Anda di halaman 1dari 22

Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya

Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti


Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-
batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan
dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi
al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar
Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak
hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits
maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah
tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan
Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil
(moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara
tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang
jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa
menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah .
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada
akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan
abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan
personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-
Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah
merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai
dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima
hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep
yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh.
Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah
wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang
menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena
tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini
tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah
teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk
thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang
terjadi sekarang ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas secara singkat
biografi para sufi yang tergolong sufi moderat (Sunni). Adapun
keterangannya akan kami jelaskan di bawah ini:
1. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-
Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang
pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris
al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia
termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan
syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah
seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang
dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i .
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang
sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu
membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`.
Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah);
sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah
menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid
berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak.
Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada
pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat
diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini
terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat
kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang
banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam
masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi,
antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang
yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-
Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha
Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya
adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal
ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan
menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.”
Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang
mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa
kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam
sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan
penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik
para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
2. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada
abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk.
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul
Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia
lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M .
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang
masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya
meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya,
tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-
Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki
meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi
Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk
mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy
merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang
dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan
mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik
pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk
perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum
intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya
Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-
Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq.
Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-
pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari
matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar
dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal
Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam
bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal,
tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang
lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan
yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari
kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah
satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan
putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 –
1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah.
Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu
Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman,
Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul
Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru
pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad
ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan
sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad
ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam
dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul
Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn
Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun
belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh
Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-
Ashfarayain .
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia
menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu
Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak
mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan
karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut
sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-
Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan
Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri
aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena
tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara
selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan
seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr
Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti
dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp
Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk
sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-
Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan
Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua
Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah)
menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang
mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya
Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-
sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan
para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya
orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada
penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak
demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal
ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li
an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan
kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari
mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang
mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.
Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya
Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih
melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak
bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu.
Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan
yang menimpa dunia Tasawuf kala itu
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin
ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya
beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul
Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas
masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-
Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya
tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya
lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul
Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab
Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan
makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi,
Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir
al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang
penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin
as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab
tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di
Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073
M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor
kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat
Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan
selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy
wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan
pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam
bi al-Showab.
3. Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-
Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti
dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab
hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat
bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia
mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada
yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam
tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-
ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-
Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini,
dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana
tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir,
seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa
tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya
tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali
didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-
Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-
harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan
keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh
tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah).
Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia
mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan)
adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang
diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang
menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada
batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan
yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang
diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid,
Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan
yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang
anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang
aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya
ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya
terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan
tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya
seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang
hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan
kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut
al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar
mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari
batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta
pengetahuan dengan neraca keduanya.
Pada abad kelima hijriyah aliran taswuf moderat atau yang biasa
yang dikenal dengan sunni terus tumbuh dan berkembang, sedangkan
aliran yang kedua (semi-filosofis) rnulai tenggelam. Hal itu
disebahkan oleh berjayanya aliran Ahli sunnah WalJama’ah. yang
mana tesawuf pada era ini cenderung mengadakan pembaharuan
dengan mengembalikannya ke landasan al-q’uran dan sunnah.
Beberapa tokoh Tasawuf Moderat yang akan kami jabarkan
dibawah ini : Junaid al-bustami, al-Qusyairi, al-Sarraj, dan al-Ghazali.
Sedangkan Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-
ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang
berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya. Dan tokoh Tasawuf Falsafi yaitu, Ibnu arabi, Abdul
karim al-jili, al-suhrawardi.

B.     Rumusan Masalah


1.      Apa pengertian tasawuf moderat itu ?
2.      Apa pengertian tasawuf filasafi itu ?

C.     Tujuan
Mengetahui pemikiran para penganut tasawuf Moderat dan tasawuf
Falsafi
Ajaran-ajaran yang digunakan untuk mengenalkan tasawuf kepada
masyarakat umum.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tasawuf Moderat


Tasawuf sunny (moderat) adalah tasawuf yang benar-benar
mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, Terikat, Bersumber, tidak keluar
dari batasan-bartasan keduanya, mengotrol perilaku lintasan hati serta
pengetahuan dengan neraca keduanya.
Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi:
“Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan
Sunnah”, dalam ungkapanya yang lain: “Barang siapa yang tidak
hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits
maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah
tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan
Sunnah.”.
Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat)
dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka
dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai
bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang
tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah . 

Tokoh – Tokoh Tasawuf Moderat :


A.    Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaidi bin
Muhammad al-Kazza al-nihawandi. Dia lahir dan tumbuh di Irak. Dia
meninggal di Baghdad pada tahun 207/910 M. Beliau adalah putra
pedagang barang pecaah belah dan keponakan Surri al-Saqti yang
sekaligus sebagai gurunya. Surri al-Saqti memberikan amanat kepada
Junaid al-Baghdadi untuk tampil dimuka umum.
Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa
sesuai apa yang dianutnya, madzhab abu sauri, serta teman akrab
Imam Syafi’i. Beliau juga seorang sufi yang mempunyai wawasan
yang luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara
mendalam khusus tentang paham tauhid dan fana’.
Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan
dalam kitab-kitab biografi para sufi antara lain, yang diriwayatkan
oleh al-Qusyairi : “Orang-orang yang mengesakan Allah adalah
mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna,
meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan
diperanakkan.” Disini memberikan pengertian tauhid yang hakiki.
Menurutnya, adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain
Allah. Dalam hal ini dia menegaskan Al-Junaid juga menandaskan
bahwa tasawuf berarti “Allah akan menyebabkan mati dari dirimu
sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Junaid al-Baghdadi menganggap
bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang
tidak ada habis-habisnya.
B.     Al-Qusyairi
Nama lenkapnya adalah Abdul Karim Al-Qusyairi an-
Naisabury. Beliau lahir di Astawa pada bulan Rabiul Awal tahun 376
H atau 986 M. Beliau berguru pada mertuanya, dan para ulama
diantaranya, beliau belajar fiqih dari Abu Abdurrahman Muhammad
ibnu al-Husain dan belajar ilmu kalam dari Abu Bakar Muhammad
ibnu al-Husain ulama yang ahli ushul fiqih. Dan juga ilmu
Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibnu Muhammad. Al-Qusyairi
cenderung mengembalikan tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah
Wal Jama’ah juga penentang keras doktrin-doktrin ajaran mu’tazilah,
Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah.
Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya
yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia
menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah
yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr.
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-
Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-
Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan
kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari
mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang
mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.
Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya
Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih
melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak
bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu.
Al-Qusyairi tutup usia di Naisabur pada pagi Hari ahad tanggal
16 Rabiul Awal 465H/1073 M, dalam usia 87 tahun.
C.    Al-Sarraj

D.    Al-Ghazali
Nama lengkapnya Zainuddin Hujjatul-Islam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di Tous
(Khurasan). Al-Ghazali dikenal luas sebagai peletak pilar ilmu
Tasawuf Islam, dan berhasil menempatkan disiplin ilmu Tasawuf
sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Al-Ghazali juga dikenal
sebagai Faqih (ahli hukum), Mutakallim (ahli teologi), Filosof (ahli
filsafat), di samping juga memiliki pengetahuan yang bersifat
ensiklopedik. Tidak dapat dipungkiri, tokoh ini sangat produktif
dalam menghasilkan tulisan. Dalam bidang filsafat bukunya yang
sangat kritis terhadap para difilosof berjudul “Tahafut al-Falasifah”
(kerancuan para filosof). Karya spektakulernya adalah Ihya
Ulumuddin (kebangkitan ilmu-ilmu agama). Tulisan ini dapat
dikategorikan sebagai pedoman bagi mereka yang ingin mengetahui
Tasawuf dan Eika Islam. Karya ini ditulis seusai masa pengembaraan
dalam mencari kebenaran, dan dengan proses penelusuran yang teliti,
serta penguasaan begitu banyak disiplin ilmu Islam.
Karena al-Ghozali begitu mendalam dalam menitikberatkan
nilai spiritual Tasawuf Islam, dan mengkritisi kaum filosof, maka
tidak ada anggapan yang menilai bahwa al-Ghozali sebagai
penghambat utama munculnya filosof Islam dan pemikiran rasional di
kalangan umat Islam. Bahka satu hal yang tidak dapat disangkal
bahwa kehadiran al-Ghozali dalam pentas pemikiran Islam telah
mempengaruhi peta pemikiran dunia Islam. Dalam hal ini al-Ghozali
telah berhasil memantapkan disiplin ilmu tasawuf beserta dan
perkembangannya dalam dunia Islam.
Dari aspek teologi al-Ghozali menganut aliran sunni Asyariyah,
yang didirikan oelh Abu al-Hasan al-Asy’ari; dalam sisi hukum
menganut mazhab Syafi’i yang didirikan oleh pendirinya Abu Idris al-
Syafi’i dan dalam tasawuf al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang
beraliran moderat yang dirintis oleh sufi-sufi kenamaan seperti al-
Harits al-Muhasiby, Abu al-Qasim al-Junaid, Abu Thalib alp-Makki,
al-Qusyairi.
Akhirnya berkat kepiawaian al-Ghozali dalam memaparkan
disiplin ilmu tasawuf dalam kaitannya dengan ajaran Islam, maka
tokoh-tokoh tasawuf lainnya mulai dapat diterima oleh para fuqaha
(ahli hukum) yang selama ini mencurigai gerak dan sikap para sufi.
Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa maraknya kelahiran
tokoh-tokoh Tariqah (tarekat) seperti Sheikh Abdul Qadir al-Jailani,
Abdul Hasan al-Shazili, Ahmad al-Badawi, tidak terlepas dari
pengaruh pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali.

B.     Tasawuf Falsafi


Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang
mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga
menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan
saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu
wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi
yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-
ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang
berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya.
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya menonjol
kepada segi teoritis (‫ ) النطري‬sehingga dalam konsep-konsep tasawuf
falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan
filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari
khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil. Kaum
sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud
kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah
Allah.. Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan
makhluknya. Tokoh-tokoh yang menganut paham tasawuf falsafi ini
diantaranya, Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jili, al-Surahwardi.

Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi :


A.    Ibnu Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin
Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami. Lahir di mercia, Andalusia
Tenggara, spanyol, tahun 560 H. Di Seville(Spanyol), ia mempelajari
Al-Qur’an, hadis, serta fiqh pada sejumlah murid seorang faqih
Andalusia terkenal, yaitu Ibn Hazm Azh-Zhahiri.
Usia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan
Andalusia dan kawasan islam di bagian barat, di antara deretan guru-
gurunya adalah Abu Madyan Al-Ghauts At-Thalimsari dan Yasmin
Musyaniyah.
Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-
Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 pada saat menaikkan ibadah
haji. Karya lainnya adalah Masyahid Al-Asrar, Mathali Al-Anwar
AL-Illahiyah al-Isra ila Maqam Al-Atsana.
 Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-
tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal
kesepuluh.
               Wahdatul-wujud
Wujud semua yang ada hanya satu dan wujud mahluk pada
hakekatnya adalah wujud khaliq.Tidak ada perbedaan dari segi
hakekat,kalaupun ada perbedaan hal itu dilihat dari sudut pandang
pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam
menangkap hakekat apa yang ada pada zat-nya dari kesatuan dzatiyah
yang segala sesuatunya berhimpun padanya.
    Wahdatul-adyan
Konsep wahdatul adyan adalah kesamaan agama,al-arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu,karakteristik dari
tasawuf ini adalah lebih mengedepankan akal dari pada al-qur’an dan
as-sunnah.
               Haqiqah Muhammadiyah
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta.
Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
a. Tajjalii Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah,
b. Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-
realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
c. Tanazul  pada realitas-realitas nafsiyah, yaitu alam nafsiyah
berpikir.
d. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan misteri, yaitu
alam misal(ide) atau khayal.
e. Alam materi, yaitu alam indrawi.
Ibn Arabi menjelaskan pula bahwa terjadinya alam ini tidak
dapat dipisahkan dari ajaran hakikat Muhammadiyah atau Nur
Muhammad. Menurutnya tahapan-tahapan proses penciptaan alam
dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut dapat di jelaskan
sebagai berikut:
a.   Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan
tidak berhajat pada sesuatu apapun.
b.   Wujud hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan)
pertama dari wujud Tuhan , lalu muncul semua yang wujud dengan
proses tahapan-tahapannya.
Dengan demikian ibn arabi menolak ajaran yang mengatakan
bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Ia
mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber
imajinasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang
terealisasikan pada diri para nabi semenjak adam sampai
Muhammad  dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para
pengikutnya, kalangan para wali, dan insan  kamil (manusia
sempurna). Kadang-kadang ia menyebut hakikat Muhammadiyah
dengan Quthb dan terkadang dengan ruh Al-Khatam

B.     Abdul Karim al-Jili


Nama lengkapnya adalah abdul karim bin Ibrahim Al Jilli. Lahir
pada tahun 1365 M, di jillan (Gilan) wafat pada tahun 1417 M. ia
adalah seorang sufi terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak
banyak diketahui oleh para ahli sejarah. Tetapi sebuah sumber
mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke india tahin
1378 M. lalu belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-
Jailani. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarif Isma’il Bin
Ibrahim  Al-Zabarti di Zabid (Yaman) tahun1393-1403 M.
Adapun ajaran-ajaran tasawufnya adalah sebagai berikut:
a.      Insan kamil
Ajaran tasawuf yang terpentingnya adalah paham insan kamil
(manusia sempurna). Menurutnya, insane kamil adalah nuskhah atau
copy Tuhan, seperti yang disebutkan dalam hadis yang artinya:
“Alllah menciptakan adam dalam bentuk yang Maha Rahman.”
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya
merupakan milik insane kamil sebagai suatu kemestian yang inheren
dengan esensinya.  Lebih lanjut al-jilli mengemukakan bahwa
perumpamaan hubungan Tuhan dengan insane kamil bagaikan
cermin. Insane kamil tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan
cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-
Nya, kecuali melalui cermin insane kamil.
Kemudian al-jilli berkata bahwa duplikasi al-kamal
(kesempurnaan)pada dasarnya dimiliki oleh semua manusia.
Intensitas al-kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi
Muhammad SAW.  Manusia lain, baik nabi ataupun wali bila
dibandingkan dengan nabi Muhammad bagaikan al-kamil(yang
sempurna) dengan al-akmal(yang paling sempurna) atau al-fadil(yang
utama) dengan al-afdhal(yang paling utama).
Menurut Al-berry, konsep insan kamil al-jilli dekat dengan
konsep al-hulul al-hallaj dan knsep ittihad ibn arabi, yaitu integrasi
sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur
Muhammad.
b.      Maqamat (Al-Martabah)
Berhubungan dengan insan kamil, Al-Jilli merumuskan
beberapa maqam yang harus di lalui seorang sufi. Dalam istilahnya,
maqam itu disebut Al-Martabah (jenjang/tingkatan), di antaranya
adalah :
a. Islam
Islam yang didasarkan pada lima rukun dalam pemahaman
kaum sufi tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami
dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurutnya puasa
merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan jemanusiaan agar
orang yang berpuasa memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara
mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan
mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan.
b. Iman
Yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun
iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga
pertama untuk mengungkap tabir alam ghaib dan alat yang membantu
seseorang mencapai maqam yang lebih tinggi.
c. Ash-shalah
Pada tingkatan ini, sorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang
terus-menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan raja.
Bertujuan untuk mencapai nuqtah ilaihah pada lubuk hati sehingga
sehingga menaati syariat dengan baik.
d. Ihsan
Menunjukan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan
efek (atsar) nama dari sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa
seakan-akan berada di hadapan-Nya.dengan syarat-syarat harus
bersikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida,
dan ikhlas.
e.  Syahadah
Pada tingkatan ini, seorang sufi iradah yang bercirikan
mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Mengungat-Nya terus-
menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi.
f.   Shiddiqiyah
Istilah ini menggambarkan mencapai tingkat hakikat
ma’rifat  yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-
yaqin, dan haqq al-yaqin. Jadi, menurutnya seorang sufi yang telah
mencapai derajat shiddiq mampu menyaksikan hal-hal yang ghaib
kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui
hakikat-Nya. Setelah mengalami fana ia memperoleh baqa ilaih.
Inilah batas pencapaian ilmu al-yaqin
Selanjutnya , ketikapenampakan sifat-sifat terjadi, maka akan
diperoleh ma’rifat dzat dari segi sifat. Hal ini berlangsung terus
hingga mencapai ma’rifat dzat dengan dzat. Namun, karena tidak
merasa puas dengan ma’rifat dzat dengan dzat, ia mencoba
melepaskan sifat-sifat rububiyah sehingga pada akhirnya terhiasi
dengan sifat-sifat dan nama Tuhan. Tingkat semacam inilah yang
dinamakn haqq al-yaqin.
g.   Qurbah
Merupakan maqam yang memungkinkan seorang sufi dapat
menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan
nama Tuhan.
Demikianlah maqomat menurut pandangan al-jili. Dia
berpandangan bahwa mengetahui dzat yang maha tinggi itu
secara kasyf ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia di hadapanmu
tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah
Tuhan, tidak bisa disamakan. Oleh karenanya hamba tidak mungkin
jadi Tuhan dan tidak mungkin pula sebaliknya.

C.    Al-Surahwardi

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Tasawuf sunny (moderat) adalah tasawuf yang benar-benar
mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, Terikat, Bersumber, tidak keluar
dari batasan-bartasan keduanya, mengotrol perilaku lintasan hati serta
pengetahuan dengan neraca keduanya.
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang
berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya.

Anda mungkin juga menyukai