Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

ISLAM DAN POLITIK/KEPEMIMPINAN

Disusun Oleh : Kelompok 2

Zahrah Labitta Maharani (C021211110)


Annisa Resky Fauziyah.H (C021211093)
Zahra Cesarini Maulidiawati (C021211086)
Putri Ramadhani Al Imran ( C021211102)

Kelas Psikologi C

Fakultas Kedokteran

Universitas

Hasanuddin 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur patut kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
menganugerahkan nikmat kekuatan, Kesehatan, kesempatan, dan kesabaran jiwakepada
kita semua. Atas berkat yang telah Ia berikan kepada kami, sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah “ ISLAM DAN POLITIK/KEPEMIMPINAN ”. Tidak lupa kami
sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini bisa dikatakan masih jauh darikata
sempurna, untuk itu kami menunggu kritik dan saran yang membangun agar kedepannya
dapat lebih baik lagi. Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
kita semua, kami meminta maaf apabila terdapat kata-kata yang salah ataupun kurang
dipahami. Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya, semoga kita semua berada dalam
lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Makassar, 31 Oktober 2021

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................2
BAB 1...................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.......................................................................................4
C. Tujuan..........................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................6
PEMBAHASAN..................................................................................................6
A. Konsep.........................................................................................................6
B. Realita..........................................................................................................7
C. Masalah.......................................................................................................8
D. Solusi............................................................................................................9
BAB III..............................................................................................................13
PENUTUP.........................................................................................................13
A. Kesimpulan................................................................................................13
B. Saran..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................14
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam ialah agama yang bersifat universal. Agama membawa kepada umat
manusia sebuah konsep mengenai persoalan suatu sistem seperti konsep politik,
perekonomian, penegakan hukum, dan lain-lain. islam meletakkan politik sebagai satu
cara penjagaan urusan umat makai slam dan politik tidak akan bisa dipisahkan sebab
islam tanpa politik akan berdampak pada kaum muslim yang tidak mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syariat islam. Begitu pula sebaliknya,
politik tanpa islam akan melahirkan masyrakat yang mengagungkan kekuasaan,
bahan,jabatan ataupun duniawi. Politik islam ialah penghadapan islam dengan
kekuasaan dan negara yang akan melahirkan perilaku dan sikap, budaya politik yang
berorientasi pada nilai-nilai islam termasuk sikap, perilaku dan budaya.
Pemimpin mempunyai kedudukan dalam negara islam yang mana merupkan
wakil rakyat yang ditugaskan memegang suatu pemerintahan untuk mewujudkan
ketentraman serta keselamatan yang dicita-citakan rakyat. Persoalan pemimpin adalah
salah satu misi yang diamanatkan Allah swt. kepada manusia dalam Q.S
al-Baqarah/2: 30. Ayat ini memberi informasi bahwa penciptaan Nabi Adam AS.yang
diyakini umat Islam sebagai manusia pertama di alam raya ini adalah untuk menjadi
pemimpin. Nuansa politik dalam Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah
SAW. , menurut keyakinan mayoritas Muslim menerapkan model masyarakat Islam
ideal era Nabi SAW bukanlah utopia, sebab model itu pernah terbukti dalam sejarah.
Maka pada periode Mekah kaum muslimin masih menempati posisi marginal dan
senantiasa tertindas, maka pada periode Madinah mereka telah mengalami perubahan
yang sangat dramatis: umat Islam menguasai pemerintahan dan bahkan merupakan a
selfgoverning community. Di Madinah peran Nabi Muhammad SAW selain sebagai
agamawan beliau juga sebagai negarawan.11 Sejak saat itu oleh pakar politik modern,
Islam dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan politik dan sekaligus agama.

B. . Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Islam dan Politik/kepemimpinan?
2. Bagaimana realita Islam dan Politik/kepemimpinan?
3. Apa saja masalah terkait Islam dan Politik/kepemimpinan?
4. Apa solusi terkait Islam dan Politik/kepempimpinan?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana konsep,
realita, masalah, dan solusi terkait dengan Islam dan Politik/Kepemimpinan.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Konsep
Dalam pandangan sejumlah ahli, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip
kehidupan politik yang harus diikuti oleh umatnya. Pengalaman Nabi Muhammad di
Madinah, menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, al-Qur‘an menggariskan prinsip-
prinsip itu secara tegas. Dalam hal ini, paling tidak ada sejumlah prinsip etis yang
telah digariskan, seperti prinsip keadilan (al-adl); prinsip kesamaan (al-musawah); dan
prinsip musyawarah atau negoisasi (syura). Meskipun prinsip-prisip yang
dikemukakan secara tegas ini jumlahnya sedikit, akan tetapi ajaran-ajaran itu
dinyatakan secara berulang-ulang oleh al-Qur‘an. Kadangkala, subtansi doktrin itu
dinyatakan dalam terminologi lain, baik yang sifatnya komplementer atau berlawanan
(apposites), seperti larangan untuk berbuat zalim–lawan dari keharusan untuk berbuat
adil. Sejauh ajaran atau prinsip Islam tentang masalah sosial- kemasyarakatan
dikemukakan secara subtansialistik, maka signifikansi Islam dan demokrasi akan
nampak jelas. Pengalaman negara‘‘Madinah merupakan contoh klasik akan hal ini;
yang hanya gagal karena lemahnya infrastruktur (dan karenanya lebih merupakan
persoalan political crafting) yang tersedia bagi para pendukungnya.

Dalam konteks ini, Bahtiar Effendi juga menegaskan bahwa “penting untuk
dicatat bahwa Islam tidak berbicara terhadap segala sesuatu dalam bentuknya yang
detail. Kalau bacaan saya terhadap ayat-ayat yang dikandung dalam al-Qur’an benar,
maka dapat dikatakan bahwa Islam memberi panduan nilai, moral dan etika dalam
bentuknya yang global. Karena itulah Islam sangat menekankan penggunaan akal
melalui proses ijtihad.”Islam dan kekuasaan secara fungsional memiliki hubungan
yang bersifat simbiotik, meskipun secara diametral hakikat keduanya berbeda. Agama
mendorong terbentuknya kekuasaan yang bermoral, begitu juga sebaliknya moralitas
kekuasaan juga ikut memperkokoh jiwa keagamaan. Memisahkan agama dari
wawasan kekuasaan dalam pandangan Islam tidak memiliki landasan yang solid dan
tidak bisa dipertanggung jawabkan .Kenyataan ini dapat dilacak dengan melihat dua
kecenderungan utama Islam, yakni; Partisipasi politik yang amat luas di kalangan
penduduk muslim. Secara teologis, agama (Islam) dapat dipandang sebagai instrumen
ilahiah untuk memahami dunia.
Dalam islam sejumlah ahli mengatakan islam hanya memberikan prinsip-
prinsip kehidupan politik yang harus diikuti oleh umatnya. Pengalaman Nabi
Muhammad di Madinah, menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, al-Qur‘an
menggariskan prinsip-prinsip itu secara tegas. Dalam hal ini, paling tidak ada
sejumlah prinsip etis yang telah digariskan, seperti prinsip keadilan (al-adl); prinsip
kesamaan (al-musawah); dan prinsip musyawarah atau negoisasi (syura). Islam dan
kekuasaan secara fungsional memiliki hubungan yang bersifat simbiotik, meskipun
secara diametral hakikat keduanya berbeda. Agama mendorong terbentuknya
kekuasaan yang bermoral, begitu juga sebaliknya moralitas kekuasaan juga ikut
memperkokoh jiwa keagamaan. Memisahkan agama dari wawasan kekuasaan dalam
pandangan Islam tidak memiliki landasan yang solid dan tidak bisa dipertanggung
jawabkan.

B. Realita
Secara teoritis, penguasa sebuah negara Islam ini tidak memiliki kekuasaan
mutlak, demikian juga parlemen ataupun rakyat, karena kekuasaan mutlak itu hanya
milik Allah semata, dan hukum-Nya harus tetap berkuasa. Memakai terminologi
kekinian, konstitusi Islam hanya memiliki dua organ penting: eksekutif dan yudikatif.
Organ ketiga yang memungkinkan—yakni legislatif—secara konstitusional tidak
diberi batasan, karena undang-undang telah ditetapkan di dalam Al-Qur‘an oleh
Allah.Tugas pemerintah adalah untuk melaksanakannya, dan bukan merubahnya demi
untuk kepentingannya sendiri. Pandangan lainnya tentang sistem pemerintahan Islam,
datang dari Taqiyuddin An Nabhani (1909-1977 M.). Beliau mengemukakan bahwa
pemerintahan Islam bukanlah monarki, bukan republik, bukan kekaisaran dan bukan
pula federasi, akan tetapi sistem pemerintahan Islam lebih tepat disebut khilafah.
Lebih lanjut Taqiyuddin menjelaskan bahwa, mendirikan khilafah adalah wajib bagi
seluruh muslimin di seluruh dunia. Sedangkan melaksanakannya seperti hukumnya
melaksanakan fardlu yang lain, yang telah difardlukan oleh Allah SWT. Demi
tegaknya hukum Allah dan syari‘at Islam, kaum muslimin tidak boleh
mengabaikannya, karena ini telah menjadi ketentuan sunah Nabi. Demikian pula
pelaksanaannya dalam pemerintahan nanti haruslah berdasarkankan kepada al-Qur‘an
dan Hadits sebagai pedoman.
Demikian kentalnya ragam pemikiran tersebut dengan otoritas kedaulatan
Tuhan, serta menganggap ajaran Rosulullah sebagai agama yang komprehensif, maka
kemudian muncullah istilah al Islam huwa al-din wa al-daulah dalam pelataran politik
Islam. Dan sebagai komitmen logis dari paradigma integralistik ini, negara Islam
harus ditegakkan demi terlaksananya hukum-hukum Allah dengan dipimpin seorang
imam atau khalifah. Paradigma integralistik ini menurut James P. Piscatory seperti
dikutip Marzuki Wahid melahirkan paham negara agama, di mana kehidupan
kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga
kemudian melahirkan konsep Islam din wa al-daulah (Islam agama dan sekaligus
negara). Adapun prinsip-prinsip dasar politik islam diantaranya musyawarah,
keadilan,kebebasan, persamaan, hak menghisab pihak pemerintah, diwajibkan untuk
memperkuat tali silaturahmi dan kedaulatan tertingggi berada di tangan allah semata.
Karena itu, sumber hukum positifnya adalah sumber hukum agama.
Akibatnya, masyarakat tidak dapat membedakan mana aturan negara dan mana aturan
agama karena keduanya telah menyatu. Dengan demikian dalam paham ini rakyat
yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat kepada agama, sebaliknya
memberontak dan melawan negara berarti melawan agama yang berarti juga melawan
Tuhan. Di sinilah penulis-penulis Barat, dikaitkan dengan Islam sering melihat bahwa
negara agama tidak compatible dengan demokrasi. Adapun negara demokrasi yang
berangkat dari pemahaman ontroposentris meniscayakan manusia menjadi pusat
segala sesuatu, termasuk pusat kedaulatan sehingga kepala negara harus tunduk
kepada kehendak dan kontrol rakyat. Sedangkan negara agama yang berangkat dari
paham teosentris menjadikan Tuhan sebagai pusat segala sesuatu.

C. Masalah
Menurut Ibn Khaldun (1377), agama mempunyai pengaruh terhadap kekuatan negara.
Jika pertikaian (konflik) terjadi di kalangan penguasa, maka negara pun akan lemah, cepat
hancur, dan musnah (Khaldun, dalam Ralliby, 1962: 41). Ilmu politik menghendaki agar
hanya (ada) satu penguasa saja yang mengendalikan pemerintahan. Jika banyak orang, maka
akan menimbulkan kehancuran suatu pemerin- tahan (Khaldun, 1962: 222). Pimpinan politik
memerlukan bantuan dari orang-orang di sekitarnya. Seorang pimpinan politik hendaknya
mampu mengendalikan konflik dan stabilitas keamanan, mampu mengawasi, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat serta mampu mempengaruhi masyarakat secara psikologis
(Khaldun, 1962: 229—230). Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyah) adalah
kedaulatan (al-mulk). Jika tidak ada satu solidaritas sosial yang lebih kuat dari seluruh
solidaritas yang ada, maka perpecahan, pertikaian, dan pertentangan (konflik) antar-kelompok
solidaritas sosial tidak bisa dihindari. Akibatnya, kedaulatan tidak akan tercapai (Khaldun,
2000: 166). Lebih jauh ia mengemukakan:
“Satu di antara akibat-akibat lazim dari organisasi kemasjarakatan itu adalah pertikaian (at-
tanaazuu) jang disebabkan oleh tekanan-tekanan dari pendapat-pendapat jang berbeda-beda
(at-tanaazuu li izdihaam al- aghraadh). Selama tidak ada penguasa jang akan melaksanakan
sesuatu kewibawaan, maka pertikaian ini akan menimbulkan keributan atau kekatjauan, jang
seterusnja dapat mengakibatkan penghantjuran dan pemusnahan manusia. Karena itulah maka
pemeliharaan djenis umatmanusia adalah salah satu dari maksud-maksud jang daruri (sangat
penting) dari Sjari’at Islam” (Khaldun, 1962: 166).

Seperti pada perkembangan partai Islam pascareformasi, tampaknya


ketidaksimetrisan jumlah pemilih muslim dengan capaian perolehan suara partaipartai
Islam, menegaskan tentang lahirnya fakta politik baru bahwa manifestasi politik Islam
kontenporer di Indonesia semakin cair dan telah banyak menanggalkan politik yang
simbolistik. Selanjutnya actor - actor politik Islam kian banyak merambah posisi
posisi strategis pada partai nasionalis, skaligus memberi efek pada tampilan wajah
partai partai nasionalis yang semakin religious. Kondisi ini terekam secara sadar
dalam memori politik pemilih muslim, platform ideologis partai Islam dan partai
nasionalis dalam kerangka NKRI, tidak relevan lagi menjadi pertimbangan dalam
penentuan pilihan politik. Faktor kesadaran politik baru umat Islam ini, nampaknya
menjadi pariabel dominan dari keterpurukan capaian partai-partai islam. Sehingga
dalam kasus tersebut terjadi islamisasi tidak hanya dalam ruang publik, namun dalam
ruang partai dan ruang politik Indonesia. Islamisasi ialah semakin menguatnya
simbol-simbol Islam dan pemakaian identitas Islam dalam politik yang memberikan
dampak pada perolehan suara partai Islam ke depan. Ada dua hal yang mempengaruhi
pemikiran Islam di Indonesia untuk mencari format baru politik Islam. Pertama,
rekayasa politik terhadap seluruh kekuatan komponen bangsa untuk membangun
politik integratif berwawasan kebangsaan. Rekayasa ini merupakan konsekuensi
historis dari berbagai perkembangan yang ada di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Kedua, adanya perubahan wawasan keagamaan dari umat Islam sendiri, terutama
dalam hubungannya dengan konsepsi kenegaraan dan kebangsaan.

D. Solusi
1. Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Masyarakat
a. Pemberian Motivasi
Keberhasilan seorang pemimpin dalam memengaruhi dan
mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan sangat tergantung pada
kemampuan pemimpin itu dalam menciptakan motibasi di dalam diri setiap
bawahan, kolega maupun atasan pemimpin itu sendiri.159 Stoner dan
Freeman, menyebutkna motivasi “as factor that cause, channel, and sustain
and individual’s behavior”.160 Artinya, motivasi merupakan faktor yang
menyebaabkan, menggali dan menopang perilaku seseorang.

b. Membangun Komunikasi
Peran dari seorang pemimpin untuk sembangan sebuah komunikasi
yang selaras dan dibangun d engan sebuah relasi yang jelas akan
menghasilakn sebuah komunikasi yang baik antar si pemberi komunikasi dan
penerima komunikasi, baik peimpin dengan bawahannya maupun sebaliknya.

2. Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Karakter


Pada umunya karakter diidentikan dengan sebuah keteladanan, penciptaan
lingkungan, dan pembiasaan. Dengan demikian apa yang didengarkan, dilihat,
dirasakan, dan dikerjakan oleh anggota organisasi akan membentuk karakter mereka.
Selain pemimpin dituntut harus memberikan sebuah keteladanan dan pembiasaan
yang baik untuk menciptakan sebuah iklim, budaya serta lingkungan yang kondusif
guna mendorong sebuah keefektifan dalam berorganisasi. Dari sana pula seorang
bawahan akan melihat sebuah citra yang baik yang ditampilkan seorang pemimpin
untuk dijadikan sebagai tauladan yang baik bagi mereka dan pada akhirnya akan
menciptakan karakter yang positif bagi bawahan itu sendiri demi tericiptanya
lingkungan yang kondusif dalam menjalankan sebuah organisasi dalam pendidikan.
Penciptaan lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai variasi
metode sebagai berikut :
 Penguasaan
 Pembiasaan
 Pelatihan
 Pembelajaran
 Pengarahan
 Keteladanan.

3. Kecerdasan Emosional dalam Pengendalian Konflik


Pengendalian konflik dengan mengupayakan kecerdasan emosional bukan
merupakan sebuah bakat yang dimiliki oleh seseorang untuk menjadi modal sebagai
seorang pemimpin, melainkan sebuah keterampilan yang harus diasah, karena untuk
dapat berhubungan dengan orang lain secara baik seorang pemimpin memerlukan
kemampuan untuk mengerti
dan mengendalikan emosi diri dan orang lain secara baik. Kecerdasan emosional
mempunyai lima ciri pokok, antara lain sebagai berikut:
 Kendali diri
Berguna untuk menyeimbangkan emosi, bukan malah menekannya, karenaa
setiap perasaan mempunyai makna dan nilai tertentu bagi kehidupan manusia.
Seorang pemimpin yang memiliki kecakapan pengendalian diri memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1)  Mengelola dengan baik perasaan-perasaan implusif dan emosi-emosi yang
menekan mereka.
2)  Tetap teguh, tetap positif, dan tidak goyah dalam situasi yang paling berat.
3)  Berfikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam tekanan.

 Empati
Empati bisa digunakan oleh seorang pemimpin untuk memanipulasi. Ini sering
terwujud dalam bentuk pseudoempati atau empati semu, suatu sikap sosial yang
langsung buyar ketika terbongkar. Secara sederhana dapat kita contohkan dalam dunia
perdagangan, semisal seorang penjual yang mengatakan sangat senang ketika
berkunjung ke toko mereka, mereka mengikuti kita dan sambil mengejak ngobrol,
sebenarnya kita merasa risih ketika kita diikuti, dengan tujuan agar kita berbelanja di
toko mereka. Namun tanpa disadari hal inilah yang membuat kita enggan untuk
datang lagi berbelanja ke toko mereka. Karena empati yang mereka berikan
berdasarkan tuntutan dari manager mereka, bukan dari keinginan mereka sendiri.
 Pengaturan diri
Pengaturan diri mengenai emosi seorang pemimpin sehingga berdampak
positif terhadap tugas, peka terhadap kata hati dan sanggu mmenunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
 Keterampilan sosial
Keterampilan ini sangat dibutuhkan ketika seorang pemimpin berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial,
berinteraksi dengan lancar menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah serta menyelesaikan perselisihan, dan untuk berkerja
sama dan berkerja dalam tim.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama membawa kepada umat manusia sebuah konsep mengenai persoalan
suatu sistem seperti konsep politik, perekonomian, penegakan hukum, dan lain-lain.
islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat makai slam dan
politik tidak akan bisa dipisahkan sebab islam tanpa politik akan berdampak pada
kaum muslim yang tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan
syariat islam. Begitu pula sebaliknya, politik tanpa islam akan melahirkan masyrakat
yang mengagungkan kekuasaan, bahan,jabatan ataupun duniawi. Politik islam ialah
penghadapan islam dengan kekuasaan dan negara yang akan melahirkan perilaku dan
sikap, budaya politik yang berorientasi pada nilai-nilai islam termasuk sikap, perilaku
dan budaya. Adapun prinsip-prinsip dasar politik islam diantaranya musyawarah,
keadilan,kebebasan, persamaan, hak menghisab pihak pemerintah, diwajibkan untuk
memperkuat tali silaturahmi dan kedaulatan tertingggi berada di tangan allah semata.
Dengan masalah Islamisasi dan masalah yang lain-lainnya dapat diselesaikan dengan .
Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Masyarakat dan Kecerdasan Emosional dalam
Pengendalian Konflik.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan
karena terbatasnya. pengetahuan dan kekurangan rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah yang kami susun tersebut.
Kami selaku penyusun banyak berharap para pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang tentunya membangun kepada kami, demi mencapainya
kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan
pada khususnya seluruh pembaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Taqiyuddin An-Nabhani, Nidham al-Hukmi fi al-Islam, Terj. Moh. Maghfur Wahid “Sistem
Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik.

Rasyid Haras.2017.kepemimpinan dalam perspektif islam ke indonesiaan. Jurnal Pendidikan


dan studi islam. Vol 3.No 2:159-167.

Ridwan.2017.Hubungan islam dan Politik di indonesia perspektif pemikiran hasan al-


banna.jurnal hukum Samudra keadilan.Vol 12. No 2:223-236.

Zawawi Abdullah.2015. politik dalam pandangan islam. Jurnal ummul qura. Vol 5, No.1: 85-
100.

Anda mungkin juga menyukai