Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KHILAFATISME/ IMAMAH DAN NATION STATE


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Tugas Mata Kuliah Muqaranat al-Mazahib fi al-Siyasah

Dosen Pengampu: Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag.

Disusun oleh:

Mohammad Zahid Hakimi Bin Mat Zain 11160453000037


Fatma Agustina 11150450000010
Wahyu Fathurrahman 11150450000080
Azis Gaffar 11150430000006

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018

1
DAFTAR ISI

Pendahuluan…………………………………………........……...………………………..3

A. Pembahasan Khilafah…...............…………………..…………….……………………4

B. Pembahasan Imamah..........................………………………………………………….5

C. Pembahasan Nation-State………................................................………………………6

D. Analisis Pro/Kontra Antara Khilafatisme Dan Nation State...........................................7

E. Tarjih.............................................................................................................................16

Kesimpulan........................................................................................................................17

Daftar Pustaka…......………….......………….…………………………..………………18

2
PENDAHULUAN

Puji syukur kami panjatkan kehadrat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Khilafatisme/Imamah dan Nation-State”. Juga kami berterima kasih pada Dr. Mujar Ibnu
Syarif, M.Ag. selaku dosen matakuliah Muqaranat al-Madzahib fi al-Siyasah yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasanserta pengetahuan kita tentang bagaimana aplikasi konsep khilafah/imamah dan
negara-bangsa di Indonesia saat ini. Semoga makalah sederhana ini dapat memberi
manfaat untuk kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya, kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Ciputat, 16 Mei 2018


Pemakalah

3
A. PEMBAHASAN KHILAFAH

Khilafah secara etimologi berakar dari akar kata bahasa Arab khalafa-yakhlifu
-khilafatan yang berarti pengganti, wakil, atau mandataris. Sebenarnya dalam fikih
siyasah (fiqih politik) ada dua terma kaitannya dengan bentuk pemerintahan, yaitu
khilafah dan imamah. Terma pertama lebih populer di kalangan kaum Sunni,
sedangkan terma kedua, sering digunakan oleh kaum Syi’ah.
Negara khilafah adalah formasi politik yang didasarkan pada syari’ah Islam
yang dipimpin oleh seorang khalifah. Filsuf Islam Ibn Khaldun mendefinisikan
khilafah sebagai kepemimpinan masyarakat yang berdasarkan syariat, baik dalam
kepentingan-kepentingan akhirat maupun kepentingan-kepentingan dunia yang
kembali kepadanya. Sebab seluruh aktivitas di dunia, disisi Allah, hanyalah sebagai
peranti untuk mencapai kehidupan akhirat. Kekhalifahan ini pada hakikatnya
merupakan pengganti atau wakil Allah dalam menjaga agama dan kehidupan dunia. 1
Jadi, khilafah adalah formasi politik yang didasarkan pada kanun ilahi yang
dipimpin oleh seorang khalifah yang ditunjuk atau dipilih sekaligus sebagai penguasa
politik dan agama. Ibnu Taimiyah didalam karyanya al-Siyasah asy-Syar’iyyah fi
Ishlah al-Ra’i wa al-Raiyyah menyatakan bahwa :

‫ بل ال قيام للدين إال بها‬، ‫يجب أن يعرف أن والية أمر الناس من أعظم واجبات الدين‬
(menegakkan khilafah atau imarah (pemerintahan) juga dianggap sebagai bagian dari
kewajiban agama, bahkan tidak dapat didirikan agama kecuali melaluinya.)2

Al-Maududi menyebutkan bahwa doktrin tentang khilafah yang disebutkan al-


Qur’an ialah bahwa segala sesuatu di atas bumi ini hanyalah karunia dari Allah, dan
Allah telah menjadikan manusia dapat menggunakan pemberian-pemberian sesuai
petunjuk-Nya. Berdasarkan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya
sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Allah yang sebenarnya.3 Pada umumnya

1 Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah, Terjemahan oleh Masturi Ilham, Malik Supar
dan Abidun Zuhri, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2011), hlm. 337.
2 Taqiuddin Abul Abbas Ahmad Bin Taimiyyah, al-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Raiyyah

(Mesir: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 138.


3 Irfan Ardiyansyah, Pergeseran Dari Sistem Khilafah Ke Nation State Dunia Islam, UIR Law Review

Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, hlm. 203.

4
para ulama yang mewajibkan adanya khilafah, mendasarkan pada ijma’ dan logika. Ibn
Khaldun menyatakan; hampir tidak dapat ditemukan adanya orang yang berpendapat
tentang tidak wajibnya khilafah ini, baik secara logika maupun syar’i. Wajib di sini
berarti pelaksanaan hukum syara’. Apabila umat secara menyeluruh telah mampu
merealisasi keadilan dan melaksanakan syariat Islam, maka tidak perlu lagi ada seorang
imam dan fungsi khilafah. Sedangkan menurut Ali Abdul Raziq, baik al-Qur’an, hadis,
maupun ijma’, yang berbicara tentang bai’at, hukum (pemerintahan), atau perintah
untuk menaati uli al-amr, arahnya bukan perintah untuk mendirikan khilafah. Perintah
untuk bai’at, atau menaati uli al-amr, sama sekali bukan berbicara tentang teori
imamah, dan bukan kewajiban agama. Juga tidak berarti Allah telah menetapkan
hukum tertenu bagi masalah-masalah imamah. Sedangkan ijma’ merupakan sesuatu
yang sulit dicari sandarannya dan keotentikannya. 4
Bahkan Ali Abdul Raziq mempertanyakan dasar anggapan bahwa mendirikan
pemerintahan dengan pola khilafah merupakan keharusan agama. Apabila ditinjau dari
segi agama maupun rasio, pola pemerintahan khilafah itu tidak relevan. Raziq
membedakan antara misi kenabian dengan pemerintahan. Misi kenabian bukanlah
pemerintahan dan agama itu bukan negara dan harus dibedakan mana yang Islam dan
mana yang Arab, mana yang agama dan mana yang politik. Raziq tidak sependapat
dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah merupakan
suatu kewajiban, dan tidak ada satupun dasar yang mewajibkan itu, baik al-Qur’an,
hadits maupun ijma’. Memang, ijma’ merupakan sumber ketiga hukum Islam setelah
al-Qur’an dan Sunnah. Abu Bakar sebagai khalifah pertama, sampai sekarang tidak
pernah dilakukan dengan ijma’. Bahkan hampir semua khalifah dari zaman ke zaman
dinobatkan dan dipertahankan dengan kekuatan fisik dan ketajaman senjata.5

B. PEMBAHASAN IMAMAH

Imamah menurut bahasa berarti kepemimpinan. Imam artinya pemimpin,


seperti ketua atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan.

4 Irfan Ardiyansyah, Pergeseran Dari Sistem Khilafah Ke Nation State Dunia Islam, UIR Law Review

Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, hlm. 204.
5 Irfan Ardiyansyah, Pergeseran Dari Sistem Khilafah Ke Nation State Dunia Islam, 206.

5
Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam
juga bisa digunakan untuk al-Qu’ran karena al-Qur’an itu adalah imam (pedoman) bagi
umat Islam. Demikian pula, bisa digunakan untuk Rasulullah saw karena beliau adalah
pemimpin para pemimpin, yang sunnahnya diikuti oleh seluruh pemimpin. Kata imam
juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin
pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.
Penggunaan kata imam (ketua) disebut didalam al-Quran sebanyak 7 kali yang
ditujukan kepada Nabi Ibrahim as yang menjadi kepala negara di Makkah dan Nabi
Musa as yang menjadi kepala negara di Palestina, dan semua manusia yang mempunyai
peran sebagai imam yang berarti kepala negara, pemimpin, ikutan atau pembawa.6
Didalam al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada Cuma imam
(pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin), seperti dalam firman Allah swt :

َ ‫ا‬ َ‫ي‬
َ ِ‫الَّ ََِِ وإ‬
َّ ‫ام‬َ‫ق‬ ِ ‫وجعلَْناهم أَئِ َّم ًة يه ُدو َن بِأَم ِرنَا وأَوحيَنا إِلَي ِهم فِعل الْخير‬
ِ‫ات وإ‬
َ َ َ َ َْ َ َ ْ ْ ْ ْ َ ْ َ ْ َْ ُْ َََ
‫ين‬ ِِ ِ َّ
َ ‫الزَكاِ ۖ َوَكانُوا لََنا َعابد‬
“ Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya
kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (al-Anbiya’:73)

Syeikh Abu Zahrah berpendapat bahwa imamah itu juga disebut khilafah.
Sebab, orang yang menjadi khalifah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang
menggantikan Nabi saw. Khalifah itu juga disebut imam sebab para khalifah adalah
pemimpin (imam) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana
manusia solat di belakang imam.7
Kelompok Khawarij mempunyai pendapat khusus tentang imamah. Munurut
mereka, imamah harus dari hasil pemilihan bebas umat Islam. Dan jika imam telah
terpilih, dia tidak boleh mengalah ataupun diserang. Imam menjadi pemimpin umat

6 Yahaya Jusoh, Sejarah Falsafah Politik Dalam Islam, (Johor Bharu : UTM Press, 2014) hlm 37.
7 Dr. Ali As-Salus, Imamah & Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta : Gema Insani Press,1997) hlm. 16.

6
Islam selama ia berlaku adil, dan barangsiapa meninggalkannya, maka wajib diperangi
untuk membela imam. Tetapi jika imam cacat dan berlaku tidak adil, maka ia wajib
dipecat atau dibunuh. Salah satu sekte Khawarij, an-Najdaat, sepakat bahwa manusia
tidak membutuhkan imam, dan manusia cukup saling menasehati antar mereka. Namun
jika mereka tidak bisa melakukan kewajiban ini tanpa bantuan imam, sehingga mereka
merasa perlu mengangkat imam, maka hal itu tidak mengapa. Jadi menurut mereka,
menetapkan imam itu tidak wajib menurut syar’i, tetapi jaiz.8
Menurut Syiah Zaidiyah atau pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi
Talib, orang yang utama boleh menjadi imam meskipun ada orang yang lebih utama.
Ia berkata (Imam Zaid), “Ali bin Abi Talib adalah sahabat yang paling utama. Namun,
karena pertimbangan kemaslahatan dan kaidah agama, yaitu untuk memadamkan fitnah
dan mempertautkan hati masyarakat, maka khilafah diserahkan kepada Abu Bakar.
Menurut keyakinan Syiah Imamiyah, imamah adalah jabatan ketuhanan yang
dipilih oleh Allah berdasarkan ilmunya-Nya, sebagaimana Dia memilih Nabi saw
untuk menetapkan imam bagi umat dan memerintahkan mereka untuk mengikutinya.
Menurut mereka, Allah swt memerintahkan nabi-Nya untuk memilih Ali sebagai
pemimpin. Rasulullah saw telah menyampaikan risalah Tuhan-Nya, namun setelah
beliau wafat, umat Islam tidak mengikuti perintah Allah dan Rasulnya dan mereka
meninggalkan salah satu fondasi iman. Mereka juga berpendapat, orang yang
meninggal dan tidak mengetahui imam pada masanya, maka dia mati jahiliyyah. Begitu
juga orang meninggal dan belum melakukan baiat kepada imam. 9
Adapun menurut Syiah Jaafariyah tentang imamah adalah sebagai berikut :
a. Imamah adalah salah satu rukun agama.
b. Imamah itu seperti Nabi dalam kemaksuman, sifat dan ilmunya.
c. Pada setiap masa harus ada seorang imam.
d. Para imam adalah ulil amri yang Allah perintahkan untuk ditaati.
e. Imamah harus dengan ketentuan Allah melalui penjelasan Rasulnya.
f. Dua belas orang imam.

8 Dr. Ali As-Salus, Imamah & Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta : Gema Insani Press,1997) hlm. 33.
9 Dr. Ali As-Salus, Imamah & Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, hlm. 36.

7
Telah dimaklumi bahwa di dalam al-Quran tidak terdapat dalil yang dengan
tegas mendukung ide mazhab Ja’fariyah tentang imamah. Untuk mengatasi hal ini,
Syiah berupaya menakwilkan ayat dan menggunakan riwayat tentang asbabun nuzul.
Di antara ayat al-Quran yang digunakan oleh Syiah Ja’fariyah sebagai dalil
tentang imamah adalah :

‫الزَكا َِ َوُه ْم َراكِعُو َن‬


َّ ‫الَّ ََ َِ َويُْؤتُو َن‬
َّ ‫يمو َن‬ ِ ‫إِنَّما ولُِّي ُكم اللَّه ورسولُه والَّ ِذين آمنُوا الَّ ِذ‬
ُ ‫ين يُق‬
َ َ َ َ ُ ُ ََ ُ ُ َ َ
“ Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).” al-Maidah : 55.

Ayat ini mereka namakan sebagai ayat wilayah (imamah). Mereka berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa imam umat Islam setelah Nabi saw adalah Ali bin Abi
Talib. Sebab, lafaz innama (sesungguhnya) menunjukkan arti pembatasan, sementara
kata waliyyukum (pemimpin kamu) menunjukkan orang yang lebih berhak menangani
urusan dan dia wajib ditaati.10

‫ال َوِم ْن‬ ِ ‫ك لِلن‬


َ َ‫َّاس إِ َم ًاما ۖ ق‬ َ ُ‫ال إِنِي َجاعِل‬ ٍ ‫۞ وإِ ِذ ابََلَى إِبر ِاهيم ربُّه بِ َكلِم‬
َ َ‫ات فَأَتَ َّم ُه َّن ۖ ق‬ َ ُ َ َ َْ ٰ ْ َ
ِِ ِ ُ ‫ال َال يَن‬ ِ
َ ‫ال َع ْهدي الظَّالم‬
‫ين‬ َ َ َ‫ذُ ِريََّي ۖ ق‬
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zalim".

Menurut Syiah, ayat diatas membatalkan kepemimpinan setiap orang yang


zalim. Sesungguhnya imamah itu dikhususkan bagi keturunan Ibrahim yang bersih dari
kezaliman. Barangsiapa menyembah selain Allah, walaupun hanya sebentar, maka ia
termasuk zalim. Ali adalah satu-satunua sahabat yang tidak pernah menyembah

10 Dr. Ali As-Salus, Imamah & Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta : Gema Insani Press,1997) hlm. 43.

8
berhala, sedangkan para khalifah lainnya adalah orang zalim yang tidak berhak atas
imamah/khilafah. 11

C. PEMBAHASAN NATION-STATE

Dalam rumusan yang paling dasar, nation-state sering dimengerti sebagai


negara yang penduduknya memandang diri mereka sebagai suatu bangsa. Ia merupakan
entitas legal yang memiliki garis-garis batas geografis di bawah pemerintahan tunggal
yang penduduk di dalamnya memandang diri mereka sebagai saling berkaitan satu
sama lain. Negara bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk
seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang
mengadakan kesepakatan itu.
Negara Bangsa merupakan hasil sejarah alamiah yang semi kontraktual dimana
nasionalisme merupakan landasan bangunannya yang paling kuat. Nasionalisme dapat
dikatakakan sebagai sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total
diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Dalam situasi
perjuangan kemerdekaan, di butuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional
dari tuntunan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat ke-ikutsertaan
semua orang atas nama sebuah bangsa.
Konsep Negara Bangsa (Nation - State) adalah konsep tentang negara modern
yang terkait erat dengan paham kebangsaan atau nasionalisme. Seperti telah
didefinisikan diatas, suatu negara dikatakan telah memenuhi syarat sebagai sebuah
negara modern, setidak-nya memenuhi syarat-syarat pokok selain faktor kewilayahan
dan penduduk yang merupakan modal sebuah bangsa (nation) sebelum menjadi sebuah
negara bangsa maka syarat-syarat yang lain adalah adanya batas-batas teritorial
wilayah, pemerintahan yang sah, dan adanya pengakuan dari negara lain.12

Dr. Ali As-Salus, Imamah & Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta : Gema Insani Press,1997) hlm. 44.
11
12Muhamad Mustaqim dan Muhamad Miftah, Tantangan Negara-Bangsa (Nation-State) Dalam
Menghadapi Fundamentalisme Islam, ADDIN, Vol. 9, No. 1, Februari 2015, hlm. 91.

9
D. ANALISIS PRO/KONTRA ANTARA KHILAFATISME DAN NATION STATE

 PRO KHILAFAH
Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT), namun
sebenarnya secara normatif Khilafah bukan merupakan milik khusus HT, apalagi
ajaran buatan HT. Khilafah sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti
halnya ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan sebagainya.
Khilafah bukan sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang disusupkan ke
dalam Islam atau dipaksakan atas kaum muslimin. Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-
Mazhahib al-Arba’ah, karya Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut
: Darul Fikr, 1996) disebutkan : "Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah
fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang
Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan
orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. (Imam-imam juga sepakat) bahwa
tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai
dua Imam (Khalifah), baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..." . 13
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau Khilafah) adalah
wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Selain
itu, mereka berempat juga menyepakati kesatuan Imamah (wihdatul Imamah).
Tidak boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh kaum muslimin di
dunia. Mereka yang sepakat tadi adalah empat imam dari kalangan Ahlus Sunnah.
Bagaimana dengan kalangan non Ahlus Sunnah? Sama saja, merekapun juga
mewajibkan Khilafah. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa
al-Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan : " Telah sepakat semua ahlus
Sunnah, semua Murji`ah, semua Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya
Imamah (Khilafah), dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang akan

13 Makalah disampaikan dalam Debat Terbuka bertema Nation State Versus Negara Khilafah,
diselenggarakan oleh Komunitas Tabayyun dan Harian Bangsa, di Aula Wisma Bahagia IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Rabu 30 Agustus 2006. Karya dari KH M Shiddiq al-Jawi, Dosen STEI Hamfara Yogyakarta,
Ketua Lajnah Tsaqofiyah DPD I Hizbut Tahrir Indonesia DIY, Pengasuh Ma’had Taqiyuddin an -Nabhani,
Yogyakarta, Pengelola Situs Dakwah www.khilafah1924.org. Sumber dari
http://syabab1924.blogspot.co.id/2010/03/nation-state-dan-khilafah.html diunduh pada 16 Mei 2018 jam
2300.

10
menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-tengah mereka dan mengatur
mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah SAW..." .
Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif, Khilafah
sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam, karena mereka semua
menyepakati akan kewajibannya. Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara
nyata oleh umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak berdirinya Daulah
Islamiyah tahun 622M tatkala Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah hingga
runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924.
Pada masa-masa akhir Khilafah Utsmani di Turki (abad ke-17 s/d ke-19
M), secara internal terjadi kemerosotan pemikiran di kalangan umat Islam. Secara
eksternal, kaum penjajah terus melakukan upaya jahatnya untuk menggoncang dan
menggerogoti tubuh negara Khilafah. Salah satunya adalah berbagai aktivitas
missionatis/zending yang menyebarluaskan tak hanya agama Nashrani yang kafir,
tapi juga paham nasionalisme yang asing. Inilah asal usul masuknya paham
nasionalisme di Dunia Islam.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Maryland dengan program
World Public Opinion.org menunjukkan bahwa dunia Muslim tidak bisa
sepenuhnya menerima konsepsi negara bangsa begitu saja. Survei yang berjudul
“Public Opinion in the Islamic World on Terrorism, al Qaeda, and U. S Policies”
dipublikasikan Februari 2009, ini dilakukan di beberapa negara besar dengan
penduduk mayoritas Muslim yaitu Mesir, Indonesia, Turki, Pakistan, Moroko,
Palestina, Iran, dan Azerbaijan. Survei ini menunjukkan mayoritas dukungan yang
signifikan terhadap kembalinya Khilafah Islam; seperti 70% responden Mesir
meyakini bahwa Mesir harus dihapus untuk menjadi bagian dari super state, 69%
responden Pakistan setuju bahwa negara mereka harus dibubarkan untuk alasan
yang sama, 67% responden Moroko juga menyatakan sikap yang sama, sementara
responden Indonesia hanya mendukung 35%. 14

14Irfan Ardiyansyah, Pergeseran Dari Sistem Khilafah Ke Nation State Dunia Islam, UIR Law Review
Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, hlm. 209.

11
 KONTRA KHILAFAH DAN PRO NATION-STATE
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak yang kontra dengan khilafah
adalah seperti firman Allah swt :
ِ ِ ْ‫ت فَظًّا غَلِي َظ الَْقل‬ ِِ ٍِ
ۖ‫ك‬ َ ‫ضوا ِم ْن َح ْول‬ ُّ ‫ب َالنْ َف‬ َ ‫ت لَ ُه ْم ۖ َولَْو ُكْن‬ َ ‫فَبِ َما َر ْح َمة م َن اللَّه لْن‬
‫ت فَََ َوَّك ْل َعلَى اللَّ ِه إِ َّن‬ ِ ِ ‫فَاعف عْنهم و‬
َ ‫اسََ ْغفْر لَ ُه ْم َو َشا ِوْرُه ْم في ْاْل َْم ِر ۖ فَإِذَا َعَزْم‬
ْ َ ُْ َ ُ ْ
‫ين‬ ِِ ُّ ‫اللَّ َه يُ ِح‬
َ ‫ب الْ ُمََ َوكل‬
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.” (Ali-Imran : 159)

Ayat diatas memberi kebebasan untuk melakukan musyawarah dalam


urusanurusan politik, ekonomi dan hal-hal duniawiyah lainnya. Pada ayat kedua
juga tidak kita temukan bahasan tentang negara. Namun tafsir musyawarah
memang lebih dekat dengan sistem demokrasi saat ini. Beberapa pemikir muslim
menyatakan Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, yang didasarkan pada
ayat ini. Maka apa yang dilakukan Kemal Attaturk diamini oleh Ali abd Raziq
karena Islam tidak menggariskan sebuah bentuk Negara. Nabi Muhamad juga
tidak pernah berbicara soal bentuk Negara. 15
Bagi Gus Dur negara adalah al-hukm - hukum atau aturan. Islam tidak
mengenal konsep pemerintahan yang definitif sehingga etik kemasyarakatan lah
yang diperlukan. Karenanya menurut Gus Dur Islam tidak perlu diformalkan
dalam kehidupan bernegara. Cukup apabila para warga negaranya
memperjuangkan sumbangan dan peranan Islam secara informal dalam

15Ida Zahara Adibah, Islam , Muslim, Dan Perilaku Politik (Konsep Nation State Di Dunia Islam
Kontemporer), hlm. 6.

12
pengembangan demokrasi. Pemikiran Gus Dur tersebut sejalan dengan Pemikiran
Qamaruddin Khan, Dosen Universitas Karachi, yang mengatakan bahwa tujuan
al-Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara melainkan sebuah masyarakat,
sehingga tidak adanya bentuk negara yang baku dalam Islam membawa hikmah
tersendiri. Oleh karena itu, apa pun bentuk serta wujud suatu negara jika di
dalamnya terbentuk sebuah masyarakat Qur’ani, maka itu pun sudah merupakan
tanda-tanda negara Islam. Ketiadaan penjelasan resmi tentang negara
memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan zaman dan menyesuaikan diri
terhadap kondisi dan lingkungan, tempat ia tumbuh dan berkembang. Keinginan
Gus Dur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan formal
dalam bernegara sejalan dengan keinginan sebagian besar warga negara yang
mayoritas Islam. Tampak bahwa Gus Dur tidak menformalkan Islam dalam
memperjuangkan Islam dalam negara yang bukan berasaskan Islam. Menurutnya,
bangsa dan negeri ini bukanlah milik golongan Islam semata, tetapi juga selainnya.
Hal ini juga sesuai dengan perjuangan pluralisme Gus Dur. Akan tetapi asas
tunggal sudah tidak berlaku lagi, maka perjuangan pluralisme yang lain yang
diusahakan Gus Dur adalah perjuangan pluralitas agama. Maksudnya tidak
bersikap diskriminatif terhadap agama selain Islam. Dalam negeri yang plural
seperti Indonesia, harus diberi kesempatan menjalankan dan mengamalkan syariat
agamanya sesuai keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Kenyataan di
atas bukan berarti bahwa bangsa Indonesia sebahagian besar berpaham sekuler
dalam arti hendak memisahkan urusan agama dari negara tetapi tidak lebih pada
keadaan kemajemukan latar belakang agama, budaya, suku, dan kelompok.
Bahkan jika Indonesia menjadi negara Islam dan Islam diterima sebagai dasar
negara, akan terjadi perpecahan di kalangan rakyat Indonesia karena tidak seluruh
rakyat Indonesia umat Islam.16

16Muh. Rusli, Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur, Farabi, Volume 12 Nomor 1 Juni 2015, hlm.
55-56.

13
 KONTRA NATION-STATE
Menurut pendapat K.H. M. Shiddiq al-Jawi, secara praktik, nation-state
bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, dengan
banyaknya nation-state seperti sekarang ini, yaitu sekitar 50-an negara-bangsa di
Dunia Islam, berarti umat Islam telah terpecah-belah dan menjadi lemah.
Dampaknya, hegemoni Barat di bawah AS dewasa ini terus berlangsung tanpa ada
perlawanan berarti dari umat Islam. 17
Adapun pertentangan nation-state dengan Islam, jelas sekali tampak dalam
ikatan pemersatu sebuah komunitas dalam sebuah negara. Dalam nation-state,
ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Dalam Islam, ikatan pemersatunya
adalah akidah Islam, bukan kebangsaan. Hal itu karena dalam al-Quran ditegaskan
berdasarkan dalil :

‫صلِ ُحوا بَْي َن أَ َخَويْ ُك ْم َواتَّقُوا اللَّ َه لَ َعلَّ ُك ْم تُْر َح ُمو َن‬ ِ
ْ َ‫إِن ََّما الْ ُم ْؤمنُو َن إِ ْخَوٌِ فَأ‬
“ Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat .” (al-Hujurat : 10)

Rasulullah saw dalam hadis-hadis sahih juga menegaskan bahwa seorang


Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim (HR Bukhari no. 6551). Beliau juga
menegaskan bahwa orang-orang Muslim itu adalah ibarat tubuh yang satu (HR
Musim no. 2586). Sejalan dengan ikatan akidah Islam tersebut, Islam juga
menegaskan ketunggalan negara Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia, apa
pun suku dan bangsanya, hanya boleh memiliki satu negara yang menaungi mereka,
yaitu satu negara Khilafah saja, di bawah kepemimpinan satu orang khalifah.
Rasulullah saw. telah bersabda, “Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah
yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no. 1853).
Nation-state, dalam pandangan aktivis Muslim, adalah bagian dari apa yang
diistilahkan Yusuf al-Qardhawi, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, sebagai al-hulul

17 https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2015/02/02/khilafah-vs-nation-state/ diunduh pada 16 Mei 2018,


jam 1800 WIB.

14
al-mustawradah (solusi-solusi impor). Dalam tiga volume karyanya yang
berpengaruh, al-Qardhawi mendeklarasikan al-hall al-Islamî faridlah wa dlarurah
(solusi Islam adalah wajib dan niscaya). Dalam pandangannya, kembali kepada
solusi Islam yang benar—seperti dia tandaskan pada volume pertama bukunya—
adalah syarat untuk membongkar solusi-solusi impor seperti liberalisme,
nasionalisme sekular dan sosialisme.18
Menurut Taha Jabir, ada tiga bentuk reaksi dalam menghadapi meresapnya
pemikiran dunia barat kedalam negara-negara Islam,yaitu :1) Kaum Traditional; 2)
Kaum Modernis; 3) Kaum Konservatif. Kaum modernis pada awalnya
mempertahankan konsep dan ide tentang negara Islam. Muhammad Abduh (1894-
1905) dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935) misalnya. Menurut mereka Islam
tidak bisa dipisahkan dari negara. Murid Rasyid Rida yang paling lantang adalah
Hassan al-Bana yang berbicara tentang perlunya Khilafah Islamiah. 19
Menurut Mulkhan, memang ada pemahaman yang berbeda antara kaum
tradisionalis dan modernis serta golongan santri tentang negara Islam. Perbedaan
tersebut terletak pada pemahaman bentuk negara Islam dan strategi dakwah.
Dengan kata lain apakah Islam diwujudkan dalam bentuk politik atau budaya?
Kalau politik maka perlu didirikan negara Islam. Kalau strategi budaya maka
negara menjadi instrumen perwujudan nilai-nilai Islam. Namun dekade terakhir,
perdebatan tentang konsep dan ide tentang negara Islam sudah mulai tabu
dibicarakan, menurut Mulkhan. Negara-bangsa (nation-state) merupakan
kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa
Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara
modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi
kenyataan pluralisme.
Nation-state (negara-bangsa) kata Kalim al-Siddiqui adalah simbol
keterbelakangan, kekalahan dan keterpecah-belahan. Bahkan, nation-state adalah
produk era kehinaan dan ketundukan. Kemerdekaan dan “persamaan kedaulatan”

18 Muhamad Mustaqim dan Muhamad Miftah, Tantangan Negara-Bangsa (Nation-State) Dalam


Menghadapi Fundamentalisme Islam, Addin, Vol. 9, No. 1, Februari 2015, hlm. 98.
19 Ida Zahara Adibah, Islam , Muslim, Dan Perilaku Politik (Konsep Nation State Di Dunia Islam

Kontemporer), hlm. 10.

15
dalam sistem internasional, yang dilindungi oleh PBB, kenyataannya berarti
ketergantungan kepada Barat secara permanen. 20

E. Tarjih
Setelah memaparkan pendapat-pendapat dari sisi pro dan kontra mengenai
khilafatisme dan nation-state, maka dengan kondisi dunia hari ini, pemakalah lebih
cenderung untuk memberi dukungan terhadap gagasan nation-state tanpa perlu
menolak ide khilafatisme. Ini karena melihat kepada kondisi umat Islam pada hari ini
yang kelihatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan semasa berdasarkan pertimbangan
yang ada pada umat Islam seluruhnya pada hari ini. Namun, jika bibit-bibit untuk
menegakkan kembali khilafah Islamiyah sepertimana yang dijanjikan pada akhir
zaman itu sudah begitu jelas maka tiada alasan buat kita untuk tidak mendukung
khilafah. Ide atau gagasan nation-state kalau dilihat dari sudut negatif memang dapat
dikatakan sebagai racun yang bisa membunuh semangat satu akhidah secara perlahan-
lahan, namun umat Islam sendiri harus kuat dalam menjunjung kembali ikatan
persaudaraan antara umat Islam berdasarkan dalil :

‫صلِ ُحوا بَْي َن أَ َخَويْ ُك ْم َواتَّقُوا اللَّ َه لَ َعلَّ ُك ْم تُْر َح ُمو َن‬ ِ
ْ َ‫إِن ََّما الْ ُم ْؤمنُو َن إِ ْخَوٌِ فَأ‬
“ Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat .” (al-Hujurat : 10)
Jika gagasan nation-state itu diikuti persis acuan barat, maka dikhuatiri jati diri
umat Islam semakin hari semakin dimakan oleh doktrin-doktrin barat yang memang
dari dulu berniat untuk menjajah dan menakluki dunia dengan cara apa pun.

20Sahara binti Ali, Skripsi : Pemikiran Politik Kalim al-Siddiqui Tentang Nation-State, Siyasah Syar’iyyah,
UIN Jakarta, hlm. 56.

16
KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang telah dibahas tadi, maka disini pemakalah dapat
menyimpulkan bahwa materi Khilafatisme/Imamah dan Nation-State sangat perlu untuk
dibahas dan dipahami oleh mahasiswa khususnya mahasiswa jurusan Hukum Tata Negara
supaya kelak apabila berdepan dengan persoalan yang berikatan dengan materi ini
setidaknya kita mempunyai bekal dalam membuat keputusan dan memberi pencerahan
kepada orang lain. Semoga pembahasan didalam makalah ini sedikit sebanyak dapat
memberi manfaat buat kita semua dan diakhiri dengan ucapan terima kasih.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adibah, Ida Zahara. Islam , Muslim, Dan Perilaku Politik (Konsep Nation State Di
Dunia Islam Kontemporer), Artikel.

Ali, Sahara. Skripsi : Pemikiran Politik Kalim al-Siddiqui Tentang Nation-State.


2014. Siyasah Syar’iyyah : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ardiyansyah, Irfan. Pergeseran Dari Sistem Khilafah Ke Nation State Dunia Islam.
2017. UIR Law Review Volume 01, Nomor 02, Oktober 2017, Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Persada Bunda.

As-Salus, Dr. Ali. Imamah & Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i. 1997. Jakarta : Gema Insani
Press.

Ibn Khaldun, Abdurrahman bin Muhammad. Mukaddimah. Terjemahan oleh


Masturi Ilham, Malik Supar dan Abidun Zuhri. 2011. Jakarta : Pustaka al-Kautsar.]

Ibn Taimiyyah, Taqiuddin Abul Abbas Ahmad. al-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah


al-Ra’i wa al-Raiyyah. 1983. Mesir: Dar al-Afaq al-Jadidah.

Jusoh,Yahaya. Sejarah Falsafah Politik Dalam Islam. 2014. Johor Bharu : UTM Press.

Mustaqim, Muhamad dan Muhamad Miftah. 2015. Tantangan Negara-Bangsa


(Nation-State) Dalam Menghadapi Fundamentalisme Islam. Jurnal Addin, Vol. 9, No. 1,
Februari.

Rusli, Muh. Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur. 2015. Jurnal Farabi,
Volume 12 Nomor 1 Juni.

https://kuliahpemikiran.wordpress.com/2015/02/02/khilafah-vs-nation-state/
diunduh pada 16 Mei 2018, jam 1800 WIB.

http://syabab1924.blogspot.co.id/2010/03/nation-state-dan-khilafah.html diunduh pada 16


Mei 2018 jam 2300.

18

Anda mungkin juga menyukai