Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQH SIYASAH

Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dan Baiat

Disusun Oleh Kelompok 3

Reni Anggraini

Nim: 1811110014

Lokal: HKI 5A

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. H. Sirajuddin M, M.Ag., M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha ESA atas segala rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam memahami materi Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dan Baiat, dalam mata
kuliah Fiqh Siyasah di Prodi Hukum Keluarga Islam.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan dari bentuk maupun isinya.
Oleh karena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan berharap semoga makalah Fiqh
Siyasah tentang Ahl al-Hall wa al-‘Aqd dan Baiat ini bisa memberi ilmu baru dan
bermanfaat bagi pembaca.

Bengkulu, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................2
C. TUJUAN PEMBAHASAN.........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. AHL AL-HALL WA AL-‘AQD.................................................................3


B. BAIAT..........................................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN...........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah negara pernah dikenal pada masa Rasulullah SAW yaitu dengan
berdirinya Madinatul Munawwarah. Kemudian setelah Rasulullah SAW wafat,
mulailah dikenal istilah khalifah atau kekhalifahan yang walaupun dalam
prakteknya masih mengikuti jejak Rasulullah SAW dengan Negara Madinah.
Selanjutnya setelah masa al-Khulafa al-Rasyidun berakhir yaitu setelah khalifah
Ali bin Abi Thalib wafat, maka muncullah pemerintahan Dinasti Ummayah
yang dipimpin oleh Mu’awiyah sampai akhirnya muncul pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Dalam sejarah Islam dikenal istilah khilafah, dikenal pula istilah
Imamah, Imarah, Ahlu al-Halli wa al-Aqdi, dan Baiat. Istilah khilafah adalah
sebutan untuk masa pemerintahan khalifah (masa sahabat al-Khulafa
alRasyidun). Menurut Ibnu Manzhur bisa mempunyai arti sekunder atau arti
bebas yaitu pemerintahan atau institusi pemerintahan dalam Islam. Kata ini juga
analog dengan Imamah yang berarti keimanan, kepemimpinan, pemerintahan,
dan kata Imarah yang berarti keamiran atau pemerintahan. Imarah adalah
sebutan untuk jabatan amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat untuk
melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Pengertian Khalifah, Imamah,
dan Imarah tersebut menunjukkan istilah-istilah yang muncul dalam sejarah
Islam, sebagai sebutan bagi institusi politik untuk menggantikan fungsi
kenabian dalam urusan agama dan urusan politik. Istilah lainnya yang dikenal
di dalam sejarah pemerintahan Islam adalah Ahlu Halli wa al-Aqdi, artinya
ialah orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan
mengikat (mengurai).1 Istilah ini juga kemudian dikenal dengan “parlemen”,
yaitu suatu suatu kumpulan orang-orang yang berhak memilh, mengangkat, dan
memberhentikan kepala perintahan. Di samping istilah tersebut, ada juga istilah
1
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali, 1994), h. 66.

1
lainnya yang berkaitan dengan pemerintahan Islam yaitu “Baiat”, artinya
perjanjian, janji setia atau saling berjanji, dan setia. Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, maka topik pembahasan yang sangat menarik untuk diteliti
lebih mendalam yaitu masalah bagaimana kedudukan Ahlu Halli wa al-Aqdi di
dalam pemerintahan atau negara Islam. Sebab dilihat dari segi kedudukannya di
dalam pemerintahan Islam bahwa Ahlu Halli wa Aqdi itu lebih tinggi di
banding khalifah, Imamah, dan Imarah, karena lembaga ini bertugas memilih
khalifah, imam, dan amir atau memilih kepala negara/kepala pemerintahan.
Pada makalah ini akan dibahas secara lebih rinci lagi mengenai istilah-
istilah penting dalam sejarah lembaga pemerintahan muslim pada bagian ahl al-
hall wa al-‘aqd dan baiat.
A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ahl al-Hall wa al-‘aqd?
2. Apa yang dimaksud dengan Baiat?
B. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Ahl al-Hall wa al-‘aqd.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan baiat.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ahl al-Hall wa al-‘Aqd
Ditinjau dari segi terminologi, Ahl al-Hall wa Al-‘Aqd banyak terjadi
pendapat seperti uraian berikut:
a. Menurut Abd Al Hamid Anshori bahwa Ahl Al-Hall wa Al-Aqd ialah
orang-orang yang berwenang untuk merumuskan serta memutuskan suatu
kebijakan dalam sistem pemerintahan yang didasarkan pada prinsip
musyawarah.
b. Imam al-Mawardi mengemukakan pandangan bahwa dalam kajian fiqih
siyasah terdapat kesamaan anatara Majelis Syuro, Ahl Al-Hall wa
Al-‘Aqd, ahlul jihad dan ahlul ak-ikhtiyar. Konsep Ahl Al-Hall wa Al-
Aqd telah populer semasa pemerintahan Khulafaur Rasyidin ataupun pada
masa Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, namun hanya ide konsep itu
mengemuka pada masa kepemimpinan Umar, yaitu orang-orang yang
bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan gagasan mereka,tetapi
belum terbentuk secara tegas.
c. Ahl-al-hall wa al-‘ aqd menurut al-Bagdadi adalah mereka yang
mempunyai keahlian dalam bidang ijtihad. Maksudnya adalah
sekumpulan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang-bidang
khusus semisal hukum, politik, ekonomi dan sebagainya. Mereka juga
memiliki kemampuan di bidang lain yang menopang peran mereka, juga
memiliki kemampuan di bidang lainnya yang mendukung peran sebagai
wakil rakyat dalam menentukan kebijakan demi kemashlahatan, di
samping juga para wakil rakyat untuk menentukan pemimpin mereka.
Secara bahasa Ahl al-hall wa al-‘Aqd memiliki pengertian ”orang-orang
yang melepas dan megikat” atau ”orang yang dapat memutuskan dan
mengikat”. Sedangkan menurut para Ahli fiqih siyasah, Ahl al-hall wa al-’Aqd
adalah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan

3
menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Atau lembaga perwakilan
yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.2
Keanggotaan dari lembaga ini merupakan representasi dari rakyat yang
nantinya akan memperjuangkan aspirasi politik masyarakat karena
pemilihannya melalui proses yang demokratis dan berlangsung secara langsung
sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Istilah Ahl
al-hall wa al-’Aqd dikalangan para ulama memiliki perbedaan penyebutan, ada
yang menyebutnya sebagai lembaga Ahl al-ikhtiyar, Ahl alsyawkah, Ahl al-
syura, Ahl al-ijtihad dan ulil Amri. Perbedaan istilah tersebut dikarenakan
melihat tugas dan fungsi atau kewenangan dari lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd
tersebut yakni memilih seorang khalifah, menetapkan undangundang,
melakukan musyawarah, dan melakukan controling terhadap kinerja khalifah
didalam menjalankan roda kepemimpinannya. Karena mengacu pada pengertian
“sekelompok anggota masyarakat yang mewakili umat (rakyat) dalam
menentukan arah dan kebijakan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan
hidup mereka”.3
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab lembaga Ahl al-hall wa al-
’Aqd lebih dikenal dengan sebutan Ahl al-syura. Lembaga Ahl al-syura pada
masa itu oleh para sahabat digunakan sebagai media untuk memilih pengganti
kepala negara dan bermusyawarah untuk merumuskan arah kebijakan negara.
Yang menjadi anggotanya adalah para sahabat senior yang ditunjuk oleh
khalifah untuk membantunya dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan
roda pemerintahan. Musyawarah yang dilakukan oleh para sahabat adalah usaha
untuk menjaga tradisi yang dilakukan oleh nabi Muhammad sekaligus
menjalankan perintah Al-Qur’an yang mengganjurkan kepada manusia untuk
melakukan musyawarah apabila ada permasalahan publik yang membutuhkan

2
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h.138.
3
Ibid, h. 238.

4
solusi dan pemikiran cemerlang dari para Ahli. Nabi Muhammad semasa
hidupnya gemar melakukan musyawarah dengan para sahabatnya dalam
menyelesaikan permasalahan umat baik itu permasalahan ekonomi, politik dan
strategi perang. Musyawarah merupakan media untuk mengambil kebijakan
untuk menghindari perilaku yang otoriter dan sewenang-wenang. Dengan
musyawarah masyarakat akan puas terhadap keputusan-keputusan yang dibuat
oleh pemerintah.
Lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd sebagai lembaga dalam sejarah politik
Islam memiliki tugas sebagai berikut:
a. Tugas untuk mengangkat dan memilih khalifah.
b. Tugas untuk memecat dan memberhentiakan khalifah.
c. Tugas untuk membuat undang-undang.4
Sedangkan kewenagan lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd adalah sebagai
berikut:
a. Ahl al-hall wa al-’Aqd memberikan masukan atau
pertimbanganpertimbangan kepada khalifah.
b. Ahl al-hall wa al-’Aqd mempunyai hak untuk menerima tuntutan rakyat.
c. Ahl al-hall wa al-’Aqd mempunyai hak untuk membatasi jumlah kandidat
yang akan menjadi calon khalifah.
d. Khalifah atau presiden hendaknya mengajukan konsep rancangan hukum
atau undang-undang kepada lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd agar dapat
pengesahan.5
Lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd dalam sejarah politik Islam memiliki
keanggotaan yang terbatas dan ditunjuk lansung oleh khalifah. Orang-orang
yang menjadi anggota Ahl al-hall wa al-’Aqd harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:

4
Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 191.
5
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah
Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 180.

5
a. Adil.
b. Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan tersebut
dapat mengetahui siapa saja yang layak menjadi khalifah dan mampu
menciptakan produk undang-undang yang berkualitas.
c. Ahl al-hall wa al-’Aqd harus terdiri dari para pakar menejemen yang
dapat memilih siapa yang lebih pantas untuk menjadi khalifah.6
Kalau menurut imam al-Mawardi Ahl al-Ikhtiyar atau Ahl al-hall wa al-
’Aqd harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki sikap adil.
b. Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui
siapa yang memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai khalifah.
c. Memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka
memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi khalifah.
Melihat tugas, kewenangan dan syarat untuk menjadi anggota Ahl al-hall
wa al ‘Aqd, maka kedudukannya bisa dikatakan sebagai panitia pemilihan
kepala negara atau dewan perwakilan rakyat yang dalam sistem politik
demokrasi tidak langsung memiliki tugas dan kewenangan untuk memilih
presiden dan membuat undang-undang.
Perbedaan antara lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd yang ada dalam sistem
politik Islam klasik dan sistem politik modern khususnya Demokrasi, anggota
Ahl al-hall wa al-’Aqd ditunjuk langsung oleh khalifah sedangkan Dewan
Perwakilan Rakyat keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Umum yang diselenggarakan oleh suatu Komisi yang dibentuk oleh
presiden.
Untuk dapat menjadi anggota dewan perwakilan rakyat pada sistem
demokrasi ada proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik, setelah itu
baru didaftarkan menjadi calon anggota legislatif ke lembaga penyelenggara
Pemilihan Umum. Orang-orang yang dapat direkrut menjadi calon anggota
6
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h.109.

6
legislatif oleh suatu partai politik, terlebih dahulu harus menjadi anggota atau
kader dari partai politik tersebut.
Mekanisme pengambilan keputusan oleh lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd
adalah melalui musyawarah untuk mufakat. Musyawarah merupakan
mekanisme pengambilan keputusan selain melalui Voting dan Lobiying. Begitu
juga dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang ada dalam sistem politik
demokrasi, musyawarah merupakan media untuk mengambil kebijakan dan
keputusan.
Dalam sistem politik demokrasi khususnya di Indonesia yang menganut
sistem multipartai, dimana partai politik yang memiliki perwakilan di parlemen
berdasarkan suara yang diperoleh pada waktu penyelenggaraan Pemilu. Bagi
kader partai politik yang memiliki suara terbanyak berhak untuk duduk di
parlemen untuk mewakili partainya. sehingga dalam sistem politik Indonesia
dikenal istilah electoral threshold yang memiliki pengertian sebagai jumlah
minimum dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan
kursi di lembaga perwakilan rakyat.7
Apabila ditengah perjalanan kader partai poltik tersebut melakukan
pelanggaran atau mengkhianati partai politik pengusungnya dengan cara
berpindah partai politik, maka partai politik pengusung pada waktu pemilihan
calon anggota legislatif berhak untuk melakukan Pergantian Antar Waktu.8
Dalam sistem politik Islam istilah pergantian antar waktu belum dikenal,
tetapi apabila anggota Ahl al-hall wa al-’Aqd melakukan pelanggaran maka
khalifah memiliki kewenangan untuk memberhentikannya sekaligus akan
mendapatkan sanksi moral dari publik. Pergantian antar waktu (PAW) dalam
sejarah politik Islam khususnya dalam Lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd belum
dikenal, tetapi praktek yang terjadi adalah khalifah akan memecat Gubernur

7
Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006),
h.20.
8
Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

7
yang tidak memiliki loyalitas dan yang tidak patuh terhadap peraturan yang
ditetapkan oleh khalifah. Dan dalam prakteknya juga khalifah akan
berkonsultasi kepada lembaga Ahl al-hall wa al-’Aqd sebelum pemecatan
dilakukan. Pemecatan terhadap anggota Ahl al-hall wa al-’Aqd dalam sejarah
politik Islam dilakukan oleh khalifah, karena khalifah memiliki kewenangan
untuk mengangkat dan memberhentikan Ahl al-hall wa al-’Aqd sekaligus
memiliki kewenangan untuk menunjuk hakim negara yang akan ditugaskan
diwilayah kekuasaannya. Tetapi setelah khulafa ar rasyidin khalifah akan
menunjuk anggota Ahl al-hall wa al-’Aqd berdasarkan kedekatan kekeluargaan
dan hanya menjadi legitimasi khalifah untuk menetapkan calon putra mahkota
yang akan melanjutkan estafet kekhalifahan.
B. Baiat
Secara etimologis, istilah bai’at berasal dari kata ba‘a yang berarti
menjual. Dalam perbincangan sehari-hari, bai’at mengandung makna
perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at
selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Secara istilah, bai’at adalah
ungkapan perjanjian antara kedua belah pihak yang seakan-akan salah satu
pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyatakan kesetian diri kepada pihak
kedua secara suka rela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan
kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan
kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.9
Bila dicermati, agaknya pengertian bai’at tersebut mirip dengan teori
kontrak sosial dalam kajian-kajian ilmu politik. Dalam diskusi-diskusi ilmu
politik, teori ini menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia
menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau kepada lembaga
yang disepakati. Pengertian teori seperti dimaksud tentu memiliki implikasi
dalam implementasinya. Yang dimaksud dengan implikasi di sini adalah

9
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 72.

8
sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi
melalui kontrak sosial antara dua pihak.
Implementasi bai’at yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban secara
timbal balik tergambar dalam al-Quran, seperti disebutkan dalam Surat Thaha
(20): 12. Di dalam ayat ini dinyatakan, bila Nabi menerima janji setia dari
wanita-wanita mukmin bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah, tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka,
tidak berbuat dusta, dan mereka tidak akan mendurhakainya dalam urusan yang
baik, maka ia harus menerima janji itu dan memperlakukan mereka dengan baik
serta memohonkan ampun dari Allah kepada mereka.
Pelaksanaan hak dan kewajiban secara timbal balik sebagai konsekuensi
dari bai’at tergambar pula dalam peristiwa bai’at yang dilakukan sekelompok
penduduk Madinah baik yang sudah Muslim maupun yang belum kepada Nabi.
Mereka berkata: Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, kami
membai’atmu ya Rasulullah. Demi Allah kami adalah orang-orang yang mahir
dalam peperangan dan ahli bertempur yang telah kami warisi dari leluhur kami.
Kami dengan kaum Yahudi mengikat perjanjian yang sudah akan kami
putuskan. Tapi apa jadinya kalau ini kami lakukan kelak Tuhan memberikan
kemenangan kepadamu, lalu kamu kembali kepada masyarakatmu dan
meninggalkan kami? Nabi tersenyum dan berkata: Tidak, saya sehidup semati
bersamamu. Kamu adalah bagian dari saya, dan saya adalah bagian dari kamu.
Saya akan memerangi siapa yang kamu perangi, dan saya akan berdamai
dengan siapa saja yang kamu ajak berdamai.10
Perjanjian masyarakat Madinah dengan Muhammad saw. sebagai Nabi
dan Rasul tersebut dikenal dengan bai’at aqabah kedua pada tahun 622 M.
Perjanjian ini merupakan momentum awal bagi kaum Muslimin. Dikatakan
demikian karena perjanjian ini sendiri merupakan suatu peristiwa yang
mengantarkan Nabi dan kaum Muslimin Makkah hijrah ke Madinah, dan
10
Ibid, h. 73.

9
menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas Muslim dan negara di Madinah.
Peristiwa bai’at ini dijadikan oleh para juris sunni sebagai salah satu prinsip
dari prinsip umum teori pemikiran politik mereka dalam kaitannya dengan
pengangkatan khalifah.
Dalam hubungan itu, bai’at adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa
orang berbai’at menerima seseorang yang terpilih menjadi kepala negara
sebagai pemimpinnya dalam melaksanakan urusannya dan urusan seluruh kaum
Muslim. Menurut Abu Zahrah, bai’at merupakan syarat yang disepakati
mayoritas umat Islam sunni dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan
anggota ahl al-hall wa al-aqd, sebagai wakil umat. Mereka mengadakan kontrak
dengan kepala negara terpilih atas dasar kesetiaan dan ketaatan kepadanya
selama ia tidak melakukan maksiat. Karena itu, kepala negara harus
melaksanakan haknya menjalankan kewajiban-kewajiban dan undang-undang
untuk mewujudkan keadilan yang sesuai dengan ketentuan kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya.
Paradigma pemikiran ulama men-jadikan bai’at sebagai salah satu prinsip
dalam melegitimasi kepala negara yang terpilih didasarkan kepada beberapa
peristiwa bai’at yang terjadi dalam sejarah masa Nabi dan Sahabat. Sekelompok
penduduk Madinah berbai’at kepada Nabi ketika beliau hendak hijrah ke kota
itu. Kaum Muslimin yang menyertai Nabi dalam perjalanan ke Makkah untuk
umrah pada tahun 6 H berbai’at kepada beliau di bawah pohon sebelum
perjanjian Hudaibiyah. Penduduk Makkah juga berbai’at kepada Nabi ketika
kota itu ditaklukkan. Demikian juga para sahabat pasca Nabi memberi bai’at
kepada Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali setelah mereka terpilih menjadi
khalifah. Fakta sejarah tersebut menunjukkan praktek kontrak sosial telah
dilakukan oleh umat Islam generasi pertama. Baru beberapa abad kemudian

10
diteorikan oleh al-Mawardi, yaitu pada abad XI. Sedangkan di Eropa teori
kontrak sosial baru muncul untuk pertama kali pada abad XVI.11
Sayangnya benih kontrak sosial tersebut tidak ditumbuh kembangkan
oleh para pakar politik Muslim agar ia menjadi teori yang mapan. Tidak pula
dipraktekkan oleh penguasa Muslim untuk memperoleh kedaulatan negara dan
legitimasinya bersumber dari rakyat. Sebab yang mereka praktekkan adalah
sistem monarki, dan dikatakan kedaulatan khalifah diperoleh dari Allah. Para
pakar Muslim pun sebagian terjebak dengan sistem yang ada dengan
memberikan justifikasi kepadanya.12

11
Munawir Sajadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press,1990), h. 67-69.
12
J. Suyuti Pulungan, op. cit., h. 75.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut: Menurut konsep ajaran Islam bahwa Ahl al-
Hall wa al-’Aqd adalah sekumpulan orang yang mempunyai profesi berbeda
dan mempunyai latar belakang social yang berbeda pula. Syarat-syarat ideal
dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqd yaitu mempunyai ilmu pengetahuan untuk
berijtihad, syarat moral, dan syarat-syarat kedekatan dengan masyarakat.
Adapun latar belakang lahirnya Ahl al-Hall wa al-’Aqd dalam Negara Islam
adalah berawal dari sejarah pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah.
Ahl al-Hall wa al-’Aqd merupakan lembaga parlemen (badan
permusyawaratan) dan sebagai partner kerja pemerintah dalam membangun
maupun menyelesaikan persoalan-persoalan kenegaraan serta Ahl al-Hall wa
al-’Aqd juga merupakan lembaga wakil rakyat. Eksistensi Ahl al-Hall wa
al-’Aqd dalam suatu negara Islam adalah cukup mempunyai peran penting dan
tinggi, karena ia berfungsi sebagai lembaga yang bertugas untuk memilih suatu
kepala negara. Ahl al-Hall wa al-’Aqd berwenang mengarahkan kehidupan
masyarakat kepada kemaslahatan. Kedudukan Ahl al-Hall wa al-’Aqd dalam
kekuasaan Negara adalah sebagai lembaga penentu bagi maju mundurnya suatu
Negara, ia menjadi mitra kerja penyelenggara undang-undang (kekuasaan
eksekutif). Dalam hal pemilihan kepala Negara, ia berkedudukan sebagai
wadah para pemilih yang di dalamnya terdiri dari sekelompok masyarakat
dengan berbagai profesi.
Bai’at adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa orang berbai’at
menerima seseorang yang terpilih menjadi kepala negara sebagai pemimpinnya
dalam melaksanakan urusannya dan urusan seluruh kaum Muslim. Menurut
Abu Zahrah, bai’at merupakan syarat yang disepakati mayoritas umat Islam
sunni dalam pemilihan kepala negara yang dilakukan anggota ahl al-hall wa al-

12
aqd, sebagai wakil umat. Mereka mengadakan kontrak dengan kepala negara
terpilih atas dasar kesetiaan dan ketaatan kepadanya selama ia tidak melakukan
maksiat. Karena itu, kepala negara harus melaksanakan haknya menjalankan
kewajiban-kewajiban dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan yang
sesuai dengan ketentuan kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

13
DAFTAR PUSTAKA
Asfar, Muhammad. 2006. Pemilu Dan Perilaku Memilih 1955-2004. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Hasbi, Artani. 2001. Musyawarah Dan Demokrasi Analisis Konseptual Aplikatif
Dalam Lintas Sejarah Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah Konseptualisasi Doktrin Politik Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Jaelani, Abdul Qadir. 1995. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: Bina
Ilmu.
Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah.
Pulungan, J Suyuti. 1994. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran. Jakarta:
Rajawali.
Sajadzali, Munawir. 1990. Islam Dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press.

14

Anda mungkin juga menyukai