MAKALAH
Oleh :
AnnisaNurfitriyah RU
NIM. 202105007
DAFTAR ISI................................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................3
C. Pendapat Para Ahli tentang Ideologi dan Kebijakan Politik Islam ..................................................8
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat politik adalah suatu upaya untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan
politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Sedikit menengok
tentang filsafat politik Islam, bahwasanya Islam merupakan agama universal yang
memberikan pedoman setiap aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya juga
tentang aspek kehidupan bernegara. Khusus mengenai kehidupan bernegara, Islam
memberikan pedoman amat global, hanya diajarkan prinsip-prinsipnya, guna memberi
kesempatan bagi interpretasi dan perkembangan masyarakatnya, sesuai dengan kebutuhan
hidup yang senantiasa berkembang. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran dalam bidang
kehidupan politik memperoleh ruang gerak yang sangat luas, dengan sumbernya yaitu Al-
Qur’an dan As-sunah. Kedua sumber tersebut haruslah menjadi sumber asasi bagi segala
ilmu yang ada di bumi. Posisi Al-Qur’an terhadap ilmu dan teknologi juga dapat dijelaskan
dengan jalan mencari sumber ilmu dan sumber cara mengembangkan ilmu menjadi
teknologi. Al-Qur'an lah yang harus menjadi landasan utama ilmu untuk memberikan benih-
benih dasar yang paling esensi untuk dapat diolah manusia menjadi ilmu dan teknologi yang
tak terhingga ragamnya dan tak terhingga arah (level) pencapaiannya. Selain itu Al-Qur’an
akan menjamin kebenaran ilmu yang bersumber darinya, kebenaran arah
pengembangannya, karena semuanya bersumber pada sunahnya Allah dan jika
ketakwaanserta keimanan dari manusia sebagai subyek yang melakukannya. Selain merujuk
kepada pesan-pesan Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasul, juga sesungguhnya manusia telah
diberi oleh Allah potensi dasar yaitu inderawi, akal dan hati untuk digunakan sebagaimana
seharusnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis susun dan telah mengambil judul dari
latar belakang maka kami penulis mengambil suatu perumusan masalah bertujuan
agar tidak keluar dari jalur pembahasan. Diantara perumusan masalah sebagai
berikut:
1
1. Bagaimana ayat-ayat tentang sumber praktik Politik Islam ?
2. Bagaimana hadits-hadits Nabi mengenai praktik Politik Islam ?
3. Bagaiman pendapat para ahli tentang ideologi dan kebijakan Politik Islam ?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan pembahasan ini, ada beberapa hal yang ingin diketahui dan
dikaji oleh penulis, diantaranya:
1. Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an tentang sumber praktik politik islam .
2. Mengetahui hadits-hadits Nabi mengenai praktik politik islam.
3. Mengetahui pendapat para ahli tentang ideologi dan kebijakan politik islam.
.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an tidak mengemukakan secara eksplisit fungsi dan struktur dari sistem
politik, namun dari uraian terdahulu dapat ditemukan adanya unsur-unsur tersebut.
Sosialisasi politik misalnya, dapat ditemukan dalam tugas pembangunan spiritual.
Dengan pembangunan ini, norma-norma dan ajaran-ajaran agama, termasuk di dalamnya
yang berkenaan dengan kehidupan politik, dikembangkan dengan sistem pendidikan dan
pengajaran sehingga masyarakat dapat memiliki persepsi dan budaya yang sama.
1
Hadi Daeng Mapuna, “Islam dan Negara (Sebuah Catatan Pengantar)”, Al-Daulah vol. 5 No. 1, 2017, Hal 157
3
Konsepsi rekruitmen politik dapat ditemukan dalam kenyataan adanya syarat-syarat yang
diperlukan untuk menjadi pemimpin.
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa salah satu tugas dan kewajiban utama
seorang khalifah adalah menegakkan supremasi hukum secara al-Haq. Seorang pemimpin
tidak boleh menjalankan kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Karena tugas
kepemimpinan adalah tugas fi sabilillah dan kedudukannyapun sangat mulia. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan dalam perspektif Islam adalah suatu kegiatan
atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain,
serta ada usaha kerja sama yang sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan AlHadits untuk
mencapai tujuan yang diinginkan bersama.2
Dalam bentuk kisah, ayat-ayat politik seperti ini sangat menonjol pada kisah
Dawud, Sulaiman, dan Musa. Sementara terkait dengan Muahammad pesan-pesannya
bervariasi, ada yang dalam bentuk ramalan ke depan, ada juga pelajaran dari pengalaman
generasi terdahulu. Akan tetapi sebagian besar berupa nilai-nilai substansial dan
universal, sehingga terus hidup dan relevan, dalam ruang dan waktu yang berbeda, baik
untuk situasi saat ini maupun waktu mendatang. Contoh paling nyata dalam masalah ini
adalah ayat-ayat yang menjelaskan proses penciptaan manusia, yang kemudian mendapat
tugas suci sebagai Khalifahtu fil ard, yakni sebagai wakil Tuhan yang bertugas
2
Devi Pramitha, “Kajian Tematis Al-Qur’an dan Hadis tentang kepemimpinan”, J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama
Islam vol. 3 No. 1, 2016, Hal 5
4
memakmurkan bumi, atau sebagai pemimpin di muka bumi yang memiliki tugas
rahmatan lil alamin (membawa kebaikan bagi bumi dan seluruh isinya.3 Dijelaskan dalam
Q.S Al-Baqarah : 30 yang artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
3
Muhammad Najib, “Ayat-ayat Politik Dalam Al Quran", https://rmol.id/read/2020/05/14/434907/ayat-ayat-politik-
dalam-al-quran.
4
https://tafsirweb.com/290-quran-surat-al-baqarah-ayat-30.html
5
memulai tahapan kepemimpinannya pada periode Mekkah yang disusul oleh tahap
Madinah untuk menjadi satu kesatuan, di mana tahap pertama merupakan bibit yang
ditanam untuk menghasilkan masyarakat Islam. Maka perjalanan sejarah Islam masa
Rasulullah sebagai pangkal dari adanya politik dalam Islam, dan akan disusul dengan
perkembangan mendatang untuk menyempurnakan langkah hidup umat Islam. Kemudian
kalau ditinjau negara yang didirikan Rasulullah beserta kaum muslimin di Madinah,
maka ia telah merupakan satu tindakan politik jika diukur dengan istilah politik dewasa
ini.
Konsep politik tradisional dalam Islam antara lain kepemimpinan oleh penerus
Nabi, yang disebut sebagai Kalifah (Imam dalam Syiah); pentingnya mengikuti hukum
Syariah; kewajiban bagi pemimpin untuk berkonsultasi dengan dewan Syura dalam
memerintah negara; dan kewajiban menggulingkan pemimpin yang tidak adil.
Nabi Muhammad adalah bukan seorang pemimpin politik atau kepala negara.
Akan tetapi dalam pandangan Khuda Bukhsh dalam Politics in Islam dikatakan:
“Muhammad not only Found a new religion, but established e new politic (Muhammad
bukan hanya membangun sebuah agama baru, tetapi juga sebuah politik baru).” Sebagai
seorang pemimpin umat Islam, Rasulullah memiliki pola kepemimpinan yang dapat
diterima oleh seluruh masyarakat yang multi etnis, multi ras dan multi agama. Pada
periode pemimpinnya di Madinah Rasulullah berhadapan dengan masyarakat yang
heterogen. Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi setelah Rasulullah hijrah ke Madinah,
dan hal ini merupakan artikulasi pelaksanaan politik Islam. Di Madinah terbentuk satu
komunitas muslim, yang terdiri dari golongan muhajirin dan anshar. Sebagai satu
komunitas dalam masyarakat yang majemuk, kaum muslimin diharuskan berinteraksi
dengan komunitas-komunitas lain, yang terdiri dari; orang-orang nasrani, Yahudi, muslim
dan kafir Madinah. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, kebijakan Rasulullah
SAW. Merupakan pelaksanaan politik Islam.
Dalam aspek politik selain membawa ajaran, juga beliau melakoni sebagai
praktisi, memimpin negara Madinah pada tahun 622 –632 M. Suatu hal yang menarik
bahwa Nabi Muhammad SAW ketika membangun pemerintahan yang berbeda dengan
apa yang menjadi kebiasaan kekuasaan pada umumnya yang bercorak monarki absolut.
6
Jika dibandingkan dengan bentuk pemerintahan yang ada di zaman modern,
pemerintahan Beliau lebih bercorak demokratis.
Fakta lain tentang pelaksanaan Siyasah Islam (politik Islam) adalah kebijakan
yang dibuat Rasulullah SAW berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin.
Yaitu antara sahabat muhajirin dan anshar. Kebijakan itu merupakan perwujudan dalil
kulliy, yaitu al-ukhuwah alislamiyah. Serta perjanjian ekstern antara muslim dan non
muslim. Meskipun kekuasaan dipegang kaum muslimin, dalam hal ini Rasulullah sebagai
pemimpin, perjanjian yang dibuat tidak mengganggu keyakinan non muslim. Mereka
masih diberi kebebasan memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinan mereka. Hal
ini tercipta karena Rasulullah mendasarkan kebijakan atas prinsip al-ukhuwah al-
islamiyah yang diwujudkan dalam piagam madinah. Meskipun begitu hak-hak rakyat dari
seorang pemimpin tetap terpenuhi, karena kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab
seorang pemimpin. Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Ibn umar r.a berkata : saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya
perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga
suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan
ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal hal yang dipimpinnya.” (H.R. bukhari
dan muslim)
Hadits di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini
dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab.
Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya,
sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya
terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak
bertanggung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan bertanggung jawab kepada
pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang
Presiden, Bupati, Gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya.
7
Kemudian seorang pemimpin harus bisa bersikap adil, Rasulullah SAW bersabda: “Abu
hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung
di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang
yang hatinya selalu gandrung 9 kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang
karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina
oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah.
Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat
pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Meski hadits ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin
keselamatannya oleh allah nanti pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh
hadis ini adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil
memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin
yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup
dalam. Untuk melihat sejauh mana seorang pemimpin itu telah berlaku adil terhadap
rakyatnya adalah melalui keputusan-keputusan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila
seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa
dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum
sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat),
padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim
dan jauh dari perilaku yang adil.5
8
adalah inti dari semua pemikiran manusia, dan menurut Francis Bacon, ideologi adalah
sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Ketiga pengertian ini berbicara
definisi ideologi tidak berbicara secara spesifik tentang kehidupan bernegara. Di bawah
ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang ideology dalam kehidupan bernegara:
Jika kita menanyakan apa itu ideologi, banyak orang akan memberi jawaban
yang merujuk pada pengertian ideologi sebagai isme atau aliran politik. Dalam konteks
kelompok atau masyarakat, ideologi sering digunakan sebagai dasar bagi usaha
pembebasan pikiran manusia. Ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan
yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam
pembahasan ilmu, ideologi merupakan ilmu gagasan yang mempelajari tentang asal usul
6
Yaya Mulya Mantrie. “Makna Ideologi dari berbagai sudut pandang para ahli dan aplikasinya di Indonesia”.
https://www.kompasiana.com/ymulya/makna-ideologi-dari-berbagai-sudutpandang-para-ahli-dan-aplikasinya-di-
indonesia
9
ide yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat. Kajian dari ideologi dapat diambil dari
akar filsafat dan agama.
10
pernah membuka pintu bagi partai-partai untuk berkompetisi dalam persoalan ideologi.
Hal ini semakin memperkuat rasa solidaritas golongan yang berpolakan aliran, terutama
antara abangan dan santri. Menurut seorang ahli politik asing, Donald Hindley, kompetisi
seperti ini secara garis besar terjadi antara yang modernis dan tradisionalis. Jika terjadi
kompetisi pandangan seperti ini, maka akan dapat dipahami bahwa partai-partai politik
tidak atau kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi yang dapat merangsang proses
pembangunan politik. Walaupun pada praktiknya partai-partai politik hanya memiliki
kekuasaan politik di pinggir-pinggir, kenyataannya permasalahan pembangunan nasional
ini bergantung kepada perkembangan dari partai-partai politik di Indonesia.
Meningkatnya aspirasi masyarakat dalam proses dan sistem politik di Indonesia
menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki kapasitas dan kapabilitas sistem politik.
Pertentangan ideologi dan politik antar partai politik adalah hal-hal yang berkaitan
dengan perbedaan yang terkandung dalam masyarakat kita yang sungguh merisaukan
rakyat. Kekuatankekuatan ideologi dalam partai politik ini ada yang melandaskan
pemikiran dan pandangan mereka dari sudut keagamaan dan ada yang melandaskan dari
Pancasila. Gejolak kekuatan politik dan pertentangan ideologi ini dapat membahayakan
kehidupan politik di Indonesia.
Bertambahnya jumlah partai politik menunjukkan bahwa pendidikan politik di
Indonesia telah berkembang dan merupakan cerminan penyelenggaraan sistem demokrasi
yang baik. Penyelenggaraan sistem demokrasi lantas berjalan dengan kurang baik.
Hambatan-hambatan tersebut kemudian muncul ketika partai politik terpecah oleh
pandangan yang berbeda. Perbedaan cara pandang dan tujuan ini tentu dilandasi oleh
gagasan atau ideologi. Gagasangagasan ini dapat berdampak pada kebijakan publik yang
akan termuat dalam produk-produk hukum pemerintah.9 Hal ini yang kemudian
memunculkan permasalahan bahwa produk hukum yang tercipta di masyarakat dapat saja
berubah-ubah, bergantung dari ideologi yang melandasi partai politik yang memenangkan
pemilihan umum.
Dalam pelaksanaan kebijakan publik, sistem politik turut serta mempengaruhi
pembentukannya. Menurut David Easton, sistem politik merupakan suatu keseluruhan
interaksi sehingga terjadi pembagian nilai di masyarakat. Dalam hal ini, pembahasan
tentang kebijaksanaan, sistem politik diartikan sebagai keseluruhan pendapat, perilaku
11
dan kedudukan yang bertujuan mempengaruhi isi, perwujudan dan akibat dari
kebijaksanaan publik. Dengan demikian, sistem-sistem ini kemudian dapat kita anggap
sebagai sistem yang terbuka. Hal ini disebabkan karena dalam mewujudkan
kebijaksanaan publik, masyarakat dan elemen organisasi di masyarakat turut andil di
dalamnya. Peristiwa seperti ini merupakan bentuk interaksi yang saling mempengaruhi.
Menurut Easton, input dari sistem politik dapat dibagi antara tuntutan dan dukungan.
Tuntutan ini berasal dari kebutuhan-kebutuhan pada sistem politik. Dalam sistem politik
ini, input dapat diolah menjadi kebijaksanaan publik yang tertuang dalam produk-produk
hukum. Proses pengolahan ini memiliki dampak yang mengakibatkan perubahan dalam
lingkungan sistem politik di Indonesia.
12