Pengertian Imarah
Secara bahasa sendiri imarah berasal adari kata “amr” yang berarti pemerintah. Secara
bahasa juga imarah bisa berasal dari kata amara, imaratun yang berarti keamiran, kerajaan, atau
pemerintah.1 Dari segi pengertian ini imarah tidak jauh berbeda dengan imamah, perbedaan
hanya terletak pada penggunaanya. Bila imarah digunakan untuk menunjukkan suatu jabatan
pemimmpin yang disebut amir.2 Sedangkan menurut istilah sendiri imarah adalan
kepemimpinan, pemerintahan atau bentuk dari sebuah jabatan pemimpin yang disebut amir
dalam suatu wilayah atau Negara yang merdeka dan berdaulat untuk melakasanakan
pemerintahannya.3
Menurut Syaikh Umar Bakri Muhammad imarah dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Imarah Khassah (imarah Khusus), yakni kekuasaan khusus atau spesifik dari seorang
pemimpim kepada para pengikutnya dalam konteks kewajiban yang khusus pula.
2. Imarah Ammah (Imarah Umum), yakni kekuasaan yang bersifat umum atas seluruh umat
muslim yang mana seorang pemimpin bertugas sebagai seorang khalifah yang menegakkan,
melindungi dan menyebarkan Islam.
Penggunaan kata imarah digunakan oleh Umar bin Khattab ketika menjabat sebagai
khalifah. Ia enggan untuk menggunakan penyebutan khalifah. Umar memerintahkan orang-orang
muslim untuk menyebutnya dengan amirul mu’minin yang pada kemudian hari akan
dipergunakan para khalifah sesudahnya.
Pada masa rasulullah dan para sahabat, seseorang yang ditunjuk untuk memimpin sebuah
daerah selama masa pemerintahan Islam di Madinah biasa disebut dengan amir contohnya yaitu
amir al-jaisy atau amir al-jund.
Pada masa dinasti Umayyah kata amir digunakan untuk sebuah jabatan seseorang yang
memimpin suatu provinsi (hakim, penguasa, pemerintah), dan tugasnya dibedakan berdasarkan
divisi yang diemban.
Pada masa dinasti Abbasiyah dimana penggunaan kata amir sebagai sebuah jabatan dari
seorang penguasa sebuah provinsi berubah akibat pergulakan yang terjadi antar dinasti
1
Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), 183.
2
3
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 35.
Abbasiyyah dan Romawi, sehingga penggunaannya diubah menjadi seorang wakil kepala daerah
secara khusus wakil gubernur/wakil bupati/wakil wali kota seperti pemerintahan Indonesia saat
ini.4
4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualosasi doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya media Pratama,
2001), 112.
5
Zainal Abidin, Konsepsi Politik Dan Ideologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 55.
pengaruhnya lebih besar daripada seorang khalifah, hal ini terjadi pada masa periode akhir dinasti
Abbasiyyah dimana kaum Turki berkuasa atas pasukan dan wilayah Islam sedangkan khalifah
hanya sebagai simbol saja. Fenomena seperti ini akhirnya membuat para cendekiawan muslim
berupaya membuat suasana damai tentang realitas baru yang mereka hadapi.
Karya-karya al-Ghazali tentang kepemimpinan kebanyakan terinspirasi dari
kepemimpinan Persia Pra-Islam. Menurutnya agama dan Negara adalah hubungan yang tidak bias
dipisahkan dalam proses berjalannya. Agama sebagai penyedia hal metafisik bagi suatu Negara.
Sedangkan Negara sebagai pelindung dan penyokong keberadaan agama. Konsep ini selanjutnya
dipadupadankan dengan ide lain yaitu keseimbangan masyarakat. Ide ini menegaskan bahwa
keseimbangan empat unsur yaitu; raja, tentara, rakyat dan keadilan.6
Fungsi militer yang ada pada amir dapat mudah bersatu dengan interpendensi dan siklus
keseimbangan masyarakat. Model pemikiran seperti ini juga memungkinkan para pemikir dan
sarjana berfunsi sebgai penafsir norma-norma Islam. Hal seperti pada akhirnya urusan perpolitikan
dan militer diberikan kepeda para pemimpin sedangkan urusan keagamaan diberikan kepada para
ulama, sedangkan khalifah sendiri hamper sama sekali tidak memiliki tugas yang paling terlihat
bahwa seorang khalifah hanya sebagai simbol Negara saja. Dengan demikian, seiring berjalannya
waktu konsep dari seorang khalifah tergeser dengan para amir dan sultan, meskipun pada periode
selanjutnya dimana Turki Saljuk mengadopsi dan mendominasi konsep khalifah.
6
Al-Ghazali, Kitab nasihat al-Mulk, (Teheran: Dar ul-Maarif, 1317 H), 19.