Anda di halaman 1dari 4

Nama : Adnan Zhaffar Putra Berlian

NIM : 111 5 11 200 000 15


Mata Kuliah : Politik dan Isu Isu Kontemporer / Idris Thaha

Ujian Tengah Semester

Khilafah adalah bentuk atau kata verbal dari mashdar dari tafkhalla, dimana dikatakan bahwa
jika si Fulan datang mendahulyui orang lain, atau jika si Fulan dating mendahului yang lain atau
jika ia datang lebih akhir atau jika ia menggantikan posisi fulan . dikatakan khalafa Fulan bin
Fulanan, jika si Fulan pertama menangani urusab Fulan kedua, bisa jadi ketika semasa
dengannya atau sesudahnya. Allah SWT berfirman “ Dan kalua kami mengkehendaki, benar-
benar kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi dan malaikat yang turun temurun.” Khilafah
berarti menggantikan yang lain, adakalanya karena absen yang digantikan, mati atau karena
ketidakmampuan yang digantikan dan sebagainya. Kata khalaiif merupakan bentuk plural dari
khalaif. Khalifah adalah bentuk atau simbolisme dari kekuasaan atau kuasa otoritas teratas (
sultan al Azzam).1 Dalam pandangan mereka, konsepsi khilafah didepan ummat nya seperti rasul
dihadapan kaum muslimin. Padanya terletak wilayah yang sifatnya umum, ketaatan yang absolut
serta kekuasaan yang menyeluruh. Padanya tergenggem hak untuk mengatur agama mereka,
menegakan ketaatan serta menjalankan syariat. Padanya juga memiliki hak untuk mengatur
urusan duniawi mereka. Mereka harus mencintai nya dengan penuh rasa hormat dan patuh
karena posisi khilafah ialah posisi pengganti Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam.

Secara etimologis, kata yang berakar kata dari huruf kha, lam, dan fa mempunyai tiga
makna pokok, yaitu “mengganti, belakang dan perubahan”. Dengan makna seperti ini, maka kata
kerja khalafa-yakhlufu dalam Al-Qur’an dipergunakan dalam arti “mengganti” baik dalam
kontek pergantian generasi (Q.S. Maryam, 19/44-59) ataupun dalam pengertian penggantian
kedudukan kepemimpinan (Q.S. Al-A’raf, 7/39:142).

1
Kelahiran terma khalifah tidak dapat dipisahkan dari latar belakang historisnya. Adapun
istilah al-khilafah dipilih untuk membedakannya dengan sistem pemerintahan lain yang sudah
menghegemoni dunia. Pada saat itu, sistem pemerintahan yang ada adalah kekaisaran
sebagaimana yang terdapat di Timur (Persia) dan di Barat (Romawi). Sistem pemerintahan ini
kerap menjalankan politik penindasan dan diktatorisme. Penguasanya sering berbuat lalim dan
terkadang dinamakan al-jabariyah yang memiliki arti tirani. Pemerintahan yang sewenang-
wenang itulah yang membuat kekhalifahan datang untuk menghilangkan dan menggantikan
posisinya.2

Khilafah adalah konsepsi yang menjadi ciri khas kelompok Sunni, sedangkan kalangan
Syi’ah, menggunakan terma imamah untuk menyebut pemimpinnya. Menurut Hamid Enayat,
khilafah didasarkan pada dua rukun utama, yaitu konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian
legitimasi (bai’ah). Sedangkan imamah menekankan dua rukun lain yaitu kekuasaan imam
(wilayah) dan kesucian imam (‘ismah).3

Dalam teori politik Islam, istilah-istilah yang merujuk kepada sistem pemerintahan yang
dianjurkan bagi umat Muslim telah menjadi suatu persoalan yang sampai saat ini masih banyak
diperbincangkan. Banyak para tokoh atau pemikir Islam yang mengeluarkan gagasan-
gagasannya mengenai konsep pemerintahan dalam Islam. Salah satunya yaitu Abul A’la Al-
Maududi yang dalam uraiannya tentang teori politik Islam yang sangat mengecam sistem
kerajaan, karena sistem kerajaan atau monarki tidak memiliki tempat dalam Islam, sehingga
menurut Maududi kedaulatan (souverenitas) berada di tangan Tuhan.4 Penolakan Maududi
terhadap teori kedaulatan rakyat bukan hanya terutama dari bukti-bukti demokrasi Barat yang
begitu sekular dengan banyak penyimpangan-penyimpangannya, tetapi juga pemahamannya
tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya Maududi untuk mengaktualisasikan teori politiknya
membawa kepada konsep yang disebut khilafah atau sistem khilafah. Dengan sistem khilafah,
sebuah pemerintahan dijalankan atas dasar ajaran tauhid atau dengan kata lain atas dasar hukum
Islam yang dipimpin oleh seorang imam (pemimpin).

2
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 78-79.
3
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2002),
h. 79.
4
Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam. Penerjemah
Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1984), hlm.19.
Fungsi Khalifah

Al-Faruqi menyebut tiga fungsi utama pemerintahan khilafah. Pertama, ia harus


menjunjung tinggi hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya yang Muslim. Ini berarti
pemerintah harus mengatur bersama kalender Islam dimana terdapat peringatan dan peristiwa
khusus Islam. Ia juga harus membantu kaum Muslim menerapkan syari’ah dan menyelesaikan
perselisihan antara mereka. Kedua, pemerintah Islam harus menjunjung tinggi kemerdekaan dan
integritas yang telah dikaruniakan Allah kepada kaum non-Muslim di negara Islam. Ia harus
melindungi upaya mereka membentuk kepemimpinan keagamaan dan pengadilan untuk
menyelesaikan perselisihan mereka sendiri. Dan ketiga, pemerintah Islam harus melaksanakan
tugas suci menyeru manusia kepada Allah dan hukum-Nya. Ia harus berupaya keras menjaga
perdamaian manusia dan membuat rakyat mendengar firman Allah, namun tidak boleh memaksa
mereka menerimanya. Ia juga harus menghormati keputusan rakyat dan membantu mendamaikan
serta merujukkan pihak-pihak yang bermasalah di dalam atau di luar wilayahnya.5

Eksistensi khalifah sebagai konsep politik adalah fungsi menegakkan hukum dalam
kehidupan masyarakat dengan cara yang benar. Aspek lain yang terkandung dalam ayat di atas
berkenaan dengan larangan mengikuti kehendak hawa nafsu. Mengikuti dan menegakkan hukum
Tuhan hanya mungkin apabila seseorang tidak mengikuti hawa nafsu semata. Seorang pemimpin
yang hanya mengikuti kehendak hawa nafsunya tidak hanya menjatuhkan martabatnya, tetapi
juga akan menjadikan masyarakatnya sebagai korban hawa nafsunya atau kehendak golongannya

Kekhalifahan Pasca Nabi Muhammad SAW

Kematian Nabi Muhammad pada tahun 632 M menyebabkan masyarakat Muslim


terpecah-pecah. Para sahabatpun menyadari kekosongan pemimpin tidak boleh dibiarkan terjadi
dan harus digantikan sesegera mungkin. Krisis politik yang terjadi setelah kematian Nabi
Muhammad dapat diakhiri dengan pemilihan Abu Bakar pada 632-634 M, dilanjutkan dengan
Umar (634-644 M), Utsman (644-656 M), dan Ali (656-661) M.6

Abu Bakar dipilih secara aklamasi dengan mempertimbangkan beberapa persyaratan


seperti ialah orang dewasa pertama yang menyatakan masuk Islam, ia adalah orang pertama yang

5
Abdul Fatah, Kewargaan dalam Islam: Tafsir Baru tentang Konsep Umat, (Yogyakarta: LPAN, 2004), h. 186.
6
John L. Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), h. 10.
tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Nabi yang mengorbankan harta kekayaannya
untuk menegakkan Islam, ia juga adalah orang yang senantiasa membenarkan setiap wahyu yang
diturunkan kepada Rasul. Selain itu, ia merupakan satu-satunya sahabat yang mendampingi Nabi
hijrah dari Mekkah ke Madinah, ia pulalah yang ditunjuk menjadi imam shalat jika Nabi
berhalangan, dan ia merupakan orang yang paling menguasai ilmu tentang syariat Islam.7

Pemerintahan Abu Bakar hanya berlangsung selama dua tahun. Setelah ia merasa tanda-
tanda akan meninggal dunia, ia dengan penuh kesadaran menunjuk penggantinya. Khalifah Abu
Bakar tidak melakukan penunjukan secara pribadi. Calon penggantinya dibicarakan dalam
Majelis Syura yang akhirnya mengukuhkan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Abu Bakar
kemudian menulis surat keputusan tentang pengangkatan Umar sebagai khalifah.

Kekhalifahan Umar berlangsung selama sepuluh tahun sebelum kemudian ia sakit akibat
tikaman Abu Luluah. Umar sebelumnya membentuk badan formatur yang terdiri dari enam
orang untuk memilih pemimpin selanjutnya. Suara terbanyak jatuh kepada dua orang, Ali bin
Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Namun, karena kesigapan jawaban dari Utsman, ia pun
terpilih menjadi pemimpin berikutnya. Setelah khalifah Utsman bin Affan terbunuh dan
meinggal dunia, diangkatlah Ali sebagai khalifah terakhir khulafa rasyidin.

SISTEM PEMERINTAHAN

7
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 64.

Anda mungkin juga menyukai