Anda di halaman 1dari 23

KONSEP IMAMAH DAN KALANGAN SYIAH

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Fiqih Siyasah
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Idzam Fautanu, M.Ag

Oleh :
1. Khairul Anam (1213040058)
2. Miftah Farhan Faridi (1213040066)
3. Muhammad Adli Haaizun Ni’am (1213040082)

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam. Atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“KONSEP IMAMAH DAN KALANGAN SYIAH”. Shalawat serta salam
semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Makalah “KONSEP IMAMAH DAN KALANGAN SYIAH” ini


membahas tentang bagaimana Konsep/Sistem Pengangkatan Imamah dan juga
makna Imamah dalam pandangan dari kalangan Syiah

Selama penyusunan makalah ini kami mendapatkan bimbingan Bapak


Prof. Dr. H. Idzam Fautanu, M.Ag. Kami ucapkan terima kasih atas bimbingan
serta arahan yang diberikan guna dapat menyelesaikan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Kami menyadari bahwa makalah


ini masih jauh dari sempurna baik dari penyusunan maupun materi yang
disampaikan. Besar harapan kami bagi pembaca untuk memberikan kritik dan
saran. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Bandung, November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................
C. Tujuan.............................................................................................................................
BAB II.....................................................................................................................3
IMAMAH & KHILAFAH, SISTEM IMAMAH, DAN WILAYAT FAQIH...3
A. Pengertian Imamah dan Khilafah....................................................................................
B. Imamah dengan Sistem Nash dan Penunjukan...............................................................
C. Imamah dengan Sistem Pemilihan (Demokrasi/Syura)................................................
D. Makna Imam dan Wilayat Faqih dalam Pandangan Syiah...........................................
BAB III..................................................................................................................17
PENUTUP...............................................................................................................................
A. KESIMPULAN............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rasulullah Saw diutus oleh Allah Swt ke persada bumi ini untuk
dijadikan sebagai panutan bagi masyarakat/ummat di dunia hingga akhir
zaman. Bukan hanya sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah saja, melainkan
lebih daripada itu. Rasulullah dijadikan sebagai hakim yang adil di tengah-
tengah masyarakat. Menjadi hakim sudah tentu harus bersifat adil kepada
semuanya, dan hal itu telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw sehingga
Rasulpun dapat disebut dengan Nabi yang hakim.
Lebih dari itu, selain menjadi hakim Rasulpun diangkat menjadi
pemimpin masyarakat serta kepala negara dalam sebuah tatanan kehidupan
masyarakat pada masa beliau. Masyarakat menjdikan sebagai pemimpin
karena Rasul mempunyai sifat-sifat yang layak menjadi pemimpin
diantaranya Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Hal itu pun pada
dasarnya memamng sudah menjadi sifat yang wajib adanya di dalam diri
seorang Rasul Allah. Maka tak heran jika kepemimpinan Rasul sangatlah
amat baik.
Hal itu pun sudah menjadi bukti dari firman Allah yang
mengatakan bahwa Allah menciptakan seorang khalifah di persada bumi
ini, untuk mengelolan tatanan bumi dunia sebagai perwujudan pemimpin.
Setelah Rasul Saw wafat jabatan pemimpin pun kosong dan para
shahabat merasa bingung untuk memilih siapa orang yang pantas
menggantikan Rasul sebagai pemimpin ummat. Pemimpin pun dapat
disebut dengan istilah Imam.
Seiring berjalannya waktu Imam pengganti Rasul atau dikenal
dengan istilah khalifah akhirnya didapatkan, yakni diantaranya ialah Abu
Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Yang disebut dengan istilah Khulafaur Rasyidin
Selama jalannya pemerintahan Khulafaur Rasyidin tentunya
terdapat pergantian jabatan melalui seseorang, dan di dalamnya pun tidak

1
terlepas dari bagaimana sistem pengangkatan dari khalifah satu ke khalifah
lain.
Namun selain itu, dalam perjalanannya terdapat hal yang tidak
disukai oleh suatu golongan yang menentang kekhalifahan selain khalifah
Ali yakni golongan Syiah. Mereka beranggapan bahwasanya yang pantas
menjadi Imam ialah hanya Imam Ali bin Abi Thalib. Hal ini pun didasari
oleh peristiwa Gadir Khum dan juga pada saat Rasulullah wafat Ali serta
ahlul bait dan para shahabat yang mengikutinya sedang mengurusi
pemakaman Nabi, ada sebagian kelompok yang sedang berkumpul di
masjid untuk menentukan siapa pengganti Rasul karena untuk menunjang
kemaslahatan ummat. Hal itu pun sampai pada ahlul bait dan terjadi tanpa
adanya kabar terhadap Ahlul Bait. Maka dari sinilah kemudian Syiah
menolak ketiga Imam/Khalifah selain Ali bin Abi Thalib.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai
bagaimana sistem pengangkatan dalam Imamah dan juga dibahas
mengenai pengertian Imamah dan Khalifah, serta pandangan kalangan
Syiah terhadap Imamah dan Wilayat Faqih yang berada di kalangan Syiah
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengertian Imamah dan Khilafah ?
2. Bagaimana Imamah dengan Sistem Nash/Penunjukan ?
3. Bagaimana Imamah dengan Sistem Pemilihan ?
4. Bagaimana Makna Imam dan Wilayat Faqih menurut kalangan Syiah ?
C. Tujuan
Tujuan makalah yang kami susun ini tidak lain ialah untuk :
1. Mengetahui Pengertian Imamah dan Khalifah
2. Mengetahui Sistem Imamah dengan Nash/Penunjukan
3. Mengetahui Imamah dengan Sistem Pemilihan (Demokrasi/Syura)
4. Mengetahui pandangn kalangan Syiah terhadap Imamah dan Wilayat
Faqih Syiah

2
BAB II
IMAMAH & KHILAFAH, SISTEM IMAMAH, DAN WILAYAT FAQIH
A. Pengertian Imamah dan Khilafah
Imamah adalah isim mashdar atau kata benda dari kata amama yang
artinya “di depan.” Sesuatu yang di depan disebut dengan “imam.” Itulah
sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari, kata imam sering dimaknai untuk
menunjuk orang yang memimpin shalat jamaah. Arti harfiah dari kata
tersebut adalah orang yang berdiri di depan untuk menjadi panutan orang-
orang yang di belakangnya. Dengan demikian, imam berarti orang yang
memimpin orang lain. Sementara itu, imamah adalah lembaga
kepemimpinan.1 Senada dengan perkataan Hasan Ibrahim Hasan di dalam
bukunya bahwa kata “imam” pada dasarnya kata ini merupakan kata
pinjaman dari imam dalam shalat. Atas dasar ini orang-orang Syi’ah
menggunakan kata tersebut dengan alasan karena mereka berkeyakinan
bahwa anggota Ahlul Bait Alawi merupakan keluarga yang dikuduskan.
Nabi adalah imam dalam shalat dengan asumsi bahwa beliau adalah
pemimpin kaum muslimin. Ketika beliau sakit yang mengantarkannya
berpulang ke hadirat Allah, maka Abu Bakar disuruh untuk menjadi imam
kaum Muslimin dalam shalat. Posisi Abu Bakar sebagai imam dalam
shalat menggantikan Nabi merupakan dalil yang sangat penting yang
menjadi acuan Ahlu Sunnah bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling
berhak untuk menjadi khalifah sesudah Nabi. Para khalifah telah menaruh
perhatian besar untuk menjadi imam kaum Muslimin dalam shalat, karena
hal ini merupakan sifat seorang pemimpin. Sehingga oleh karenanya
menjadi imam dalam shalat merupakan tugas sangat utama bagi para
gubernur di berbagai wilayah Daulat Islamiyah.2 Imamah adalah prinsip
akidah islamiyah yang paling penting dan terkenal, khususnya di kalangan

1
Moch. Fachruroji, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep
Khilafah, Imamah dan Imarah”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008,
h. 298. Yang mengutip dari Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar
Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57 
2
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1,
h. 297-298

3
mazhab syi’ah. Imamah merupakan kaidah dasar akidah kaum Muslimin
umumnya dan khususnya para penganut Syi’ah.3
Sedangkan Al-Khilafah menurut bahasa merupakan mashdar dari
kata kerja khalafa. Dikatakan: Khalafahu-khilafatan, artinya sebagai
pelanjut sesudahnya. Bentuk jamak daripadanya adalah: Khalaif dan
khulafa.4 Khalifah “penerus Nabi” merupakan jabatan yang dipangku para
Sahabat setelah Nabi wafat. Pengertian penerus Nabi pun bukanlah siapa
yang akan menggantikan Muhammad sebagai Nabi, melainkan
menggantikan sebagai pemimpin umat. Khalifah merupakan singkatan dari
khalifah Rasulillah. Khalifah adalah penguasa tertinggi. khilafah adalah
pemerintahannya.5
Sedangkan al-khilafah menurut istilah yaitu kepemimpinan umum
dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW. Dalam hal
ini Ibnu Khaldun berkata “Al-Khilafah adalah membawa seluruh manusia
sesuai dengan tuntutan syara’ demi kemaslahatan ukhrawi dan duniawi
mereka. Dalam hal ini dunia tidak terkecuali, karena seluruh ihwal dunia
juga dalam pandangan syara’ dianggap sebagai sarana untuk meraih
kemaslahatan akhirat. Dengan demikian, hakikat seorang khalifah adalah
sebagai pengganti dari pemilik syara’ (Allah SWT) yang diserahi amanat
untuk menjaga agama dan politik dunia.6
Khilafah (kekhalifahan) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
adalah sesuatu yang dicadangkan agar sesorang menjadi pelanjut atas
seseorang. Atas dasar ini, maka orang yang menjadi pelanjut Rasulullah
dalam melaksanakan hukum syara’ disebut khalifah. Khalifah juga
dinamai dengan imam, karena seorang khalifah menyerupai seorang imam
dalam shalat yang harus diikuti dan diteladani oleh makmum. Imam An-
Nawawi menjelaskan “seorang imam boleh disebut khalifah, imam, dan

3
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Konstruksi Sosiologi Pengetahuan dalam
Autentisitas Ideologi dan Agama, (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2012), cet. 2, h. 3
4
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1,
h. 276
5
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 67-68
6
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1,
h. 276-277

4
amîrul mu`minin”. Sementara itu Ibnu Kholdun menyatakan “ketika
hakikat kedudukan ini sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa imamah
adalah wakil dari pemilik syariat dalam hal menjaga agama dan mengatur
dunia dengan agama, maka ia disebut khilafah dan imamah. Sedangkan
orang yang melaksanakannya disebut khalifah dan imam”. Pendapat ini
diambil oleh Muhammad Najib al-Muthi’i dalam at-takmilah lil majmu’
lin nawawi dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa “imamah, khilafah
dan amirul mu`minin adalah sinonim.7
Allamah Thabaththaba’i memiliki pandangan bahwa seorang imam
telah ditunjuk oleh Allah SWT. sepeninggal Rasulullah Saw., dengan
tujuan untuk menegakkan budaya dan hukum-hukum agama dan
membimbing umat di jalan kebenaran. Itulah sebabnya, konsep imamah
lebih banyak ditemui dalam literatur Syi’ah. Dan, hal ini kemudian
menyebabkan konsep imamah justru lebih banyak ditemui dalam wilayah
kajian akidah, termasuk salah satu masalah Ilmu Kalam.8
Dipandang demikian karena bermula dari masalah imamah ini
timbul aliran-aliran Ilmu Kalam. Sampai hari ini, di kalangan Syi’ah
terdapat ajaran keimanan kepada imamah yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah,
Rasul-rasul, Hari Akhir, dan Qadha-qadar. Pendeknya, pemikiran ini
muncul dalam ungkapan “Islam sebagai al-dîn wa al-dawlah,” Islam
adalah agama dan negara. Hal ini tentu sangat penting untuk memberikan
penegasan kepada kaum sekuler yang berpandangan bahwa agama adalah
agama dan negara adalah negara dan diantara keduanya tidak ada
hubungan sama sekali.9
Sir Thomas Arnold menyebutkan beberapa aspek yang bermiripan
dan berlainan di antara dua sistem pemerintahan yang pernah berdiri pada

7
Abdullah Ad-Damiji, Imamatul Udzma Konsep Kepemimpinan dalam Islam, (Ummul
Qura), h. 44
8
Moch. Fachruroji, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep
Khilafah, Imamah dan Imarah”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008,
h. 299
9
Moch. Fachruroji, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep
Khilafah, Imamah Dan Imarah”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008,
h. 298-299

5
abad pertengahan: Kedua sistem tersebut adalah sistem kekhalifahan di
Timur dan sistem kekaisaran di Romawi yang dikuduskan di Barat, seraya
berkata “kedua sistem tersebut bersandar pada kekuatan agama, dimana
keduanya bersifat internasional yang berorientasi agar dunia bergabung
dan berada di bawah benderanya. Hal ini sesuai dengan apa yang kita
temkan di Barat bahwa di sana terdapat dua penguasa salah satunya adalah
penguasa zamani (penguasa yang dibatasi oleh waktu) yaitu kaisar.
Sedangkan yang kedua yaitu penguasa yang bersifat spiritual yaitu Paus.
Sedangkan kekhalifahan tidak didirikan berdasarkan sistem politik
sebelum kekhalifahan lahir. Sebab, kekhalifahan adalah merupakan sistem
baru yang diciptakan oleh situasi dan kondisi yang muncul sesudah Islam
lahir dan sesudah bangsa Arab berkuasa atas negeri Persia. Seorang
khalifah adalah sebagai penguasa zamani dan spiritual dimana sebagai
penguasa keagamaan dia tidak melampaui dari sebagai pemelihara agama.
Kemudian sebagai pelindung agama dia berhak untuk menyatakan perang
kepada orang-orang kafir dan menghukum orang-orang yang menentang
agama, juga berhak mengimami orang-orang dalam shalat dan
menyampaikan khutbah Jum’at. Hal ini berbeda dengan posisi Paus yang
hanya dianggap sebagai pendeta paling tinggi yang berwenang
mengampuni kesalahan orang-orang berdosa dan sebagai rujukan tertinggi
dalam urusan-urusan agama.10

B. Imamah dengan Sistem Nash dan Penunjukan


Mujar Ibnu Syarif, beliau merinci ada tujuh macam model
pengangkatan Kepala Negara yang dipraktikkan di masa awal
pertumbuhan Islam, meliputi metode penunjukan langsung oleh Allah,
metode pemilihan oleh ahl al-halli wa al-`aqdi, metode penunjukan
melalui wasiat, metode pemilihan oleh tim formatur atau dewan
musyawarah, metode revolusi atau kudeta, metode pemilihan langsung
oleh rakyat, dan metode penunjukan berdasarkan keturunan.11
10
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1,
h. 276-277
11
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam
dan Demokrasi Barat”, dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014, h. 43-44

6
Namun, Pada masa Khulafaur Rasyidin sistem pengangkatan
khalifah sedikitnya ada dua cara yang pertama yaitu dengan sistem nash
dan pengangkatan (wasiat dari khalifah sebelumnya) dan yang kedua
pemilihan melalui dewan syûrâ atau pemilihan dari ahlul halli wal ‘aqdi.
Sebagian kalangan ahlussunnah wal jamâ’ah berpendapat bahwa
adanya nash untuk khalifah Abu Bakar dan Nabi sudah mewasiatkan
khilafah untuk Abu Bakar. Kalangan ini terbagi menjadi dua pendapat;
Pertama: mengatakan nash khofy (samar) pendapat ini mengatakan
adanya nash samar dan isyarat untuk Abu Bakar sebagai khalifah
sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini dinyatakan bersumber
dari Hasan Al-Bashri dan sekelompok ahli hadis juga salah satu riwayat
dari Imam Ahmad. Pendapat ini mereka sandarkan kepada dalil berikut:
Nabi memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat.

َ َ‫ال َح َّدثَنِي َأبِي ق‬ ٍ ‫ص بْ ِن ِغي‬


ِ ‫َح َّد َثنَا عُ َم ُر بْ ُن َح ْف‬
ُ ‫ال َح َّد َثنَا اَأْل ْع َم‬
‫ش َع ْن‬ َ َ‫اث ق‬ َ
ِ ‫شةَ ر‬
َ‫ض َي اللَّهُ َع ْن َها فَ َذ َك ْرنَا ال ُْم َواظَبَ ة‬ ‫ِ ِئ‬ َ َ‫اَأْلس َو ِد ق‬ ِ ‫ِإ‬
َ َ ‫ال ُكنَّا ع ْن َد َعا‬ ْ ‫يم َع ْن‬
َ ‫ْب َراه‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ُ ‫ت لَ َّما م ِرض رس‬ ِ ‫الص اَل ِة والت‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ ْ َ‫يم لَ َه ا قَ ال‬
َ ‫َّعظ‬
ْ َ َّ ‫َعلَى‬

َ ‫الص اَل ةُ فَ ُأذِّ َن َف َق‬


‫ال ُم ُروا َأبَا بَ ْك ٍر‬ َّ ‫ت‬ْ ‫ض َر‬ ِ ِ‫ات ف‬
َ ‫يه فَ َح‬ َ ‫ض هُ الَّ ِذي َم‬
َ ‫َو َس لَّ َم َم َر‬

َ ‫ام ِفي َم َق ِام‬


‫ك لَ ْم‬ َ َ‫يف ِإذَا ق‬
ِ ‫َّاس فَِقي ل لَ هُ ِإ َّن َأب ا ب ْك ٍر رج ل‬
ٌ ‫َأس‬ ٌ َُ َ َ َ ِ ‫ص ِّل بِالن‬
َ ُ‫َفلْي‬

َ ‫اد الثَّالِثَ ةَ َف َق‬


‫ال ِإنَّ ُك َّن‬ َ ‫َأع‬
َ َ‫ادوا لَ هُ ف‬
ُ ‫َأع‬
َ َ‫اد ف‬
َ ‫َأع‬ ِ ‫ص لِّ َي بِالن‬
َ ‫َّاس َو‬ ِ
َ ُ‫يَ ْس تَط ْع َأ ْن ي‬

‫ص لَّى‬ ِ ‫ص ِّل بِالن‬ ِ


َ َ‫َّاس فَ َخ َر َج َأبُ و بَ ْك ٍر ف‬ َ ُ‫ف ُم ُروا َأبَ ا بَ ْك ٍر َفلْي‬
َ ‫وس‬
ُ ُ‫ب ي‬
ُ ‫ص َواح‬
َ
ِ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم م ْن َن ْف ِس ِه خ َّفةً فَ َخ َر َج ُي َه‬
‫ادى َب ْي َن‬ َ ‫َف َو َج َد النَّبِ ُّي‬
ِ ِ َّ‫رجلَي ِن َكَأنِّي َأنْظُر ِرجلَي ِه تَ ُخط‬
َ ‫اد َأبُو بَ ْك ٍر َأ ْن َيتََأخ‬
‫َّر فَ َْأو َم َأ‬ َ ‫ان م ْن ال َْو َج ِع فَ ََأر‬ ْْ ُ َُْ

‫س ِإلَى َج ْنبِ ِه‬ ِ ِ ِ َ َ‫ِإلَي ِه النَّبِ ُّي صلَّى اللَّهُ َعلَي ِه وسلَّم َأ ْن م َكان‬
َ َ‫ك ثُ َّم ُأت َي به َحتَّى َجل‬ َ َ ََ ْ َ ْ

7
‫ص لِّي‬ ِ
َ ُ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ي‬
َ ُ‫ص لِّي َوَأبُ و بَ ْك ٍر ي‬ ِ ‫قِي َل لَِأْل ْع َم‬
َ ‫ش َو َك ا َن النَّبِ ُّي‬

َ ‫ص اَل ِة َأبِي بَ ْك ٍر َف َق‬


‫ال بَِرْأ ِس ِه َن َع ْم‬ َ ِ‫ص لُّو َن ب‬
َ ُ‫َّاس ي‬
ِِ
َ ِ‫ب‬
ُ ‫ص اَل ته َوالن‬

َ َ‫اد َأبُ و ُم َعا ِويَ ةَ َجل‬


‫س َع ْن‬ َ ‫ض هُ َو َز‬ ِ ‫َر َواهُ َأبُ و َد ُاو َد َع ْن ُش ْعبَةَ َع ْن اَأْل ْع َم‬
َ ‫ش َب ْع‬

‫صلِّي قَاِئ ًما‬


َ ُ‫سا ِر َأبِي بَ ْك ٍر فَ َكا َن َأبُو بَ ْك ٍر ي‬
َ َ‫ي‬
“Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh bin Ghiyats
berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku berkata, telah
menceritakan kepada kami Al A'masy dari Ibrahim dari Al Aswad
berkata, "Kami pernah bersama 'Aisyah ketika kami menceritakan
tentang masalah menekuni shalat berjama'ah dan mengutamakannya.
Maka Aisyah pun berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sedang sakit yang membawa pada ajalnya, waktu shalat tiba
dan dikumandangkanlah adzan. Beliau lalu bersabda (kepada para
isterinya): "Suruhlah Abu Bakar untuk memimpin shalat bersama orang-
orang." Lalu dikatakan kepada beliau, "Sesungguhnya Abu Bakr adalah
orang yang lemah dan mudah menangis (saat membaca Al Qur'an). Dia
tidak akan mampu menggantikan posisi Tuan untuk memimpin orang-
orang shalat." Beliau kembali mengulangi ucapannya, dan mereka juga
memberi jawaban yang sama. Hal itu terus berulang hingga tiga kali,
akhirnya beliau pun bersabda: "Kalian ini seperti isteri-isteri Yusuf!
Perintahkanlah Abu Bakr agar memimpin shalat." Maka keluarlah Abu
Bakr memimpin shalat jama'ah. Beliau kemudian merasa agak segar
badannya, sehingga beliau keluar ke masjid dengan diapit oleh dua
orang, seolah aku kedua kaki beliau menyentuh tanah karena sakit.
Melihat kehadiran beliau, Abu Bakar berniat untuk mundur namun Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mencegahnya dengan isyarat agar ia tetap
pada posisinya. Kemudian beliau di dudukkan di sisi Abu Bakar."
Dikatakan kepada Al A'masy, "Apakah beliau shalat kemudian Abu Bakar
shalat mengikuti shalatnya beliau, dan orang-orang shalat dengan

8
mengikuti shalatnya Abu Bakar?" Lalu Al A'masy menjawab 'Ya' dengan
anggukkan kepalanya." Abu Daud juga meriwayatkannya dari Syu'bah
dari Al A'masy sebagiannya, dan Abu Mu'awiyah menambahkan, "Beliau
shalat dengan duduk di sebelah kiri Abu Bakar, sementara Abu Bakr shalat
dengan berdiri." (HR. Al-Bukhari)12.
As-Suyuthi berkata “ulama mengatakan hadis ini merupakan dalil
paling tegas yang menunjukkan bahwa Abu Bakar As-Siddiq adalah
sahabat terbaik secara mutlak paling berhak atas khilafah dan paling utama
memegang imamah.
Kedua: mengatakan adanya nash sharih (tegas) untuk Abu Bakar.
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ahli hadis, inilah pendapat Ibnu
Hazm az-Zahiri dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami. Golongan ini
menyandarkan pendapatnya pada dalil berikut:
ٍ ‫ح َّد َثنَا يحيى بن يحيى َأ ْخبرنَ ا س لَيما ُن بن بِاَل ٍل َعن يحيى ب ِن س ِع‬
ُ ‫يد َس ِم ْع‬
‫ت‬ َ ْ َْ َ ْ ُ ْ َْ ُ ََ َْ َ ُ ْ َْ َ َ

‫ول‬ ِ ‫ش ةُ ر‬
َ ‫ض َي اللَّهُ َع ْن َه َاو َارْأ َس ا ْه َف َق‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ ‫ت َعا‬ َ َ‫اس َم بْ َن ُم َح َّم ٍد ق‬
‫ال قَ الَ ْ ِئ‬ ِ ‫الْ َق‬

ِ َ‫ك وَأ ْدعُ و ل‬ ِ


ِ ِ ْ َ‫اك لَ و َك ا َن وَأنَا ح ٌّي ف‬ ِ ِ
‫ك‬ َ َ‫َأس َتغْف ُر ل‬ َ َ ْ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ذ‬
َ ‫اللَّه‬

‫اك‬ َ ‫ش ةُ َوا ثُ ْكلِيَ ا ْه َواللَّ ِه ِإنِّي َأَلظُن‬


ُّ ‫ُّك تُ ِح‬
َ ‫ب َم ْوتِي َولَ ْو َك ا َن َذ‬ َ ‫ت َعاِئ‬
ْ َ‫َف َق ال‬

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬


َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ ‫ك َف َق‬ ِ ‫ض َأ ْزو‬
َ ‫اج‬ ِ َ ‫آخ َر َي ْو ِم‬
َ ِ ‫ك ُم َع ِّر ًس ا بَب ْع‬
ِ ‫ْت‬
َ ‫لَظَلَل‬

‫ت َأ ْن ُْأر ِس َل ِإلَى َأبِي بَ ْك ٍر َوابْنِ ِه‬ ُ ‫َو َس لَّ َم بَ ْل َأنَ ا َو َارْأ َس ا ْه لََق ْد َه َم ْم‬
ُ ‫ت َْأو ََأر ْد‬

ُ ‫ول الْ َق اِئلُو َن َْأو َيتَ َمنَّى ال ُْمتَ َمنُّو َن ثُ َّم ُقل‬
‫ْت يَ ْأبَى اللَّهُ َويَ ْدفَ ُع‬ َ ‫فََأ ْع َه َد َأ ْن َي ُق‬

‫ال ُْمْؤ ِمنُو َن َْأو يَ ْدفَ ُع اللَّهُ َويَْأبَى ال ُْمْؤ ِمنُو َن‬

12
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-Âmiyah:
2015), Kitab: Adzan, Bab: Batasan Sakit untuk Tidak Menghadiri Shalat Jama’ah, Nomor Hadis:
624.

9
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah
mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Yahya binSa'id aku
mendengar Al Qasim bin Muhammad mengatakan, Aisyah radliallahu
'anha mengeluh; "Aduh (sakitnya) kepalaku!" Lantas Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam berujar; "Kalaulah aku masih hidup, niscaya
aku memintakan ampun untukmu dan mendoakan bagimu!" Lantas Aisyah
mengatakan; 'Duhai malangnya, demi Allah, aku berprasangka engkau
menyukai kematianku, kalaulah demikian, lebih baik akhir-akhir harimu
menjadi pengantin di rumah salah satu isterimu.' Lantas Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menyahut: "Bahkan aku, aduh sakitnya
kepalaku! Saya berkeinginan sekali untuk mengutus utusan kepada Abu
Bakar dan anaknya dan mewasiatkan (kekhilafahan kepadanya), (karena
aku tidak suka) orang-orang berkata (khilafah untukku atau untuk fulan)
atau (karena khawatir) orang-orang mengangan-angankannya, kemudian
aku katakan; 'Allah enggan (kekhilafahan untuk selain Abu Bakar), dan
orang-orang mukmin menolak (selain dia), " atau dengan redaksi; "Allah
menolak (selain dia) dan orang-orang mukmin enggan (kekhilafahan
untuk selain Abu Bakar)." (HR. Bukhari)13
Namun, Salihun A. Nasir di dalam bukunya mengatakan memang
Nabi Muhammad SAW menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi imam
shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula
Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib
untuk menjaga rumahnya ketika beliau pergi berperang. namun demikian,
beliau tidak pernah menyebut-nyebut penggantinya.14 Dikatakan juga oleh
Hasan Ibrahim Hasan bahwa tidak diperoleh dengan jelas dan tegas nash
dari Nabi SAW yang mengemukakan tentang siapa yang harus menjadi
pemimpin sesudah beliau.15 Dikatakan pula di oleh Rosi Susanti di dalam
skripsinya bahwa Selama berpuluh-puluh tahun Rasulullah SAW
mengemban tugas sebagai Kepala Negara hingga wafatnya, beliau sama
13
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-Âmiyah:
2015), Kitab: Hukum-hukum, Bab: Mengangkat Khalifah, Nomor Hadis: 6676
14
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 2012), cet. 2, h. 75
15
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1,
h. 298

10
sekali tanpa meninggalkan perintah-perintah yang jelas ataupun calon-
calon pengganti atau penunjukkan pengganti beliau. Karena tidak adanya
isyarat-isyarat yang jelas, dan mengambil dasar pada perintah Al-Qur`an
agar segala urusan umat diputuskan secara musyawarah, para sahabat
dengan tepat telah menyimpulkan bahwa sepeninggal Rasulullah SAW,
seleksi dan penunjukan Kepala Negara Islam telah diserahkan kepada
kehendak pemilihan dari kaum Muslim yang harus dilaksanakan sejalan
dengan jiwa perintah Al-Qur`an tersebut.16 wallahu’alam.
Adapun contoh dari pengangkatan khalifah atau imam berdasarkan
penunjukkan dari khalifah sebelumnya adalah seperti pengangkatan
khalifah Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah melalui penunjukkan
sesudah memusyawarahkan dengan kaum Muslimin. Ketika Abu bakar
sakit, sahabat yang ada berkumpul dan Abu Bakar bertanya kepada
mereka: “Apakah kalian akan menerima orang yang saya akan calonkan
sebagai pengganti saya? Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang
terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin
Khattab sebagai pengganti saya.” Para sahabat menjawab: “Kami
mendengar dan kami menaatinya.” 17
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai pengganti, walaupun Nabi
Muhammad SAW. tidak melakukan hal itu menjelang wafatnya. Hal ini
menurut Abd al-Wahhab al-Najjar, ketika Rasulullah SAW. wafat umat
Islam terbagi menjadi dua kelompok dan menetapkan pemimpin mesti
berasal dari kelompoknya. Hal itu terjadi karena Nabi SAW. tidak
menentukan penggantinya sebelum wafat. Apabila Abu Bakar
membiarkan kursi khilafah (kepemimpinan) kosong ketika ia meninggal,
maka umat Islam diperkirakan akan kembali pada perdebatan seperti
terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Bahkan Jalaluddin As-Suyuthi
menjelaskan bahwa kekosongan pemimpin akan melahirkan fitnah yang
16
Rosi Susanti, “Perjuangan HTI Dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyah (Analisis
Terhadap Aktivitas Akhwat HTI Mahasiswi UIN Suska Riau Periode 2013-2014)”. Skripsi
Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Tahun 2014, h.
34
17
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 80-81

11
lebih parah dan lebih dahsyat dibandingkan dengan adanya fitnah dari
orang-orang murtad.
Dalam rangka menjaga stabilitas Negara, agar umat Islam terhindar
dari perpecahan maka penunjukkan Umar menjadi khalifah dilakukan oleh
Abu Bakar dan piagam penunjukkan itu dibuat sebelum beliau wafat.
Kebijaksanaan Abu Bakar diterima masyarakat dan segera membaiatnya
secara beramai-ramai. Umar menyebut dirinya Khalifah khalifati
Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).18
Beliau juga memperkenalkan istilah Amirul Mu’minin (komandan
orang-orang beriman)19 dan tetap menjadikan Madinah sebagai pusat
pemerintahannya.

C. Imamah dengan Sistem Pemilihan (Demokrasi/Syura)


Di dalam sistem khilafah ada sebuah pranata yang disebut Majelis
Syura, disebut juga ahlul halli wal aqdi. Di sebut ahlul hallli wal aqdi
karena mereka adalah kelompok keahlian yang berwewenang menyeleksi
dan memilih pimpinan. Disebut Majelis Syura karena merupakan badan
musyawarah atau badan legislatif.20 Contoh pengangkatan khalifah/imam
dengan sistem ini adalah pengangkatan Utsman bin Affan.
Umar ra. menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah
majelis syûrâ atau tim formatur yang beranggotakan enam orang sahabat
terkemuka, ahlul halli wal ‘aqdi yang pertama dalam Islam21 mereka
adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah,
Az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin
Auf. Umar ra. merasa berat untuk memilih salah seorang diantara
mereka.22 Beliau berkata “Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab

18
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008) h. 37
19
Ibnu Katsir, Sejarah Lengkap Khulafa’ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin
Usman, (Cikumpa: Senja Media Utama, 2018) cet. 1, h. 233
20
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam
dan Demokrasi Barat”, dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014, h. 43-44
21
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 86
22
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008) h. 38

12
tentang perkara ini baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika
Allah SWT. menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Allah akan
membuat kalian sepakat untuk menunjuk seseorang yang terbaik di antara
kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang
yang terbaik setelah Nabi kalian”.
Mereka bermusyawarah di rumah membicarakan tentang urusan ini
hingga akhirnya hanya terpilih tiga kandidat saja. Zubair menyerahkan
jabatan khalifah kepada Ali bin Abi Thalib, Sa’ad kepada Abdurrahman
bin Auf dan Thalhah kepada Utsman bin Affan. kemudian masing-masing
mereka memberikan khutbahnya yang menyebutkan tentang
keistimewaannya dan berjanji jika mendapat jabatan tidak akan
menyimpang dan jika ternyata tidak maka ia akan mendengar dan menaati
orang yang diangkat.23
Berdasarkan penjajagan pendapat yang dilakukan Abdurrahman bin
Auf terhadap anggota formatur yang ada diperoleh dua calon khalifah,
yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya
musyawarahnya dewan formatur menggangkat Utsman bin Affan menjadi
khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab wafat.24
Khusus pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang menganut
model pemerintahan monarki; majlis syûrâ tetap ada, tapi fungsinya tak
ubahnya sekadar lembaga konsultasi yang tidak memiliki wewenang
dalam mengangkat pemimpin pemerintahan. Meskipun memakai
“bungkus” nama khalifah, namun substansinya jauh berbeda dengan
pemerintahan khulafa ar-rasyidin. Bila pada masa khulafaur rasyidin
pengangkatan khalifah ditentukan lewat pemilihan dan baiat, namun di
masa Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah ditentukan oleh khalifah
sebelumnya atau diwariskan secara turun temurun.25

D. Makna Imam dan Wilayat Faqih dalam Pandangan Syiah

23
Ibnu Katsir, Sejarah Lengkap Khulafa’ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin
Usman, (Cikumpa: Senja Media Utama, 2018) cet. 1, h. 412
24
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 86
25
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam
dan Demokrasi Barat”, dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014, h. 43-44

13
Dalam terjemahan surat An-Nisa ayat 65 dikatakan “Demi
Tuhanmu, mereka tidak akan mempercayai kebenaran sampai mereka
menjadikanmu hakim untuk apa yang mereka perselisihkandan menerima
apa yang kamu putuskan dan mereka tunduk kepada keputusanmu dengan
sepenuh hati “. Dalam terjemahan ayat di atas diartikan bahwa Allah
memerintah kepada manusia untuk berbuat adil, dan yang harus berbuat
adil ialah seorang hakim, karena hakim sebagai penengah dalam
kemasyarakatan yang mana untuk menyelasaikan permasalahan harus
dengan adil agar mendapatkan kesejahteraan.
Dalam hal ini Allah Swt telah mengutus seseorang pada suatu
zaman dan berlaku hingga akhir zaman yakni Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah Swt bukan hanya sebagai Nabi
dan Rasul namun beliau pun diutus ke tengah-tengah masyarakat
menjadi seorang hakim hingga nabi pun disebut sebagai nabi yang
hakim.
Selain jabatan hakim yang beliau emban, Nabi pun di sini
sebagai pemimpin/kepala negara dan pemimpin masyarakat Islam, yang
mampu memberikan kebijakan serta keputusan yang tepat dan adil.
Kemudian jabatan Nabi pun dapat dimaknai dengan tiga makna
1. Sebagai wahyu
2. Berdasarkan petunjuk dan perintah agama
3. Sebagai pemimpin masyarakat dengan dipandu wahyu dan juga
terkadang Nabi bermusyawarah dengan shahabat-shahabat
yang lain.
Setelah Nabi wafat maka kedudukan/jabatan imam/pemimpin
masyarakat pun kosong, karena hal inilah kemudian timbul kalangan Syiah
yang memiliki keyakinan bahwasanya Imam yang pantas setelah Nabi
wafat ialah Imam Ali, dengan ditambahkan keyakinan pada peristiwa
Gadir Khum yang dimana Rasulullah sedang duduk dengan Shahabat dan
menyebutkan pengganti Rasul setelah wafat dan kemudian diklaim oleh
kalangan Syiah bahwa pengganti yang dimaksud ialah Ali bin Abi Thalib

14
karena ahlul bait, ketakwaan dan ilmunya yang lebih besar dari shahabat-
shahabat yang lain.
Dalam kalangan Syiah, ada 12 Imam yang dijadikan pemimpin
Syiah terhitung dari Imam yang pertama ialah Ali bin Abi Thalib dan
keturunan dari ahlul bait tersebut. Diantara 12 Imam itu ialah :
1. Ali bin Abi Thalib
2. Al-Hasan bin Ali
3. Al-Husein bin Ali
4. Ali Zainal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Ja’far Shadiq
7. Musa al-Khazim
8. Ali al-Ridha
9. Muhammad al-Jawwad
10. Ali al-Hadi
11. Al-Hasan bin Muhammad al-Askari
12. Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar 26
Menurut kalangan Syiah, Imam itu ialah orang yang terhindar dari
melakukan dosa besar yakni sama halnya dengan Nabi. Para Imam Syiah
dipandang sebagai Imam yang al-Ishmah atau ma’sum yaitu terjaga dari
dosa dan kesalahan dengan alasan bahwa jika imam tidak ma’sum maka
imam tersebut membutuhkan imam yang lain dan juga Imam haruslah
seorang yang ‘alim, faqih, dan ma’sum karena Imam merupakan
pemelihara syari’at. Kemudian kalangan Syiah menjadikan Imamah ini
sebagai prinsip dasar agama. Maka bagi penganut Syiah mestilah
mempercayai Imam yang secara mutlak dan formal ialah orang yang
tepat dalam menggantikan Rasulullah Saw.
Syiah sudah berkembang di daerah Iran sebagai ajaran yang
dominan. Para ulama Syiah di sana berjuan dan berkarya dengan
falsafinya yang disebut wilayat faqih. Wilayat Faqih merupakan masalah
yang telah sama diketahui dan disepakati serta tidak diragukan lagi
26
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Cetakan 1-Jakarta :
Logos (1997), Logos Wacana Ilmu. hal. 78-80

15
kebenarannya oleh kalangan Syiah, karena merekalah yang paling
mengetahui akidah-akidah dan Syariat Islam secara umum. Dalam hal ini
ada 4 hal pokok yang didasarkan oleh Syiah :
1. Allah adalah hakim yang mutlak pada alam semesta dan segala
isinya.
2. Kepemimpinan manusia yang mewujudkan kepemimpinan
Allah di muka bumi ialah para Nabi dan Rasul
3. Garis Imamah melanjutkan garis kepemimpinan Rasul dalam
masyarakat.
4. Para Fuqaha, dimana Fuqaha itu ialah pengganti para Imam
yang dipercayakan kepada mereka atas ummat.

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Imamah adalah isim mashdar atau kata benda dari kata amama yang
artinya “di depan.” Sesuatu yang di depan disebut dengan “imam.”
Imamah adalah lembaga kepemimpinan. Sedangkan Al-Khilafah
menurut bahasa merupakan mashdar dari kata kerja khalafa. al-
khilafah menurut istilah yaitu kepemimpinan umum dalam urusan
agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW.

2. Realitas sejarah pada masa permulaan Islam atau periode klasik telah
mencatat sistem yang diberlakukan dalam pengangkatan khalifah atau
kepala Negara. Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama
dipilih oleh forum musyawarah (semacam majlis syûrâ) dan dibaiat
oleh sekelompok kecil sahabat yang terdiri dari 5 orang, yang dikenal
dengan nama Baiat Saqifah. Mereka adalah Umar bin Khattab, Abu
Udaidah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan Salim. Sementara
Umar ibn Khattab sebagai khalifah kedua ditetapkan melalui pemilihan
langsung dalam suatu baiat umum.

3. Kemudian pemilihan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga


ditentukan dengan membentuk tim formatur atau ahl al-halli wa al-
`aqdi yang terdiri dari enam orang. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib,
Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqas, Abd Rahman bin Auf, Zubair bin
Awam, Thalhah,dan Abdullah bin Umar. Dua belas tahun kemudian Ali
bin Abi Thalib tampil sebagai khalifah keempat melalui pemilihan dan
baiat dari orang banyak, baik dari kelompok Muhajirin maupun
Anshor meskipun ada pihak yang menolak, yaitu Muawiyah Gubernur
Suria yang berasal dari keluarga Usman.

4. Para kalangan Syiah berpendapat bahwa Imam yang berhak ialah


Imam Ali bin Abi Thalib karena beliau ialah keluarga ahlul bait dan
juga dalam ketakwaan dan keilmuannya sangat besar daripada

17
shahabat-shahabat yang lainnya. Dalam Syiah terdapat Dua Belas
Imam yang mereka yakini dimulai dari Imam Ali sampai kepada Imam
al-Mahdi al-Muntazhari. Dan masalaha yang telah sama dan disepakati
serta tidak diragukan lagi dalam kalangan Syiah merupakan wilayat
Faqih. Secara sederhananya pokok dari wilayat Faqih ini ialah Allah
Swt ialah hakim yang mutlak dan pengatur segala semesta, Allah
memilh utusannya yaitu para Nabi dan Rasul, kemudian Allah memilih
orang-orang yang pantas dan berbudi luhur untuk pemimpin ummat
setelah Nabi dan Rasul seperti para Imam dan Fuqaha.
5.

18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Abdullah Ad-Damiji, Imamatul Udzma Konsep Kepemimpinan dalam Islam,
(Ummul Qura)
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-
Âmiyah: 2015)
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-
Âmiyah: 2015)
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Konstruksi Sosiologi Pengetahuan dalam
Autentisitas Ideologi dan Agama, (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute,
2012), cet. 2.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008)
Basyir, Ahmad Azhar., Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994).
Hasan, Ibrahim Hasan., Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003)
cet. 1.
Ibnu Katsir, Sejarah Lengkap Khulafa’ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin
Usman, (Cikumpa: Senja Media Utama, 2018) cet. 1
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik
Islam dan Demokrasi Barat”, dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1,
Juni 2014.
Maria Ulfah, IMAMAH ATAU KHILAFAH, Jakarta, 2018.
Moch. Fachruroji, “Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap
Konsep Khilafah, Imamah dan Imarah”, Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12
Juli – Desember 2008.
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017), cet. 1.
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Pt Raja Grafindo
Persada, 2012)
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Cetakan 1-Jakarta
: Logos (1997), Logos Wacana Ilmu

19
Zulkarnain, KONSEP IMAMAH DALAM PERSPEKTIF SYIAH, Jurnal TAPIs
Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011

20

Anda mungkin juga menyukai