Di susun oleh :
Maulita Sari 20.42.022403
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. Atas segala limpahan rahmat serta taufiq
hidayahnya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas ulumul qur’an yang berjudul “Mengenal Ayat al-Muhkamat dan al-
Mutasyabihat”. Shalawat dan salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW. Yang membawa saya dari zaman kegelapan, menuju zaman
yang terang bersinarkan iman, islam, dan ihsan.
Adapun tujuan penulisan ini agar para pembaca dapat mengetahui pengertian al-
Muhkamat dan al-Mutasyabihat, makna dari Fawatih as-Suwar, seperti apa pendapat
para ulama tentang ayat Mutasyabihat dan mengetahui hikmah apa yang didapat
apabila kita mempelajari tentang ayat Mutasyabihat ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan wawasan agama yang positif terhadap para pembaca.
Penyusun ;
Maulita Sari 20.42.022403
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Q.S Yusuf (12) ayat ke-2, dijelaskan bahwa al-Qur’an turun
menggunakan bahasa arab. Al-Qur’an suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun
dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci. Contohnya ayat muhkam pada
umumnya merupakan ciri al-Qur’an secara keseluruhan. Begitu juga ayat
mutasyabihat memiliki keserupaan dengan yang lain dalam keindahan. Namun,
ada ayat muhkam yang khusus pada bagian ayat al-Qur’an dan mutasyabihat juga
khusus pada sebagian yang lain. Hal ini mungkin terdengar asing dalam
pengetahuan ilmu agama yang sudah kita pelajari.
Adapun pada makalah ini ada beberapa masalah yang dirumuskan oleh
pemakalah, antara lain :
1
4. Apa hikmah adanya ayat al-Mutasyabihat ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata Muhkamat berasal dari kata ihkam yang secara Bahasa berarti
kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan. Secara etimologis
(bahasa) al-Muhkamat/muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna
lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam juga berarti (sesuatu) yang
dikokohkan, tidak goyah dan tidak berubah. Kata mutasyabihat berasal dari kata
tasyabuh yang artinya keserupaan atau kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Adapun mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya
belum jelas. Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc berpendapat, muhkam artinya
ayat ayat yang maknanya jelas tidak tersembunyi. Sedangkan mutasyabih adalah
ayat yang maknanya tidak jelas, hanya orang-orang yang kuat keilmuannya yang
memahaminya dengan pemahaman yang benar.
وأقيموا الصال ة
3
Adapun defenisi muhkam dan mutasyabihat menurut istilah ada beberapa
pendapat. Imam al-Suyuthi telah berusaha mengumpulkan beberapa pendapat dan
telah dimuat dalam kitab al-Itqannya sebagai berikut :
1. Muhkam adalah ayat yang bisa diketahui baik dengan dalil yang jelas
maupun yang samar, dan mutasyabih ayat yang maknanya hanya diketahui
Allah, seperti terjadinya hari kiamat, kapan keluarnya Dajjal dan huruf-huruf
muqaththa’ah pada awal surah.
2. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan mutasyabih sebaliknya.
3. Muhkam adalah bagian ayat yang tidak mungkin ditakwilkan, yaitu hanya
memiliki satu pengertian saja, dan mutasyabih ayat yang banyak
mengandung pengertian.
4. Muhkam adalah ayat dapat dipahami dengan akal, dan mutasyabih
kebalikannya, yaitu diluar jangkauan akal manusia.
5. Muhkam adalah aya-ayat yang tidak perlu penjelasan dan mutasyabihat
kebalikannya.
6. Muhkam adalah ayat-ayat yang memiliki makna sesuai dengan lahiriah ayat,
dan mutasyabihat adalah ayat yang memiliki makna lain disamping makna
lahir.
7. Muhkam ayat yang menjelaskan tentang suruhan dan larangan serta
menerangkan halal dan haram mutasyabih adalah ayat yang tidak jelas
maknanya
4
ayat-ayat mutasyabihat tersebut tidak mengandung makna yang bertentangan
dengan makna ayat-ayat muhkamat. Kedua, metode ta’wil (disebut sebagian
ulama dengan istilah ta’wil tafshili/takwil secara terperinci). Metode ini
digunakan oleh sebagian besar ulama khalaf (ulama yang hidup setelah tiga abad
pertama Hijriah). Mereka menakwil (memaknai) ayat-ayat mutasyabihat secara
terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata
tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf, mereka tidak memahami
ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna lahiriahnya.
Bentuk satu huruf, terdapat pada tiga tempat : yaitu Surat Shad diawali huruf
shad, surat Qaf diawali huruf qaf, suratal-Qalam diawali huruf nun yang
semuanya berada pada ayat pertama
Bentuk dua huruf, terdapat pada 10 tempat : surat al-Mukmin, surat
Fushshilat, surat al-Syura, surat al-Zukhruf, surat al-Dukhan, surat al-Jasiyah
dan surat al-Ahqaf yang diawali huruf ha dan mim, surat Thaha yang diawali
5
huruf tha dan ha, surat al-Naml yang diawali huruf tha dan sin, surat Yasin
yang diawali huruf ya dan sin.
Bentuk tiga huruf, terdapat pada 13 tempat : surat al-Baqarah, surat ali Imran,
surat al-Ankabut, surat al-Rum, surat Luqman, surat al-Sajdah yang diawali
huruf alif lam dan mim. Surat Yunus, surat Hud, surat Yusuf, surat Ibrahim,
surat al-Hijr yang diawali huruf alif, lam dan ra. Surat asy-Syu’ara, surat al-
Qashash yang diawali huruf tha, sin dan mim
Bentuk empat huruf terdpat pada dua tempat : Surat al-A’raf yang diawali
huruf alif lam mim dan shad, surat al-Ra’d yang diawali huruf alif, lam, mim
dan ra.
Bentuk lima huruf, terdapat pada satu tempat : yakni Surat Maryam yang
diawali huruf kaf, ha, ya, ‘ain dan shad.
6
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.(Q.S. Ali Imran
:7)
Tokoh sahabat seperti Ubay ibn Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan
sejumlah sahabat lainnya, tabi’in dan ahlusunnah berpendapat bahwa waw pada
kalimat “war-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” adalah waw ist’naf.
Pendapat ini didukung oleh hadits yang di keluarkan Abdurrazzak dalam tafsirnya
dan Hakim dalam kitab Mustadrak yang berasal dari Ibn Abbas bahwa ia
membaca “ wama ya’lamu ta’wilahu illallah, wayaqulur rosikhuna fil ‘ilmu
amanna bihi”.
7
Dr. Mahmud ibn Abdurrazzak membantah keras pendapat yang
mengatakan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat yang tidak diketahui maknanya. Ia
mengatakan: “Pendapat ini tidak benar karena menjadikan perkataan Allah tidak
punya makna dan menjadikan para salafusshalih pada derajat orang-orang bodoh
yang disebutkan Allah sebagai orang-orang yang memperbuat kata-kata yang sia-
sia dan tertutup yang tidak bisa dipahami maknanya. Tidaklahlah masuk akal jika
kita mendengarkan perkataan orang asing yang berbicara dengan bahasanya yang
tidak kita pahami dan kita tidak tau bahasanya lantas kita berkata setelah
mendengarkan pembicaraannya “perkataanmu bagus, dan susunannya baik,
perkataanmu itu tidak ada yang salah dan kami membenarkan setiap perkaanmu”.
Dari pernyataan di atas dapat diambil pemahaman bahwa ia meyakini seluruh ayat
al-Qur’an dapat ditafsirkan dan diambil maknanya. Prof. Dr. Hamka memberikan
penjelasan bahwa peringatan Allah tentang ayat-ayat mutasyabih bukan berarti
ayat mutasyabih tidak dapat diketahui manusia. Peringatan ini bertujuan untuk
menyuruh umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu al-
Qur’an dan memohon pertunjuk darinya. Kemudian, dapat disimpulkan oleh ar-
Raghib al-Asfahani tentang pendapat para ulama mengenai ayat al-Mutasyabihat
terbagi menjadi tiga yaitu :
Pertama, lafaz ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya, hanya Allah
yang dapat mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat, kalimat
daabbatul ardhi (binatang yang akan keluar menjelang hari kehancuran alam).
Kedua, ayat mutasyabihat yang dengan berbagai sarana manusia dapat
mengetahui maknanya, seperti mengetahui makna kalimat yang gharib dan
hukum yang belum jelas.
Ketiga, Ayat mutasyabih yang khusus dapat diketahui maknanya oleh orang
orang yang ilmunya mendalam dan tidak dapat diketahui orang-orang selain
mereka sebagaimana diisyaratkan oleh do’a nabi bagi Ibn Abbas:
“Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama yang mendalam kepadanya dan dan
limpakanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya”.
8
2.4 Hikmah Adanya Ayat al-Mutasyabihat
Dari paparan di atas, ada tiga hikmah yang dapat diambil dari persoalan
Mutasyabihat tersebut, hikmah-hikmah itu adalah :
1. Sebagai rahmat Allah kepada manusia agar mereka selalu berpikir. Allah
merahasiakan banyak hal, agar mereka mencari dan berupaya mendapatkan
pengetahuan. Maka dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat manusia tidak
bergantung secara terus menerus pada penjelasan Allah, tetapi mereka bisa
bergerak sendiri untuk mencari kebenaran dengan bantuan cahaya ayat-ayat
Allah
2. Sebagai cobaan dari Allah. Maksudnya dengan adanya ayat-ayat
mutasyabihat, manusia diuji keimanannya, apakah mereka tetap percaya dan
tunduk kepada ayat-ayat Allah atau berpaling dan cenderung memperalat
ayat-ayat Allah untuk kepentingan pribadi (mengikuti hawa nafsu).
3. Untuk menjadi bukti kelemahan manusia atas kebesaran Allah. Dengan
adanya ayat-ayat mutasyabihat, manusia dijadikan tunduk terhadap
ketentuan-Nya dan menghancurkan kesombongannya terhadap ketetapan-
ketetapan Allah.
4. Untuk mengungkap makna ayat-ayat mutasyâbihât diperlukan berbagai
macam ilmu seperti ilmu bahasa-nahwu, sharf dan balaghah-ushul fiqh dan
lain sebagainya, sehingga keberadaan ayat-ayat mutasyabihat mendorong
berkembangnya bermacam-macam ilmu.
5. Memudahkan untuk menghafal dan menjaga al-Qur'an, karena ungkapan al-
Qur'an yang ringkas dan padat dapat memuat bermagai macam segi dan
aspek. Jika sekiranya semua aspek dan segi itu diungkapkan secara jelas satu-
satu tentu akan berakibat al-Qur'an akan sangat tebal, bisa berjilid-jilid
sehingga menyulitkan umat untuk menghafal dan menjaganya. Dan juga
kehalusan dan keindahan ungkapan-ungkapan al-Qur'an membuat para
pembacanya merasakan nikmat dan tenang membacanya.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.walisongo.ac.id/5817/1/094211001.pdf
https://core.ac.uk/download/pdf/267075415.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/177698-ID-none.pdf
11