Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ASWAJA
IMAMAH DAN KHALIFAH

Disusun oleh
Kelompok 13:
Nur Hidayat 1130019013
Naila Ferdia Putri 1130019059
Puteri wulaningtyas 1130019066

Dosen Pembimbing:
Siti Maimunah, S.Ag.,M.Pd,I

PROGRAN STUDY S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran allah SWT yang telah memberikan rahmad dan hidayah-
Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Imamah dan
Khalifah ” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah ASWAJA selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang imamah dan khalifah bagi para
mahasiswa. Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun ,akan saya nantikan demi
kesaempurnaan makalah ini

Surabaya, 13 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................1

1.3 Tujuan........................................................................................................................2

1.4 Manfaat.....................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................3

2.1 Definisi......................................................................................................3

2.2 Imamah dengan Sistem Nash dan Pengangkatan (penunjukan)................................6

2.3 Imamah dengan Sistem Pemilihan (Demokrasi/Syura).............................................9

2.4 Kekuasaan Dan Kewenagan Khalifah.....................................................................10

2.5 Karakteristik Pemimpin Dalam Islam ....................................................................13

BAB 3 PENUTUP..................................................................................................................14

4.1 Kesimpulan ..........................................................................................14

4.2 Saran........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................15

iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Istilah Imamah berasal dari kata Imam yang berarti pemimpin. Jadi
imamah berarti kepemimpinan. Dan pada uraian yang lain dapat dijumpai kata
Imam sinonim dengan khalifah. Ali syariah menjelaskan bahwa Imamah
dalam mazhab pemikiran syiah adalah kepemimpinan progressif dan
revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya, guna
membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas pondasi yang
benar dan kuat, yang mengarahkan manusia menuju keselarasan, perubahan
dan kemandirian dalam mengambil keputusan
Sedangkan khilafah berarti penggantian atau suksesi. Maksudnya adalah
penggantian kepemimpinan selepas Nabi Muhammad Saw., bukan dalam
kedudukannya sebagai Nabi namun sebagai pemimpin umat. Orang yang
memegang jabatan khilafah disebut dengan khalifah. Namun demikian, kata
khalifah kemudian lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam
sepeninggal Nabi Muhammad Saw.
Namun jika merujuk kepada konteks kebahasaan aslinya, khalifah yang
dimaksudkan dalam Surat AlBaqarah ayat 30 adalah wakil Allah di bumi.
Tentu saja hal ini memiliki makna yang berbeda, terlebih jika khalifah
dimaknai sebagai pengganti Allah. Manusia sebagai Wakil Allah dapat
dipahami sebagai salah satu perangkat untuk pengelolaan bumi. Hal ini
berarti, Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk menggunakan
potensinya dalam menjaga dam memelihara bumi ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari imamah dan Khalifah?
2. Apa saja kekuasaan dan wewenang Khalifah?
3. Apa saja karakteristik pimpinan dalam islam ?

1
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Diharapkan mahasiswa keperawatan mempunyai wawasan yang lebih dalam
dari pengalaman yang nyata akan adanya imamah dan khalifah
2. Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu mengetahui apa itu imamah dan khalifah
2. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja kekuasaaan dan wewenang
khalifah.
3. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja karakteristik pimpinan dalam
islam.
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui apa itu imamah dan khalifah.
2. Dapat mengetahui kekuasaan dan wewenang Khalifah.
3. Dapat mengetahui apa saja karekteristik pimpinan dalam islam.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah Imamah berasal dari kata Imam yang berarti pemimpin. Jadi
imamah berarti kepemimpinan. Dan pada uraian yang lain dapat dijumpai kata
Imam sinonim dengan khalifah. Ali syariah menjelaskan bahwa Imamah dalam
mazhab pemikiran syiah adalah kepemimpinan progressif dan revolusioner yang
bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya, guna membimbing manusia
serta membangun masyarakat di atas pondasi yang benar dan kuat, yang
mengarahkan manusia menuju keselarasan, perubahan dan kemandirian dalam
mengambil keputusan.
Konsep Imamah merupakan prinsip dasar yang pokok bagi Syiah,
khususnya Syiah Itsna Asyariyah. Bagi mereka, masalah Imamah adalah seperti
rangkaian Tauhid. Barang siapa yang tidak percaya pada Imam sama saja tidak
percaya kalimat syahadat. Orang-orang Syiah Imamiah, percaya sepenuhnya
bahwa Allah mengutus Nabi dan Rasul-Rasul untuk memimpin mereka menuju
jalan Allah. Pada sisi lain, seorang imam adalah orang yang mendapat wasi (‫)وصى‬
wasiat. Pertama adalah Ali bin Abi Thalib, ia mendapat wasiat langsung dari Nabi
menjadi Imam pengganti kedudukan Nabi sesudah beliau wafat, selanjutnya Ali
bin Abi Thalib berwa’siat kepada Hasan bin Ali dan seterusnya sampai kepada
Imam kedua belas. Dalam konsep imamah setiap Imam adalah menjadi pewasiat
terhadap Imam sesudahnya kecuali Ali bin Abi Thalib. Disamping itu seorang
Imam harus ma’shum, mempunyai ilmu yang luas.
Imam mempunyai sifat kekudusan yang diwarisi dari Nabi, dalam arti Ali
bin Abi Thalib menerima waris itu dari Nabi, Hasan dan Husain dari Ali, Ali
Zainal Abidin dari Husain dan demikianlah seterusnya oleh cucu beliau.
Disamping itu Imam mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum. Perbuatan-
perbuatan serta ucapan-ucapan Imam tidak bisa bertentangan dengan syariat.
Dengan demikian bagi kaum Syiah, Imam hampir sama sifat dan kekuasaannya
dengan sifat dan kekuasaan Nabi. Imam dan Nabi sama-sama tidak dapat berbuat

3
salah dan sama-sama dapat membuat hukum. Perbedaannya hanya terletak pada
posisi Nabi yang menerima wahyu sedang Imam tidak menerima wahyu.
Ahmad Muhammad Subhi mengemukakan, bahwa secara garis besarnya
konsep Imamah dalam tradisi Syiah Itsna Asyariyah meliputi lima masalah pokok,
yaitu: wajib adanya Imamah atas Allah. wajib mempercayai kema’suman Imam,
para Imam adalah orang yang berilmu, imamah wajib dipegang oleh Imam utama,
wajib mengenal Imam.
Ajaran Syiah Itsna Asyariyah, imamah merupakan ajaran pokok. Sebab konsep
Imamah merupakan pangkal permasalahan yang membedakan dengan golongan-
golongan poltik Islam lainnya, seperti golongan Khawarij, Sunni, dan aliran
teologi lain.

Sedangkan khilafah berarti penggantian atau suksesi. Maksudnya adalah


penggantian kepemimpinan selepas Nabi Muhammad Saw., bukan dalam
kedudukannya sebagai Nabi namun sebagai pemimpin umat. Orang yang
memegang jabatan khilafah disebut dengan khalifah. Namun demikian, kata
khalifah kemudian lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam
sepeninggal Nabi Muhammad Saw.
Namun jika merujuk kepada konteks kebahasaan aslinya, khalifah yang
dimaksudkan dalam Surat AlBaqarah ayat 30 adalah wakil Allah di bumi. Tentu
saja hal ini memiliki makna yang berbeda, terlebih jika khalifah dimaknai sebagai
pengganti Allah. Manusia sebagai Wakil Allah dapat dipahami sebagai salah satu
perangkat untuk pengelolaan bumi. Hal ini berarti, Allah memberikan
kepercayaan kepada manusia untuk menggunakan potensinya dalam menjaga dam
memelihara bumi ini.
Menurut Muhammad Baqir Al-Shadr, kepercayaan Allah kepada manusia
dengan kekhalifahan di bumi disebabkan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang unik diantara unsur-unsur lain di alam semesta yang berperan sebagai wakil
Allah di bumi dan melalui kekhalifahan ini ia menjadi mulia sehingga para
malaikat bersujud kepadanya.
Superioritas ini, lanjut Shadr, diperkuat oleh kemampuan manusia untuk
memperoleh pengetahuan Ilahi (nama-nama yang diajarkan Allah kepadanya).

4
Menurut Shadr lagi, tinggalnya Adam dan Hawa di surga secara sementara
menunjukkan bahwa surga mereka berdua hanyalah tempat latihan sekaligus
ruang persiapan bagi mereka untuk tinggal di bumi. Pengalaman mereka, lantaran
rayuan syaitan, melakukan dosa dan maksiat, yang diikuti dengan penyesalan,
merupakan intisari penting bagi kehidupan sosial di bumi. Ini disebabkan
pengalaman manusia yang memungkinkannya memperoleh kapasitas intelektual-
spiritual untuk tinggal di bumi dan memandang pada tanggung jawab
kekhalifahan.
Namun demikian, kekhalifahan ini mengimplikasikan bahwa manusia
adalah “agent of God” di bumi, suatu peran yang menunjukkan kehendak
bebasnya, kebebasan untuk bertindak sesuai pemahamannya terhadap misi Ilahi
(divine mission). Dengan demikian, bagaimanapun manusia memiliki potensi
untuk melakukan kebaikan dan kejahatan.
Gagasan di atas mengemukakan pendapat bahwa khilafah, dalam konteks
politik pemerintahan Islam adalah para pemimpin sepeninggal Nabi yang
menggunakan sistem pemerintahan teokrasi dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Mereka bukan hanya pemimpin pemerintahan, tetapi juga pemimpin keagamaan.
Berkaitan dengan term politik kenegaraan. Zainal Abidin mengungkapkan
kembali gagasan Al-Farabi dalam Al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama),
tentang beberapa syarat penting kepemimpinan dalam konteks khilafah antara
lain:
1. Sempurna anggota badannya;
2. Memiliki pengertian yang besar;
3. Memiliki tanggapan yang baik;
4. Memiliki ingatan yang sempurna;
5. Cakap dan bijak dalam berbicara;
6. Mencintai ilmu dan pengetahuan;
7. Tidak hidup mewah dan berfoya-foya;
8. Tidak serakah dan menuruti hawa nafsu;
9. Mencintai kebenaran dan membenci kebohongan;
10. Mencintai keadilan dan membenci kezaliman;
11. Sanggup menegakkan keadilan; dan

5
12. Memiliki penghidupan yang layak.

2.2 Imamah dengan Sistem Nash dan Pengangkatan (Penunjukan)


Mujar Ibnu Syarif, beliau merinci ada tujuh macam model pengangkatan
Kepala Negara yang dipraktikkan di masa awal pertumbuhan Islam, meliputi
metode penunjukanlangsung oleh Allah, metode pemilihan oleh ahl al-halli wa al-
`aqdi, metode penunjukanmelalui wasiat, metode pemilihan oleh tim formatur
atau dewan musyawarah, metoderevolusi atau kudeta, metode pemilihan langsung
oleh rakyat, dan metode penunjukan berdasarkan keturunan.
Namun, Pada masa Khulafaur Rasyidin sistem pengangkatan khalifah
sedikitnya adadua cara yang pertama yaitu dengan sistem nash dan pengangkatan
(wasiat dari khalifah sebelumnya) dan yang kedua pemilihan melalui dewan syûrâ
atau pemilihan dari ahlul halli wal ‘aqdi.
Sebagian kalangan ahlussunnah wal jamâ’ah berpendapat bahwa adanya
nash untuk khalifah Abu Bakar dan Nabi sudah mewasiatkan khilafah untuk Abu
Bakar. Kalangan initerbagi menjadi dua pendapat:
Pertama: mengatakan nash khofy (samar) pendapat ini mengatakan adanya
nashsamar dan isyarat untuk Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi
Muhammad SAW. Pendapat ini dinyatakan bersumber dari Hasan Al-Bashri dan
sekelompok ahli hadis juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini
mereka sandarkan kepada dalil berikut: Nabi memerintahkan Abu Bakar untuk
mengimami shalat.
“Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh bin Ghiyats berkata, telah
menceritakan kepadaku Bapakku berkata, telah menceritakan kepada kami
Al A'masy dari Ibrahim dari Al Aswad berkata, "Kami pernah bersama 'Aisyah
ketikakami menceritakan tentang masalah menekuni shalat berjama'ah
danmengutamakannya. Maka Aisyah pun berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu
'alaihiwasallam sedang sakityang membawa pada ajalnya, waktu shalat tiba
dandikumandangkanlah adzan. Beliau lalu bersabda (kepada para isterinya):
"Suruhlah Abu Bakar untuk memimpin shalat bersama orang
orang."  Lalu dikatakan kepadabeliau, "Sesungguhnya Abu Bakr adalah orang
yang lemah dan mudah menangis(saat membaca Al Qur'an). Dia tidak akan

6
mampu menggantikan posisi Tuan untukmemimpin orang-orang shalat." Beliau
kembali mengulangi ucapannya, dan mereka juga memberi jawaban yang sama.
Hal itu terus berulang hingga tiga kali, akhirnyabeliau pun bersabda: "Kalian ini
seperti isteri-isteri Yusuf! Perintahkanlah Abu Bakragar memimpin shalat." Maka
keluarlah Abu Bakr memimpin shalat jama'ah. Beliaukemudian merasa agak
segar badannya, sehingga beliau keluar ke masjid dengandiapit oleh dua orang,
seolah aku kedua kaki beliau menyentuh tanah karena sakit. Melihat kehadiran
beliau, Abu Bakar berniat untuk mundur namun Nabi shallallahu'alaihi wasallam
mencegahnya dengan isyarat agar ia tetap pada
posisinya. Kemudian beliau di dudukkan di sisi Abu Bakar." Dikatakan kepada 
Al A'masy,"Apakah beliau shalat kemudian Abu Bakar shalat mengikuti
shalatnya beliau, danorang-orang shalat dengan mengikuti shalatnya Abu
Bakar?" Lalu Al A'masymenjawab 'Ya' dengan anggukkan kepalanya." Abu Daud
juga meriwayatkannyadari Syu'bah dari Al A'masy sebagiannya, dan Abu
Mu'awiyah menambahkan,"Beliau shalat dengan duduk   di sebelah kiri Abu
Bakar, sementara Abu Bakr shalatdengan berdiri." (HR. Al-Bukhari) 
As-Suyuthi berkata “ulama mengatakan hadis ini merupakan dalil paling
tegas yang menunjukkan bahwa Abu Bakar As-Siddiq adalah sahabat terbaik
secara mutlak paling berhak atas khilafah dan paling utama memegang imamah.
Kedua: mengatakan adanya nash sharih (tegas) untuk Abu Bakar.
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ahli hadis, inilah pendapat Ibnu Hazm
az-Zahiri dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami. Golongan ini menyandarkan
pendapatnya pada dalil berikut: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yahya telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Yahya binSa'id
aku mendengar Al Qasim
bin Muhammad mengatakan, Aisyah radliallahu 'anha mengeluh; "Aduh (sakitn
ya)kepalaku!" Lantas Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berujar; "Kalaulah
akumasih hidup, niscaya aku memintakan ampun untukmu dan mendoakan
bagimu!" Lantas Aisyah  mengatakan; 'Duhai malangnya, demi Allah, aku berpr
asangkaengkau menyukai kematianku, kalaulah demikian, lebih baik akhir-akhir
harimumenjadi pengantin di rumah salah satu isterimu.' Lantas Rasulullah
shallallahu'alaihi wasallam menyahut: "Bahkan aku, aduh sakitnya kepalaku!

7
Sayaberkeinginan sekali untuk mengutus utusan kepada Abu Bakar dan anaknya
danmewasiatkan (kekhilafahan kepadanya), (karena aku tidak suka) orang-
orangberkata (khilafah untukku atau untuk fulan) atau (karena khawatir) orang-
orangmengangan-angankannya, kemudian aku katakan; 'Allah enggan
(kekhilafahanuntuk selain Abu Bakar), dan orang-orang mukmin menolak (selain
dia), " ataudengan redaksi; "Allah menolak (selain dia) dan orang-orang mukmin
enggan(kekhilafahan untuk selain Abu Bakar)." (HR. Bukhari)
  Namun, Salihun A. Nasir di dalam bukunya mengatakan memang
Nabi Muhammad SAW. menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi imam shalat pada
waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula Nabi Muhammad
SAW pernah menyuruh sahabatAli bin Abi Thalib untuk menjaga rumahnya
ketika beliau pergi berperang. Namun demikian, beliau tidak pernah menyebut-
nyebut penggantinya.
 Dikatakan juga oleh Hasan Ibrahim Hasan bahwa tidak diperoleh dengan
jelas dan tegas nash dari Nabi SAW. yang mengemukakan tentang siapa yang
harus menjadi pemimpin sesudah beliau. Dikatakan pula di oleh Rosi Susanti di
dalam skripsinya bahwa Selama berpuluh-puluhtahun Rasulullah SAW
mengemban tugas sebagai Kepala Negara hingga wafatnya, beliausama sekali
tanpa meninggalkan perintah-perintah yang jelas ataupun calon-calon pengganti
atau penunjukkan pengganti beliau. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang
jelas, dan mengambil dasar pada perintah Al-Qur`an agar segala urusan umat
diputuskansecara musyawarah, para sahabat dengan tepat telah menyimpulkan
bahwa sepeninggalRasulullah SAW, seleksi dan penunjukan Kepala Negara Islam
telah diserahkan kepadakehendak pemilihan dari kaum Muslim yang harus
dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur`an tersebut.
Adapun contoh dari pengangkatan khalifah atau imam berdasarkan
penunjukkandari khalifah sebelumnya adalah seperti pengangkatan khalifah Umar
bin Khattab.
Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah melalui penunjukkan sesudah
memusyawarahkan dengan kaum Muslimin. Ketika Abu bakar sakit, sahabat yang
ada berkumpul dan Abu Bakar bertanya kepada mereka: “Apakah kalian akan
menerima orang yang saya akan calonkan sebagai pengganti saya? Saya

8
bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan
saya telah memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti saya.” Para sahabat
menjawab: “Kami mendengar dan kami menaatinya.”
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai pengganti, walaupun Nabi
Muhammad SAW.tidak melakukan hal itu menjelang wafatnya. Hal ini menurut
Abd al-Wahhab al-Najjar,ketika Rasulullah SAW. wafat umat Islam terbagi
menjadi dua kelompok dan menetapkan pemimpin mesti berasal dari
kelompoknya. Hal itu terjadi karena Nabi SAW. tidakmenentukan penggantinya
sebelum wafat. Apabila Abu Bakar membiarkan kursi khilafah (kepemimpinan)
kosong ketika ia meninggal, maka umat Islam diperkirakan akan kembali pada
perdebatan seperti terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Bahkan Jalaluddin As-Suyuthi
menjelaskan bahwa kekosongan pemimpin akan melahirkan fitnah yang lebih
parah dan lebih dahsyat dibandingkan dengan adanya fitnah dari orang-orang
murtad.
Dalam rangka menjaga stabilitas Negara, agar umat Islam terhindar dari
perpecahan maka penunjukkan Umar menjadi khalifah dilakukan oleh Abu Bakar
dan piagam penunjukkan itu dibuat sebelum beliau wafat. Kebijaksanaan Abu
Bakar diterima masyarakat dan segera membaiatnya secara beramai-ramai. Umar
menyebut dirinya Khalifah khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti
Rasulullah).
Beliau juga memperkenalkan istilah Amirul Mu’minin (komandan orang-
orang beriman) dan tetap menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahannya.

2.3 Imamah dengan Sistem Pemilihan (Demokrasi/Syura)


Di dalam sistem khilafah ada sebuah pranata yang disebut Majelis Syura,
disebut juga ahlul halli wal aqdi. Di sebut ahlul hallli wal aqdi karena mereka
adalah kelompok keahlian yang berwewenang menyeleksi dan memilih pimpinan.
Disebut Majelis Syurakarena merupakan badan musyawarah atau badan legislatif.
Contoh pengangkatankhalifah/imam dengan sistem ini adalah pengangkatan
Utsman bin Affan.
Umar ra. menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah majelis
syûrâ atautim formatur yang beranggotakan enam orang sahabat terkemuka, ahlul

9
halli wal ‘aqdi yang pertama dalam Islam mereka adalah: Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Umar ra. merasa berat untuk memilih salah
seorang diantara mereka. Beliau berkata “Aku tidak sanggup untuk bertanggung
jawab tentang perkara ini baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika
Allah SWT. menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Allah akan membuat
kalian sepakat untuk menunjuk seseorang yang terbaik di antara kalian
sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik
setelah Nabi kalian”.
Mereka bermusyawarah di rumah membicarakan tentang urusan ini hingga
akhirnyahanya terpilih tiga kandidat saja. Zubair menyerahkan jabatan khalifah
kepada Ali bin Abi Thalib, Sa’ad kepada Abdurrahman bin Auf dan Thalhah
kepada Utsman bin Affan. kemudian masing-masing mereka memberikan
khutbahnya yang menyebutkan tentang keistimewaannya dan berjanji jika
mendapat jabatan tidak akan menyimpang dan jika ternyata tidak maka ia akan
mendengar dan menaati orang yang diangkat.
Berdasarkan penjajagan pendapat yang dilakukan Abdurrahman bin Auf
terhadapanggota formatur yang ada diperoleh dua calon khalifah, yaitu Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya musyawarahnya dewan formatur
menggangkat Utsman binAffan menjadi khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab
wafat.
Khusus pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang menganut
model pemerintahan monarki; majlis syûrâ tetap ada, tapi fungsinya tak ubahnya
sekadar lembagakonsultasi yang tidak memiliki wewenang dalam mengangkat
pemimpin pemerintahan. Meskipun memakai “bungkus” nama khalifah, namun
substansinya jauh berbeda dengan pemerintahan khulafa ar-rasyidin. Bila pada
masa khulafaur rasyidin pengangkatan khalifah ditentukan lewat pemilihan dan
baiat, namun di masa Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah ditentukan oleh
khalifah sebelumnya atau diwariskan secara turun temurun.

2.4 Kekuasaan Dan Kewenagan Khalifah

10
1. Kewenangan Khalifah Dalam Membuat Aturan Hukum Atau Qanun Awal
pemerintahan Islam, Khalifah sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan dalam
sistem negara Islam. Khalifah mempunyai kekuasaan serta otoritas mencakup
urusan agama serta pengaturan dunia dengan berlandaskan pada syari’at dan
ajaran-ajaran Islam. Tugas dan kewajiban khalifah atau wakil tidak lain untuk
melaksanakan keinginan dan perintah-perintah pihak yang menjadikannya sebagai
khalifah atau wakilnya dan juga firman Allah SWT surat an-Nisa> ayat 58:
ؕ ‫ل ؕ اِ َّن هّٰللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُكمۡ بِ ٖ‌ه‬
‌ِ ‫د‬iۡ i‫وا بِ ۡال َع‬iۡ i‫اس اَ ۡن ت َۡح ُك ُم‬ ٓ ‫ا َّن هّٰللا ي ۡام ُر ُكمۡ اَ ۡن تُ َؤ ُّدوا ااۡل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ۡهلِهَا ۙ َواِ َذا َح َكمۡ تُمۡ بَ ۡينَ الن‬
ِ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬
‫ص ۡيرًا‬ ِ َ‫اِ َّن َ َكانَ َس ِم ۡي ۢ ًعا ب‬
Artinya: ‚Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia,
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang
memberi pengajaran kepadamu, Sungguh, Allah Maha Mendegar, Maha
melihat.‛44 Sejarah pemerintahan Islam khalifah merupakan pemimpin sebagai
pengganti Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama yang
membuat manusia tetap mengikuti aturan hukum. Sebagai khalifah yang
mendapatkan mandat dari Allah SWT wajib melaksanakan hal-hal sesuai
ketentuan, maka khalifah telah menunaikan hak Allah. Dengan begitu untuk
selanjutnya khalifah memiliki hak yang harus dipenuhi oleh umat. Menurut
pendapat al-Mawardi45 , khalifah mempunyai dua hak yaitu kepatuhan dan
loyalitas selama keadaan si imam tidak berubah. Kedua hak tersebut meliputi:
a. Hak untuk dipatuhi yaitu ketika undang-undang dan peraturan dikeluarkan oleh
khalifah harus dilaksanakan. Misalnya peraturan wajib militer, peraturan wajib
pajak bagi orang-orang kaya disamping zakat jika memang kebutuhan negeri
menuntut. Terdapat sumber yang menjadi landasan keharusan patuh kepada
khalifah diantara firman Allah SWT surat an-Nisa> ayat 59 dan hadits-hadits
Nabawi :
Wahai, orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

11
Patuh dan taatilah kamu dalam keadaan susahmu, dalam keadaan senangmu, di
dalam apa yang kamu senangi, di dalam apa yang kamu benci, dan dalam keadaan
ada orang lain yang lebih dipriorotaskan atas kamu. (HR al-Bazzar dari Sa’d bin
Ubadah r.a.)
b. Loyal dan mendukung khalifah yaitu para pemimpin harus bekerja sama dan
bersinergi dengan kaum muslimin dalam setiap menciptakan kemajuan, kebaikan,
serta kemakmuran dalam semua bidang. Para fuqaha>’ mendefinisikan
ckewajiban-kewajiban seorang khalifah menjadi sepuluh tugas dan fungsi pokok,
bisa muncul bentuk kewenangan dan otoritas sesuai perubahan dan perkembangan
situasi serta kondisi. Menurut pendapat al-Mawardi, kesepuluh tugas dan
kewajiban pokok seorang khalifah bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu tugas
dan fungsi keagamaan serta tugas dan fungsi politik. Tugas dan fungsi keagamaan
ada empat yaitu sebagai berikut:
a. Menjaga agama ialah menjaga dan memelihara hukum-hukum agama,
memelihara hududnya, dan memberikan sanksi hukum kepada siapa saja yang
melanggarnya.
b. Melawan musuh ialah memerangi musuh Islam setelah terlebih dahulu
menyampaikan dakwah hingga ia masuk Islam atau masuk ke dalam dzimmah
supaya Islam bisa ditegakkan dalam rangka memenangkan Islam atas semua
agama.
c. Mengumpulkan fa’i dan sedekah ialah harta benda yang sampai kepada
kaum muslimin dari orang musyrik atau mereka merupakan faktor yang
menjadi sebab sampainya harta benda.
d. Menjalankan syiar-syiar agama ialah seperti adzan, menegakkan shalat
jumat, shalat berjamaah, dan shalat hari raya, puasa, dan haji.
Kekuasaan dan kewenangan khalifah atau pemimpin dalam Islam yang taat pada
aturan hukum Tuhan harus sesuai dengan koridor-koridor ketetapan Allah SWT.
Kekuasaan dan kewenangan tersebut meliputi:
a. Khalifah tunduk kepada aturan perundang-undangan Islam, dituntut untuk
melaksanakan hukum-hukumnya, mengeluarkan aturan hukum atau
undang-undang atau qanun pengaturan sesuai dengan prinsip-prinsip
kaidah-kaidahnya.

12
b. Khalifah tidak memiliki kewenangan legislasi (at-tasyrii’), karena hak
dalam pembuatan aturan hukum atau qanun hanyalah milik Allah SWT
dan Rasul-Nya. Khalifah bersama ahlu al-halli wa al-‘aqdi hanya sebatas
melakukan ijtihad untuk membentuk aturan hukum atau qanun atau
undang-undang yang tidak diatur dalam koridor al-Qur’an dan al-Hadis}.
c. Khalifah beserta semua staf dan pembantu-pembantunya harus
mempunyai komitmen kepada kaidah-kaidah sistem pemerintahan Islam
yang telah digariskan serta didefinisikan oleh al-Qur’an dan al-Hadis}.
Dengan demikian khalifah mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk
mengeluarkan suatu ketetapan hukum tidak diatur secara jelas dalam Al-
Qur’an dan al-Hadis}, namun hak untuk membuat suatu peraturan
perundang-undangan hanyalah milik Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga
khalifah mengeluarkan suatu aturan hukum atau qanun atau undang-
undang yang tidak diatur jelas oleh al-Qur’an dan al-Hadis}. Karena
aturan hukum Allah SWT tidak membedakan antara pemilik kekuasaan
dan individu-individu warga negara.

2.5 Karakteristik Pemimpin Dalam Islam


Kriteria atau sosok seorang pemimpin sebagaimana terdapat dalam Al-
Qur`an danAs-Sunnah. Minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki dalam diri
seorang pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh
para Nabi/Rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
1.Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan
bertindak didalam melaksanakan tugasnya.
2.Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga
sebaik- baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang
dipimpinnya,terlebih lagi dari Allah SWT.
3.Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan
kemampuanmenghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul.
4.Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala
tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).

13
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Imamah berasal dari kata Imam yang berarti pemimpin. Jadi
imamah berarti kepemimpinan. Dan pada uraian yang lain dapat dijumpai
kata Imam sinonim dengan khalifah. Ali syariah menjelaskan bahwa
Imamah dalam mazhab pemikiran syiah adalah kepemimpinan progressif
dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya,
guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas pondasi
yang benar dan kuat, yang mengarahkan manusia menuju keselarasan,
perubahan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
Konsep Imamah merupakan prinsip dasar yang pokok bagi Syiah,
khususnya Syiah Itsna Asyariyah. Bagi mereka, masalah Imamah adalah
seperti rangkaian Tauhid. Barang siapa yang tidak percaya pada Imam
sama saja tidak percaya kalimat syahadat. Orang-orang Syiah Imamiah,
percaya sepenuhnya bahwa Allah mengutus Nabi dan Rasul-Rasul untuk
memimpin mereka menuju jalan Allah.
Di dalam sistem khilafah ada sebuah pranata yang disebut Majelis
Syura, disebut juga ahlul halli wal aqdi. Di sebut ahlul hallli wal aqdi
karena mereka adalah kelompok keahlian yang berwewenang menyeleksi
dan memilih pimpinan. Disebut Majelis Syurakarena merupakan badan
musyawarah atau badan legislatif. Contoh pengangkatankhalifah/imam
dengan sistem ini adalah pengangkatan Utsman bin Affan.

3.2 Saran

14
Saya selaku penulis berharap agar materi ini dapat memberikan
cukup wawasan yang sedikit lebih luas bagi para pembaca materi ini. Pada
materi Firqah firqah dalam islam dalam mata kuliah ASWAJA ini, saya
berharap agar saya dan juga para pembaca bisa memliki ilmu yang akan
digunakan secara profesional nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Anis, et. al. Al-Mu’jam al-Wasith, jilid I (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972).
Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Cet. II; Bandung: Mizaan,
1995). Ahmad Amin, Fajr al-Islam Cet. XI; (ttp: Dar al-Kutab, 1976). Ahmad
Mahmud Subhi, Nazhariyah al-Imamah al-Itsna Asyariyah, (Mesir: Dar al-
Ma’rifat, t.th).
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994)
T.M. Aziz, “Ulama dan Rakyat: Konsepsi Kedaulatan dalam Wacana Politik
Syi’ah Kontemporer,” dalam AlHuda Vol. I No. 2, 2000
Firdaus A.N., Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdil Aziz, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2000)
Wahbah al Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami> Wa Adillatuhu, terjemah, Abdul Hayyie al
Kattani, et all, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 8, (Jakarta: Gema Insani,
2011)
Jurnal AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, Januari -Juni 2014
Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014
Katsir, Ibnu, Sejarah Lengkap Khulafa’ur Rasyidin,Terj. Muhammad Ahsan bin
Usman,Cikumpa: Senja Media Utama, 2018.

15

Anda mungkin juga menyukai