Anda di halaman 1dari 4

2.

Sejarah Kekuasaan Legislatif dalam Islam

Seiring dengan berkembangnya peradaban Islam dalam sejarah, tentu hadirnya beragam sistem
ketatanegaraan ditengah umat Islam tak lagi dapat dihindari. Seperti dengan kekuasaan legislatif dalam
Islam yang terus mengalami perubahan. Dimulai pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw., Yang mana
pada masa itu segala bentuk hukum yang ada dan dijalankan bersumber daripada Allah SWT., Allah
membentuk segala perintah, juga larangan, dan berbagai bentuk pedoman untuk menjawab
kebingungan hambanya dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, Allah tuangkan semuanya dalam
Wahyu Al-Qur'an. Kemudian Rasullullah Saw. Hadir sebagai penyampai Wahyu dari Tuhan kepada
hambanya tadi, disamping itu Rasul juga berperan penuh sebagai penjelasan dari tiap ayat perintah,
larangan, dan lainnya yang bersifat umum, yang masih sulit dipahami oleh umatnya.

Dalam masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sumber Hukum Kekuasaan Legislatif adalah Allah,
kemudian lahirlah Sunnah sebagai penyempurnanya. Pada masa itu Al-Qur'an merupakan satu-satunya
sumber hukum tertulis yang ada. Selain mengandalkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an, umat
Islam menjalankan hukum yang ada menyesuaikan pada kebiasaan yang nabi lakukan.

Sepeninggalannya Rasulullah Saw., kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para sahabat (al-Khulafa’ al-
Rasyidin). Pada era kepemimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidin, besar cakupan wilayah umat Islam semakin
meluas hingga keluar jazirah Arab. Dengan berkembangnya wilayah yang dipimpin, maka diperlukan
adanya sistem pemerintahan yang baik, Yang cakupannya lebih luas, juga teratur. Untuk mengatasi
pembenahan sistem pemerintahan ini, para al-Khulafa’ al-Rasyidin melaksanakan perundingan dengan
para sahabat nabi lainnya, menyelesaikan pembenahan sistem pemerintahan dengan merujuk pada Al-
Qur'an serta Sunnah nabi. Para sahabat yang lebih senior ( al-Sabiqun al-Awwalun ) lebih mendominasi
dalam memberi nasihat, serta dalam menjalankan fungsi kekuasaan legislatif pada masa ini. 1 Maka
dapat disimpulkan bahwa pada masa kepemimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidin, konsep hukum dan sistem
pemerintahan masih jauh dari konsep sistem pemerintahan modern, yang artinya belum ada perubahan
signifikan di dalamnya. Secara resmi, segala ketetapan perundang-undangan dilaksanakan oleh khalifah.
Namun yang terjadi sebenarnya, masyarakat pada masa itu juga turut ambil andil, terutama kalangan
sahabat al-Sabiqun al-Awwalun (mereka yang lebih dahulu masuk Islam). Kewenangan legislatif dalam
sebuah lembaga atau dewan perwakilan pada masa itu masih abu-abu, segala kewenangan berada di
tangan khalifah sendiri dan dibantu oleh sahabat lainnya. Pengambilan keputusan kembali dilakukan
dari musyawarah di antara mereka.2

Dilanjutkan pada masa kepemimpinan Dinasti Umaiyah (40-131 H/661-750 M), perkembangan daerah
Islam kembali semakin luas hingga Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Madinah ke Damaskus,
Syria. Dengan berjalannya perluasan daerah ini, permasalahan yang timbul pun semakin kompleks.
Khalifah-khalifah awal dari dinasti ini tetap menyelesaikan dengan merujuk kepada Alquran dan Sunah
Nabi. Namun dalam praktek mereka meminta bantuan kepada penasihat-penasihat kerajaan juga ejabat
1
Muhammad Iqbal, "Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam" Radar Jaya Pratama, Jakarta

2
Ibid.
pemerintahan, sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Satu garis besar yang perlu dicatat dalam
perkembangan penetapan undang-undang (tasyri') pada masa Dinasti Umaiyah ini ialah usaha yang
cukup penting ke arah penyusunan ilmu fikih juga kodifikasi perundang-undangan. Dalam hal ini,
pemerintah bertindak penuh sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang banyak mengacu kepada
pendapat-pendapat Imam al-Awza’i (w.155H/744M) dan lebih memperlihatkan corak fikih Damaskus. 3
Berbeda dengan masa kepemimpinan al-Khulafa’al-Rasyidin, dimana legislasi hukum Islam dilakukan
oleh khalifah sendiri dan dibantu oleh sahabatsahabat senior, maka pada masa Bani Umaiyah legislasi
hukum Islam dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat para yuris yang sesuai dengan
kepentingan politik pemerintah. Maka lahirlah pemisahan antara corak agama dan corak Kekuasaan
yang pertama diterapkan pada masa dinasti Umayyah ini. Khalifah tidak lagi memegang kekuasaan
keagamaan secara penuh, tetapi menyerahkannya kepada ahli-ahli agama. Aspek keagamaan dipegang
kendalinya oleh para ulama.Dalam upaya legislasi hukum Islam, pada masa pemerintahan ‘Umar ibn
‘Abd al-‘Aziz (99-101 H/717-720 M), Syihab alDin al-Zuhri (w. 124 H/746 M) diperintahkan untuk
melakukan kodifikasi hadis. Setelah kehancuran Daulah Bani Umaiyah melalui “revolusi” Bani Abbas,
timbul pemikiran agar negara melakukan unifikasi (penyeragaman) hukum Islam dalam suatu legislasi. 4
Ibn alMuqaffa’ (w. 140 H/757 M), seorang muslim persia yang menggagas ide ini dan juga menjabat
sebagai sekretaris negara, khawatir melihat perbedaan praktik hukum yang berkembang di kalangan
umat Islam ketika itu. Oleh sebab itu ia menulis surat kepada khalifah al-Manshur (136-158 H/754-775
M) agar mensistematisir hukum Islam dan mengadakan ijtihad sendiri terhadap Alquran dan Sunah. 14
Akan tetapi ide ini tidak terlaksana, karena sulitnya menyatukan perbedaan-perbedaan praktik
keagamaan di kalangan masyarakat muslim saat ini. Ibn al-Muqaffa tercatat sebagai orang yang pertama
mendukung legislasi hukum Islam oleh negara.

Kekuasaan legislatif termasuk kekuasaan yang terpenting dalam keberlangsungan pemerintahan Islam,
karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini akan dilaksanakan secara efektif
oleh lembaga legislatif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang
duduk dilembaga legislatif ini terdiri dari pada mujtahid serta ahli fatwa juga para pakar dalam berbagai
bidang. Karena penetapan syariat sebenarnya hanyalah wewenang Allah, maka wewenang dan tugas
lembaga legislatif hanya sebatas menggali serta memahami daripada sumber-sumber syariat Islam, yaitu
Alquran dan Sunah Nabi, dan menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalam kedua sumber
tersebut.

3. Konsep Ahl al-hall waal’aqd, Ummah, Syar’iyyah dan Ba'iah dalam Islam

a. Ahl al-hall waal’aqd

Secara bahasa Ahl Al-Hall Wa Al-Aqd merupakan orang-orang yang mempunyai wewenang untuk
melonggarkan dan mengikat. Salah seorang ulama yakni, Al-Mawardi mendefinisikan Ahl Al-hall wa Al-
Aqd ialah mereka yang berwenang mengikat dan melepas, yakni para ulama, cendikiawan, dan pemuka

3
Munawir Sjadzali, "Islam dan Tata Negara" UI Press, Jakarta

4
T.M. Hasbi Ash Siddieqy, "Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam" Bulan Bintang, Jakarta
masyarakat.5 Maka dapat dimakani bahwa Ahl al-hall waal’aqd merupakan Sebuah lembaga dalam
sistem ketatanegaraan Islam dengan wewenang menampung serta menyampaikan aspirasi masyarakat.
Mereka adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang dipandang paling baik agamanya,
akhlaknya, kecermelangan idenya dan pengaturannya, mereka terdiri dari para ulama, khalifah dan
pembimbing umat. Ahl al-hall wa al-aqd dianggap sebagai kelompok yang mencerminkan ridlo kaum
muslimin atau sebagai perwakilan kaum muslimin dalam tataran pemerintahan yang membawa aspirasi
kaum muslimin.

b. Ummah

Dalam terminologi Islam, ummah merupakan suatu konsep yang menarik dan tidak terdapat dalam
bahasa-bahasa barat.6 Ummah Memiliki artian yang cukup luas, Menurut konsep Al-Qur'an ummah
adalah suatu kumpulan masyarakat yang berbeda-beda baik suku, ras, budaya, dan sejarah yang
memiliki tujuan hidup bersama guna menjalankan atau mengaktualisasikan kehendak-kehendak Allah.
Sedangkan, Dalam konteks hukum Islam Ummah dimaknai sebagai sebuah bentuk kesatuan dengan
tanggung jawab mengamalkan hukum Islam dan memastikan terwujudnya keadilan sosial serta
kesejahteraan umat. Perkembangan implementasi hukum Islam menjadi salah satu fokus utama dari
konsep sistem kenegaraan yang satu ini. Serta dalam sistem hukum legislatif, para anggota
bertanggungjawab membuat undang-undang yang berlandaskan pada prinsip hukum Islam.

c. Syar' iyyah

Hukum Politik Islam atau sering disebut dengan Fiqh Siyasah/Siyasah Syar’iyyah adalah bagian dari fiqh
muamalah yang sangat dinamis dan berkembang secara cepat. 7 Ulama sepakat menyebutkan adanya
dua makna dari syar'iyyah itu sendiri, ada arti arti secara umum dan arti secara khusus. Acara khusus
syar'iyyah disebutkan sebagai pengaturan dari berbagai urusan manusia dengan syar'iat agama Islam.
Secara khusus syar'iyyah dimaknai sebagai aturan serta kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin
dengan maksud mengatasi suatu masalah yang timbul atau sebagai solusi dalam suatu keadaan
tertentu.

Berikut beberapa definisi siyasah syar’iyyah (hukum politik Islam) menurut berbagai ahli: 8

1. Menurut Ibnu Nujaim, siyasah syariyyah adalah: “Suatu tindakan atau kebijakan yang dilakukan
seorang penguasa demi kemaslahatan yang dipandangnya baik, meskipun belum ada dalil/argumentasi
yang terperinci yang mengaturnya.”

5
Deddy Ismatullah, Asep A Sahid Gatara Fh "Ilmu Negara: Dalam Multiprespektif Kekuasaan" 2017

6
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.

7
PETITA, Vol 2, No. 1, 2017

8
Dr. Akram Kassab, ‘Al Siyasah Al Syar’iyyah, Mabadi’ Wa Mafahim, Dhawabith Wa Mashadir’ (Makalah Jurnal Online
International Union for Muslem Scholars (IUMS)).
2. Menurut Ibnu ‘Aqil al Hanbali, siyasah syariyyah adalah: “Suatu tindakan atau kebijakan yang
membawa umat manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan,
meskipun tidak ada hadis yang mengaturnya atau wahyu yang turun (terkait hal itu).”

3. Menurut Abdurrahman Taj, siyasah syariyyah adalah: “Suatu nama bagi kumpulan aturan dan prilaku
dalam mengatur urusan ketatanegaraan Islam di bidang pemerintahan, perundang-undangan, peradilan,
dan semua kekuasaan eksekutif, administratif, serta aturan hubungan luar negeri yang terkait dengan
bangsabangsa lain.”

4. Menurut Abdul wahab Khallaf, siyasah syariyyah adalah: “Suatu ilmu yang membahas tentang urusan
ketatanegaraan Islam dari sisi aturan perundangundangan dan sistim yang sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam, meskipun tidak ada dalil khusus mengenai hal itu.”

5. Menurut Yusuf Al Qaradhawi, siyasah syariyyah adalah: “Politik yang bersendikan kaedah-kaedah,
aturan dan bimbingan syara’.”

6. Menurut Abdul ‘Al ‘Atwah, siyasah syariyyah adalah: “Kumpulan hukum dan sistem dalam mengatur
urusan umat Islam dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan ruh syari’at, menjalankannya
berdasarkan kaedah-kaedah yang umum, serta merealisasikannya sesuai dengan tujuan masyarakat.”
7. Menurut Sa’ad bin Mathar al ‘Utaibi, siyasah syariyyah adalah: “Setiap kebijakan apa saja yang
ditetapkan oleh para pemimpin (ulil amri), berupa aturan-aturan serta teknis prosedur pelaksanaan yang
terkait dengan kemaslahatan, meski tidak ada dalil syara’ yang khusus terkait hal itu, selama tidak
bertentangan dengan syari’at.”

d. Ba'iah

Secara bahasa Ba"iah berarti"jual beli", ba'iah merupakan salah satu bentuk akad antara penjual dengan
pembeli dalam suatu proses transaksi. 9 Dalam sistem pemerintahan, istilah Ba'iah atau sumpah setia
merupakan salah satu bentuk media pemersatu bangsa, baik dalam hal politik maupun diluar politik. Dr
Hamzah Khaeriyah dalam tulisannya "Baiat dan Perilaku Beragama" menyebutkan diantara pengertian
ba'iah diantaranya ialah, "Baiat juga diartikan mengucap sumpah setia kepada pemimpin. Selain itu,
baiat juga berarti pengangkatan dan penobatan (pemimpin) dan janji yang diucapkan dalam upacara
tersebut." Maka dapat disimpulkan bahwa ba'iah pada sistem pemerintahan, dilaksanakan antara
masyarakat dengan calon pemimpinnya yang didasarkan oleh keridhoan.

9
AL QUDS : Jurnal Studi Alquran dan Hadis vol. 6, no 1, 2022

Anda mungkin juga menyukai