Anda di halaman 1dari 23

KAIDAH AL-ZIY>A>DAH, AL-TAQDI>>><R WA AL-HADZF,

AL-TAQDI>>><M WA AL-TA’KHI<R

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Tafsir Lingkungan Hidup dan Kesehatan

Disusun Oleh:

Rahayu Alam
30300117005
Abdul Malik J
30300117073

Dosen Pembimbing:

Dr. Aan farhani, Lc.Ma.

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai kalam Allah memiliki kemukjizatan dari berbagai

aspeknya. Hal ini tidak lepas dari kedudukan al-Qur’an sebagai risalah Allah bagi

seluruh umat. Oleh karena itu, umat Islam harus mempelajarinya dengan baik.

Karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka untuk mengkajinya

dengan baik, diperlukan kemampuan untuk memahami qawa>’id al-lughah

al-‘Arabiyah dan qawa>id at-Tafsi>r, agar pesan-pesan ilahiyah yang terdapat di

dalamnya dapat menjadi pegangan untuk diamalkan dalam berbagai aspek

kehidupan, baik yang menyangkut hubungan dengan Allah maupun hubungan

dengan sesama manusia dan lingkungan.1

Salah satu kaidah yang dapat membantu untuk menangkap pesan-pesan

ilahiyah yaitu memahami kaidah ziya>dah taqdir wal hadzf dan kaidah taqdi>m

wa ta’khi>r. Olehnya itu penulis mencoba menyajikan kaidah tersebut dalam

tulisan ini. Semoga apa yang penulis sajikan bisa menambah wawasan para

pembaca dan membantu khususnya umat Islam dalam memahami ayat-ayat al-

Qur’an.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Kaidah Ziya>dah, Taqdir wal Hadzf ,dan Taqdi>m

wa Ta’khi>r?

2. Bagaimana Kaidah Ziyadah ,Taqdir wal Hadzf dan Taqdi>m wa

Ta’khi>r?

1
Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, (Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 218.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ziya>dah, Al-Taqdi>r wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r

1. Ziya>dah

Kata al-ziya>dah adalah bentuk masdar dari akar kata zada,

yazidu, zaydan, ziyadatan yang berarti penambahan atau sesuatu yang

digabungkan kepada sesuatu yang lainnya.2 Al-ziya>dah secara etimologi

menurut Ibnu Faris dilihat dari asal katanya zai, ya‘ dan dal artinya

tambahan/kelebihan. Mereka berkata za>da al-syai’ yazi>du fahuwa

za>id.
3
‫ زاد الشىء يزيد فهوزائد‬:‫ يقولون‬. ‫اصل يدل على الفضل‬
ٌ ‫الزاء والياء والدال‬
Secara terminologi, al-ziya>dah} memiliki beragam definisi

menurut berbagai pakar ulama, baik dari segi bahasa maupun istilah.

Adapun perbedaan ziya>dah, memiliki manfaat dan tujuan dalam

menggunakannya di antaranya ialah

a. Ulama Nahwu, mengemukakan bahwa ziya>dah tidak memiliki posisi

dalam I’rab, maksudnya ziya>dah tidak terletak pada maknanya, akan

tetapi, ziya>dah terletak pada lafaz-lafaz tersebut. Begitu pula yang

dimaksud oleh ulama Tasrif.

b. Ulama Bahasa, mengatakan bahwa ziya>dah adalah penambahan

huruf yang tidak memliki makna dan faedah sama sekali akan tetapi ia

sebagai penghias dalam kata.

c. Ulama Tafsir, mereka cenderung sama dengan pendapat ulama nahwu,

dan terlebih ziya>dah tidak mungkin dimasukkan dalam al-Qur´an,


2
Ahmad Kholabi Kharlie, “ Kontroversi Ulama Seputar Kedudukan Al-ziyadah ‘Ala Al-
Nash dan Dampaknya Terhadap Fiqih,” Al-Qalam 21 no. 101 (Agustus 2004): h. 261
3
Khalid Usman al-Sabt, Qawa´id Al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 438.
jika ziya>dah itu sebagai huruf penambahan yang tidak mempunyai

makna berfaedah atau sia-sia. Sebagian ulama tafsir memperingatkan

agar waspada menggunakan istilah ziya>dah karena akan

menimbulkan kesalahpahaman dan kebimbangan dalam masyarakat

awam.4

Jika ada satu kata yang dinilai tidak dibutuhkan dalam kalimat,

karena kalimat tersebut telah lurus dan jelas maknanya. Bila tanpa huruf

ziya>dah itu.hal ini banyak ditemukan dalam bahasa Arab. Tapi hal yang

demikian tidak terdapat dalam al-Qur’an. Banyak ulama yamg menolak

adanya huruf ziya>dah karena menurut mereka, “tidak ada satupun kata/

huruf di dalam al-Qur’an yang berlebih.” Maka mereka memberi jalan

tengah menyatakan bahwa tidak ada ziya>dah dalam al-Qur´an yang tidak

mempunyai tujuan atau penambahan makna. Bisa jadi tanpa berlebih itu

bukan berarti ia menjadi lurus dan jelas, tapi dengan adanya, maka akan

lebih jelas kelurusan itu, dan pemaknaan pada kalimat semakin jelas.

Inilah yang dikatakan dengan Ziya>dah. 5

2. Taqdi>r wal Hadzf

Dari segi etimologi al-Taqdir memiliki banyak arti, diantaranya yang

lebih tepat adalah “bermaksud mengerjakan suatu janji.” 6 Al-taqdi>r menurut

ulama Nahwu yaitu “suatu lafaz| yang diinginkan oleh si pembicara namun

tidak diungkapkan dengan jelas”. Kata al-haz|f secara etimologi berasal dari

kata ‫ف‬-‫ذ‬-‫ ح‬yang berarti penghapusan, pembuangan atau pengguguran.

Kamaluddin Abu Nawas, Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, (Cet. I;
4

Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012), h. 54.


5
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 106.
6
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I ( jakarta; QAF Media Kreativa, 2017) h. 332
Secara terminologi kata al-haz|f menurut para ahli Nahwu dan

ahli balagah adalah pengguguran harakat ataupun kata, baik dalam

jumlahnya banyak atau sedikit. 7

Jadi al-taqdi>r dalam makalah ini adalah memperkirakan lafaz

yang tidak diungkapkan secara jelas, akan tetapi lafaz tersebut hanya

tersirat melalui qari>nah (indikasi) kalimat itu sendiri, sedangkan al-haz\f

adalah membuang huruf atau lafaz yang tidak akan merusak makna

kalimat tersebut dengan alasan-alasan tertentu.

3. Taqd>im wa Takh>ir

Kata taqdi>m dalam Mu’jam Maqa>yis fi al-Lughah berasal dari akar

kata ‫ ق–د–م‬akar kata ini berarti kepada apa yang terdahulu atau apa yang telah

berlalu. Dikatakakan Al-Qidam yang bermakna lawan kata dari huduts atau

baharu. Kalau dikatakan syaiun qadim jika waktunya telah berlalu atau sesuatu

yang telah lampau.8 Kata taqdi>m lawannya adalah kata ta’khi>r. Taqdi>m yang

dimaksud dalam kaidah ini adalah mendahulukan satu lafaz atau ayat yang satu

dari lafaz atau ayat yang lain.

Kata ta’khi>r berakal kata dari ‫أ–خ–ر‬.9 Arti pokoknya adalah belakang,

mundur. Ta’khi>r, membelakangkan, menempatkan di akhir, yaitu lawan kata

taqdim. Akan tetapi ta’khi>r yang dimaksud pada kaidah ini adalah

mengakhirkan satu kata atau ayat yang satu dari ayat atau kata yang lain.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah taqdi>m

dan ta’khi>r adalah suatu dasar atau patokan untuk mengetahui penyebab suatu

7
Rusydi Khalid, Qawaid Tafsir, Cet. I, Alauddin University Press, h. 81
8
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, (tc; Jakarta: Sejahtera
Kita, 2016), h. 79 mengutip dalam bukunya Ibn Fa>ris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqa>yyis fi al-
Lughah, (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), h. 878.
9
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h. 79 mengutip dalam
bukunya Ibn Fa>ris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqa>yis fi al-Lughah,h. 878.
lafaz, atau ayat itu didahulukan dan diakhirkan dan untuk memperlihatkan

kekhususan, keutamaan dan ketika dibutuhkan.10

B. Kaidah Ziya>dah, Al-Taqdi>r wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r

1. Kaidah Ziya>dah

Kaidah Pertama
‫زائد يف القرآن ال‬

“Tidak ada kata tambahan dalam al-Qur’an”.

Maksud dari kaidah ini bahwa pada dasarnya tidak ada (ziyadah)

tambahan di dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an disucikan dari segala

bentuk kesia-siaan dan penambahan- penambahan yang tidak berfaedah.11

Ada dua hal yang mencakup kaidah ini:

a. Sesuatu yang tidak memiliki makna. karena kalimat yang tidak

mengandung makna dipandang sia-sia dan itu artinya cacat. Allah telah

menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk, penyembuh dan

penjelasan dan kesemuanya itu tidak mungkin terdapat dalam perkataan


yang tidak bermakna. Pada bentuk ini jelas tidak sesuai dengan

kemukjizatan al-Qur’an sebagai kitab Allah.

Di dalam al-matsal al sa’ir dinyatakan, “ Siapa yang berpendapat

bahwa didalam al-Qur’an terdapat kata-kata tambahan yang tidak ada

maknanya, ia mungkin tidak mengerti firman itu, atau mungkin saja agama

dan akidanya dipertanyakan.”12

10
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h.79.
11
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Cet. I., h. 350
12
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I ( jakarta; QAF Media Kreativa, 2017) h.
323
Sesuatu yang tidak merusak makna aslinya atau tidak mengubah keaslian
maknanya meskipun tambahan tersebut dihilangkan. Menurut al-Zarkasyi,
ungkapan ulama bahwa ma’ , tambahan, ba’ tambahan dsb., maksudnya adalah
bahwa perkataan tersebut tidak cacat tanpa ketidakhadiran huruf ziyadah tersebut,
bukan berarti tidak memiliki faedah sama sekali.
Karena yang demikian itu tidak diperbolehkan oleh pencipta
bahasa, terlebih lagi dalam perkataan Allah swt. Adanya usnsur
penambahan dalam perkataan tersebut karena ada unsur kesengajaan atau
ada maksud tertentu. Semua pernyataan bahwa dalam al-Qur’an terdapat
tambahan, maksudnya adalah untuk menekankan (tawkid) karena
penambahan ucapan bukan karena kelalaian penutur tetapi disengaja. 13
Menurut al-Zarkasi, perkataan ulama dalam menyikapi kaidah

ziya>dah contohnya ("‫زائدة‬,‫الباء‬,‫ )ما"زائدة‬dalam perkataan tersebut tidak rusak

atau cacat maksud dari perkataan tersebut, tanpa ziya>dah bukan berarti

pemaknaan aslinya dihapuskan dan tidak memiliki faedah sama sekali,

demikian itu tidak diperbolehkan dalam pakar bahasa, terlebih bagi

perkataan Allah yang tercantum dalam al-Qur’an.14

Ar-Rafi’ r.a berpandangan bahwa, terdapat kalimat ziya>dah (tambahan)

dalam al-Qur´an, sebagaimana firman Allah swt QS. Ali-Imra>n/3: 159.


ِِ ٍِ
َ ‫…فَبِ َما َرمْح َة م َن اللَّه لْن‬.
‫ت هَلُم‬
Terjemahnya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka.

Para ahli Nahwu mengemukakan bahwa “‫ "ما‬dalam ayat tersebut adalah

ziya>dah (tambahan) dari segi I’rab, kebanyakan orang tidak mengetahui

13
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h.71
14
Khalid Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 349
menganggap bahwa itu merupakan tambahan dari susunan lafaz, padahal

ziya>dah merupakan suatu bentuk penggambaran yang jika dihapuskan dari salah

satu gambaran, maka akan mengurangi unsur-unsur keindahan yang terdapat di

dalam kalimat. Maksud dari ayat tersebut adalah menggambarkan kelemah

lembutan Nabi Muhammad saw. terhadap kaumnya. Dan ini merupakan rahmat

dari Allah, kemudian dihadirkan huruf ‫ما‬. huruf ini menunjukkan lafaz ta´kid

(penguat) yang memberikan penekanan makna "‫( "اللني‬kelemah lembutan).

Pada pengucapan kalimat, menimbulkan kesan yang baik, kemudian

pemisah huruf " ‫اء‬AA ‫ "الب‬sebagai huruf ja>r dengan majru>r adalah (sebagai lafaz

rahma) mengarahkan pada jiwa untuk melakukan tadabbur (perenungan) makna

memalingkan pikiran yang bernilai besar dari rahmat dan kasih sayang apa yang

terkandung didalamnya. Demikianlah kefasihan bahasa al-Qur´an.15

Telah dijelaskan sebelumya bahwa tidak boleh ada dalam al-Qur´an suatu

lafaz yang tidak memiliki makna.

Contoh lainnya QS. al-Syu>ra>/42: 11


ِ ‫الس ِميع الْب‬
)11( ُ‫صري‬ ِِ ِ
َ ُ َّ ‫س َكمثْله َش ْيءٌ َو ُه َو‬
َ ‫لَْي‬
Abu Hayyan berpendapat dan hampir mirip dengan Ibn Hasyim, bahwa

ka>f, dan mis|li mempunyai arti arti yang sama, sehingga tidak dibenarkan

memahaminya sesuai dengan lafaznya, karena akan dipahami sebagai ‫ه‬AA‫ل مثل‬AA‫يئ مث‬AA‫ش‬

‫ ليس‬sehingga ia berfungsi sebagai ta’kid, berbeda lagi dengan pendapat Abu Ja’far

al-T}usi menggangap bahwa ka>f tersebut bukan ziya>dah karena ia bermakna

Allah menafikan ada yang sama dengan dirinya.16

15
Khalid Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 352
16
Kamaluddin Abu Nawas, Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, (Cet. I;
Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012), h. 106-113.
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya, berpendapat ayat yang

berbunyi ‫يئ‬AA ‫ ش‬A‫ه‬A A‫ ليس كمثل‬bila diterjemahkan secara harfiah, maka ia akan berbunyi

“Tidak ada yang seperti, sepertinya”, demikian dengan kata ka>f dan mis|li

keduanya berarti serupa dan seperti, alasan ayat tersebut dapat dipahami artinya

dengan lurus dengan ditinggalkan salah satu makna yakni, “Tidak satu yang

seperti/serupa dengan Tuhan”, (baik dalam kenyataan maupun dalam hayalan).

Pakar tafsir mencari rahasia di balik ziya>dah,. Sementara mereka

menjelaskan bahwa yang seperti sepertiNya itu tidak ada, apalagi yang sama

denga Dia, Yang MahaKuasa. Dengan demikian kata seperti yang kedua dan

menafikan keserupaan dengan sesuatu lebih jelas ddibanding dengan menyebut

sekali lagi kata seperti.17

Kaidah Kedua

)‫زيادة املبىن تدل على زيادة املعىن (قوة اللفظ لقوة املعىن‬
“Penambahan bina’ (model) menunjukkan adanya penambahan
makna (Kekuatan lafaz untuk kekuatan makna)“
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap kali ada
penambahan huruf atau penambahan wazan (timbangan lafaz) atau
penambahan tasydi>d pasti berdampak pada penambahan makna atau
penegasannya.18
Di antara contoh penambahan wazan adalah ‫رمحن‬AA A ‫ ال‬lebih ba>lig
(kuat) dari pada wazan ‫رحيم‬AA A‫ ال‬di mana kata ‫رمحن‬AA A‫ ال‬diarahkan pada kasih

sayang Allah di dunia yang mencakup semua makhluk-Nya, baik mukmin


maupun kafir, sedangkan ‫رحيم‬AA A ‫ ال‬dikhususkan pada hamba-hamba-Nya di
akhirat saja. Begitu juga wazan ‫ الرحيم‬lebih kuat maknanya dari pada wazan
‫راحم‬AA A ‫ ال‬karena ‫رحيم‬AA A ‫ ال‬menunjukkan makna yang berulangkali atau menjadi

17
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013), h.107.
18
Khalid Usman al-Sabt, Qawa´id al-Tafsir, h. 356
sifat, sedangkan ‫راحم‬AA‫ ال‬menunjukkan makna kasih sayang yang terjadi satu

kali saja.
Kaidah Ketiga

‫حيصل مبجموع املرتادفني معىن ال يوجد عند انفرادمها‬


“Penggabungan dua kata yang serupa maknanya akan menghasilkan makna yang
tidak ditemukan ketika lafaz tersebut terpisah/tersendiri”
Penggunaan dua lafaz yang pada dasarnya mempunyai makna yang
sama , menghasilkan makna yang tidak dapat didapatkan ketika disebutkan
sendiri(tanpa sinonimnya). Misalnya Q>S Yusuf/ 12:86, yang
mengabarkan tentang Nabi Ya’kub a.s. :

)86( ‫َأعلَ ُم ِم َن اللَّ ِه َما اَل َت ْعلَ ُمو َن‬


ْ ‫قَ َال ِإمَّنَا َأ ْش ُكو َبثِّي َو ُح ْزيِن ِإىَل اللَّ ِه َو‬
Dengan meletakkan sinonimnya setelah lafaz tersebut, akan
memberi kesempurnaan makna yang lebih mendalam dibanding makna
ketika masing-masing lafaz berdiri sendiri.19
Kaidah Keempat:

‫كل حرف زيد ىف كالم العرب (للتأكيد) فهو قائم مقام إعادة اجلملة مرة أخرى‬
“Setiap huruf yang ditambahkan dalam kalimat Arab- karena
penegasan- maka statusnya sama dengan pengulangan kalimat tersebut”
Kaidah tersebut hampir sama dengan kaidah nomor dua yang
mengatakan bahwa penambahan bina’ akan berdampak pada penambahan
makna. Namun, kaidah kedua tersebut lebih mengarah pada penambahan
atau perubahan bina’, sedangkan kaidah keempat ini mengarah pada
penambahan huruf, fi’il dan isim, namun penambahan fi’il jarang terjadi
atau sedikit sedangkan penambahan isim lebih jarang lagi.
Contoh dalam penerapan ini pada QS al-Haqqah/ :14
19
M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, “Kaidah-kaidah untuk Menafsirkan al-Qur´an”,
h. 77
ْ ‫ومُح لَت‬
ِ ‫ال فَ ُد َّكتَا َد َّكةً و‬
)14( ‫اح َد ًة‬ ُ َ‫ض َواجْلِب‬ ِ ِ
َ ُ ‫اَأْلر‬
“Dakkat wah}idah” sama dengan mengulangi kata “dukkata”.20 Dalam

tafsir al-Misbah, kata‫ دكة‬terambil dari kata ‫ دك‬yakni menjadi sangat rata dan
halus akibat hancurnya bagian-bagiannya. Makna tersebut serupa dengan kata ‫دق‬

, hanya saja kedua lafaz ini dipahami oleh sebagian ulama dalam arti kehancuran

dan bercampurnya bagian-bagian satu dengan yang lain setelah kehancurannya.

‫ دق‬mengandung makna pada bagian-bagian terkecil. 21

Penulis memahami bahwa pengulangan tersebut bukan berarti mengubah

makna pada lafaz kalimat, akan tetapi ia sebagai penguat bagi huruf-huruf pada

lafaz tersebut, sehingga pengulangan itu ia masuk pada ziya>dah.

2. Kaidah Taqdir wal Hadzf

Kaidah Pertama

‫العرب حتذف ما كفى منه الظاهر يف الكالم إذا مل تَ ُشك يف معرفة السامع مكان‬
‫احلذف‬
“Orang Arab akan membuang perkataan atau lafaz yang sudah
cukup dengan kata yang sudah ada/jelas dalam kalimat, jika tidak
menimbulkan keraguan terhadap pengetahuan pendengar terhadap posisi
kata yang dibuang”.
Maksud dari kaidah ini bahwasanya orang Arab itu sejak dahulu
terkenal dengan ahli balagah dan fas}a>hah. Salah satu bentuk
kafas}ihannya yaitu dengan menganggap cukup sebagian kalam/perkataan.
Dikatakan pula bahwa orang Arab tidak menggunakan atau menyebut
sebuah kalimat jika susunan kalimat itu telah menunjukkan maksud dari
sebuah pembicaraan dan orang yang mendengar itu paham terhadap lafaz|

20
M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, h. 79.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 286.
yang tidak disebutkan. Adapun contoh kaidah ini seperti dalam Q.S. Yusuf
(12): 82:
‫واسأل القرية اليت كنا فيها والعري اليت أقبلنا فيها‬
`` Berdasarkan ayat diatas terdapat lafaz yang tidak disebutkan pada kalimat
‫أل القرية‬AA‫ واس‬yaitu kata “‫”أهل‬. Tanpa penyebutan lafaz\ tersebut maka cukuplah
dipahami oleh si pendengar bahwa yang dimaksud adalah kata “penduduk”,
karena secara logis tidak mungkin seseorang bertanya pada sebuah negeri akan
tetapi kepada penduduknya.
Kaidah Kedua

‫الغالب يف القرآن ويف كالم العرب أن اجلواب احملذوف يذكر قبله ما يدل عليه‬
“Mayoritas dalam al-Qur’an dan dalam perkataan orang-orang Arab bahwa
jawaban yang dibuang akan disebutkan sebelumnya indikasi yang menunjukan
pada jawaban tersebut”.
Contoh kaidah ini dapat dilihat pada Q.S. al-Ra’d: 31:
‫ بل هلل األمر مجيعا‬A‫ولو أن قرآنا سريت به اجلبال أو قطعت به األرض أو كلم به املوتى‬
“Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan
itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh
karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al
Quran Itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah
Sebagian ulama berpendapat bahwa jawaban yang dihilangkan/tidak
disebutkan pada teks ayat diatas yaitu al-Qur’an.Sebagian lagi mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah kalian pasti ingkar kepada Tuhan yaha
Maha Kasih, hal ini sesuai dengan petunjuk ayat sebelumnya:
‫َو ُه ْم يَ ْك ُفُرو َن بِالرَّمْح َ ِن‬
Jawaban kalimat pengandaian atau syarat ada kalanya tidak disebutkan.
Untuk mengetahui jawabannya maka kalimat sebelumnya menunjukkan jawaban
itu.22
22
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, h. 332
Kaidah Ketiga

‫ون‬AA ‫لح أن يك‬AA ‫ا يص‬AA ‫ا م‬AA ‫ق اجلواب وليس قبله‬AA ‫ق هبا تعل‬AA ‫د كالم يتعل‬AA ‫اءت "بلى" أو "نعم" بع‬AA ‫ىت ج‬AA ‫م‬
‫ لفظه لفظ اجلواب‬,‫ فاعلم أن هناك سؤاال مقدرا‬,‫جوابا له‬
“Jika ada lafaz “‫ ”بلى‬atau “‫ ”نعم‬terletak setelah perkataan yang
berhubungan dengan keduanya sebagai jawaban dan sebelumnya tidak
ditemukan lafaz yang layak menjadi jawabannya, maka terdapat
pertanyaan yang tersimpan dengan menggunakan lafaz jawaban”.

Kaidah ini mengindikasikan bahwa lafaz tersebut diringkas karena


telah diketahui maknanya, contohnya pada QS.al-Baqarah: 112:

‫بلى من أسلم وجهه هلل وهو حمسن فله أجره عند ربه‬
“Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya “

Pertanyaan atas kata ‫ بلى‬dikembalikan pada jawabannya, sehingga

maksudnya adalah ‫? أليس من أسلم وجهه هلل وهو حمسن فله أجره عند ربه‬

Kaidah Keempat
‫ فإن‬,‫ فاألوىل االقتصار على الدال منهما‬,‫إذا كان ثبوت شئ أو نفيه يدل على ثبوت آخر أو نفيه‬
.‫ذكرا فاألوىل تأخري الدال‬
Jika penetapan sesuatu atau penafiyannya menunjukkan pada penetapan atau “

penafiyan yang lain, maka prioritasnya adalah membatasi penyebutannya hanya

pada indikator keduanya, namun jika keduanya disebutkan, maka diprioritaskan

.”pengakhiran indikatornya

Maksud kaidah ini adalah jika suatu lafaz memiliki dua sifat yang
saling berkaitan, maka yang lebih utama adalah menyebutkan salah
satunya.karena jika \keduanya diulangi maka akan terjadi pengulangan
yang dapat menimbulkan kebosanan. Akan tetapi jika keduanya
disebutkan, maka lafaz penjelas diletakkan setalah lafaz yang dijelaskan.
Salah satu contohnya adalah penyebutan lafaz ‫ها‬AA A ‫( عرض‬lebar)
dalam QS. A<li ‘Imra>n: 133:
ِ ِ ‫ُأعد‬ ِ ‫السماوات واَأْلرض‬ ٍ ِ ِ
‫ني‬
َ ‫َّت ل ْل ُمتَّق‬
ْ ُ ‫َو َسا ِرعُوا ِإىَل َم ْغفَر ٍة م ْن َربِّ ُك ْم َو َجنَّة َع ْر‬
ُ ْ َ ُ َ َ َّ ‫ض َها‬
tidak membutuhkan lagi penyebutan lafaz ‫ول‬AA‫( ط‬panjang) karena
pada dasarnya setiap sesuatu yang memiliki lebar pasti memiliki panjang.
Maka membatasi penyebutan sifatnya al’ard saja menjadi lebih utama.
Namun terkadang lafaz yang saling berkaitan tersebut disebutkan
kedua-duanya karena ada alasan tertentu, semisal karena keduanya dianggap
penting, seperti penyebutan lafaz ‫وال تنهرمها‬setelah lafaz ‫ا أف‬AA‫ل هلم‬AA‫فال تق‬
yang sebenarnya tidak dibutuhkan, akan tetapi supaya larangan tersebut kuat
dan agar mencakup dua aspek, yaitu mafhum (gerak-gerik) atau mantuq
(ucapan).
Kaidah Kelima

‫حذف جواب الشرط يدل على تعظيم األمر وشدته ىف مقامات الوعيد‬
“Penghapusan jawa>b al-syart} menunjukkan pengagungan
terhadap perkara tersebut dan dahsyatnya hal tersebut dalam konteks
ancaman.”
Kaidah ini menjelaskan tentang jawa>b al-syart} yang tidak
disebutkan dalam beberapa ayat dengan alasan bahwa penghilangan
jawaban lebih menunjukkan pada keagungan, kedahsyatan atau kengerian
yang tidak bisa diungkapkan dengan sebuah ungkapan atau dengan sifat-
sifat tertentu, khususnya jika hal tersebut terkait dengan siksa dan
ancaman.
Kaidah Keenam

‫ ذكر شيئني فيقتصر على أحدمها ألنه املقصود‬A‫ الكالم‬A‫قد يقتضي‬


“Sebuah kalimat terkadang menuntut penyebutan dua hal, akan tetapi dicukupkan
penyebutannya pada satu hal saja karena hal tersebutlah yang menjadi tujuan”.
Terkadang di dalam suatu perkataan yang disebutkan hanya satu dari
dua yang harus disebutkan dikarenakan yang menjadi tujuan utama adalah
yang disebutkan saja.Misalnya dalam QS.T}a>ha>/20: 49.
‫وسى‬
َ ‫قَ َال فَ َم ْن َربُّ ُك َما يَ ُام‬
“Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, wahai
Musa”?
Seharusnya dalam ayat ini dijelaskan kedua Nabi tersebut
berdasarkan d}ami>r al-tas\niyah pada lafaz ‫ َربُّ ُكمَ ا‬yaitu Nabi Musa as.

Dan Nabi Harun as. Hal itu terjadi karena Nabi Musalah yang menjadi
target utama karena dialah yang dimaksud dalam ayat tersebut sebagai
pengemban tanggungjawab misi kenabian.
Kaidah Ketujuh

‫ بأحدمها عن اآلخر‬A‫ ذكر شيئني بينهما تالزم وارتباط فيكتفى‬A‫ املقام‬A‫قد يقتضي‬
“Konteks kalimat terkadang menuntut penyebutan dua hal yang saling berkaitan
dan berhubungan, maka cukup menyebutkan salah satunya saja”.
Kaidah ini tidak jauh beda dengan kaidah keenam. Perbedaannya
hanya terletak pada hubungan antara kedua lafaz yang sangat erat pada
kaidah ini, sedangkan kaidah sebelumnya ditekankan pada mana yang
paling penting, bukan pada hubungannya. Oleh karena hubungannya yang
begitu erat, maka cukup menyebutkan salah satunya saja.
Kaidah Kedelapan:

‫ال يقدَّر من احملذوفات إالّ أفصحها وأشدها موافقة للغرض‬


“lafaz yang dibuang tidak bisa diprediksi/diperkirakan kecuali dengan sesuatu
yang paling fasih dan yang paling sesuai dengan tujuan”.

Di antara kebiasaan berbahasa orang Arab, mereka tidak

menilai/memperkirakan maksud dari sesuatu yang mah}z|u>f (yang tidak


disebutkan) kecuali dengan penilaian yang paling sesuai dan paling tepat

dengan maksud yang diinginkan. Misalnya dalam QS.al-Ma>’idah (5): 97.

ِ ‫ْح َر َام قِيَ ًاما لِلن‬


A...‫َّاس‬ َ ‫َج َع َل اللَّهُ الْ َك ْعبَةَ الَْب ْي‬
َ ‫ت ال‬
“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan
urusan dunia) bagi manusia”.
Ayat "‫الكعبة‬ ‫ل اهلل‬AA A A A‫"جع‬ terdapat taqdi>r (perkiraan lafaz) di

dalamnya, ada yang mengatakan taqdi>r-nya adalah nas}b al-ka’bah


(sesuatu yang ditegakkan/dipasang) pada Ka’bah, sebagian yang lain
mengatakan yang dimaksud adalah h}urmah al-ka‘bah (kesucian Ka’bah),
dan yang paling utama adalah yang kedua, karena taqdi>r al-hurmah}
(kesucian) dalam hal yang berkaitan dengan al-hadya al-qala>’id dan al-
syahr al-h}ara>m tidak diragukan lagi kefasihannya. Sedangkan taqdi>r
nas}b jauh dari sifat kefasihan al-Qur’an.
Kaidah Kesembilan:

‫ينبغي تقليل املقدر مهما أمكن لتقل خمالفة األصل‬


“Selayaknya meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang tersirat) jika
hal itu memungkinkan untuk meminimalisir perbedaan dengan aslinya”.
Kaidah ini menunjukkan bahwa seharusnya
menghindari/meminimalisir taqdi>r, karena pada dasarnya taqdi>r itu
tidak ada. Contohnya pada Q.S. al-Tala>q: 4:
ْ ‫َم يَ ِح‬
‫ض َن‬ ‫ِئ‬
ْ ‫َأش ُه ٍر َوالاَّل ي ل‬ ْ ُ‫يض ِم ْن نِ َس اِئ ُك ْم ِإ ِن ْارَت ْبتُ ْم فَ ِع َّد ُت ُه َّن ثَاَل ثَ ة‬
ِ ‫َوالاَّل ِئي يَِئ ْس َن ِم َن ال َْم ِح‬
.‫ض ْع َن َح ْملَ ُه َّن َو َم ْن َيت َِّق اللَّهَ يَ ْج َع ْل لَهُ ِم ْن َْأم ِر ِه يُ ْس ًرا‬َ َ‫َأجلُ ُه َّن َأ ْن ي‬
َ ‫ال‬ِ ‫اَأْلحم‬
َْ ‫ت‬ ُ ‫َوُأواَل‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan dan perempuan yang tidak haid.:
Kalimat ‫ َوالاَّل ِئي‬belum memiliki jawaban (khabar) sehingga dibutuhkan

al-muqaddar (lafaz yang dikira-kirakan) yaitu ‫ فَعِ َّد ُت ُه َّن ثَاَل ثَةُ َأ ْش ُه ٍر‬karena itulah yang

dominan disamping hal itu telah disebutkan sebelumnya .Oleh karena itu, para
ulama berpendapat bahwa iddah perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan dan
memang demikian adanya, karena kebanyakan petunjuk/dalil yang menyebutkan
hal tersebut.23
3. Kaidah Taqdi>m wa Ta’khi>r

Susunan kata dalam tulisan atau ucapan berperanan sangat penting, bukan

saja dari sisi keindahannya, tetapi juga makna dan pesan-pesan yang

dikandungnya. Karena itu, ketidaktepatan dalam memahaminya dapat berdampak

negatif, baik dalam buruk/indahnya susunan, maupun dalam benar atau

menyimpangnya ia dari pesan yang dimaksud.24

Kata-kata tertentu yang sama, tapi posisi masing-masing berbeda.

Pada salah satu redaksi, misalnya, kata itu terletak terkemudian, ini disebut
ِ
ْ ‫ َم َاوات َواَل يِف‬A A A A‫ يِف ال َّس‬di
ِ ‫اَأْلر‬
ta’khi>r (mengemudiankan), misalnya redaksi‫ض‬
ِ ‫م‬A A A A‫ض واَل يِف ال َّس‬
dalam Saba’/34: 3 dan 22; dan redaksi ‫اء‬ َ ْ ‫ يِف‬di dalam
َ ِ ‫اَأْلر‬
Yu>nus/10: 61 dan Ali ‘Imra>n/3: 5. Tampak dengan jelas di dalam dua

redaksi itu, terjadi terdahulu dan terkemudiankan karena di dalam redaksi

pertama lafal ‫اَأْلرض‬ ‫ء‬


ْ terletak terkemudian dari lafal ‫ َما‬A A A‫ ال َّس‬sebaliknya di
dalam redaksi kedua lafal tersebut ditempatkan terdahulu darinya.

Keadaan serupa itu juga terlihat pada penempatan ‫ َماء‬A A ‫س‬ ِ ‫ماو‬A A ‫ال َّس‬
َّ ‫ ال‬dan ‫ات‬ ََ .
Penempatan serupa inilah yang disebut dengan Taqdi>m dan ta’khi>r.25

a. Kaidah Pertama:

‫التقدم يف الزكر ال يعين التقدم الوثوع واحلكيم‬

23
M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, h. 82-92
M. Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut
24

Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2015), h.
229.
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat
25

yang Beredaksi Mirip, (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 86-87.


“Disebutkan lebih dahulu tidak berarti terdahulu dalam kenyataan dan

hukum”.

Kaidah ini penting sekali, yang menjelaskan kepada Anda

pendapat-pendapat para mufasir mengenai masalah ini. Yaitu bahwa

mereka suka sekali menggali lebih jauh alasan-alasan mengapa sesuatu

didahulukan atau dikemudiankan (taqdi>m wa takhi>r). Penggalian itu

sampai ke tingkat di mana kebanyakan mereka jatuh ke dalam pemaksaan

yang tidak dibenarkan.26

Taqdi>m dan ta’khi>r yang terjadi dalam al-Qur’an mempunyai beberapa

arti, kadang didahulukan karena beberapa alasan, didahulukan oleh karena

realitasnya yang memang lebih dulu ada, kadang didahulukan karena

kemuliaannya, dan kadang didahulukan karena sulit untuk diberi penjelasan. Oleh

karena itu tidak selamanya satu kata itu didahulukan karena lebih dulu ada pada

realitas.27

Penerapan kaidah ini, dapat dilihat pada contoh dalam QS. al-Baqarah/2:

67 dan 73.

‫و َن‬AA‫وذُ بِاللَّ ِه َأ ْن َأ ُك‬AAُ‫َال َأع‬ ِ ‫وِإ ْذ قَ َال موسى لَِقو ِم ِه ِإ َّن اللَّه يْأمر ُكم َأ ْن تَ ْذحَب وا ب َقرةً قَالُوا َأَتت‬
َ ‫َّخ ُذنَا ُهُز ًوا ق‬ ََ ُ ْ ُُ َ َ ْ َ ُ َ
‫ني‬ِِ ِ
َ ‫م َن اجْلَاهل‬
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan beramal
saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

ِ
ٌ ‫َوِإ ْذ َقَت ْلتُ ْم َن ْف ًسا فَ َّاد َارْأمُتْ ف َيها َواللَّهُ خُمْر‬
‫ِج َما ُكْنتُ ْم تَكْتُ ُمو َن‬

Salman Harun dkk, Kaidah-Kaidah Tafsir,Bekal Mendasar untuk Memahami Makna Al-
26

Qur’a>n dan Mengurangi Kesalahan Pemahaman, (Cet. I; Jakarta: PT Qaf Media Kreativa,
2017), h. 342.
27
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, h. 86.
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-
orang Shaabi-iin (983) orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan
orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka
pada hari kiamat28. ….

Dalam Qs. al-Baqarah/2:72 ditemukan kata yang menunjukkan kaidah

takdi>m dan takhi>r yang artinya tuduh atau menuduh ini berarti pembunuhan

terjadi sebelum Nabi Musa a.s. mengatakan kepada mereka perkataan tersebut.

Pada masa Nabi Mu>sa as. ada seorang terbunuh yang tidak dikenal siapa

pembunuhnya oleh masyarakat Bani> Isra>il. Mereka ingin mengetahui siapa

pembunuhnya untuk menghilangkan kerisauan dan tuduh menuduh di antara

mereka.

Melalui ayat ini Bani> Isra>il diperintahkan agar merenungkan ketika

Nabi Musa as. menyampaikan kepada leluhur masyarakat Yahudi bahwa

“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi,” apapun sapi itu,

jantan atau betina (karena kata baqarah bukan dalam arti sapi betina tetapi

menunjuk jenis sapi).29

Imam Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan pada QS. al-Baqarah/2: 67

bahwa sesungguhnya kisah penyembelihan sapi disebutkan lebih dulu pada

tilawahnya dan diakhirkan pada maknanya yang berhubungan dengan QS. al-

Baqarah/2: 72, dan boleh dikatakan bahwa tertib turunnya ayat sesuai tilawah,

seakan-akan Allah memerintahkan mereka menyembelih sapi lalu mereka

menyembelihnya. Kemudian terjadilah kasus pembunuhan, maka mereka

diperintahkan memukulkan bagian dari anggota sapi betina itu.30

28
Ahmad Zulfikar Shah, Abdul Hadi, dkk, Taqdi>m wa Takhi>r Dalam al-Qira>’at al-
S}add}ah Berdasarkan Abullah Ibn Mas’ud r.a, h. 139.
29
. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.1
(cet. X; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 224.
30
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,mengutip dalam bukunya
Muhammad al-Syauka>ni, Fath} al-Qadir, Juz I, (tc; Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1997), h. 125.
b. Kaidah Kedua:

‫ اال ما يعتنون به غالبا‬A‫العرب ال يقدمون‬


“Orang Arab tidak akan mendahulukan satu kata kecuali apa yang mereka

perhati”.

Penjelasan dari kaidah ini “al’arabu la> yuqaddimu>na illa ma>

ya’tanu>na bihi> ghaliban” mencakup sesuatu yang didahulukan untuk

memuliakan, mengagungkan atau untuk memotivasi. Kemudian kata ghaliban ini

menunjukkan batasan yang diperlukan sebagaimana pada kaidah sebelumnya.31

Untuk memahami lebih jauh tentang kaidah ini dapat dilihat salah satu

contoh dalam QS. al-Baqarah/ 2: 43:\

‫الراكِعِني‬ َّ ‫يموا الصَّاَل ةَ َوآتُوا‬


َّ ‫الز َكاةَ َو ْار َكعُوا َم َع‬ ِ
ُ ‫َوَأق‬
Terjemahnya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang
yang ruku’.
Ayat ini didahulukan dengan kata shalat karena lebih diprioritaskan. Imam

Fakhru al-Ra>zi menjelaskan bahwa mendahulukan shalat pada ayat ini karena

ibadah badaniyah yang paling mulia ialah shalat, dan zakat merupakan ibadah

yang paling agung berkenaan dengan harta.32

31
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, h. 89
32
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, h. 89 mengutip dalam
bukunya Fakhr al-din al-Ra>zi, Mafa>tih al-Ghayb, Juz II, http// www. Al-tafsir.com, h. 69.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan.

Kaidah ziya>dah, kaidah taqdir wal hadzf dan kaidah taqdim dan takhir

bagian dari kaidah-kaidah yang terkait kebahasaan atau balagah yang bertujuan

untuk memperkuat sebuah kalimat sesuai dengan kebutuhan dalam arti tidak

mengambang dan membingungkan. Sebagian ulama tidak menyetujui adanya

ziya>dah sebagai penambahan dalam al-Qur´an dikarenakan dianggap sebagai

penambahan padahal al-Qur’an sudah jelas-jelas mengandung didalamnya

penjelasan yang tak dapat dipungkiri. Tapi demi kebaikan umat selanjutnya

ziya>dah disini justru menujukkan keadaan lebih menguatkan al-Qur’an sebagai

ahli tafsif dan ahli nawu sependapat dengan keberadaan kaidah ziya>dah dalam

al-Qur’an, lain halnya dengan kaidah tafsir takdim dan takhir bahwa kaidah

tersebut mengandung arti sebagai patokan penyebab adanya suatu lafaz didalam

al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sabt, Khalid Usman Qawa´id Al-Tafsir, Cet. I; Dar Ibn Affan, h. 438
Hafid, Abd. Karim . Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, Cet. I;
Makassar: Alauddin University Press, 2012, h. 218.
Harun, Salman. Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I jakarta; QAF Media Kreativa, 2017 h. 332
Kharlie, Ahmad Kholabi. “ Kontroversi Ulama Seputar Kedudukan Al-ziyadah ‘Ala Al-
Nash dan Dampaknya Terhadap Fiqih,” Al-Qalam 21 no. 101 Agustus 2004: h. 261
Nawas, Kamaluddin Abu. Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, Cet. I;
Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012, h. 54.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 106.
Shihab, M. Quraish .Tafsir Al-Misbah, Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2017, h. 286.
Shah, Ahmad Zulfikar. Abdul Hadi, dkk, Taqdim wa Takhir Dalam al-Qira’at al-addah
Berdasarkan Abullah Ibn Mas’ud r.a, h. 139.

Anda mungkin juga menyukai