Anda di halaman 1dari 4

HADITS DHAIF

A. Definisi Hadits Dhaif


Kata dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif secara bahasa berarti hadits yang
lemah yang sakit atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi
pada dasarnya mengandung maksud yang sama, pendapat An Nawawi: “hadits yang
di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.”
B. Kriteria Hadits Dhaif
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadits shahih dan hasan. Dengan demikian hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan
C. Kedhaifan Yang Disebabkan Oleh Pengguguran Sanad
Keguguran dalam sanad ada dua macam:
1. Keguguran secara zhahir dan dapat diketahui oleh ulama hadits karena faktor
perawi yang tidak pernah bertemu dengan guru (syaikhnya), atau tidak hidup di
zamannya.
Keguguran sanad dalam hal ini, ada yang gugur pada awal sanad, atau akhirnya,
atau tengahnya. Para ulama memberikan nama hadits yang sanadnya gugur secara
zhahir tersebut itu dengan 4 istilah sesuai dengan tempat dan jumlah perawi yang
gugur:
a. Mu’allaq
Ialah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad yang
seperti ini disebut mu’allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian
atas saja sementara bagian bawahnya terputus, sehingga menjadi seperti
sesuatu yang tergantung pada atap dan yang semacamnya.
Hadits ini adalah hadits yang gugur perawinya, baik seorang, dua
orang, bahkan semuanya pada awal sanad secara berurutan. Diantara
bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian
dikatakan: “Rasulullah bersabda begini...” atau dengan menggugurkan semua
sanad kecuali seorang sahabat, atau seorang tabi’in.
Contoh:
Bukhari meriwayatkan dari Al Majisun dan Abdullah bin Fadhl dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda

“Janganlah kalian melebih-lebihkan diantara para nabi.”


Pada hadits ini, Bukhari tida pernah bertemu Al Majisyun.
Hadits ini ialah hadits yang ditolak karena gugur dan hilang salah satu
diterimanya suatu hadits yang bersambungnya sanad, dengan cara
mengugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpat dapat kita ketahui
keadaanya.
b. Mursal
Ialah isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Maksudnya hadits yang
gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in
mengatakan, “Rasulullah SAW bersabda begini atau berbuat seperti ini.”
Contoh:
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya pada kitab Al-
Buyu’ berkata: telah bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi’, (ia
mengatakan) telah bercerita kepada kami Hujain, (ia mengatakan) telah
bercerita kepada kami Laits dari Aqil dari Ibnu Shihab dari Said bin Al-
Musayyib, “Bahwa Rasulullah SAW telah melarang muzabanah (jual beli
dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar timbangannya).”
c. Mu’dhal
Ialah sesuatu yang dibuat lemah dan letih. Mengapa demikian? Karena
para ulama hadits dibuat lelah dan letih untuk mengetahuinya karena beratnya
ketidakjelasan dalam hadits itu.
d. Munqathi
Para ulama terdahulu mendefinisikannya sebagai hadits yang sanadnya
tidak bersambung dari semua sisi. Ini berarti bahwa sanad hadits yang tidak
terputus, baik dari awal sanad, tengah, atau akhirnya, maka menjadi hadits
yang munqathi.
2. Keguguran yang tidak jelas dan tersembunyi. Ini tidak dapat diketahui kecuali
para ulama yang ahli dan mendalami jalan hadits dan illat-illat sanadnya. Ada dua
nama untuk jenis ini:
a. Mudallas
Menurut bahasa mudallas ialah isim maf’ul dari at-tadlis dan tadlis
dalam bahasa adalah penyembunyian aib barang dagangan dari pembeli.
Diambil dari kata ad-dalsu yaitu kegelapan atau pencampuran kegelapan,
maka seakan akan seorang mudallis karena penutupannya terhadap orang yang
memahami haadits telah menggelapkan perkaranya maka lalu hadits itu
menjadi gelap.
Tadlis ini sendiri ada dua macam yaitu tadlis al-isnad dan tadlis asy syuyukh.
b. Mursal
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari sebuah
syaikh yang semasa dengannya atau bertemu dengannya, tetapi ia tidak pernah
menerima satupun hadits daripadanya, namun ia meriwayatkan dengan lafad
yang menunjukkan adanya kemungkinan ia mendengar dari syaikh itu.
D. Kedhaifan Yang Disebabkan Oleh Cacatnya Keadilan & Kedhabitan Rawi
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan keadilan perawi ada lima,
yaitu:
1. Dusta
2. Tuduhan berdusta
3. Fasik
4. Bid’ah
5. Al-jahalah (ketidakjelasan)

Sedangkan yang berkaitan dengan kedhabitannya juga ada lima, yaitu:

1. Kesalahan yang sangat buruk


2. Buruk hafalan
3. Kelalaian
4. Banyak waham
5. Menyelisihi para perawi yang tsiqah
E. Kedudukan Hadits Dhaif
Para ulama hadits berbeda pendapat mengenai bagaimana kedudukan hadits dhaif.
Sehingga dalam ini ada tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat pertama
Mereka tidak mau menerima hadits dhaif sama sekali. Bila sebuah hadits sudah
dinilai dhaif, maka hadits itu tidak bisa digunakan untuk keperluan apapun.
Dianggap tidak ada.
2. Pendapat kedua
Mereka menggunakan hadits dhaif hanya untuk keperluan motivasi amal saja.
Atau istilahnya targhib dan tarhib. Targhib itu motivasi untuk melakukan suatu
amal kebajikan, yang biasanya menerangkan besaran pahala. Sedangkan tarhib itu
motivasi untuk meninggalkan amal keburukan, yang biasanya menerangkan
besaran dosa.
3. Pendapat ketiga
Mereka menggunakan hadits dhaif ketika tidak ada hadits yang shahih. Dengan
semboyan “hadits dhaif itu lebih aku sukai daripada hasil pemikiran semata.”
Mereka semua adalah ulama hadits sungguhan, yang ilmu dan ketakwaannya
diakui oleh para ulama yang lain. Bahkan antar pendapat itu mereka juga saling
menghormati dan menghargai pendapat yang berseberangan.
Memang demikianlah seharusnya sikap para ulama yang benar. Tetap mampu
saling menghormati, meskipun berbeda pendapat. Tapi biasanya justru orang
awam yang mudah menyalahkan pendapat orang lain. Karena ilmu masih
setengah-setengah sehingga mengira bahwa pendapat yang berbeda pasti salah
dan tidak punya dasar argumentasi. Padahal sikap seperti ini tidak sesuai dengan
sikap toleran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
F. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Terkait hadits dhaif, ada sebagian kecil ulama hadits yang mengatakan bahwa
hadits dhaif tidak boleh digunakan dalam hal apapun. Hal ini umumnya dikarenakan
sikap kehati-hatian mereka dalam menyikapi suatu hadits. Namun demikian, sejak
dahulu para ulama hadits dan sebagain besar ulama hadits membolehkan
meriwayatkan dan mengamalkan hadits dhaif karena mereka menilai bahwa hadits
dhaif itu lemah, bukan palsu. Tidak jarang suatu hadits yang awalnya dinilai lemah,
kemudian naik pangkat menjadi hasan atau shahih setelah diteliti lebih lanjut. Jadi
singkatnya, sebagian besar ulama hadits menyatakan boleh mengamalkan hadits dhaif
selama hadits tersebut tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat allah dan hukum
islam (fiqih).

Anda mungkin juga menyukai