.

Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu
ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya
menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis
seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.

Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya


meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, .
Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul ialah dengan cara itu
dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan
dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula
sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar
ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak
boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinkilkan oleh
Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka
berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia
dengar. Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis,
dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak
mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan
sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi
perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila
dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab
menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan
mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika
ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan
pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut.
begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi
dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih
empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis
menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab. Bukti lain
adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan
ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu
masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka
berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis
dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si
perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak
boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan,
bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana
yang ia dengarnya.

Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi.

“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang

CATATAN:
SUH239 ULUM HADITH

agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang
diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari
orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya
dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak
mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui
boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram.
Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir
bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-
benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan
benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.

Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-
hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh
meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang
merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia
meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah
diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-
hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis
dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.

CATATAN:

Anda mungkin juga menyukai