Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad saw. sebagai petunjuk bagi manusia, membimbing ke jalan kebaikan,
memelihara fitrah kesucian manusia, mempertahankan derajat kemanusiaan.
Dengan hidayah al-Qur’an seseorang dapat membedakan yang haq dan bathil dan
mampu memilah baik buruk suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai buku panduan
kehidupan manusia seutuhnya.

Oleh sebab fungsinya yang sangat vital maka al-Qur’an mesti dipahami
dengan tepat dan benar sehingga nilai asli yang terkandung di dalamnya dapat
tersampaikan dan diaplikasikan dengan baik oleh manusia itu sendiri yang pada
akhirnya akan berdampak positif bagi kehidupannya. Adapun salah satu ilmu
yang perlu dipahami yaitu ilmu Muhkam dan Mutasyabih.

Al-Qur’an seluruhnya muhkam jika yang dimaksud dengan susunan lafal


Al-Qur’an dan keindahan pemakaian bahasanya. Sebaliknya al-Qur’an seluruhnya
mutasyabih jika yang dimaksud adalah serupa atau sebanding ayat-ayat, baik
bidang balaghah maupun dalam bidang I’jaz yang sulit bagi manusia untuk
menunjukkan keunggulan sebagaian ayat dengan ayat lainnya.

Mengacu pada itu, muncul berbagai pandangan para ulama dalam


memahaminya. Sehingga ayat muhkam dan mutasyabih merupakan persoalan
yang masih diperdepatkan hingga kini. Sebab memahami persoalan apakah ayat-
ayat mutasyabih dapat diketahuan oleh manusia atau hanya Allah Swt saja yang
mengetahuinya. Inilah masalah penting yang akan dibahas dalam makalah ini.
Tulisan ini berupaya untuk mendeskripkan persoalan muhkam dan mutasyabih.

1
PEMBAHASAN

A. Muhkam dan Mutasyābih

Kata Muhkam (‫)محكم‬terambil dari kata hakama(‫)حكم‬. Kata ini berkisar

maknanya pada “Menghalangi”. seperti hukum, yang berfungsi menghalangi


terjadinya penganiyaan, demikian juga hakim. Kendali bagi hewan dinamai
hakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkan.
Muhkam adalah Sesuatu yang terhalangi/bebas dari keburukan. Bila anda
menyifati satu bangunan dengan kata ini, maka itu berarti bangunan tersebut
kokoh dan indah, tidak memiliki kekurangan. Bila susunan kalimat tampil dengan
indah, benar, baik, dan jelas maknanya, maka kalimat itu pun dilukiskan dengan
Muhkam. 1

Ada juga ayat yang menegaskan tentang muhkam dan mutasyabih


tercantum dalam surat Ali imran ayat 7:

َ‫ب َوأُخ َُر‬


َِ ‫ن ََأ ُمَ َ ْال ِكتا‬ َْ ‫ُهوَ َالَّذِي َأ ْنزلَ َعليْكَ َ ْال ِكتابَ َ ِم ْن َهُ َآياتَ َ ُم‬
ََّ ‫حكماتَ َ َُه‬
َ‫ُمتشا ِبهاتَ َفأ َّما َالَّذِينَ َفِي َقُلُو ِب ِه َْم َزيْغَ َفَيت َّ ِب َعُونَ َمَا َتشابهَ َ َِم ْن َهُ َا ْبتِغاءَ َ ْال ِفَتْن َِة‬
َ‫س ُخونََفِيَا ْل ِع ْل َِمَيقُولُونََآمَنَّاَ ِب َِه‬ َِ ‫لرا‬ َّ ‫ّللاَُوا‬ََّ َ‫وا ْبتِغاءََتأ ْ ِوي ِل َِهَوماَي ْعل َُمَتأ ْ ِويل َهَُ ِإال‬
َِ ‫نَ ِع ْن َِدَربِِّناَوماَيذَّ َّك َُرَإِالَأُولُوَاأل ْلبا‬
َ )٧(َ‫ب‬ َْ ‫ُكلََ ِم‬
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat2, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 209.
2
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah.

2
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat3. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.4

Seluruh ayat al-Qur’an bersifat Muhkam. Allah melukiskan sebagai:

{١,‫}سورةَهود‬١َُ‫ِك َٰتبَأ ُ ۡح ِكم ۡتَء َٰايت ُ َهۥ‬


“Kitab yang ayat-ayatnya diperjelas, terbebaskan dari kesalahan dan serta tersusun
rapi tanpa cacat” (QS. Hud [11]: 1).

Allah juga memperkenalkan al-Qur’an sebagai :

‫ِك َٰتبٗ اَمت َٰشبِ ٗها‬


“Kitab yang Mutasyabih” (QS. az-Zumar [39]: 23).

Kata Mutasyābih(‫ )متشابه‬terambil dari akar kata asy-Syabah ( ‫ (الشبه‬yang


bermakna serupa (tapi tak sama). Yang dimaksud oleh ayat az-Zumar di atas
adalah ayat-ayat al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketepatan susunan
redaksinya serta kebenaran informasinya.

Di tempat lain, Allah berfirman:

3
Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyābihāt: ayat-ayat yang mengandung
beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah
diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui
seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai
hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

4
Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 38-40.

3
َِ ‫ت َم ۡحك َٰمت َ ُه َّن َأُم َ ۡٱل ِك َٰت‬ٞ ‫ُهوٱلَّذِيَ َأنزل َعل ۡيك َ َۡٱل ِك َٰتبَ َ ِم ۡنهُ َء َٰاي‬
َ‫ب َوأُخ ُر‬
َٞ ‫ُمت َٰشبِ َٰه‬
‫ت‬
“Dialah yang menurunkan kepadamu (wahai Nabi Muhammad) al-Kitab;
ada di antara (ayat-ayat)-Nya yang Muhkamāt, itulah induk al-Kitab dan ada
juga selaun itu yang Mutasyābihat” (QS. Ali Imran [3]:7).

Yang dimaksud dengan Mutasyābih pada ayat Ali Imrān ini adalah
“Samar”. Ini adalah pengembangan dari makna keserupaan di atas. Memang
keserupaan dua hal atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam
membedakannya masing-masing.

Berbeda-beda definisi para pakar tentang apa yang dimaksud dengan ayat
yang Muhkam, antara lain:

1. Ayat yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan redaksinya


sendiri, maupun melalui ta’wil/penafsiran.
2. Ayat yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiran.
3. Ayat yang kandungannya tidak mungkin dibatalkan (Mansukh).
4. Ayat yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan dari
luar dirinya, atau ayat yang tidak disentuh oleh sedikit pun
kemusykilan.

Mutasyābih juga diperselisihkan definisinya, antara lain:

1. Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa yang
diinformasikannya, seperti kapan tibanya Hari Kiamat, atau hadirnya
dābbat (QS. an-Naml [27]: 82).
2. Ayat yang tidak dipahami kecuali mengaitkannya dengan penjelasan.
3. Ayat yang mengandung bnyak kemungkinan makna.
4. Ayat yang Mansukh yang tidak diamalkan karena batal hukumnya.
5. Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan maknanya
kepada Alah.
6. Kisah-kisah dalam al-Qur’an.

4
7. Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa surah, seperti
Alif- Lām-Mīm.

Definisi-definisi di atas mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga


pada akhirnya kita dapat menyimpulakn bahwa Muhkam adalah yang jelas
maknanya, sedang yang Mutasyābih adalah yang samar.5

Sedangkan menurut Ahmad Ustuhri dkk, menjelaskan tentang


Muhkam dan Mutasyabih di dalam bukunya Qawaid Tafsir bahwa Muhkam

menurut (bahasa), Muhkam artinya ‫حكمت َالدابة َواحكمت‬. Artinya

melarang. Adapun Mutasyabih adalah َ‫ التشابه‬yaitu yang satu diserupakan


dengan yang satu lagi. Syabhatu artinya tidak berbeda yang satu dengan
yang lainnya.

Ada beberapa pendapat mengenai muhkam dan mutasyabih, yaitu


pertama, Al-Muhkam, apa yang telah diketahui maksudnya. Mutasyabih,
terserah kepada Allah ilmunya. Kedua, Al-Muhkam, apa yang tidak
mengandung beberapa bentuk. Ketiga, Al-Muhkam. apa yang berdiri
dengan sendirinya tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih, yaitu apa
yang tidak berdiri dengan senidirinya, memerlukan penjelasan dengan
dikembalikan pada yang lainnya.

Selanjutnya ada beberapa pemahaman tentang muhkam dan


mutasyabih bahwa ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang maksudnya dapat
diketahui, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat
mutasyabihat adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui oleh
Allah SWT seperti terjadinya hari kiamat, keluarga Dajjal dan potongan-
potongan huruf pada awal surat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang
maksudnya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat
mutasyabihat memerlukan penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat
memerlukan penakwilan agar diketahui maksudnya. Ayat-ayat muhkamat

5
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 210-211.

5
adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman. sedangkan ayat-
ayat mutasyabihat berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan. 6

Pengertian-pengertian ulama di atas dapat disimpulkan bahwa inti


pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah
jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan.
Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash (kata yang
menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir
(makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat
sulit ditafsirkan untuk mencari maknanya. 7

B. Al-Qur’an dilihat dari Berbagai Sifat

Allah swt telah mensifati al-Qur’an dengan ketiga sifat, dilihat dari satu
sisi, al-Qur’an seluruhnya muhkam dan mutasyabih, dilihat sisi lain sebagai
muhkam dan sebagian lagi mutasyabih. Dalam banyak ayat Allah menyebutkan
bahwa seluruh ayat-ayat al-Qur’an adalah muhkam di antaranya:

Alif lām rā, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat disusun dengan rapi (uhkimat)
serta dijelaskan secara rinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana Lagi Maha Tahu. (Q.S. 11: 1).

Maksudnya, bahwa al-Qur’an itu pasti, keserasian susunannya amat kuat,


sangat bijaksana dan menjangkau tujuan yang final. Semua informasinya benar
dan jujur, tidak ada kontradiksi dan perselisihan. Seluruh perintahnya baik,
sebagai petunjuk yang penuh berkah dan konstruktif. Semua larangannya
menyangkut segala sesuatu yang membawa keburukan, kemudaratan dan akhlak
yang tidak terpuji. Itu semua merupakan bentuk ihkam-nya al-Qur’an.8

6
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Muhammad Bin Alawi Al-maliki Al-
Hasani, Zubdah Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an (Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Intisari Kitab Al-
Itqan Fi Ulum Al-Qur’an As-Suyuthi), Terjemah: Rosihan Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
145.
7
Ahmad ustuhri, dkk, Qawaid Tafsir, (Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo, 2014), 86-87.
8
Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an Terj. Marsuni Sasaky dan
Mustahab Hasbullah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 72-73

6
Adapun ayat yang menunjukkan bahwa seluruh al-Qur’an itu. Mutasyabih,
ada di dalam surah az-Zumar, dalam firman-Nya:

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang
serupa (serupa mutu ayat-ayat-Nya). (Q.S. 39: 23).

Maksudnya, serupa pada keindahan, kebenaran, kejujuran dan petunjuknya. Ia


mengandung berbagai pengertian yang sangat bermanfaat dan dapat mencerahkan
akal, mencui hati dan sebagai reformasi terhadap berbagai keadaan.9

Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa sebagian ayat al-Qur’an ada


yang muhkam dan sebagian lagi mutasyabih adalah firman Allah swt:

Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)-nya


ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal-tidak ada
yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmu berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami.” (Q.S 3: 7)

Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an itu sebagian muhkamat dan


sebagian lagi mutasyabihat. Orang-orang yang memiliki keyakinan, yang teguh
dan mendalam pengetahuannya serta mengerti tentang Allah, akan kokoh
pendiriannya sekokoh gunung, tidak tergoyahkan oleh syabiat (keraguan) dan
syahwat, sebab mereka mengembalikan yang mutasyabihat itu kepada yang
muhkamat, sehingga seluruhnya menjadi muhkamat, karena jika ada ayat yang
serupa atau mutasyabihat pada suatu tempat, maka tentunya sudah dijelaskan

9
Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an Terj. Marsuni Sasaky dan
Mustahab Hasbullah, hlm. 73

7
dengan ayat yang muhkamat di tempat lain. Dengan demikian pengertian akan
diperoleh dan segala kemusyrikan hilang.10

C. Kaidah Mutasyābih

Para ulama mengembalikan sebab-sebab timbulnya kesamaran pada


tiga hal pokok:

1. Lafadz/kata yang digunakan ayat, seperti misalnya adalah firman-Nya


yang menginformasikan sikap Nabi Ibrahim as. terhadap patung-patung
sembahan kaumnya. Allah, antara lain, berfirman pada QS. Ash-Shāffāt
[37]: 93;

َِ ‫فراغََعل ۡي ِه ۡمَض ۡر َۢباَبَِ ۡٱلي ِم‬


٩٣َ‫ين‬
Kata yamīn (‫ )يمين‬tidak jelas maksudnya, apakah dalam arti tangan kanan
atau kuat atau sumpah sehingga ayat tersebut dapat dipahami dalam arti
Nabi Ibrahim as.: Pergi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi menuju
patung-patung itu, lalu memukulnya dengan tangan kanannya, atau
memukulnya dengan keras, atau memukulnya disebabkan oleh sumpah
yang pernah diucapkannya bahwa dia akan merusak berhala-berhala itu
(Baca juga QS. al-Anbiyā [21]: 57).

2. Kesamaran pada maknanya, seperti uraian al-Qur’an tentang sifat-sifat


Allah, misalnya:

{١٠,‫ٱّللَِف ۡوقَأ ۡيدِي ِه ۡۚۡمَ}سورةَالفتح‬


ََّ َُ‫يد‬
“Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. al-Fath [48]: 10)
atau seperti akan datangnya dabbāt (‫ )دابة‬yang akan “berbicara” menjelang
hari kiamat (QS. an-Naml [27]: 82).
3. Kesamaran pada lafadz dan maknanya, seperti firman Allah:

َ‫ورها‬ ُ َ‫ول ۡيسَ ۡٱل ِبرََ ِبأنَت ۡأتُواَْ ۡٱلبُيُوتََ ِمن‬


ِ ‫ظ ُه‬

Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an Terj. Marsuni Sasaky dan


10

Mustahab Hasbullah, hlm. 74

8
“bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya”(QS. al-
Baqarah [2]: 189).
Penggalan ayat ini dapat dinilai Mutasyābih, karena redaksinya yan sangat
singkat. Disamping itu, maknanya tidak jelas sehingga diperlukan
pengetahuan menyangkut adat istiadat masyarakat Arab pada masa
Jahiliyah/awal masa Islam, menyangkut cara mereka masuk rumah.11
D. Sikap para ulama terhadap Muhkam dan Mutasyabih

Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua


kelompok, yaitu:

1. Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan


mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka
menyusikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang
mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang
diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam
kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal dari ulama
mutaqaddimin.
2. Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya
menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat
Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran
Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama
muta’akhirin.

Berbeda halnya dengan kedua pendapat di atas, Ibn Ad-Daqiq


berupaya mengambil jalan tengah dalam memahami ayat
mutasyabih. Dalam konteks ini Ibn Ad-Daqiq menjelaskan bahwa
jika ayat mutasyabih tersebut dikenal oleh lisan Arab, maka
penakwilan terhadap ayat tersebut tidak perlu ditolak, namun
sebaliknya jika ayat tersebut tidak dikenal maka perlu sikap tidak
membenarkan dan tidak menyalahkan. Hanya saja Ibn Ad-Daqiq
11
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 212-213.

9
menekankan bahwa sebelum memberikan takwil terhadap ayat
mutasyabih tentunya ada dua syarat yang harus dijalankan.
Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran
yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang
dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.12

E. Hikmah keberadaan Muhkam dan Mutasyabih

Diantara hikmah keberadaan ayat ayat muhkam di dalam al-Qur,an


adalah sebagai berikut

1. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya yang kemampuan


bahasa Arabnya lemah. sebab arti dari maknanya sudah cukup
terang dan jelas
2. Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya serta
menghayatinya.
3. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi al-Qur,an sebab ayatnya mudah dimengerti
dan dipahami.
4. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajarinya.
5. Mempercepat usaha tahfidzul Qur,an.

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-


Qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai
berikut:

1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat


mutasyabih sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada
badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan
paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang

12
Ahmad ustuhri, dkk, Qawaid Tafsir,91-92.

10
berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuaannya
sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat
mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap
Allah SWT karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya
untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.

2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat


mutasyabih.

Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-


ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang
yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya
untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka
berkata” rabbana la tuziqh quluubana.”

3. Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia


melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh


manusia tatkala ia diberi gamabaran inderawi terlebih dahulu.
Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT
memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal
sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama
dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.13

PENUTUP

Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi
dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang Mutasyabih adalah

13
Ahmad ustuhri, dkk, Qawaid Tafsir,101-102.

11
ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Ulama berbeda pendapat dalam hal
memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu anatara bisa tidaknya manusia
memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabihat. Dan sebab munculnya ayat
muhkam dan mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu, Adanya kesamaran
dalam lafadz, kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat. Serta
terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis
besar masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika akal.

DAFTAR PUSTAKA

12
Dahlan, Rahman. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah, 2010.

Nashir, Abdurrahman. 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an Terj. Marsuni Sasaky dan

Mustahab Hasbullah. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1997.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2013.

Ustuhri, Ahmad, dkk. Qawaid Tafsir. Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo. 2014.

13

Anda mungkin juga menyukai