Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan
menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun
golongan sekuler bagi umat Islam, munculnya topi pembicaraan tersebut
berpangkal pada permasalahan: apakah kerasulan Muhammad SAW mempunyai
kaitan dengan politik; atau apakah Islam agama yang terkait erat dengan urusan
politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah bentuk dan sistem
pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam? Karena risalah
nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-
undang, yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat, keselarasan kepentingan dunia dan akhirat.Karena itu Islam
mengandung ajaran yang integrative antara tauhid, ibadah,  ahlak dan moral, serta
prinsip umum kehidupan bermasyarakat. Paradigma pemikiran bahwa Islam
adalah agama yang serba lengkap dan di dalamnya terdapat berbagai sistem
kehidupan seperti sistem ketatanegaraan.

B.  Rumusan Masalah
Dalam fiqih siyasah ada beberapa konsep, yaitu, Imarah, Khilafah,
Imamah, Ahlu al-halli wa al-aqdi, Wizarah dan Ummah. Kemudian yang akan
menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
a. Apa pengertian Imarah dan penggunaannya?
b. Apa pengertian khilafah dan konsep khilafah di dunia Sunni?
c. Apa pengertian Imamah dan konsep Imamah di dunia Syi’ah?
d. Apa pengertian ahlu al-halli wa al-aqdi dan perkembangannya dalam
pemerintahan Islam?
e. Apa pengertian wizarah, macam-macam wazir dan wewenangnya serta
perkembangannya dalam pemerintahan Islam?
f. Apa pengertian ummah dan konsep ummah pasca pemerintahan khilafah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Imarah dan Penggunaannya


Imarah yang berarti keamiran yaitu pemerintahan, pengertian ini tidak jauh
berbeda dengan Imamah, hanya saja perbedaannya ditinjau dari segi
penggunaannya. Imarah merupakan sebutan untuk jabatan amir dalam suatu
Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahannya oleh
seorang amir.
Penggunaan kata imarah ini pertama kalinya diberikan kepada khalifah ke-
2 yaitu Umar bin Khattab yang bergelar amirul mukminin. Umar tidak mau
menyebut dirinya sebagai khalifah dikarenakan khawatir terjadi pengulangan kata
khalifah. bila gelar khalifah tetap dipertahankan, ia khawatir pada khalifah-
khalifah muncul belakangan akan terjadi pengulangan kata khalifah yang begitu
panjang.
Imarah yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan.
Imarah sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk
melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir. Gelar amir pertama kalinya
digunakan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab, Umar tidak mau
menyebut dirinuya sebagai khalifah. Umar mnyuruh agar mneyapa dia dengan
sebutan amir al-mu’minin yang kemudian menjadi gelar standar dan umum
digunakan untuk menyebut khalifah-khalifah sesudahnya. Gelar amir yang tanpa
embel-embel, berasal dari kata amara yang berarti memerintah. Dalam bahasa
Arab amir berarti seseorang yang memerintah, seorang komandan militer, seorang
gubernur provinsi, atau putra mahkota.1
Pada awal pemerintahan Islam, masa Rasul SAW, al Khulafur Rasyidin,
penguasa daerah disebut amir (pekerja, pemerintah, gubernur). selama
pemerintahan Islam di Madinah, para komandan militer, komandan divisi militer
disebut amir, yaitu amir al-jaisy atau amir al-jund.

11 Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Cet. ke-5. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

2
Pada masa Dinasti Umayyah gelar amir hanya digunakan untuk penguasa
daerah propinsi yang juga disebut wali (hakim, penguasa, pemerintah). Tugasnya
pun mulai dibedakan dan didampingi oleh pejabat yang diangkat. Pada masa
Dinasti Abbasiyah, penguasa daerah atau gubernur juga disebut amir. Umumnya
tugas amir pada periode ini mengelola pajak, mengelola administrasi urusan sipil,
dan keuangan.
Pergantian kekuasaan dari Bani Umayyah ke tangan dinasti Abbasiyah
memunculkan satu fenomena baru yang belum pernah dikenal dalam tradisi Islam
sebelumnya. Fenomena tersebut terkait pergeseran konsepsi mengenai makna
Khalifah. Pada masa Umayyah para penguasa hanya menganggap jabatan khalifah
adalah jabatan politis semata, tanpa pretensi bahwa mereka memiliki otoritas
keagamaan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Hal ini dinyatakan dengan
pemberian gelar kepada penguasa sebagai Khalifah Rasulullah atau Amirul
Mu’minin. Ketika kekuasaan ada pada tangan Bani Abbasiyah konsepsi seputar
khalifah bergeser menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang mengurusi masalah-
masalah umat Islam secara keseluruhan. Kekuasaan Khalifah dengan konsepsi
yang baru ini menjadi tidak terbatas, karena mereka merasa mendapatkan mandat
dari Tuhan untuk berkuasa penuh atas kaum Muslim.
Tumbangnya dinasti Umayyah ke tangan anak cucu Abbas karena
mendapatkan uluran tangan dari orang-orang Persia. Para mawali yang selama ini
merasa dipinggirkan penguasa Bani Umayyah dengan kebijakan arabismenya
merasa tidak puas dan kemudian berkolaborasi dengan Abdullah Al-Saffah,
pendiri dinasti Abbasiyah. Karena kedekatannya dengan orang-orang Persia
tersebut, sehingga tanpa disadari alam pikiran Persia pra-Islam banyak terserap
dalam konsep berpikir penguasa. Besar kemungkinan pergeseran konsep khalifah
ini kental dipengaruhi alam pikiran Persia pra-Islam yang menganggap raja atau
pemimpin mereka sebagai titisan Tuhan. Klaim sebagai mandataris Tuhan di
muka bumi ini dapat kita lihat dengan gelar yang dipakai para penguasa
Abbasiyah, yaitu Khalifatullah. Kekuasaan Khalifah yang muqaddas ini seperti
yang dikatakan Khalifah Abu Ja’far Mansur, “Sesungguhnya aku adalah kuasa

3
Tuhan di Bumi”. Selain itu ia juga menggambarkan dirinya dalam mata uang
kerajaan yang melambangkan supremasi kedudukannya sebagai khalifatullah.
Dinasti Abbasiyah memerintah selama kurun waktu 4 abad, sampai
Baghda, ibukota kekhalifahan diluluhlantahkan Mongol tahun 1258. Namun
demikian, pemerintahan efektif dinasti Abbasiyah hanya berlangsung sekitar 2
abad saja. Abad ke sembilan dan sepuluh menjadi saksi kemunduran perlahan
dinasti Abbasiah. Secara de facto, khalifah Bani Abbasiyah pada masa itu sudah
tidak memiliki pengaruh cukup kuat untuk mengontrol wilayah kekuasaan yang
jauh dari pusat. Kekuatan Khalifah yang lemah di pusat pemerintahan
dimanfaatkan gubernur-gubernur daerah untuk memberontak, melepaskan diri
dari Khalifah. Pada periode ini muncul banyak gerakan anti Khalifah Abbasiyah,
seperti gerakan Sunni Umayyah di semenanjung Iberia (756-1031) atau gerakan
Shiah yang dipelopori dinasti Fathimiyah di Kairo. Kedua gerakan tersebut
mempunyai arti penting dalam proses perubahan tatanan politik dalam tradisi
Islam.
Sejak itu muncullah pemimpin-pemimpin di daerah sebagai tandingan
Khalifah di Baghdad. Penguasa-penguasa baru ini menjadikan kekuasaan Khalifah
di daerah mereka menjadi tidak berlaku lagi. Khalifah dianggap sebagai hal kecil
yang tidak diperhitungkan lagi eksistensi pemerintahannya. Untuk meneguhkan
pemerintahan yang baru di daerah, para penguasa ini menggunakan istilah baru
dalam tradisi politik Islam, seperti istilah amir.

B.  Pengertian Khilafah dan Konsep Khilafah di Dunia Sunni


Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhilafahan, keimaman dan
keamiran dalam sejarah Islam disebut khalifah, imam dan amir. Arti primer kata
khalifah, yang bentuk pluralnya khulapa dan khalaif yang berasal dari kata
khalafa, adalah "pengganti" yaitu "seseorang yang menggantikan tempat orang
lain dalam persoalan. Kata ini telah mengalami perkembangan arti, baik arti

4
khusus maupun umum. Dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa Inggris khalifah
berarti "wakil" (deputy).2
Menurut istilah, dan dalam kenyataan sejarah, khalifah adalah pemimpin
yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama
ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undang Nya yang
mempersamakan orang lemah dan orang kuat, orang mulia dan orang hina di
depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur
dunia.
Terma khilafah  merujuk pada sistem pemerintahan Islam pertama yang
didirikan pasca mangkatnya Rasulullah. Pemimpin dalam sistem ini disebut
khalifah, berasal dari akar kata kh-l-f, y-kh-l-f yang bermakna pengganti
(suksesor). Pada awal mula penggunaannya, kata ini disambung dengan khalifah
al-Rasul (pengganti Rasulullah), untuk merujuk kepada seseorang yang
memimpin kaum Muslimin menggantikan Rasul, namun pada perkembangannya
kemudian disebut dengan khalifah saja. Terma khilafah sendiri sebenarnya
sinonim dengan imamah. Namun dalam penggunaannya, kedua terma tersebut
merupakan dua konsep yang berbeda yang digunakan oleh sekte yang berlainan
pula. Terma khilafah seringkali digunakan oleh mayoritas ahlus
sunnah sedangkan kalangan syiah lebih akrab menggunakan kata imamah untuk
menunjukkan konsep mereka dalam hal kepemimpinan.
Dengan demikian dapat dikatakan, kata khalifah yang berarti "pengganti"
telah berkembang menjadi titel atau gelaran bagi pemimpin tertinggi masyarakat
muslim.
Adapun kedudukan mereka sebagai khalifah Rasul perlu dipertanyakan
apakah mereka memegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik sekaligus.
Kenyataan sejarah menunjukkan, ketika mereka terpilih menjadi khalifah,
Para sahabat tidak memisahkan dua fungsi itu. Artinya wewenang dan kedaulatan
yang diberikan kepada mereka sebagai pengganti Rasul adalah aspek
kepemimpinan. Yaitu kepemimpinan di bidang politik dan kepemimpinan di

22 Hassan Shadily (Pem. Red. Umum), Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta:1982, h1m. 1769.

5
bidang pemeliharaan dan penyebaran. agama. Atau sebagai pemimpin politik
(kepala negara) dan pemimpin agama sekaligus. Pemimpin agama atau pemimpin
spiritual bukan dalam anti risalah, menerima wahyu seperti Nabi
Muhammad SAW. Karena dengan wafatnya Nabi, maka wahyu pun otomatis
berhenti dan tidak dapat digantikan oleh siapa pun.3
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijma’ dan besepakat
untuk mendirikan kekhalifahan. Jabatan ini merupakan pengganti Nabi SAW,
dengan tugas yang sama yakni mempertahankan agama dan menjalankan
kepemimpinan dunia. lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan), orang yang
menjalankan tugas itu disebut khalifah.
Khilafah memiliki sistem pemerintahan. Pertama, berdasarkan syura’
pernah dipraktekan pada masa al-Khulafaur Rasyidin. Ciri yang menonjol dari
sistem pemerintahan khilafah berdasarkan syura’ terletak pada mekanisme
musyawarah, bukan dengan sistem keturunan. tidak satupun dari empat khalifah
tersebut menurunkan kekuasaannya kepada sanak kerabatnya. musyawarah
menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa
yang diajarkan Rasulullah.
Kedua, sistem pemerintahan khilafah monarki yang dimulai setelah masa
kekhilafahan khulafaur rasyidin yang dilanjutkan oleh Dinasti Umayah. Sistem
monarki menerapkan sistem wari (putra mahkota) dimana singgasana kerajaan
diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. kedudukan sebagai raja
adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena memberikan
kepada orang yang memegang kedudukan itu memeberikan sebuah kekayaan dan
kekuasaan. sistem monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja
sebagai sentral kekuasaan. seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya.
Sistem khilafah monarki ini terus berlanjut hingga kekuasaan Islam dipegang oleh
Turki Usmani yang timbul di Istambul pada 699 H/1299 M.
Pada periode modern ada beberapa kelompok yang memiliki
kecenderungan pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, dan

3 Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 1999,  hlm. 48-55

6
sekulerisme . Pertama, memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah
menyatu, tak terpisahkan, Kedua, memiliki pandangan bahwa agama memiliki
simbiosis atau hubungan timbale balik yang saling bergantungan, Ketiga, agama
harus dipisahkan dengan Negara dengan argumen Nabi SAW. tidak pernah
memerintahkan untuk mendirikan sebuah Negara.
Pada masa ini munculah Hizbut Tahrir (HT) yang menyatakan khalifah
kepala Negara harus dipilih umat Muslim. Pengisian jabatan kepala Negara
melalui penunjukan yang lazim dilakukan para Raja, tidak dibenarkan oleh Islam.
Taqi al-Din al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir di kota al-Quds (Yerusalem) pada
tahun 1372 H/ 1953 M, menyatakan, sistem putera mahkota adalah sistem yang
munkar dan amat bertentangan dengan sistem Islam .
Secara historis, sejatinya HT tak langsung muncul dengan bertujuan
mendirikan Khilafah Islamiyah. Awalnya tujuan mereka adalah nasionalisme
Palestina saat Israel mulai mengadakan invasi militernya. Namun kemudian
mereka beralih dan meningkatkan level perjuangan dengan mendirikan Khilafah.
Hal ini berangkat dari sebuah paradigma ingin mengembalikan kejayaan Islam
dari belenggu penjajahan. Dan menurut mereka, cara terbaik mencapainya adalah
dengan mendirikan sistem Khilafah Islamiyah yang telah runtuh di Turki pada
tahun 1924. Pada titik ini, sebenarnya terjadi konvergensi antara HT dengan umat
Islam secara umum; keduanya merindukan kejayaan Islam. Hanya saja, cara yang
ditempuh dan doktrin yang dipakai HT terkesan radikal, berbeda dengan
paradigma lain.
Bagaimana mereka merealisasikan tujuan ini? Setidaknya ada tiga tahap
yang dapat ditempuh. Pertama, mendirikan negara; kedua, kaderisasi; dan ketiga,
kudeta politik. Dengan tahap pertama mereka berambisi untuk melindungi
eksistensi umat Islam dari hegemoni Barat. Untuk menjaga militansi gerakan ini
dan mewariskan ideologi Khilafah ini, mereka melakukan kaderisasi kaum muda
demi meneruskan estafet perjuangannya. Jika dirasa memiliki kekuatan yang
cukup di negara tertentu, Indonesia misalnya, Abdul Qadim Zallum dengan tegas
menginstruksikan untuk melakukan kudeta politik: penggulingan kedaulatan

7
pemerintahan dalam suatu negara. Dan tentunya ini sangat berbahaya bagi
kedaulatan NKRI.
Dalam persoalan Khalifah HT dengan tegas menolak konsep duwailat
(negara-negara kecil). Bagi HT, duwailat akan melemahkan kekuatan Islam
karena terbagi-terbagi sesuai kawasan teritorial. Oleh sebab itu, HT mengandaikan
sebuah peleburan mutlak seluruh negara Islam di pelbagai belahan dunia untuk
kemudian mendirikan satu negara yang dipimipin satau Khalifah. Dalam titik ini,
ia mengingkari ijtihad para ulama klasik, semisal As-Subki dan Ibnu Taimiyah,
yang mentolerir ta’addud al-aimmah (kepemimpinan berbilang) yang muncul
sebagai respon politik paska runtunya Dinasti Abbasiyah. HT juga meyakini
bahwa yang berhak membuat undang-undang negara hanya Khalifah. Hal ini
berangkat dari sebuah asumsi bahwa Khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Jika logika ini diteruskan maka suara Khalifah adalah suara Tuhan, pegawainya
pegawai Tuhan, menterinya menteri Tuhan, gajinya gaji Tuhan dan
seterusnya.Tentunya, karena wakil Tuhan ia kebal kritik dan tak dapat diturunkan.
Padahal sistem teokrasi ini sangat berbahaya karena akan membuka peluang yang
besar terbentuknya pemerintahan despotis-tirani yang justru akan membahayakan
rakyat, khususnya umat Islam. Paling tidak fakta historis membuktikan hal ini.
Pandangan-pandangan HT yang cukup aneh dan diskriminatif antara lain
adalah penolakan mereka terhadap peran dan kontribusi non muslim di parlement.
HT juga tidak memberikan hak suara pilih bagi non muslim dalam pemilihan
umum (al-intikhab). Jadi, HT memandang non muslim sebagai masyarakat kelas
dua di sebuah negara. Ini menunjukkan bahwa HT memiliki doktrin yang sangat
berbahaya dan diskriminatif.
Kemudian di Indonesia muncul Hizbut at-Tahrir Indonesia yang sering
kita kenal HTI. Tidak sekadar jumlah massa yang fantastis, tapi yang
menggetarkan dalam sebuah momentum adalah Hizbut Tahrir Indonesia kini
dengan lantang dan gagah menyuarakan khilafah di tengah Indonesia yang
menganut konsep nation-state. Padahal konsep khilafah tentu saja berselisih
dengan konsep nation-state dan demokrasi. Pihak HTI pun merasa sukses, tidak

8
semata-mata pada penyelenggaraan acaranya namun yang lebih penting adalah
keberhasilannya mengibarkan gagasan khilafah.
HTI ini merupakan sebuah organisasi mempersepsikan Islam yang
diyakini sebagai lembaga serba sempurna diandaikan telah menyediakan cetak
biru (blue print) apa saja, termasuk sistem politik, yang wajib dan tinggal
dipraktekkan. Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan
ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu pada al-Quran dan al-
Hadis. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan
mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Mereka secara obsesionis
ingin memboyong masa kegemilangan peradaban Islam untuk bisa dipraktekkan
saat ini dengan dalih untuk mempersatukan umat Islam di dunia. Mereka pun
terlelap dalam glorifikasi sejarah Islam.
Ayat-ayat Al-Quran yang lazim digunakan sebagai basis konsep khilafah,
diantaranya adalah:
      
       
      
          
       
“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa (khulifa) dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu  apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-
Nur 55)

Kata khulifa dalam ayat diatas dimaknai sebagai suksesor dan seseorang


yang memimpin menggantikan Nabi. Dan juga ayat;
         
         
          
        
         
        


9
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah
Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS An-Nisaa 58-59)

Kedua ayat diatas, oleh Ibnu Taimiyah dipakai sebagai landasan pokok
dalam bukunya As-Siasah al-Syariah yang mengelaborasi ayat 57 sebagai
kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya agar melayani rakyat dengan memegang
teguh “amanah” yang telah diberikan oleh mereka dan menegakkan “keadilan”
dalam segala bentuk hukumnya. Sedangkan pada ayat berikutnya, menurut Ibnu
Taimiyah ditujukan kepada rakyat supaya mentaati Allah dan Rasul-Nya dan
pemimpin yang sudah mereka tetapkan sendiri, dengan catatan tidak menyimpang
dari hukum Tuhan.
Kedua ayat di atas menyimpulkan dasar-dasar umum yang harus dipegang
dalam tradisi politik Islam. Mayoritas ulama Islam sepakat bahwa menegakkan
khilafah, dalam artian kepemimpinan Islam hukumnya wajib, karena hal tersebut
diandalkan dapat mempersatukan dan mengurusi perkara kaum Muslimin serta
menegakkan hukum-hukum Tuhan di dalamnya. Itulah mengapa banyak sekali
sarjana Islam yang menekankan pentingnya memiliki pemimpin dan hanya
membolehkan diangkatnya satu pemimpin dalam pemerintahan Islam. Al-
Mawardi, Ibnu Hazm, Qadhi Abdul Jabbar adalah beberapa sarjana yang
menentang keras adanya dua atau lebih pemimpin dalam masyarakat Islam.
Menurut Hamid Enayat, setidaknya ada 3 hal pokok yang menjadi
kepedulian para sarjana Islam dalam memotret masalah kepemimpinan dalam
Islam yaitu; hak untuk memilih penguasa, prosedur pelaksanaan pemilihan, dan
hak untuk melakukan pemberontakan terhadap keadilan yang diperankan
penguasa.4

4 Ahmad, Zainal Abidin, Konsepsi Politik Dan Ideologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1977, hlm. 76

10
C.  Pengertian Imamah dan Konsep Imamah di Dunia Syah
Para ulama, dalam pembahasan mereka tentang imamah, telah
menggunakan kata tersebut sebagai sebuah istilah dengan makna yang lebih
spesifik dari makna bahasannya. Asy-Syaukani menyatakan, “dan yang dimaksud
dengan imamah disini bukanlah makna lughawi (bahasa) yang mencakup setiap
orang yang diikuti dan dicontoh oleh manusia terlepas dari bagaimana pun
sifatnya”.5 Untuk itu, mari kita tinjau beberapa definisi imamah yang diungkapkan
oleh para ulama.
Menurut al-Mawardi, imamah adalah, “yang diposisikan sebagai
pengganti kenabian (khilafatun nubuwwah) dalam hal menjaga agama dan
mengelola urusan dunia dengannya (agama)”.6
Al-Khathabi mendefinisikan imamah sebagai, “pengganti (khilafah) dan
wakil (niyabah) dari Rasulullah SAW dalam menegakkan pemerintahan umat
setelah beliau (wafat) “.
Ibnu ‘Abidin mendefinisikannya sebagai, “kepemimpinan umum dalam
urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi saw. (khilafatun Nabi SAW)”
Al-Juwaini menyatakan, “imamah adalah kepemimpinan puncak dan
paling tinggi baik terkait hal yang khusus maupun yang umum mengenai
kepentingan-kepentingan agama dan dunia”.7
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mendefinisikannya sebagai,
“kepemimpinan dalam pemerintahan Islam yang menghimpun kemaslahatan
agama dan dunia.”8
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan
khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam

5 Asy-Syaukani, as-Sail al-Jarrar al-Mutarafiq ‘ala Hada’iq al-Azhar, Beirut: Dar Ibn


Hazm, 2004, hlm. 937
6 Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthoniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, ditahqiq oleh
Ahmad Abdus Salam, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2006, hlm. 5
7 Al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adh-Dhulam, Iskandariah: Dar ad-Dakwah,
1400 H, hlm.15
8 Rasyid Ridho, Al-Khilafah au al-Imamah al-’Udhma, dalam Wajih Kautsaroni, Ad-
Daulah wa al-Khilafah fi al-Khithob al-’Arobi Abban al-Tsaurah al-Kamaliyah fi Turkiya:
Dirosah wa Nushush, Beirut: Dar ath-Tholi’ah, 1996,  hlm. 53

11
negara Islam. Istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah,
sedangkan istilah khilafah lebih populer penggunaannya dalam masyarakat Sunni.
Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini dalam memahami
imamah. Kelompok Syi'ah memandang hahwa imamah merupakan bagian dari
prinsip ajaran agama, sedangkan Sunni tidak memandang demikian. Meskipun
begitu, beberapa pemikir Sunni juga menggunakan terminologi imamah untuk
pembahasan tentang khilafah. Hal ini antara lain dilakukan oleh Abu al-Hasan al-
Mawardi. Di antara pemikir Sunni modern juga ada yang menggunakan
terminologi al-imamate al ‘uzhma untuk pengertian ini, seperti terlihat dalam
tulisan ‘Abd al-Qadir ‘Audah dan Muhammad Rasyid Ridha.

D.  Pengertian Ahlu Al-Halli Wa Al-Aqdi dan Perkembangannya


dalam Pemerintahan Islam
Ibnu al-Atsir di dalam kitabnya AI-Kamil fi Tarikh menceritakan salah
satu peristiwa sejarah yang sangat penting, yaitu pengangkatan Abu Bakar r.a
sebagai khalifah. Diceritakan oleh Ibnu Atsir bahwa pada hari wafatnya
Rasulullah SAW, orang-orang ansor berusaha mengangkat Saad bin Ubaidah
menjadi pemimpin umat walaupun Saad pada waktu itu dalam keadaan sakit, Saad
bin Ubaidah kemudian berpidato yang isinya mengemukakan keutamaan-
keutamaan orang ansor dan kemuliaannya serta jasanya di dalam membela
Rasulullah. Berita tentang berkumpulnya orang-orang ansor ini sampai kepada
Umar bin Khattab. Kemudian Umar mendatangi rumah Rasulullah SAW. karena
Abu Bakar sedang ada di situ, Umar berkata kepada Abu Bakar,’’Telah terjadi
satu peristiwa yang tidak dapat tidak tuan harus hadir.” Kemudian diceritakan
oleh Umar peristiwa tersebut yaitu berkumpulnya orang-orang ansor di Saqiefah
Bani Saidah yang akan mengangkat Saad bin Ubaidah menjadi pemimpin umat.
Selanjutnya Abu Bakar dan Umar segera menuju ke Saqiefah Bani Saidah dan
ikut pula beserta mereka Abu Ubaidah, Abu Bakar kemudian berbicara kepada
orang-orang ansor yang pada akhir pembicaraannya Abu Bakar berkata: “Orang
Quraisy adalah orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka
wali dan keluarga Rasulullah dan yang paling berhak memegang kendali umat

12
setelah Rasulullah wafat. Dan tuan-tuan dari golongan ansor, Allah telah
menjadikan tuan-tuan sebagai penolong agama-Nya dan penolong Rasul-Nya dan
kepada tuan-tuanlah Rasulullah berhijrah, oleh karena itu dari kami yang jadi
kepala negara dan dari tuan menteri-menterinya.”
Kemudian berdirilah Hubab bin al-Mundir bin Jamuh yang
mempertahankan pendirian orang-orang ansor, dan mengatakan bahwa orang
Quraisy itu orang yang memiliki kemuliaan, jumlahnya banyak dan memiliki
kekuatan, dan manusia melihat apa-apa yang diperbuat orang ansor, oleh karena
itu, dari kami ada kepala negara dan dari tuan juga ada kepala negara
Mendengar pidato Hubab ini Umar pun berkata, “Demi Allah, orang Arab
tidak rela diperintah oleh tuan-tuan sedangkan Nabi kita semua bukan dari
golongan tuan-tuan, orang Arab tidak akan menolak pemimpin dari
kelompok/keluarga Rasulullah, kami adalah keluarga Rasul.”
Hubab menjawab lagi yang intinya orang-orang Ansorlah yang paling
berhak. Sehingga situasi menjadi agak lebih pantas. Kemudian Abu Ubaidah
berkata, “Tuan-tuan dari golongan ansor ini adalah yang pertama kali menolong,
oleh karena itu, jangan menjadi orang-orang yang pertama kali
mengubah.” Kemudian berdiri Basyir bin Saad, yang meredakan suasana, dan
pada akhirnya mengatakan bahwa, “Sesungguhnyalah Muhammad itu dari
golongan Quraisy, dan kaumnya lebih berhak. Demi Allah, saya tidak akan
menentang orang-orang Quraisy dalam masalah ini. Karena itu, takwalah kepada
Allah dan jangan menentang mereka.”
Kemudian Abu Bakar berkata, “Di sini ada Umar dan Abu Ubaidah,
apabila tuan-tuan setuju, nyatakanlah bai’at kepada salah seorang dari
mereka.” Umar berkata, “Demi Allah, tuanlah yang harus menjadi kepala negara,
tuanlah muhajirin yang paling utama, dan menggantikan Rasulullah menjadi
imam di dalam shalat, sedangkan shalat adalah ibadah yang paling utama, saya
membai’at tuan.”
Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu bakar didahului oleh
Basyir bin Saad yang membai’at Abu Bakar.

13
Setelah suku Aus melihat apa yang dilakukan Basyir, maka mereka pun
membaiat Abu Bakar. Dari peristiwa pengangkatan Abu Bakar jadi khalifah ini
dapat ditarik beberapa kesimpulan di antaranya:
1. Khalifah dipilih dengan cara musyawarah di antara para tokoh dan wakil
umat.
2. Yang mengangkat itu para wakil umat dan tokoh-tokoh masyarakat. Jadi,
sistem perwakilan sudah dikenal dan dilaksanakan pada mass itu.
3. Di dalam musyawarah, terjadi dialog dan bahkan diskusi untuk mencari
alternatif yang terbaik di dalam menentukan siapakah calon khalifah yang
paling memenuhi persyaratan.
4. Sedapat mungkin diusahakan kesepakatan, dengan tidak menggunakan voting.
Rasyid Ridla berkaitan dengan perwakilan ini telah berkata, “Demikianlah,
di kalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan
di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan
masalah-masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah-masalah
kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan ahlu syura atau ahl al-
hall wa al-aqd di dalam Islam. Pengangkatan khalifah tidaklah dibenarkan,
kecuali apabila rnereka itulah yang memilihnya serta membai’at-nya dengan
kerelaannya. Mereka itulah yang disebut dengan wakil masyarakat pada bangsa-
bangsa yang lainnya.”
Al-Mawardi, menyebut orang-orang yang memilih khalifah ini
dengan Ahlul ikhtiar yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, keadilan
yang memenuhi segala persyaratannya, kedua, memilih ilmu pengetahuan tentang
orang yang berhak menjadi imam dan persyaratan-persyaratannya, ketiga,
memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan din mampu memilih imam
yang paling maslahat dan paling mampu serta paling tabu tentang kebijakan-
kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Abu A’la al-Maududi, di samping menyebutnya dengan ahl al-hall wa al-
aqd, ahl syura’, juga menyebutnya dengan “dewan penasehat” (consultative
assembly).

14
Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall wa al-‘aqd ini tampak hal-hal
sebagai berikut:
1. ahl al-hall wa al-‘aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai
wewenang untuk memilih dan membaiat imam.
2. ahl al-hall wa al-‘aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan
masyarakat kepada yang maslahat.
3. ahl al-hall wa al-‘aqd mempunyai wewenang membuat undang-undang yang
mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur secara tegas
oleh Al-Qur’an dan Hadis.
4. ahl al-hall wa al-‘aqd tempat konsultasi imam di dalam menentukan
kebijakannya.
5. ahl al-hall wa al-‘aqd mengawasi jalannya pemerintahan, wewenang nomor I
dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang nomor 3 dan 5 adalah
wewenang DPR, dan wewenang nomor 4 adalah wewenang DPA di Indonesia
sebelum amandemen UUD 1945.
Abdul Kadir Audah menyebut lima macam kelembagaan, yaitu:
1. Al-sultah al-Tanfidhiyah (eksekutif)
2. Al-sultah al-Tasyri’iyah (legislatif)
3. Al-sultah al-Qadla’iyah (yudikatif)
4. Al-sultah al-Maaliyah (bank sentral)
5. Al-sultah al-Muraqobah (lembaga pengawasan).
Lembaga yang pertama dipimpin oleh imam, lembaga kedua dipegang
oleh ulil amri lembaga ketiga dipegang oleh para hakim, lembaga keempat
dipegang oleh imam, dan lembaga kelima yaitu pengawasan dipegang oleh ahlu
syura’, ulama, dan fuqaha’.
Dalam pendapat Abdul Kadir Audah ini ada overlapping antara wewenang
lembaga tasyri’iyah dan lembaga muroqobah.
Akan tetapi, lebih pas kiranya apabila kelembagaan itu kita bagi menjadi:
1. Lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd dengan kewenangan yang pada prinsipnya
tersebut di atas.

15
2. Lembaga imamah yang dipimpin oleh seorang imam dengan dibantu oleh
menteri tanfidh (para menteri) dan atau menteri tafwidh (wakil presiden,
perdana menteri).
3. Lembaga aqdiyah/peradilan, yang di dalam kepustakaan Islam dikepalai
oleh qadli al-qudlat (Ketua Mahkamah Agung).
4. Lembaga keuangan atau lebih dikenal dengan bait al-mal, dengan perangkat
pengawasannya.9

E.  Pengertian Wizarah, Macam-macam Wazir dan wewenangnya serta


Perkembangannya dalam Pemerintahan Islam
Kata “wizarah” terambil dari kata al-wazr, yang berarti al-tsuql atau berat.
Dikatakan demikian, karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas
kenegaraan yang berat. Kepadanyalah dilimpahkan sebagian kebijaksanaan-
kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannya. Dalam bahasa Arab dan Persia
modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan menteri yang
mengepalai departemen dalam pemerintahan. Dalam First Encyclopeadia of
Islam, kata wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Menurut Kitab
Zend Avesta, kata ini berasal dari “vicira”, yang berarti orang yang memutuskan,
hakim. Dengan pengertian ini, maka wazir adalah nama suatu kementerian dalam
sebuah negara atau kerajaan, karena pejabat yang mengepalainya berwenang
memutuskan suatu kebijaksanaan publik demi kepentingan rakyat, negara atau
kerajaan yang bersangkutan.
Sementara al-Mawardi lebih merinci lagi tiga pendapat tentang asal-usul
kata wizarah ini.
Pertama; wizarah berasal dari kata al-Wizar, yang berarti al-tsuql (beban),
karena wazir memikul tugas yang dibebankan oleh kepala negara kepadanya,
seperti pengertian di atas. Kedua; wizarah terambil dari kata al-Wazar, yang
berarti al-malja’(tempat kembali). Ketiga; wizarah juga berasal dari al-azr yang
berarti al-zhuhr (punggung). Ini sesuai dengan fungsi dan tugas wazir yang

9 A. Djazuali, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, Jakarta:


Kencana. 2003, hlm. 74-77

16
menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan kekuasaan kepala negara,
sebagaimana halnya badan menjadi kuat tegak berdiri karena ditopang oleh
pungung.
Dari pengertian-pengertian ini dapat ditarik pemahaman bahwa wazir
merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Sebab, pada dasarnya, kepala negara sendiri tidak mampu
menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa bantuan orang-
orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karenanya, kepala
negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian
persoalan-persoalan kenegaraan yang berat tersebut dapat dilimpahkan ke tangan
kanan kepala negara dalam mengurus pemerintahan.
Pengertian wazir sebagai pembantu dalam pelaksanaan suatu tugas
digunakan Al-Quran ketika menyebutkan tugas Nabi Harun membantu Nabi Musa
dalam melaksanakan dakwahnya kepada Fir’aun, sebagaimana dalam Qs. Furqon
ayat 35 :
       
 
Artinya: “dan Sesungguhnya Kami telah memberikan Al kitab (Taurat) kepada
Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai Dia sebagai
wazir (pembantu).”

Wizarah bukanlah suatu yang baru dan terdapat pada pemerintahan Islam
saja. Wizarah telah ada sejak zaman pra-Islam. Wizarah ini telah dikenal jauh
pada masa Mesir Kuno, Bani Israil dan Persia Kuno.
Dalam sejarah Islam, pengertian wazir sebagai pembantu dapat dilihat dari
peranan yang dimainkan oleh Abu Bakar dalam membantu tugas-tugas kerasulan
dan kenegaraan Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar memainkan peranan penting
sebagai partner setia Nabi Muhammad. Diantara yang tercatat dalam sejarah
adalah kesetiaannya menemani Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah.
Sesampai di Madinah, Abu bakar juga di samping tentunya sahabat-sahabat
lainnya sering dijadikan sebagai teman dalam musyawarah memutuskan berbagai
persoalan umat. Pada saat-saat terakhir kehidupan Nabi, Abu Bakar pun
menjadi  pengganti Nabi untuk mengimami umat Islam shalat

17
berjama’ah. Peranan yang sama juga dimainkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab.
Ketika Abu Bakar menggantikan kedudukan Nabi sebagai khalifah, ‘Umar adalah
pembantu setia Abu Bakar. Kepadanya Abu Bakar menyerahkan urusan
pengadilan (al-qadha’). Namun, meskipun praktiknya telah dilakukan pada masa
ini, istilah wazir sendiri belum lagi dikenal.
Setelah ‘Umar menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, peranan
sebagai wazir dimainkan oleh ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Khalifah ‘Umar lebih banyak melakukan musyawarah meminta pendapat dari
kedua sahabat ini untuk menentukan kebijaksanaan politik.
Pada masa dinasti Bani Umaiyah juga tidak ada perubahan yang prinsip
dalam pemerintahan, kecuali hanya sistem pemerintahannya yang berubah dari
sistem yang demokrasi egalitarian (syura) menjadi monarki absolut. Disamping
itu, sistem suksesi juga tidak dilakukan melalui musyawarah, tetapi melalui
warisan atau penunjukan kepala negara sebelumnya. Pada masa ini juga belum
dikenal kata “wazir”. Dinasti ini hanya melanjutkan dan menyempurnakan
lembaga formal yang telah ada sejak zaman ‘Umar. Hanya saja, pelaksana
lembaga kenegaraan tersebut dinamakan dengan Katib.
Pada masa Bani Abbas kata wazir ini mulai diipakai untuk lembaga
kementerian negara. Wazir pertama yang diangkat oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah
pada masa ini adalah Abu Salamah al-Khalla. Kepadanya, khalifah melimpahkan
sebagian tugas-tugas kenegaraan. Dia menjalankan tugas-tugasnya atas nama
khalifah. Begitu luasnya kekuasaan dan kewenangan Abu Salamah ini, sehingga
ia berhak mengangkat mengangkat dan memecat pegawai-pegawai pemerintahan,
kepala daerah (gubernur) dan hakim. Pada masa Harun al-Rasyid, wazir yang
terkenal adalah keluarga Barmaki. Harun mengangkat Yahya ibn Khalid al-
Barmaki sebagai wazir negara dan setelah Yahya meninggal, posisinya digantikan
oleh putranya Ja’far al-Barmaki.10
Wizarah dalam konsep negara Islam adalah jabatan yang punya kekuasaan
menyeluruh sebagai pengganti imam dalam segala hal urusan dengan tanpa ada
pembatasan. Pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin istilah wizarah masih

10 Muhammad Iqbal, Op.cit., hlm. 144-148

18
belum ditemukan. Dalam menjalankan roda pemerintahan kepala negara (Nabi
dan Khulafaur Rasyidin) dibantu oleh para shahabat. Baru pada masa dinasti
Abbasyiah istilah wizarah dipakai yang diambil dari negara Persia. Imam
Mawardi membagi wizarah menjadi dua bagian:
1. Wizaratut tafwidh, yaitu seseorang yang diberi wewenang penuh oleh imam
untuk mengatur dan menyelesaikan masalah dari hasil pendapat dan
pemikiranya sendiri. Jabatan ini hampir menyamai dengan kedudukan
khalifah, dikarenakan seorang wazir punya wewenang sebagaimana
wewenang yang telah dimiliki oleh imam, seperti merancang hukum-hukum
ketatanegaraan, memutuskan urusan-urusan peradilan, memimpin tentara,
mengangkat panglima dan lain-lain. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa setiap sesuatu yang berhak dilakukan oleh imam, wazir juga berhak
melakukanya, kecuali tiga hal, yaitu, imam berhak memberikan jabatannya
kepada orang yang sudah menjadi pilihanya, imam berhak untuk menghapus
imam baru pada masa kekuasaanya, dan imam berhak memecat bawahan
wazir tapi bagi wazir tidak berhak memecat orang-orang bawahan imam.
2. Wizaratut tanfidh, yaitu sesorang yang bertugas untuk merealisasikan dan
meneruskan pendapat dan kebijakan imam. Jabatan ini derajatnya lebih rendah
dari wizaratut tafwidh. Seseorang ketika menduduki jabatan ini maka dia tidak
berhak untuk membuat kebijakan sendiri, kalupun dia hendak memutuskan
suatu urusan yang berkaitan dengan pemerintahan maka dia harus mengajukan
pendapatnya terlebih dahulu kepada imam untuk mendapatkan persetujuan.
Oleh sebab itu syarat-syarat untuk menduduki jabatan ini tidak terlalu ketat
sebagaimana wizaratut tafwidh.11

F.  Pengertian Ummah dan Konsep Ummah Pasca Pemerintahan Khilafah


Pada tahap permulaan, kata “ummah” diterjemahkan sebagai suatu
kesatuan abstrak yang menimbulkan kesatuan semua warga muslim. Jika tubuh
ummah yang kongkret muncul ke permukaan sebagai suatu konsep kehidupan

11 Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami  Wa Adillatuh vol 8,  Beirut: Darul Fikri,


1997,  hlm. 6218-6220

19
dengan mempertimbangkan parameter linguistik dan budaya, maka ummah dapat
berlaku sebagai suatu kekuatan yang memelihara dan memperkuat kohesi yang
telah mapan. Jadi, konsep tersebut berperan sebagai simbol kesatuan dan kekuatan
yang mewujudkan kesatuan secara bersamaan.
Dalam al-Qur’an, makna istilahnya bervariasi sesuai dengan kondisi
obyektif yang mengiringi kelahiran dan kebangkitan Islam. Pada periode sejarah
Nabi Muhammad SAW di Makkah, kata “ummah” disamakan dengan istilah;
qawm, millah, diin, thariqah, jama’ah dan sya’ab dalam artian yang bebas. Namun
secara bertahap, pada periode Madinah, istilah itu dipakai dalam arti teknis yang
khusus dan artinya dapat dipastikan sesuai dengan perkembangan penggunaannya
dalam al-Qur’an. Jadi, ummah seringkali diartikan lebih terbatas yang mengarah
pada kelahiran masyarakat Islam baru.
Menurut maknanya, istilah “ummah” meliputi totalitas (jamaah) individu
yang saling terikat oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras.
Di dalam ummah itu, anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, semua anggota mempunyai
derajat yang sama, tidak ada perbedaan ras maupun kelas. Dalam dokumen yang
disebut “Konstitusi Madinah”, “ummah” diartikan secara berbeda dalam dua
bagian dokumen. Pertama, istilah itu digunakan dalam artian yang khusus, yakni
masyarakat keagamaan orang-orang yang beriman.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Imarah yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan. Imarat
sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk
melaksanakan pemerintahannya oleh seorang amir.
Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhilafahan dsebut dengan
Khalifah. khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung

20
jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap
mengikuti undang-undang Nya yang mempersamakan orang lemah dan orang
kuat, orang mulia dan orang hina di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul
dalam memelihara agama dan mengatur dunia.
Ahlu Al-Halli Wa Al-Aqdi adalah orang-orang yang memiliki kearifan
dan kecerdasan di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu
menyelesaikan masalah-masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah--
masalah kemasyarakatan dan politik.
Imamah adalah kepemimpinan puncak dan paling tinggi baik terkait hal
yang khusus maupun yang umum mengenai kepentingan-kepentingan agama dan
dunia. Wazir merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
Menurut maknanya, istilah “Ummah” meliputi totalitas (jamaah) individu
yang saling terikat oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras.
C.  Saran
Saya berharap makalah yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi rekan-rekan yang mendiskusikannya, guna menambah
pengetahuan dan wawasan tentang Imarah, Imamah, Khilafah, Ahlu al-halli wa
al-‘aqdi, Wizarah dan Ummah, dan mudah-mudahan para pembaca dapat
memahami mengenai apa yang telah dibahas dalam makalah ini. Kemudian
alangkah baiknya jika rekan-rekan memberikan kritik dan sarannya yang pasti
akan sangat berharga bagi saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Pulungan, Suyuti, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Cet. ke-5.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Shadily, Hassan, (Pem. Red. Umum), Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, Ichtiar Baru


Van Hoeve, Jakarta:1982.

Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,  Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Zainal Abidin, Ahmad, Konsepsi Politik Dan Ideologi Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1977.

21
Asy-Syaukani, as-Sail al-Jarrar al-Mutarafiq ‘ala Hada’iq al-Azhar, Beirut: Dar
Ibn Hazm, 2004.

Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthoniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, ditahqiq oleh


Ahmad Abdus Salam, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2006.

Al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats adh-Dhulam, Iskandariah: Dar ad-


Dakwah, 1400 H.

Rasyid Ridho, Al-Khilafah au al-Imamah al-’Udhma, dalam Wajih Kautsaroni,


Ad-Daulah wa al-Khilafah fi al-Khithob al-’Arobi Abban al-Tsaurah al-
Kamaliyah fi Turkiya: Dirosah wa Nushush, Beirut: Dar ath-Tholi’ah,
1996.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah, Konstektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:


Yofa Mulia Offset, 2007.

Musa, Muhammad Yusuf,  Nizham al-Hukum Fi al-Islam, Kairo: Dar Al-Khatib


al-Arabi.

An-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Ummah, 2002.

A. Djazuali, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu


Syariah, Jakarta: Kencana, 2003.

Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami  Wa Adillatuh vol 8,  Beirut; Darul Fikri, 1997.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Imarah, Imamah, Khilafah,
Ahlu Halli Wal Aqdhi Wizarah dan Umamah” Tanpa pertolongan-Nya
mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat
dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi
Muhammad SAW.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yang telah
berkenan membimbing kami dalam mata kuliah “Fiqih II” yang telah membantu.

22
Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dan
terlebih dahulu kami ucapkan terima kasih.
Demikian makalah ini kami sajikan semoga bermanfaat bagi kami dan
pembaca.

Ujung Gading, April 2021


Penulis,

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

23
A. Pengertian Imarah dan Penggunaannya.................... 2
B. Pengertian Khilafah dan Konsep Khilafah
di Dunia Sunni.......................................................... 4
C. Pengertian Imamah dan Konsep Imamah
di Dunia Syah........................................................... 11
D. Pengertian Ahlu Al-Halli Wa Al-Aqdi dan
Perkembangannya dalam Pemerintahan Islam......... 12
E. Pengertian Wizarah, Macam-macam Wazir dan
wewenangnya serta Perkembangannya dalam
Pemerintahan Islam.................................................. 16
F. Pengertian Ummah dan Konsep Ummah Pasca
Pemerintahan Khilafah............................................. 20

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................ 21
B. Saran.......................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

ii

24

Anda mungkin juga menyukai