Anda di halaman 1dari 11

Makalah

Islam Yes, Khilafah No.

Disusun dan diajukan kepada Fakultas Syariah


Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Sumenep
untuk memenuhi tugas kuliah materi Filsafat Hukum Islam
yang diampu oleh Dr. H. Damanhuri, M.Ag.

Oleh:
Ahmad Fatoni

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH ( I N S T I K A )
GULUK-GULUK SUMENEP JAWA TIMUR
2023 M.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem Khilafah adalah sistem yang diterapkan di era awal-awal berkembangnya


agama Islam. Dalam sejarahnya, pasca wafatnya Nabi Muhammad, para sahabat
membai’at Abu bakar untuk menjadi Khalifah. Kemudian Abu Bakar wafat para
sahabat membai’at Umar bin Khattab. Kemudian Umar bin Khattab meninggal, para
sahabat membai’at Utsman bin 'Affan. Kemudian Utsman bin Affan meninggal,
para sahabat membai’at Ali bin Abi Thalib. Kemudian sistem seperti ini berubah
pada pemerintahan Khilafah Umayyah, Abbasiyah, hingga masa Utsmaniyah
dimana setelah sang Khalifah wafat, digantikan oleh anaknya. Sistem ini mirip
dengan sistem kerajaan pada zaman sekarang. Tetapi yang membedakannya dengan
sistem kerajaan ialah kekuasaan Khalifah merupakan kekuasaan yang ditujukan
sebagai perwakilan umat dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan Syariat
Islam sebagai dasar hukum dan pemerintahan.

Dalam pemahaman khilafah dalam Islam, akhir-akhir ini menjadi perdebatan


seru kaitannya dalam konteks penerapannya dalam tata kenegaraan yang berlaku di
Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila. Ada sebagian kalangan menganggap
khilafah harus ditegakan di Indonesia dan ada juga yang menegaskan khilafah tidak
bisa diterapkan di Indonesia. Menjawab hal tersebut, Nadirsyah Hosen (atau lebih
dikenal sebagai Gus Nadir) yang merupakan seorang kiai dari organisasi Islam
terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU), menerbitkan karya besarnya berupa
buku berjudul Islam Yes, Khilafah No!, yang terdiri dari 2 jilid.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi


rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana konsep yang ditawarkan dalam buku Islam Yes, Khalifah
No?
BAB II

PEMBAHASAN

Analisis Isi Buku Karya Nadirsyah Hosen “Islam Yes, Khalifah No”

Pemahaman mengenai khilafah dalam buku Islam Yes, Khilafah No! terdapat
pada Jilid I Bagian II mengenai Hadits Khilafah, Masa Khulafa Rasyidin dan Politisasi
Ayat. Gus Nadir membenarkan bahwa dalam sumber-sumber klasik ajaran Islam
terdapat pembahasan mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah, imam, atau
amir. Namun ini tidak berarti bahwa institusi khilafah sebagaimana dibayangkan
sementara kelompok Islam, wajib ditiru secara sama persis. Kewajiban mengangkat
khalifah adalah kewajiban tentang mengangkat pemimpin, yang kehadirannya adalah
keniscayaan dalam suatu institusi politik.

Konsep khilafah atau daulah islamiyyah, adalah konsep yang secara filosofis
apalagi historis tidak memiliki pijakan kuat: Pertama, al-Quran membahas mengenai
konsep Pemimpin dengan banyak istilah, tidak tunggal. Pemimpin kadang disebut
dengan istilah Qawwam, kadang disebut dengan istilah imam, dan dengan istilah
khalifah. Ketiganya berbeda makna dan cakupannya. Bahkan khusus untuk konsep
pemimpin dengan penggunaan istilah Khalifah, dalam al-Quran secara nyata,
dipersepsikan dengan sejarah kelam. Hal itu misalnya terungkap dari protes para
malaikat ketika Allah Swt hendak menciptakan khalifah di muka bumi.

Konsep Pemimpin menurut Gus Nadir terbagi menjadi dua pandangan filsuf,
yaitu alMawardi dan al-Ghazali. Pandangan pertama adalah menurut al-Mawardi
dimana Imamah (kepemimpinan) yang dimaksud al-Mawardi dijabat oleh khalifah
(pemimpin), raja, penguasa, atau kepala negara, dan kepadanya ia diberi lebel agama.
Al-Mawardi menyatakan Sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk
mengambil alih peran kenabian dalammenjaga agama dan mengatur dunia 1. Dengan
demikian seorang imam adalah pemimpin agama di satu pihak dan di lain pihak sebagai
pemimpin politik. Menurut Imam al-Mawardi ada dua golongan, yaitu:

1
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, terjemahan
Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 1
 Wajib berdasarkan akal dengan alasan manusia itu adalah makhluk sosial
dan dalam pergaulan mereka bisa terjadi permusuhan, perselisihan, dan
penganiayaan. Karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat
mencegah kemungkinan-kemungkinan itu.
 Wajib berdasarkan syari’at bukan karena pertimbangan akal dengan alasan
karena kepala negara menjalankan tugas-tugas agama yang bisa saja akal
tidak mendukungnya dan akal hanya menghendaki setiap orang yang
berakal melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan
hubungan, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri bukan dengan akal
orang lain.

Pandangan kedua adalah menurut al-Ghazali. Mengenai masalah imamah bagi


alGhazali hukumnya adalah wajib. Pemikiran ini dapat dilihat dalam karyanya al-
Iqtishad fi alI’tiqad (sikap lurus dalam i’tikad). Al-Ghazali menggambarkan hubungan
agama dengan dengan kekuasaan politik dengan bahasa Sulthan adalah wajib untuk
ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama. Ketertiban agama wajib
bagi keberhasilan di akhirat2. Al-Ghazali melanjutkan bahwa setiap orang harus simpati
kepada penguasa dan wajib mematuhi segala perintah mereka. Ia mesti mengetahui
bahwa Allah memberi kekuasaan dan kerajaan pada mereka. Berbeda dengan al-
Mawardi yang merumuskan teori kontrak sosial, al-Ghazali menyatakan bahwa
kekuasaan kepala negara adalah kudus (suci) berasal dari Tuhan. Selain itu, al-Ghazali
juga berpendapat bahwa penguasa adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi (Zhill
Allah fi al-ardh)

Dalam dokumen yang dikutip Imam al-Thabari jelas tergambar politisasi agama
demi mempertahankan kekuasaan. Sejumlah ayat dikutip seperti QS al-Isra ayat 60 yang
menyebut pohon yang terkutuk, lantas oleh dokumen itu dikatakan bahwa tidak ada
pertentangan maksudnya itu adalah Bani Umayyah. Membaca dokumen yang
dicantumkan Imam al-Thabari terlihat bagaimana efek kebencian yang sudah sampai
pada puncaknya dan agama pun sudah dipolitisir sedemikian rupa dan dapat terjadi
ketika kekuasaan berselingkuh dengan agama.

2
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), 28.
Prinsip pokoknya adalah hadirnya seorang pemimpin. Adapun bentuk dan
system pemerintahannya adalah waliyah ijtihajiyyah yang bersifat kontekstual, bisa
berwujud monarki seperti pemerintahan Bani Umayyah kebelakang, bisa pula berbentuk
layaknya kekhilafahan di masa khalifah empat. Sehingga, Indonesia dalam pandangan
ulama Nusantara yang mengerucut pada pembentukan Republik Indonesia adalah hasil
ijtihad yang sah. Dengan kata lain, Indonesia dengan sistem republiknya adalah sebuah
khilafah dengan sistem dan bentuknya sendiri.

Gus Nadir menggambarkan situasi politik Islam mulai dari era khulafa ar-
Rasyidin hingga dinasti abbasiyah. Buku inidibagi dua, jilid pertama hingga era
Umayyah yaitu dinasti sebelum Abbasiyah dan jilid kedua tentang politik Abbasiyah.
Rujukan yang digunakan Gus Nadir banyak mengambil dari kitab tarikh karangan Imam
Attabari, Imam Suyuthi, Imam Ibnu Katsir dan karangan ulama terdahulu.
Buku ini menggambarkan sejarah berdarah politik Islam. Mulai dari dibunuhnya
Utsman bin Affan di rumahnya sendiri yang ketika itu ia sedang dalam keadaan
membaca Al Qur’an. Sulutnya untuk pertama kali perang saudara antar sesama umat
Islam yaitu keponakan nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib dengan istri nabi
Muhammad, Aisyah. Mungkin saat masih sekolah dulu kita sudah pernah belajar
tentang perang saudara ini, namun kita diajak berpikir ulang tentang bagaimana
mungkin keponakan dan istri nabi bisa berperang, hinggaterbunuhnya beberapa sahabat
senior.3

Penolakan Penegakkan Syariat Islam dengan Mengganti Sistem Ketatanegaraan


menjadi Khilafah di Indonesia diawali dengan Pengadilan tata usaha negara (PTUN)
menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap keputusan pemerintah yang
membubarkannya. Narasi paling dasar yang dikemukakan HTI adalah khilafah
merupakan inti ajaran Islam yang sama dengan kewajiban salat, puasa, zakat, dan haji.
Melarang HTI mempromosikan khilafah mereka anggap sama dengan menentang ajaran
Islam. Pada kenyataannya, tiga organisasi keislaman seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, Pancasila dan
NKRI adalah bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3
Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah No!,(Yogyakarta: Suka Pres, 2018), 41.
Pada satu sisi, HTI mengembangkan narasi seolah ulama klasik mendukung
system khilafah. Namun, kenyataannya, sistem khilafah ala HTI berbeda dengan apa
yang disampaikan para ulama klasik. Tidak cukup ruang untuk membahas hal ini
dengan detail. Cukup kita tegaskan bahwa menolak berdirinya sistem khilafah ala HTI
tidak berarti kita menolak pemahaman ulama klasik. Keduanya ternyata tidak sama.

Di samping itu, dengan membuat UUD khilafah yang bermaksud membakukan


dan menyeragamkan sistem khilafah, jika suatu saat nanti khilafah ala HTI bisa
terwujud, secara terang-terangan HTI dan para pendukungnya telah bermaksud
mengganti Pancasila dan UUD 1945. Pada titik ini, HTI kelabakan dan terpaksa berkelit
membangun narasi berikutnya bahwa khilafah itu tidak bertentangan dengan Pancasila.
HTI menyatakan, karena khilafah bagian dari ajaran Islam, itu sesuai dengan sila
pertama Pancasila. Melarang HTI mendirikan khilafah sama dengan melanggar
Pancasila.

Pasca putusan PTUN, sekarang HTI membangun narasi ketiga. Yaitu, mereka
dizalimi oleh putusan pengadilan dan karena itu menyatakan banding. Seharusnya,
pimpinan HTI dengan tegas menerima pembubaran oleh pemerintah dan putusan
PTUN. Bahkan, sebenarnya pasal 83 UUD Khilafah HTI dengan tegas menolak adanya
peradilan banding. Anehnya, dengan menempuh gugatan hukum dan kini mengajukan
banding, HTI seolah tidak merasa bersalah dan masih menganggap sistem khilafah tidak
bertentangan dengan NKRI. HTI dibubarkan itu bukan sebuah bentuk kezaliman. Tapi
sebuah upaya pemerintah dan PTUN mempertahankan NKRI, menghargai perjuangan
para pendiri bangsa serta ulama dan syuhada yang telah memberikan segalanya untuk
tegaknya NKRI. Generasi penerus tinggal mengisi kemerdekaan ini untuk menuju
masyarakat yang adil dan makmur, tidak malah hendak mengembalikannya ke titik nol.

Dalam sejarah Islam juga kita temukan fakta yang berbeda lagi. Ada yg bilang
Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai hitam, dan pernah juga
berwarna putih. Konteks bendera dan panji dipakai Rasul itu sewaktu perang untuk
membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara. Jadi
kalau ISIS dan HTI tiap saat mengibarkan liwa dan rayah. Kalau dianggap sebagai
bendera negara khilafah, NKRI, sudah punya bendera merah putih. Bahkan ada tokoh
HTI yang mempertanyakan apa ada haditsnya bendera RI yang berwarna merah-putih?
Mereka sudah tidak mau menerima Pancasila dan UID 1945, sekarang mereka juga
menolak bendera merah-putih. Jadi, yang syar’i itu bendera HTI, begitu maunya
mereka, padahal urusan bendera ini bukan urusan syari’at. Karena bendera sudah
menjadi bagian dari gerakan mereka. Maka jelas bendera ISIS dan HTI bukan bendera
Islam, bukan bendera Rasul, tapi bendera ISIS dan HTI. Itu sebabnya Habib Luthfi bin
Yahya dengan tegas meminta bendera HTI diturunkan dalam sebuah acara. Mursyid
yang juga keturunan Rasulullah ini paham benar dengan sejarah dan status hadits soal
bendera ini.

Berdasarkan resensi Buku Islam Yes, Khilafah No! karya Gus Nadir terlhat
bahwa pandangan Gus Nadir mengenai khalifah harus menyikapinya secara
proporsional. Gus Nadir memberikan kesan bahwa dengan menjadikan khilafah is the
(only) solution, maka melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana
juga banyak kisah keemasan) dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali
khilafah tidak berarti semua permasalahan akan hilang dan lenyap. Permasalahan yang
menjadi pembahasan utama dari buku ini adalah mengenai sejarah kekhilafahan mulai
dari akhir dinasti Umayyah hingga Abbasiyah. Sementara dari era Khulafaur Rasyidin
dan awal dinasti Umayyah dibahas di jilid I. Gus Nadir ingin menunjukkan mengenai
sejarah dari kekhalifahan Islam secara obyektif.

Dalam ulasannya Gus Nadir menampilkan sosok khalifah secara singkat padat
dan jelas. Sumber yang digunakan merupakan kitab-kitab sejarah karya sejumlah ulama,
yang lahir atau besar pada zaman tersebut. Tidak jarang Gus Nadir menyajikan kutipan
dari sumber yang berbeda tentang masa pemerintahan seorang khalifah. Selain
membahas mengenai sejarah kekhalifahan era Abbasiyah, buku ini pun menyajikan
sejumlah topik yang kerap menjadi bahan perdebatan netizen. Yaitu masalah Imam
Mahdi, perdebatan perayaan tahun baru, bendera (yang diklaim milik) Khilafah dan
sikap Nabi ketika agama Allah dihina. Topik yang sedang menjadi best seller
khususnya di dunia maya.

Melalui buku Islam Yes, Khilafah No! Jilid 2 ini, Gus Nadir kembali
memberikan pemaparan tentang mendirikan khilafah adalah tidak wajib. Yang wajib itu
adalah memilikipemimpin, yang dahulu disebut khalifah. Pemimpin tersebut bisa saja
ketua RT, kepada suku, presiden dan lainnya. Munculnya pemikiran kewajiban
mendirikan khilafah bermula karena adanya pemelintiran arti kata khilafah yang dinilai
sebagai sistem pemerintahan Islam.4

Gerakan-gerakan Islamis yang terinspirasi dan terdorong oleh nilai-nilai Islam


telah menjadi fenomena masif dalam satu abad terakhir. Gerakan-gerakan itu
berkembang dalam pelbagai bentuk dan pola seiring dengan pertumbuhan relasi Islam
dengan kekuatan-kekuatan politik dunia.5 Gerakan-garakan semacam ini terlihat lebih
frontal apabila berada di wilayah atau negara yang menolak al-Khilâfah al-Islâmîyah
sebagai sistem politik kenegaraan. Dalam konteks keindonesiaan, wacana al-Khilâfah
al-Islâmîyah massif disuarakan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan
HTI turut mewarnai peta politik di Indonesia dengan usaha memformalisasikan agama
dan politik dalam narasi tunggal, yaitu Islam. Aktivitas HTI ini dianggap
kontraproduktif dengan semangat bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai
ideologi. Karena keberadaannya dinilai mengganggu stabilitas politik Indonesia, pada
19 Juli 2017, pemerintah melalui Kemenkumham, mengeluarkan Perpu No. 2/2017
yang ditandatangani Presiden pada 10 Juli 2017 yang secara resmi membubarkan
legalitas HTI.6

Kebijakan ini pada akhirnya menimbulkan kontroversi. Pemerintah dihadapkan


pada isu kebebasan berekspresi dan potensi penyalahgunaan regulasi untuk
membungkam agama minoritas atau organisasi yang mengkritik pemerintah. HTI
menuding pemerintah telah melakukan kriminalisasi dan tidak menjalankan hukum
sesuai regulasi. Beberapa aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menilai tidakan tersebut
berpotensi menjadikan otoritarianisme atau kediktoran pemerintah.7

Pasca pembubaran HTI melalui Perpu No. 2/2017, HTI semakin gencar dalam
menyerang pemerintahan Indonesia melalui media dakwahnya. Media-media HTI tidak
jarang menampilkan argumentasi teologis dari Alquran maupun Hadis demi
4
Putra Jalu Waluya Alfiandi dan Moh Slamet, “Analisis Buku Islam Yes Khalifah No Karya
Nadirsyah Hosen”, Jurnal Spektra Komunika, Volume 1 Nomor 1 (Februari 2022), 40.
5
Muhammad Rikza Muqtada, “Ideologisasi Tafsir di Kalangan Islamis Perempuan Bangladesh,”
Jurnal Musawwa, Vol. 15, No. 2 (Juli 2016), 199.
6
‘Ini Alasan Pemerintah Bubarkan Hizbut Tahrir Indonesia’,
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/14382891/ini.alasan.pemerintah.bubarkan.hizbut.tahr
ir.indonesia, diakses 4 Januari 2023.
7
“Komnas HAM Ikut Tolak Perppu Ormas’, dalam https://tirto.id/komnas-ham-ikut-tolak-
perppu-ormas-csJF, diakses 4 Januari 2023.
merealisasikan visinya. Hadis-Hadis tentang khilâfah dan keteladanan nabi sering
dikutip dalam rangka membentuk wacana terbentuknya pemerintahan berbasis khilâfah.
Pada halaman soal jawab, HTI kembali menghadirkan Hadis tentang al-khilâfah ‘alâ
minhâj al-nubuwwah sebagai solusi atas kegagalan demokrasi di Indonesia.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan analisis isi buku Islam Yes, Khilafah No karya Dr Nadirsyah


Hosen, maka dapat disimpulkan bahwa mendirikan khilafah adalah tidak wajib.mYang
wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah. Pemimpin tersebut
bisa saja ketua RT, kepada suku, presiden, dan lainnya. Munculnya pemikirankewajiban
mendirikan khilafah bermula karena adanya pemelintiran arti kata khilafah yang dinilai
sebagai sistem pemerintahan Islam. Konsep Pemimpin menurut Gus Nadir adalah :

 Wajib berdasarkan akal dengan alasan manusia itu adalah makhluk sosial dan
dalam pergaulan mereka bisa terjadi permusuhan, perselisihan, dan
penganiayaan. Karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat mencegah
kemungkinan-kemungkinan itu.
 Wajib berdasarkan syari’at bukan karena pertimbangan akal dengan alasan
karena kepala negara menjalankan tugas-tugas agama yang bisa saja akal tidak
mendukungnya dan akal hanya menghendaki setiap orang yang berakal
melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan hubungan,
kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri bukan dengan akal orang lain.

Pemikiran penegakkan syariat Islam dengan mengganti sistem negara menjadi


khilafah berdasarkan resensi Buku Islam Yes, Khilafah No! karya Gus Nadir terlihat
bahwa pandangan Gus Nadir mengenai khalifah harus menyikapinya secara
proporsional. Gus Nadir memberikan kesan bahwa dengan menjadikan khilafah is the
(only) solution, maka melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana
juga banyak kisah keemasan) dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali
khilafah tidak berarti semua permasalahan akan hilang dan lenyap.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiandi, Putra Jalu Waluya dan Moh Slamet. 2022. “Analisis Buku Islam Yes Khalifah
No Karya Nadirsyah Hosen”, Jurnal Spektra Komunika, Volume 1 Nomor 1
Februari.

Hosen, Nadirsyah. 2018. Islam Yes, Khilafah No!. Yogyakarta. Suka Pres.

https://tirto.id/soal-rencana-pembubaran-jubir-hti-kami-akan-melawan-cox4 ;

https://tirto.id/perppuormas-tak-sejalan-dengan-negara-hukum-cs83 ;

https://tirto.id/komnas-ham-ikut-tolak-perppu-ormas-csJF diakses 4 Januari 2023.

Imam al-Mawardi. 2006. Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat


Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Jakarta:
Darul Falah.

Muqtada, Muhammad Rikza. 2016. Ideologisasi Tafsir di Kalangan Islamis Perempuan


Bangladesh. Jurnal Musawwa Vol. 15 No. 2.

Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai