Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Tentang

“ Pemimpin dalam Fikih Siyasah ”

Diajukan Untuk Tugas Makalah Mata Kuliah Fikih Siyasah

Dosen Pembimbing : Askana Fikriana, MH

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK VIII

IMELLITA SURI AMANADA (182221361)

RESTI AGRIAN (182221372)

Kelas : III A

PRODI HUKUM TATA NEGARA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
2022
KATA PENGANTAR

          Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat
dan hidayahnya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Selawat serta salam
semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

            Dalam makalah “ Pemimpin dalam Fikih Siyasah ” penulis bermaksud


menjelaskan secara detail permasalahan tersebut. Adapun tujuan selanjutnya adalah
untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah tafsir dan Hadis Ahkam.

            Akhir kata tak ada gading yang tak retak, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

Bengkalis, 19 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan Pembuatan Makalah..........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemimpin dalam Fikih Siyasah...................................................3
B. Hukum Mengangkat Pemimpin Dalam Fiqih Siyasah...................................4
C. Syarat-Syarat menjadi Pemimpin dalam Fiqih Siyasah.................................8
D. Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Fiqih Siyasah...................................................8
E. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin dalam Fiqih Siyasah..........................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................12
B. Saran..............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Didalam sebuah negara perlu adanya seorang pemimpin. Harus diketahui,
bahwa memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban yang asasi dalam
agama. Bahkan mendirikan agama tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan
adanya “kepemimpinan”.
Pemimpin itu sendiri adalah seseorang pribadi yang memiliki kecakapan dan
kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga ia mampu
mendorong dan mempengaruhi orang-orang untuk bersamasama mencapai satu
tujuan tertentu. Dan kelebihan yang dimiliki oleh seorang pemimpin merupakan
kebutuhan dari satu situasi atau zaman, sehingga dia mempunyai kekuasaan dan
kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbing masyarakat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin ini pun haruslah mendapatkan dukungan serta pengakuan dari
rakyatnya.
Dalam istilah lain pemimpin sering merujuk pengertian Ulil Amri atau pejabat
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain dan
Khadimul Umat ( pelayan umat ) dengan pengertian seorang pemimpin harus
menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat.
Dalam fiqih siyasah juga dibahas mengenai kepemimpinan dalam sebuah
negara. Penulis akan menjelaskan mengenai kepemimpinan dalam persepktif fiqih
siyasah hingga mekanisme pemilihan pemimpin dalam fikih siyasah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah maka perumusan masalah yang akan
diangkat dalam kajian ini adalah
1. Apa pengertian pemimpin dalam fikih siyasah?

1
2. Bagaimana hukum mengangkat pemimpin dalam fiqih siyasah?
3. Bagaimana syarat-syarat menjadi pemimpin dalam fiqih siyasah?
4. Apa saja ciri-ciri pemimpin menurut fiqih siyasah?
5. Bagaimana mekanisme pengangkatan pemimpin dalam fiqih siyasah?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian pemimpin dalam fikih siyasah
2. Untuk mengetahui hukum mengangkat pemimpin dalam fiqih siyasah
3. Untuk mengetahui syarat-syarat menjadi pemimpin dalam fiqih siyasah
4. Untuk mengetahui ciri-ciri pemimpin menurut fiqih siyasah
5. Untuk mengetahui mekanisme pengangkatan pemimpin dalam fiqih siyasah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemimpin dalam Fikih Siyasah


Fikih adalah upaya sungguhsungguh dari para ulama (mujtahidin) untuk
menggali hukum-hukum syara’ sehingga dapat diamalkan oleh umat Islam. Fikih
disebut juga dengan hukum Islam. Karena fikih bersifat ijtihadiyah, pemahaman
terhadap hukum syara’ tersebut pun mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
dengan perubahan dan perkembangan situasi dan kondisi manusia itu sendiri.
Kata “siyasah” yang berasal dari kata sasa, berarti mengatur, mengurus dan
memerintah; atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian
kebahasaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus dan
membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencakup sesuatu.1
Kata pemimpin di dalam bahasa Arab mempunyai beberapa istilah yaitu Imam,
Khalifah, Amir, Malik dan Sulthan. Imam menurut bahasa berasal dari kata (Amma-
yaummu-imaman) yang berarti ikutan bagi kaum2, dan berarti setiap orang yang
diikuti oleh kaum yang sudah berada pada jalan yang benar ataupun mereka yang
sesat. Imam juga bisa diartikan sebagai “pemimpin”, seperti “ketua” atau yang
lainnya. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan
sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.3
Selanjutnya yaitu khalifah yang sering diartikan sebagai pengganti, karena
orang yang menggantikan itu berada atau datang sesudah orang yang digantikan dan
ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Kata Khalifah juga bisa diartikan

1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 2001),
2
 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 1999), Hal. 428.
3
Ali Al-Salus, Imamah Dan Khalifah, (Jakarta: Gema Insan Press, 1997), Hal. 15.

3
sebagai seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan
ketentuan-ketentuan orang yang memberi wewenang.4
Dalam istilah lain pemimpin sering merujuk pengertian Ulil Amri atau pejabat
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain dan
Khadimul Umat ( pelayan umat ) dengan pengertian seorang pemimpin harus
menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat.5 Sedangkan
kepemimpinan sendiri mempunyai arti perihal pemimpin : cara memimpin.
Sebagai ilmu ketatanegaraan dalam Islam fiqih siyasah antara lain
membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar
kekuasaan dan bagaimana cara-cara pelaksanaan kekuasaan menjalankan kekuasaan
yang diberikan kepadanya, dan kepada siapa pelaksana kekuasaan
mempertanggungjawabkan kekuasaannya.6

B. Hukum Mengangkat Pemimpin Dalam Fiqih Siyasah


Dalam setiap pemilihan seorang Khalifah, masih banyak umat Islam yang
menyia-nyiakan suaranya, sehingga tidak sedikit calon pemimpin Islam yang kalah
dalam pertarungan. Padahal mengangkat pemimpin dalam Islam diperintahkan, baik
dalam al-Qur‟an ataupun hadist. Dalam Q.S An-Nisa ayat 59 disebutkan bahwa
orang-orang mukmin diperintahkan patuh Kepada Allah, Rasul dan penguasa mereka.
Perintah patuh ini wajib dilaksanakan maka wajib pula memilih pemimpin.7
Tentang wajibnya mengangkat kepala Negara dari masa kemasa Sepakat bahwa
mengangkat pemimpin hukumnya wajib. Al-Iman Al-Bagdadi berkata :
“sesungguhnya mengangkat imam (pemimpin) adalah suatu fardhu yang wajib”.
Allah SWT berfirman : Q.S An-Nisa :144, Al-Maidah : 51
4
Taufiqi Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektifal-Qur’an, (Bandung: Cv Pustaka Setia,
1999), H. 21
5
Didin Hafidhuddin Dan Hendri Tanjung S.Si, Mm, Manajemen Syari’ah Dalam Praktik, Cet. I,
(Jakarta; Gema Insani Perss, 2003), H. 120
6
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah-Konstektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014), H. 4
7
Mujar Ibn Syarif, Khamami Zada,Fiqih Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2008), H. 106

4
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orangorang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)”. (Surah An-
Nisaa‟ Ayat 144)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil


orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim”.(Surah Al-Maidah Ayat 51)
Sedangkan menurut Al-Ghazali, mengikuti Imam adalah suatu kewajiban bagi
setiap muslim. Tunduk dan patuh kepada seorang imam termasuk dalam kategori
Taat kepada Rasul dan kepada Allah SWT, sepanjang imam menjalankan ajaran
syariat Islam, Maka wajib ditaati segala perintahnya sekalipun ia hina dalam kaca
mata manusia. Dalam artian berani melakukan sesuatu yang tidak populer asal yang
dilakukan itu sesuai dengan apa yang telah digariskan Allah SWT dan Rasulnya,
bahkan Rasullah menggambarkan seandainya seorang hamba Habsyi (yang hitam
kelam lagi jelek wajahnya) menjadi pemimpin wajib pula ditaati.8

8
Ridhwan Muhammad, 20 Prinsip Islam: Komentar Terhadap Imam Hasan Al-Banna, Terjemahan
Ahmad Mudjab Mahali Dari Kitab Al-Aqaid Syariah Ushul Li Al-Isyrin Li Al-Syaba, (Solo:
Ramadhani, 1992), H.78

5
Dalam hal ini di kalangan ulama terjadi variasi pendapat. Menurut semua ulama
Sunni, Syi’ah dan Murji’ah, mayoritas pengikut Mu’tazilah dan Khawarij, kecuali
sakte Najdat, mengangkat pemimpin itu wajib hukumnya. Karena itu, akan berdosa
bila meninggalkannya.9
Sedangkan menurut golongan najdat salah satu sakte Khawarij, utamanya
Fathiyah Ibn Amir al-Hanafi, mengangkat pemimpin itu hukumnya mubah. Artinya,
terserah pada kehendak umat atau rakyat mau melakukannya atau tidak. Umat atau
rakyat tidak berdosa apabila meninggalkannya, dan tidak pula mendapat pahala bila
melakukannya. Sebab tidak ada satu pun argumentasi naqliyah dan aqliyah yang
memerintahkan atau melarangnya.
Kaum Sunni sepakat bahwa mengangkat pemimpin itu adalah wajib hukumnya.
Kewajiban tersebut, menurut al-Rayis bukan kewajiban individual (Wajib aini), tetapi
kewajiban kolektif (wajib kifa’i/fardu kifayah). Karena itu, seluruh umat Islam
berdosa bila tidak melakukannya, namun bila ada yang mewakilinya, umat Islam
yang lain terlepas dari dosa akibat meninggalkannya. Pendapat senada dianut pula
oleh al-Mawardi dan al-Ghazali.10
Ibn Taimiyah menambahkan bahwa kepemimpinan sebagai bagian dari agama
dan sarana bertaqarrub kepada Allah. Sebab bertaqarrub kepada-Nya dalam
kepemimpinan itu, yaitu dengan mentaati Allah dan mentaati Rasul-Nya, termasuk
dalam taqarrub yang paling utama. Bahkan agama tidak akan dapat tegak kecuali
dengan kepemimpinan. Sedangkan seluruh anak adam mustahil akan mencapai
kemaslahatan optimal jika tidak ada kontrak sosial, mengingat sifat saling
membutuhkan di antara mereka. Suatu kontrak sosial ini sudah pasti membutuhkan
seorang pemimpin untuk mengendalikan.11

9
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2008), Hal. 108.
10
Ibid Hlm. 111
11
Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syariyah Etika Politik Islam, Terjemahan Rofi’ Munawwar, Dari
Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Islahi Al-Râ’iy Wa Al-Râ’iyyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), Hal.
227.

6
Kaum Syiah pun mempunyai pandangan yang sama dengan kaum Sunni, yakni
mengangkat pemimpin itu merupakan kewajiban berdasarkan syariat. Hanya saja,
dalam hal ini kaum Syi’ah memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan kaum
Sunni, yakni wajib mengangkatnya adalah Allah bukan umat atau rakyat.
Argumentasinya, masalah pengangkatan imam itu bukanlah masalah ijtihadiah yang
dapat diserahkan kepada kreatifitas akal manusia. Akan tetapi, ia merupakan rukun
agama. Karena itu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang dapat menunjuk imam,
bukan rakyat. Imam adalah wakil Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang boleh
menunjuknya, kecuali Allah dan Rasul-Nya.12
Sedangkan kaum Mu’tazilah, pada umumnya berpendapat bahwa pengangkatan
pemimpin itu merupakan kebutuhan manusia yang cenderung hidup bermasyarakat.
Sebagai makhluk sosial tidak mungkin manusia hidup tanpa berhubungan dengan
manusia lainnya. Dalam pergaulan itu amat dimungkinkan terjadinya perselisihan,
pertikaian, konflik, penindasan, pertumpahan darah, atau pembunuhan. Bahkan, dapat
pula menyulut dan mengobarkan api peperangan yang akan menelan banyak korban,
baik materi ataupun yang lainnya yang akan merusak segala sendi kehidupan. Pada
saat seperti itulah, naluri manusia mendambakan tampilnya orang-orang tertentu yang
akan menjadi juru selamat. Artinya, secara akli dapat dipastikan kemestian adanya
seorang pemimpin. Karena itu, kendatipun wahyu tidak turun menyangkut eksistensi
seorang pemimpin, maka berdasarkan rasio manusia sudah pasti dapat menentukan
sikapnya sendiri bertalian dengan eksistensi seorang pemimpin itu.13

C. Syarat-Syarat menjadi Pemimpin dalam Fiqih Siyasah


Al-Mawardi mengemukakan persyaratan menjadi pemimpin harus memenuhi
tujuh syarat yaitu:14
12
Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam, Hal. 111.
13
Ibid Hlm. 113
14
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah Wa Al-Wilayat Al-Diniyyah, Terjemahan
Khalifurrahman Fath & Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press, 2015), H.5

7
1. Adil berikut syarat-syaratnya yang menyeluruh
2. Memiliki pengetahuan yang membuatnya mampu berijtihad di dalam berbagai
kasus dan hukum.
3. Memiliki pancaindra yang sehat, baik telinga, mata, maupun mulut sehingga ia
dapat secara langsung menangani segala persoalan yang diketahuinya.
4. Memiliki organ tubuh yang sehat dan terhindar dari cacat yang dapat
menghalanginya dari menjalankan tugas dengan baik dan cepat.
5. Memiliki gagasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mengurusi
berbagai kepentingan.
6. Memiliki keberanian dan sifat kesatria yang membuatnya mampu melindungi
negara dan melawan musuh.
7. Memiliki nasab dari silsilah suku Quraisy, berdasarkan nash dan ijma.

D. Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Fiqih Siyasah


Adapun ciri-ciri Pemimpin menurut Islam berdasarkan al-Qur‟an dan Hadist
adalah sebagai berikut :
1. Taat kepada Allah dan Rasulnya, Allah SWT berfirman : QS.Ali Imran: Ayat
32

Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,


Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang kafir".
Ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada
batasan. Ketaatan harus diberikan kepada pemimpin, selama dirinya taat kepada
Allah SWT dan Rasulnya. jika pemimpin tidak lagi mentaati Allah dan
Rasulnya, maka tidak ada ketaatan bagi dirinya. AlQur‟an telah memberikan
yang sangat jelas dan tegas dalam memberikan ketaatan.
2. Beriman dan beramal shaleh, Allah SWT berfirman : QS. Al-Bayyinah : Ayat 7

8
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk”.
3. Mempunyai ilmu (pengetahuan)
Kekuatan dasar seorang pemimpin salah satunya adalah pengetahuan yang luas,
tidak mungkin suatu organisasi dipimpin oleh seorang pemimpin yang dangkal
pengetahuan, sebab pemimpin harus mempunyai pengetahuan yang lebih luas
dari bawahannya.
4. Berpegang pada hukum Allah SWT (Al-Qur‟an dan hadis)
5. Menjalankan amanah,
6. Memutuskan perkara dengan adil
7. Mencintai bawahan
Untuk menjadi seoang pemimpin yang dicintai gunakanlah hati dalam
berinteraksi dengan bawahan. Berikan sentuhan-sentuhan pendekaan
kemanusiaan dalam berkomitmen. Setiap menugaskan suatu pekerjaan,
sentuhlah kesadarannya terlebih dahulu.
8. Lemah lembut dan bersikap tegas
Tidak ada seorang pun yang memungkiri bahwa sikap lembut dan bijak adalah
sikap yang terpuji, bahkan harus dikedepankan diberbagai situasi dan kondisi,
apalagi dalam beramal ma’ruf nahi dan munkar.

E. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin dalam Fiqih Siyasah


1. Dipilih oleh Ahlul Halli wal Aqdi

9
Tentang pemilihan kepala Negara oleh kalangan ahlul halli wal aqdi, telah
diperdebatkan oleh ulama dari berbagai mazhab tentang berapa jumlah dewan
pemilihan yang dapat mengesahkan pengangkatan kepala Negara. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa pengangkatan itu hanya sah dengan
keikutsertaan seluruh ahlul halli wal aqdi dari seluuh negeri tanpa membatasi
dengan jumlah tertentu.15
Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang harus hadir
untuk mengesahkan pengangkatan khalifah adalah seluruh ahlul halli wal aqdi.
Hal ini agar selurusnya ridho atas pengangkatan tersebut dan seluruhnya
menerima kepemimpinan tersebut.16
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa pengesahan pengangkatan khalifat
tidak disyaratkan harus dihadiri oleh seluruh anggota Ahlul halli wal aqdi dari
seluruh negara, akan tetapi mengenai jumlahnya masih terjadi perdebatan.17
Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah minimal yang dapat mengesahkan
pengangkatan khalifah adalah lima orang yang bersepakat untuk mengangkat
seseorang sebagai pemangku jabatan itu atau satu orang mencalonkan
seseorang dan kemudian disetujui oleh empat orang lainnya. Pendapat mereka
itu didasarkan oleh dua hal. Pertama, Baiat Abu bakar dilakukan oleh lima
orang yang sepakat untuk mengangkatnya dan kemudian diikuti oleh orang-
orang yang lainnya.
2. Penyerahan Mandat dari Kepala Negara Sebelumnya
Menurut Al-Mawardi pengangkatan kepala Negara berdasarkan penyerahan
mandat dari kepala Negara sebelumnya boleh dilakukan dan telah disepakati
legalitasnya. Hal ini berdasarkan dua peristiwa yang pernah dilakukan kaum
muslimin, dan mereka tidak memungkirinya. Pertama, Abu Bakar menunjuk
Umar Bin Khatab sebagai khalifah penggantinya, kemudian kaum muslimin
15
Muhammad Amin Bin Umar Abidin, Raddu Al-Mukhtar Ala Al-Durri Al-Mukhtar, (Mesir :
Musthafa Al-Halabi, 1966) H. 369
16
Abu Yala Al-Farra ,Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Fikr, 1994), Hal. 7.
17
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah Wa Al- Wilâyat Al-Dîniyyah, Hal. 6.

10
menerima kepemimpinan Umar bin Khatab berdasarkan penunjukan
penunjukan Abu Bakar tersebut. Kedua, Umar bin Khattab mengamanatkan
kepemimpinan sepeninggalnya kepada lembaga Syura. Anggota lembaga Syura
yang keseluruhannya adalah tokoh-tokoh periode ketika itu menerima amanat
kepemimpinan ini karena meyakini keabsahannya. Sebagian sahabat tidak
menyetujui. Ali bin Abi Thallib berkata kepada Abbas bin Abdul Muthalib
yang mengecamnya atas keterlibatannya dalam lembaga syura, “ini adalah salah
satu dari sekian banyak persoalan Islam yang agung.”
3. Persetujuan Umat
Imam Ahmad dalam menafsirkan hadist “barang siapa mati dalam keadaan ia
tidak memiliki pemimpin maka ia mati dengan kematian jahiliyah”
mengatakan, “tahukah kamu apa itu pemimpin? Dia adalah yang kaum
muslimin menyetujuinya dan semuanya berkata, „ini adalah pemimpin‟ ini
adalah makna dan pengertian yang dimaksud”. Ibn Taimiyah, menyangkut
pembaiatan Abu Bakar mengatakan bahwa seandainya waktu itu Umar bin
Khatab dan sekelompok orang membaiat Abu Bakar namun para sahabat yang
lain tidak bersedia membaiat Abu Bakar bisa menjadi imam berdasarkan
pembaiatan Jumhur sahabat yang mana mereka adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan, kekuasaan dan pengaruh.18

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam istilah lain pemimpin sering merujuk pengertian Ulil Amri atau pejabat
adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain dan
18
Muhammad Husen. 2019. Skripsi Analisis Fiqih Siyasah Terhadap Persyaratan Menjadi Calon
Presiden Dan Wakil Presiden Studi Pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Kpu) Nomor 22 Tahun
2018. Universitas Islam Negeri (Uin) Raden Intan Lampung

11
Khadimul Umat ( pelayan umat ) dengan pengertian seorang pemimpin harus
menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat. Sedangkan kepemimpinan
sendiri mempunyai arti perihal pemimpin : cara memimpin.
Dalam setiap pemilihan seorang Khalifah, masih banyak umat Islam yang
menyia-nyiakan suaranya, sehingga tidak sedikit calon pemimpin Islam yang kalah
dalam pertarungan. Padahal mengangkat pemimpin dalam Islam diperintahkan, baik
dalam al-Qur‟an ataupun hadist. Dalam Q.S An-Nisa ayat 59 disebutkan bahwa
orang-orang mukmin diperintahkan patuh Kepada Allah, Rasul dan penguasa mereka.
Perintah patuh ini wajib dilaksanakan maka wajib pula memilih pemimpin.
Mekanisme pengangkatan pemimpin dalam fikih siyasah ialah Tentang
pemilihan kepala Negara oleh kalangan ahlul halli wal aqdi, telah diperdebatkan oleh
ulama dari berbagai mazhab tentang berapa jumlah dewan pemilihan yang dapat
mengesahkan pengangkatan kepala Negara.
Menurut Al-Mawardi pengangkatan kepala Negara berdasarkan penyerahan
mandat dari kepala Negara sebelumnya boleh dilakukan dan telah disepakati
legalitasnya. Dan yang ketiga yaitu persetujuan umat.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami uraikan. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan. Terimaksih dan semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Yala Al-Farra ,Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Fikr,


1994),
Ali Al-Salus, Imamah Dan Khalifah, (Jakarta: Gema Insan Press, 1997),

12
Didin Hafidhuddin Dan Hendri Tanjung S.Si, Mm, Manajemen Syari’ah Dalam
Praktik, Cet. I, (Jakarta; Gema Insani Perss, 2003
Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syariyah Etika Politik Islam, Terjemahan Rofi’
Munawwar, Dari Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Islahi Al-Râ’iy Wa Al-Râ’iyyah,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005),
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah Wa Al-Wilayat Al-Diniyyah,
Terjemahan Khalifurrahman Fath & Fathurrahman (Jakarta: Qisthi Press,
2015),
 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus, (Jakarta: Mahmud Yunus
Wa Dzurriyyah, 1999),
Muhammad Amin Bin Umar Abidin, Raddu Al-Mukhtar Ala Al-Durri Al-Mukhtar,
(Mesir : Musthafa Al-Halabi, 1966)
Muhammad Husen. 2019. Skripsi Analisis Fiqih Siyasah Terhadap Persyaratan
Menjadi Calon Presiden Dan Wakil Presiden Studi Pada Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (Kpu) Nomor 22 Tahun 2018. Universitas Islam Negeri (Uin)
Raden Intan Lampung
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2001),
Ridhwan Muhammad, 20 Prinsip Islam: Komentar Terhadap Imam Hasan Al-Banna,
Terjemahan Ahmad Mudjab Mahali Dari Kitab Al-Aqaid Syariah Ushul Li Al-
Isyrin Li Al-Syaba, (Solo: Ramadhani, 1992),
Taufiqi Rahman, Moralitas Pemimpin Dalam Perspektifal-Qur’an, (Bandung: Cv
Pustaka Setia, 1999),

13

Anda mungkin juga menyukai