Anda di halaman 1dari 14

MENGENAL al-MUHKAMAT DAN al-MUTASYABIHAT

Di susun oleh :
Maulita Sari 20.42.022403

Pendidikan Agama Islam


Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. Atas segala limpahan rahmat serta taufiq
hidayahnya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas ulumul qur’an yang berjudul “Mengenal Ayat al-Muhkamat dan al-
Mutasyabihat”. Shalawat dan salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW. Yang membawa saya dari zaman kegelapan, menuju zaman
yang terang bersinarkan iman, islam, dan ihsan.

Adapun tujuan penulisan ini agar para pembaca dapat mengetahui pengertian al-
Muhkamat dan al-Mutasyabihat, makna dari Fawatih as-Suwar, seperti apa pendapat
para ulama tentang ayat Mutasyabihat dan mengetahui hikmah apa yang didapat
apabila kita mempelajari tentang ayat Mutasyabihat ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan agama yang positif terhadap para pembaca.

Palangkaraya, 04 November 2020

Penyusun ;
Maulita Sari 20.42.022403

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 1
1.3 Tujuan Makalah ......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian al-Muhkamat Wa al-Mutasyabihat......................... 3
2.2 Pengertian Fawatir al-Suwar ..................................................... 5
2.3 Sikap Ulama Terhadap Ayat al-Mutasyabihat.......................... 6
2.4 Hikmah Adanya Ayat al-Mutasyabihat ..................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Umat muslim seluruh dunia mempercayai bahwa Muhammad SAW, adalah


nabi dan rasul terakhir. Beliau utusan Allah SWT yang menjadi tauladan bagi
muslim, baik zaman kenabian hingga di era modern saat ini. Sama seperti nabi-
nabi sebelumnya, nabi Muhammad juga mendapatkan wahyu dari Allah. Namun,
Allah memeberikannya dengan petunjuk untuk membaca kitab suci al-Qur’an agar
tenang dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an adalah kitab bagi umat islam,
bahkan kita wajib menjadikannya sebagai pedoman, tuntunan semasa hidup di
dunia. Ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an merupakan bukti perjalanan
umat muslim. Allah SWT, memiliki keesaan atas segalanya, sebab hanya Allah
lah yang maha mengetahui apa yang akan terjadi di dunia bahkan di akhirat nanti.

Dalam Q.S Yusuf (12) ayat ke-2, dijelaskan bahwa al-Qur’an turun
menggunakan bahasa arab. Al-Qur’an suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun
dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci. Contohnya ayat muhkam pada
umumnya merupakan ciri al-Qur’an secara keseluruhan. Begitu juga ayat
mutasyabihat memiliki keserupaan dengan yang lain dalam keindahan. Namun,
ada ayat muhkam yang khusus pada bagian ayat al-Qur’an dan mutasyabihat juga
khusus pada sebagian yang lain. Hal ini mungkin terdengar asing dalam
pengetahuan ilmu agama yang sudah kita pelajari.

1.2 Rumusan masalah

Adapun pada makalah ini ada beberapa masalah yang dirumuskan oleh
pemakalah, antara lain :

1. Apa Pengertian al-Muhkamat Wa al-Mutasyabihat ?


2. Apa pengertianFawatih al-Suwar ?
3. Bagaimana sikap para ulama terhadap ayat al-Mutasyabihat ?

1
4. Apa hikmah adanya ayat al-Mutasyabihat ?

1.3 Tujuan makalah

Adapun tujuan makalah, anatara lain :


1. Mengetahui pengertian al-Muhkamat Wa al-Mutasyabihat.
2. Mengetahui pengertian Fawatih al-Suwar.
3. Mengetahui sikap para ulama terhadap ayat al-Mutasyabihat.
4. Mengetahui hikmah adanya ayat al-Mutasyabihat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian al-Muhkamat Wa al-Mutasyabihat

Kata Muhkamat berasal dari kata ihkam yang secara Bahasa berarti
kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Secara etimologis
(bahasa) al-Muhkamat/muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna
lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam juga berarti (sesuatu) yang
dikokohkan, tidak goyah dan tidak berubah. Kata mutasyabihat berasal dari kata
tasyabuh yang artinya keserupaan atau kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Adapun mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya
belum jelas. Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc berpendapat, muhkam artinya
ayat ayat yang maknanya jelas tidak tersembunyi. Sedangkan mutasyabih adalah
ayat yang maknanya tidak jelas, hanya orang-orang yang kuat keilmuannya yang
memahaminya dengan pemahaman yang benar.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Allah Ta’ala mengabarkan bahwa


di dalam Al Qur’an terdapat ayat ayat alquran yang merupakan induk Al Qur’an,
yaitu ayat ayat yang jelas maknanya, tidak tersembunyi pada semua orang”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/6). Kemudian, Adapun mutasyabih adalah ayat ayat yang
samar maknanya dan tersembunyi dari kebanyakan manusia. Tidak ada yang
mengetahuinya kecuali orang yang kokoh keilmuannya. Contohnya adalah ayat
ayat yang bersifat global dan tidak ada perinciannya di dalam alquran, seperti
firman Allah:

‫وأقيموا الصال ة‬

“Dirikanlah sholat“. Mendirikan sholat tidak dijelaskan tata caranya. Karena


ayat ini hanya menyebutkan kewajiban mendirikan sholat saja.

3
Adapun defenisi muhkam dan mutasyabihat menurut istilah ada beberapa
pendapat. Imam al-Suyuthi telah berusaha mengumpulkan beberapa pendapat dan
telah dimuat dalam kitab al-Itqannya sebagai berikut :

1. Muhkam adalah ayat yang bisa diketahui baik dengan dalil yang jelas
maupun yang samar, dan mutasyabih ayat yang maknanya hanya diketahui
Allah, seperti terjadinya hari kiamat, kapan keluarnya Dajjal dan huruf-huruf
muqaththa’ah pada awal surah.
2. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan mutasyabih sebaliknya.
3. Muhkam adalah bagian ayat yang tidak mungkin ditakwilkan, yaitu hanya
memiliki satu pengertian saja, dan mutasyabih ayat yang banyak
mengandung pengertian.
4. Muhkam adalah ayat dapat dipahami dengan akal, dan mutasyabih
kebalikannya, yaitu diluar jangkauan akal manusia.
5. Muhkam adalah aya-ayat yang tidak perlu penjelasan dan mutasyabihat
kebalikannya.
6. Muhkam adalah ayat-ayat yang memiliki makna sesuai dengan lahiriah ayat,
dan mutasyabihat adalah ayat yang memiliki makna lain disamping makna
lahir.
7. Muhkam ayat yang menjelaskan tentang suruhan dan larangan serta
menerangkan halal dan haram mutasyabih adalah ayat yang tidak jelas
maknanya

Ada dua metode untuk menyikapi ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya


sama-sama benar: Pertama, metode tafwidl (disebut sebagian ulama dengan istilah
ta’wil ijmali/takwil secara global). Metode ini digunakan oleh sebagian besar
ulama salaf (ulama yang hidup pada tiga abad pertama Hijriah). Yaitu dengan cara
mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah makna lahiriahnya yang
merupakan sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi
memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa
menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat
mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat, yakni dengan meyakini bahwa

4
ayat-ayat mutasyabihat tersebut tidak mengandung makna yang bertentangan
dengan makna ayat-ayat muhkamat. Kedua, metode ta’wil (disebut sebagian
ulama dengan istilah ta’wil tafshili/takwil secara terperinci). Metode ini
digunakan oleh sebagian besar ulama khalaf (ulama yang hidup setelah tiga abad
pertama Hijriah). Mereka menakwil (memaknai) ayat-ayat mutasyabihat secara
terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata
tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf, mereka tidak memahami
ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna lahiriahnya.

2.2 Pengertian Fawatih as-Suwar

Pada dasarnya bentuk ayat mutasyabihat tidak hanya dalam bentuk


kalimat tetapi ada juga berbentuk potongan-potongan huruf hija’iyah yang
terdapat pada awal surat yang disebut dengan Fawatih as-Suwar. Istilah Fawatih
adalah jama’ dari kata Fatih yang secara bahasa berarti pembuka, sedangkan
Suwar adalah jama’ dari kata Surah sebagai sebutan sekumpulan ayat-ayat Al-
Qur’an dengan nama tertentu. Fawatih as-Suwar terdiri dari dua kata “ fawatih "
pembuka, dan “ as-suwar ” surat-surat. Jadi fawatih as-suwar adalah pembukaan
surat-surat al-Qur'an yang terdiri dari huruf-huruf hija’iyah yang secara sederhana
dibaca sebagai huruf-huruf abjad yang terpisah dan tidak ada penjelasan tentang
maknanya. Huruf-huruf ini terlihat sesudah basmalah diawal surat, sering disebut
dengan huruf “al-Muqaththa’ah” (huruf yang terpotong-potong) yang juga
termasuk dalam ayat mutasyabihat. Adapun bentuk fawatih as-suwar didalam al-
Quran dapat dijelaskan sebagai berikut :

 Bentuk satu huruf, terdapat pada tiga tempat : yaitu Surat Shad diawali huruf
shad, surat Qaf diawali huruf qaf, suratal-Qalam diawali huruf nun yang
semuanya berada pada ayat pertama
 Bentuk dua huruf, terdapat pada 10 tempat : surat al-Mukmin, surat
Fushshilat, surat al-Syura, surat al-Zukhruf, surat al-Dukhan, surat al-Jasiyah
dan surat al-Ahqaf yang diawali huruf ha dan mim, surat Thaha yang diawali

5
huruf tha dan ha, surat al-Naml yang diawali huruf tha dan sin, surat Yasin
yang diawali huruf ya dan sin.
 Bentuk tiga huruf, terdapat pada 13 tempat : surat al-Baqarah, surat ali Imran,
surat al-Ankabut, surat al-Rum, surat Luqman, surat al-Sajdah yang diawali
huruf alif lam dan mim. Surat Yunus, surat Hud, surat Yusuf, surat Ibrahim,
surat al-Hijr yang diawali huruf alif, lam dan ra. Surat asy-Syu’ara, surat al-
Qashash yang diawali huruf tha, sin dan mim
 Bentuk empat huruf terdpat pada dua tempat : Surat al-A’raf yang diawali
huruf alif lam mim dan shad, surat al-Ra’d yang diawali huruf alif, lam, mim
dan ra.
 Bentuk lima huruf, terdapat pada satu tempat : yakni Surat Maryam yang
diawali huruf kaf, ha, ya, ‘ain dan shad.

2.3 Sikap Ulama Terhadap Ayat al-Mutasyabihat

Imam ibnu katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan


bahwa di dalama al-Qur’an terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan induk
al-Qur’an, yaitu ayat ayat yang jelas maknanya, tidak tersembunyi pada semua
orang” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/6). Ulama banyak berbeda pendapat, apakah makna
ayat mutasyabih bisa diketahui manusia atau tidak. Sebagian mereka mangatakan
tidak dapat diketahui manusia dan hanya Allah yang mengetahuinya. Pendapat ini
berasal dari kebanyakan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan di ikuti oleh
golongan ahlusunnah wa al-jamaah. Pendapat kedua, mengatakan bahwa makna
yang terkandung dalam ayat mutasyabih dapat diketahui orang tertentu yang
sudah mendalam ilmunya. Pendapat ini di pelopori oleh ahli tafsir dari kalangan
tabi’in yang bernama Mujahid. Perbedaan pendapat ini berasal dari perbedaan
pemahaman terhadap ayat 7 (Ali Imran) yaitu: “Dia-lah yang menurunkan al-
Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada

6
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.(Q.S. Ali Imran
:7)

Tokoh sahabat seperti Ubay ibn Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan
sejumlah sahabat lainnya, tabi’in dan ahlusunnah berpendapat bahwa waw pada
kalimat “war-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” adalah waw ist’naf.
Pendapat ini didukung oleh hadits yang di keluarkan Abdurrazzak dalam tafsirnya
dan Hakim dalam kitab Mustadrak yang berasal dari Ibn Abbas bahwa ia
membaca “ wama ya’lamu ta’wilahu illallah, wayaqulur rosikhuna fil ‘ilmu
amanna bihi”.

Pendapat kedua mengatakan makna ayat mutasyabih dapat diketahui oleh


orang yang mendalam ilmunya beralasan bahwa “waw” yang ada pada kalimat
“warrasikhuna fil ‘ilmi” adalah “waw athaf” bukan “waw isti’naf ” yang di
’athafkan pada kalimat sebelumnya yaitu kalimat “illallah” dan kalimat “ya
quluna” menjadi “Hal”. Jadi, kesimpulannya adalah Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya mengetahui maknanya (ayat mutasyabih). Imam Abu Hasan
al-Asy’ari mengikuti pendapat yang kedua ini begitu juga Abu Ishaq asy-Syairazi
dan ia memperkuat pendapat ini dengan mengatakan: “Pengetahuan Allah
terhadap ayat-ayat mutasyabih itu dilimpahkan juga kepada para ulama yang
mendalam ilmunya, sebab firman yang di turunkan-Nya itu adalah pujian bagi
mereka. Kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan
orang awam”. Seperti itu juga imam Nawawi, ia mengatakan : “pendapat inilah
(yang kedua) yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-
hambanya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka”.

7
Dr. Mahmud ibn Abdurrazzak membantah keras pendapat yang
mengatakan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat yang tidak diketahui maknanya. Ia
mengatakan: “Pendapat ini tidak benar karena menjadikan perkataan Allah tidak
punya makna dan menjadikan para salafusshalih pada derajat orang-orang bodoh
yang disebutkan Allah sebagai orang-orang yang memperbuat kata-kata yang sia-
sia dan tertutup yang tidak bisa dipahami maknanya. Tidaklahlah masuk akal jika
kita mendengarkan perkataan orang asing yang berbicara dengan bahasanya yang
tidak kita pahami dan kita tidak tau bahasanya lantas kita berkata setelah
mendengarkan pembicaraannya “perkataanmu bagus, dan susunannya baik,
perkataanmu itu tidak ada yang salah dan kami membenarkan setiap perkaanmu”.
Dari pernyataan di atas dapat diambil pemahaman bahwa ia meyakini seluruh ayat
al-Qur’an dapat ditafsirkan dan diambil maknanya. Prof. Dr. Hamka memberikan
penjelasan bahwa peringatan Allah tentang ayat-ayat mutasyabih bukan berarti
ayat mutasyabih tidak dapat diketahui manusia. Peringatan ini bertujuan untuk
menyuruh umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu al-
Qur’an dan memohon pertunjuk darinya. Kemudian, dapat disimpulkan oleh ar-
Raghib al-Asfahani tentang pendapat para ulama mengenai ayat al-Mutasyabihat
terbagi menjadi tiga yaitu :

 Pertama, lafaz ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya, hanya Allah
yang dapat mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat, kalimat
daabbatul ardhi (binatang yang akan keluar menjelang hari kehancuran alam).
 Kedua, ayat mutasyabihat yang dengan berbagai sarana manusia dapat
mengetahui maknanya, seperti mengetahui makna kalimat yang gharib dan
hukum yang belum jelas.
 Ketiga, Ayat mutasyabih yang khusus dapat diketahui maknanya oleh orang
orang yang ilmunya mendalam dan tidak dapat diketahui orang-orang selain
mereka sebagaimana diisyaratkan oleh do’a nabi bagi Ibn Abbas:
“Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama yang mendalam kepadanya dan dan
limpakanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya”.

8
2.4 Hikmah Adanya Ayat al-Mutasyabihat

Dari paparan di atas, ada tiga hikmah yang dapat diambil dari persoalan
Mutasyabihat tersebut, hikmah-hikmah itu adalah :

1. Sebagai rahmat Allah kepada manusia agar mereka selalu berpikir. Allah
merahasiakan banyak hal, agar mereka mencari dan berupaya mendapatkan
pengetahuan. Maka dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat manusia tidak
bergantung secara terus menerus pada penjelasan Allah, tetapi mereka bisa
bergerak sendiri untuk mencari kebenaran dengan bantuan cahaya ayat-ayat
Allah
2. Sebagai cobaan dari Allah. Maksudnya dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat, manusia diuji keimanannya, apakah mereka tetap percaya dan
tunduk kepada ayat-ayat Allah atau berpaling dan cenderung memperalat
ayat-ayat Allah untuk kepentingan pribadi (mengikuti hawa nafsu).
3. Untuk menjadi bukti kelemahan manusia atas kebesaran Allah. Dengan
adanya ayat-ayat mutasyabihat, manusia dijadikan tunduk terhadap
ketentuan-Nya dan menghancurkan kesombongannya terhadap ketetapan-
ketetapan Allah.
4. Untuk mengungkap makna ayat-ayat mutasyâbihât diperlukan berbagai
macam ilmu seperti ilmu bahasa-nahwu, sharf dan balaghah-ushul fiqh dan
lain sebagainya, sehingga keberadaan ayat-ayat mutasyabihat mendorong
berkembangnya bermacam-macam ilmu.
5. Memudahkan untuk menghafal dan menjaga al-Qur'an, karena ungkapan al-
Qur'an yang ringkas dan padat dapat memuat bermagai macam segi dan
aspek. Jika sekiranya semua aspek dan segi itu diungkapkan secara jelas satu-
satu tentu akan berakibat al-Qur'an akan sangat tebal, bisa berjilid-jilid
sehingga menyulitkan umat untuk menghafal dan menjaganya. Dan juga
kehalusan dan keindahan ungkapan-ungkapan al-Qur'an membuat para
pembacanya merasakan nikmat dan tenang membacanya.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari definisi al-Muhkamat dan al-Mutasyabihat di atas, dapat


disimpulkan bahwa ayat muhkam adalah lafadz yang mudah kita pahami.
Sedangkan ayat mutasyabihat lafadz yang belum jelas maknanya. Sebagian
ulama meyakini bahwa di dalam Al-Qur’an ada ayat mutasyabih yang tidak
diketahui oleh seorangpun, tapi hanya diketahui oleh Allah SWT. maksudnya
adalah mengetahui hakikat suatu masalah, bukan tafsir lafadz-lafadznya. Ayat-
ayat tentang sifat Allah menjadi mutasyabih bukan dari segi memahami maknanya
tetapi ayat tersebut mutasyabih dari segi hakikat maknanya karena semua hakikat
hanya diketahui oleh Allah SWT. Adapun hikmah kita dalam memperlajari ayat
ini untuk mengasah pikiran dan memperdalam ilmu agama, adanya ayat al-
Mutasyabihat ini juga menjadi bukti keesaan Allah SWT bahwa al-Qur’an adalah
suatu mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.

10
DAFTAR PUSTAKA

Farqi, A (2016), ‘Analisis Ayat-ayat Mutasyabihat Tafsir al-Munir Katya Wahbah


az-Zuhail’i ; Skripsi.

http://eprints.walisongo.ac.id/5817/1/094211001.pdf

HM, Sahid, (2019), ‘Ulum al-Qur’an (memahami otensifikasi al-Qur’an), cetakan I,


Surabaya ; Pustaka Idea.

Ilyas, Yunahar (2013), ‘Kuliah Ulumul Qur’an’, cetakan I, Yogyakarta ; ITQHAN


Publishing.

Nizhamiyah (2016), ‘Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih Dalam al-Qur’an’


; skripsi.

https://core.ac.uk/download/pdf/267075415.pdf

Siti Badiah (2017), ‘Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan Adanya Ayat-ayat


Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Al-Qur’an’ ; skripsi.

https://media.neliti.com/media/publications/177698-ID-none.pdf

11

Anda mungkin juga menyukai