Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MEMAHAMI ISLAM DEMOKRASI DAN HAM

Oleh :

Akbar Fitra Bagaskara (41902038)


Amalia Putri (41902025)
Elisa Sisilia (41902036)
Hafidz Naufal Dany (41902034)

Dosen :

Tauhid Hudini, S.Sos, M.Soc.Sc.

Program Studi Manajemen Perbankan Syariah


MPS19A
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya.


Tidak lupa sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW, sehingga penyusunan makalah pendidikan agama islam
mengenai islam dan demokrasi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini
penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah pendidikan agama islam mengenai islam dan demokrasi.
Disadari bahwa salah satu hambatan dalam penyusunan makalah
pendidikan agama islam mengenai islam dan demokrasi ini adalah keterbatasan
informasi dan bahan sehingga hasil ini dirasakan masih belum sempurna. Oleh
karena itu diharapkan adanya kritik dan saran untuk perbaikannya di masa yang
akan datang. Penyusun berharap makalah pendidikan agama islam mengenai
islam dan demokrasi ini dapat bermanfaat bagi lingkungan belajar penulis aamiin.

Depok, 30 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................

KATA PENGANTAR ...................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 7
1.3 Tujuan ................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar Demokrasi dalam Islam .................................................. 8
2.2 Prinsip Nilai Demokrasi ............................................................ 8
2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam .................................. 8
2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam ................................ 13
2.5 Cara Menghadapi Perbedaan..................................................... 13
2.6 Pengertian HAM ....................................................................... 14
2.7 Sejarah HAM ............................................................................ 16
2.8 Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Barat ................................. 19
2.9 Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam ................................. 23
2.10 Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang HAM 25
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 26
3.2 Saran ...................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mendiskusikan pandangan Islam dengan demokrasi pada dasarnya


memiliki banyak pemikiran dari para pakar demokrasi Islam. Demokrasi
merupakan bagian dari ruang lingkup Islam, karena Islam merupakan agama
dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan
muamalat manusia. Permasalahan demokrasi dengan Islam ini berakar pada
sebuah “ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin yang
telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntan untuk
memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respons atas
fenomena sosial yang telah berubah.

Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang


memiliki banyak kaitan dengan banyak kajian. Sebab, dunia Islam tidak
hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat banyak pemikiran
terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Ada sebagian orang atau
organisasi yang melahirkan sikap otoriter dan seakan-akan dialah yang paling
tahu akan demokrasi menurut pandangan Islam dari firman Allah yang berada
dalam Al Qur’an.

Meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan


preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan
gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam
suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting,
yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu,
membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis,
melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl,
2004).

4
Saat ini, demokrasi merupakan komoditas rejim konseptual yang
paling laku di dunia ini, serta menjadi keimanan sebagian besar umat manusia
sebagai model ideal untuk mencapai tujuan perdamaian dan keadilan.
Demokrasi tidak hanya berdiri kokoh di tempat kelahirannya saia, tetapi telah
sedemikian jauh mengglobal dari Barat ke Timur, mengalir dari utara ke
selatan. Tentu saja proses perpindahan dan penyebaran demokrasi tidak seperti
yang dibayangkan, tidak semurah yang diperkirakan dan tidak semudah yang
diharapkan. Karena demokrasi tidak hanya terkait sistem yang kongkrit, tetapi
juga sarat akan muatan nilai, ide, konsepsi yang lebih abstrak sifatnya. Atau
dengan kata lain demokrasi itu tidak hanya mempermasalahkan mekanisme
perwujudan dan pembentukan sistem (prosedural) atau schumpeterian tetapi
juga terkait dengan substansi (hakekat) yang sifatnya fundamental.

Pada level substantif permasalahan yang menyeruak tidaklah sepopuler


yang prosedural, karena pragmatis dan kasat mata. Sekar an1g, kita akan lebih
tertarik membicaralian hasalah-masalah pemilu, partal, sistem presidensiil
atau parlementer, dan sebagainya ketimbang nilai-nilai dasar demokrasi itu
sendiri, yaifu persamaan dan kebebasan, dan lebih mengerucut lagi adalah
masalah kesadaran hak dan posisinya dengan kewajiban manusia.

Dunia Islam baru mengenal demokrasi (Barat) setelah PD II terutama


setelah kolonialisme dan imperialisme mengacak-acak negara Timur (Asia-
Afrika). Konsep-konsep mengenai demokrasi kemudian menjadi isu sentral
dalam setiap sendi pemaknaan agama dan praktek bernegara. Memang muncul
beragam respon ada yang pro ada yang kontra, mereka yang menerima
demokrasi umumnya menurut Jalaluddii Rahmat karena demokrasi bukan saja
tidak bertentangan dengan Islam, tetapi bahkan mewujudkan ajaran islam
dalam kehidupan bernegara. setidaknya terdapat tiga alasan mengapa
demokrasi diterima:2

Pertama, dalam sejarah banyak Islam terkait ayat keutamaan Al-qur'an


dan musyawarah. Hadist serta Kedia, peristiwa Islam menekankan pentingnya

5
kontrol terhadap penguasa sebagai manifest Amar ,ma'ruf nahi munkar.
Ketiga, demokrasi sebagaimana syariat bertujuan untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sedangkan mereka yang berseberangan mengaitkan
demokrasi sebagai produk sekuler dan kafir sehingga tidak mungkin cocok
dengan Islam.

Terdapat permasalahan yang lebih radikal dari sekadar penerimaan dan


penolakan dernokrasi karena alasan di atas yang mungkin luput dari diskursus
agama dan demokrasi selama ini, yaitu permasalahan kesadaran hak sebagai
basis utama demokrasi. Bagaimana Islam memahami konsep ini? Tulisan ini
akan menyajikan sejumlah diskusi penting terkait dengan Islam, HAM, dan
demokrasi.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana dasar demokrasi dalam Islam?
1.2.2 Bagaimana prinsip nilai demokrasi?
1.2.3 Bagaimana contoh praktek demokrasi dalam Islam?
1.2.4 Bagaimana pertentangan antara demokrasi dan Islam?
1.2.5 Bagaimana cara menghadapi perbedaan?
1.2.6 Apa Pengertian HAM?
1.2.7 Bagaimana Sejarah HAM?
1.2.8 Bagaimana Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Barat?
1.2.9 Bagaimana Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam?
1.2.10 Bagaimana Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang
HAM?

1.3 Tujuan

1.2.1 Untuk mengetahui dasar demokrasi dalam Islam.


1.2.2 Untuk memahami prinsip nilai demokrasi.

6
1.2.3 Untuk mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam.
1.2.4 Untuk memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam.
1.2.5 Untuk mengetahui cara menghadapi perbedaan.
1.2.6 Untuk mengetahui Pengertian HAM.
1.2.7 Untuk mengetahui Sejarah HAM.
1.2.8 Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Barat.
1.2.10 Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam.
1.2.10 Untuk mengetahui Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat
Tentang HAM.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Demokrasi


Kitab suci menjadi variabel mutlak dalam hasil pemikiran politik Islam.
Dalam hal ini, semua daya upaya ulama dan pemikiran tetap bertumpu pada
dasar ajaran, yakni kitab suci, di samping dasar kedua, yakni Sunah Rasul
atau hadist. Untuk hadist, tingkatnya tidak semutlak ini, pemikiran politik
Islam pada akhirnya harus dipahami, bahwa di satu segi aalah hasil pemikiran
umatnya dengan tingkat kebenarannya, sebagaimana kebenaran ilmu sosial
umumnya, berada pada proporsinya, yakni kebenaran relatif. Namun di segi
lain, pemikiran politik Islam juga mengandung dimensi-dimensi non manusia,
merupakan doktrin agama yang dalam kita suci berstatus mutlak (Zamharir,
2004).

2.2 Prinsip Nilai Demokrasi


Salah satu cara untuk memahami pemikiran politik dalam tradisi Islam
adalah pada periodisasi awal, sebuah warisan yang kemudian dikenal dengan
warisan “Generasi Salaf”, yakni generasi Nabi Muhammad Saw dengan para
sahabat dan tiga generasi sesudahnya. Generasi tersebut juga sering disebut
Muslim Awal. Dalam kehidupan politik, warisan dimaksud adalah praktik
politik dan ide, yang biasanya ada di sekitar nabi dan empat sahabat (Abu
Bakar, Umar, Usman dan Ali) serta generasi sesudahnya.Warisan kehidupan
politik saat itu “murni” sejarah dan praktik politik nabi dan empat khalifah.
Dalam hal ini apa yang diwariskan merupakan praktik politik, atau kebijakan
politik serta “pemikiran politk” yang tidak dirumuskan secara koheren
(Zamharir, 2004).

2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam


Kita bisa mengambil contoh dari keterangan Muhammad Yusuf Faruqi
(1996) . Pemilihan atas dasar berpikir rasional, yang dalam Islam prosedurnya

8
antara lain, analog atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih
karena analog sebagai imam (pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan.
Di sini ada dua tahap “sumpah setia” (baiat), yakni tahap elit (baiat khusus)
dan tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang menyertai hal ini adalah
kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya bagus
dan terhormat demi “integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the
ummah could be preserved). Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal
dari klan terhormat, Quraisy. Namun demikian, hal itu hanyalah contoh
kontekstual yang sesuai dengan zamannya. Karenanya, sangat diherankan bila
di kemudian hari masih mempertimbangkan bahwa khalifah harus dari
Quraisy. Padahal besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah
meliputi seluruh bumi.
Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura pertama, dengan
penunjukan. Penunjukan ini bersamaan dengan proses konsultasi kepada dua
elit utama. Satu elit menyangsikan ditunjuknya Umar bin Khattab karena
watak-nya keras. Abu bakar, sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga
berhati lembut. Dari kasus kebijakan politik Abu Bakar yang keras, Umar
malah lembut. Debat elit ini dirahasiakan supaya massa tidak tahu isi diskusi
elit itu (not to tell the others, what was discussed with them). Tahap kedua,
musyawarah konsultatif kepada elit yang diperluas yakni enam orang
termasuk Ali bin Abi Thalib. Tahap ketiga, dibacakan pengangkatan Umar
sebagai pengganti khalifah Abu Bakar. Tahap keempat, sidang di Masjid
Nabawi, di mana setelah dibacakan, Abu Bakar bertanya apakah umat setuju.
Massa setuju dan melakukan baiat.
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek Nabi
Muhammad Saw. dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin negara,
dengan salah satu karya monumentalnya, yakni traktat perjanjian atau
konstitusi yang mengatur warga negara di negara-kota Madinah pada abad
keenam Masehi. Traktat perjanjian ini disebeut dustur madinah, mitsaq
madinah. Konstitusi itu ditulis Muhammad Saw. dan disetujui oleh

9
kelompok-kelompok masyarakat (Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini
memuat begitu luas informasi tentang kajian-kajian modern (Zamharir, 2004).

2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam


Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi
terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang
memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu
pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu
keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun
suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan
kasih sayang dalam interaksi sosial (Khaled Abou El Fadl, 2004).

Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak


dapat ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran
yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata
baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa
Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti.
Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat
prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan
tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan,
musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol.
Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep
demokrasi. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi,
1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan
kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk
mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun
monarki. Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan
tiga pemikiran mengenai hubungan Islam dengan demokrasi.
Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`,
ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua,
menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini,

10
kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa
disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga,
sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi,
meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan,
perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum
Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-
Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga
kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan
yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda.
Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi
sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi
menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan
kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang
sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang
bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu
materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua,
Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya prinsip-
prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar
Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti
yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika
demokrasi dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan
negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan
sistem politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang
membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa
Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi
demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas
merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi
sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.

11
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam.
Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi
dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai
contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad
para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari
Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu
faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia
boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh
terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar
hak asasi manusia (HAM).
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara.
Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-
Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya
tentang poligami. (QS. An-nisa’ 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11)
tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat
menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat
sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan
perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama
suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan
dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an. Demikian juga
dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang
muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi
menjunjung nilai persamaan.
Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi
ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif
sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam
Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut
hemat, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan
hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent)
untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu

12
kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir),
toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan
sebagainya. Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya
harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi,
jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan
dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan
(tidak sejalan) dengan ajaran Islam (Alumni Pascasarjana Magister Studi
Islam UII Yogyakarta., 2016).

2.5 Cara Menghadapi Perbedaan


Cara terbaik untuk menghadapi para penganut kepercayan lain adalah
dengan menyatakan bahwa seperti dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa
Bagimu agamamu dam bagiku agamaku (QS 109:6). Namun, bagi kaum
Muslim yang setuju terhadap dialog, perintah Tuhan kepada Nabi
Muhammad untuk mengajak Ahli Kitab sampai kepada doktrin yang umum
antara agamanya (Islam) dan agama mereka, merupakan suatu dorongan.
Dalam Al Qur’an dinyatakan:
Katakanlah:Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita perseutukan Ia dengan sesuatu apa
pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain dengan
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka;
“Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)” (QS 3:64).

Pada mulanya, ungkapan “Ahli Kitab” terutama sekali berarti orang-orang


Yahudi dan Nasrani, tetapi ahirnya meluas meliputi para pengikuti dari
kepercayaan (tertulis) suci yang lain (other holy write). (Zamharir, 2004).

2.6 Pengertian HAM


Berikut ini beberapa pengertian tentang hak asasi manusia, antara lain:

13
a. Secara etimolgi hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai
pedoman prilaku melindumgi kebebasan, kekebalan serta menjamin
adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya.
Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki
manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk mengintervensinya
apalagi mencabutnya.
b. Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching
Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa
menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia
c. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
d. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

2.7 Sejarah HAM


Istilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi Perancis,
dimana para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk
merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari
penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini,
muncullah perlawanan rakyat danyang akhirnya berhasil memaksa para raja
mengakui aturan tentang hak asasi manusia.
Negara yang sering disebut sebagai negara pertama di dunia yang
memperjuangkan hak asasi manusia adalah Inggris. Tonggak pertama bagi
kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak
dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan

14
disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah MAGNA CHARTA. Tindakan
sewenang-wenang Raja Inggris mengakibatkan rasa tidak puas dari para
bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja Inggris untuk membuat
suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna
Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat
pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada
kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan
atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun
dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam
Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak
tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam
tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi
karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih
tinggi daripada kekuasaan raja.
Perjuangan di negara Inggris memicu perjuangan-perjuangan di
banyak negara untuk Hak Asasi Manusia. Seperit misalnya Amerika Serikat
dengan Presiden Flanklin D.Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang
diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941
antara lain kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of
speech and expression), kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya (freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom
from fear), kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan
piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial
ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB
membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right).
Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor
Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum
PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja
panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF
HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi

15
Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam
sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara
abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10
Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.

2.8 Hak Asasi Manusia dalam Konsep Barat


Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak lahir secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran
agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat murni merupakan hasil
pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma agama.
Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama, sehingga
norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam
terminologi HAM.
Dengan makna HAM seperti ini, maka HAM sering dihadap-hadapkan
dengan agama, sehingga HAM sering dipahami sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering digunakan
untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh agama.
Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex
yang diinginkannya, sebagaimana setiap manusia berhak untuk makan dan
minum apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat bahwa
perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka
penyimpangan sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula
mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya adalah HAM. Selain
itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung
penilaian akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta
kepentingan, karena lepas dari doktrin agama sama sekali. Bisa jadi, sesuatu
yang dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari tidak lagi
dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang tidak dianggap
HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa dianggap sebagai HAM.
Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap

16
sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919,
pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS
menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali.
Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras
yang sosialisasinya menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya
mencapai Rp.75 Milyar, sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan
menghabiskan 250 juta lembar kertas berbentuk selebaran. Selama 14 tahun
pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak 300 orang
peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata,
masyarakat AS justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya
memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun 1933 M, dan
membebaskan miras sama sekali. Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi
Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai belahan dunia, namun di
kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup
masa depan, sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya
sejak beberapa tahun lalu di Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja
Nusantara kepada Badan Narkotik Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar
melegalisasi ganja. Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak
memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga manakala definisi HAM
mereka berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa
nafsu mereka, maka mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian
atau ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi
HAM.
Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah wewenang
yang diberikan oleh undang – undang kepada seseorang atas sesuatu tertentu
dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak asasi dibagi menjadi
dua, yaitu:

a. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya,


seperti hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak berkerja.

17
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagau
anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti hak memiliki,
hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan
hak persamaan dalam hak. Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda
mengenai hak asasi manusiamenurut pemikiran barat, diantaranya:
1) Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya;
hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan
hak moril, yang termasuk di dalamnya; hak beragama, hak sosial dan
berserikat.
2) Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi,
hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk
perkumpulan dan perserikatan.
3) Pembagian hak menjadi dua; kebebasan negatif yang membentuk
ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan
positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.

Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya melihat dari


sisi larangan negara menyentuh hak-hak ini. Sebab hak asasi dalam pandangan
barat tidak dengan sendirinya mengharuskan negara memberi jaminan
keamanan atau pendidikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk
membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-partai politik di
Barat mendesak agar negaraikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-
hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial. Hak asasi menurut barat
dapat dilihat semakin berkembang sampai saat ini, bahkan telah banyak
pemikiran mereka tentang hak asasi manusia yang sudah di adopsi kaum
Muslim. Sungguh sangat disayangkan jika hal ini terus berlanjut karena hal ini
semakin hari semakin menjauhkan umat islam dengan hukum-hukum yang
telah disyariatkan Allah. Sebagai contoh, sekarang banyak yang menuntut
masalah kesetaraan gender, kecaman terhadap poligami, pernikahan berbeda
agama (muslim-nonmuslim), kebebasan yang sebebas-bebasnya.

18
2.9 Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam
a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Konsep Islam
Hak asasi manusia dalam islam telah dibicarakan sejak empat belas
abad yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah
(mitsaq Al- Madinah) yang terjadi pada saat nabi Muhammad berhijrah ke
kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi
antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi
itu, baik umat yahudi, umat nasrani, maupun umat islam sendiri, adalah
merupakan suatu bangsa. Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk
bekerja sama sebagai suatu bangsa, di dalam piagam itu terdapat
pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat
dalam piagam itu. Secara langsung dapat dilihat bahwa dalam piagam
Madinah itu HAM sudah mendapatkan pengakuan oleh islam. Pandangan
islam yang khas tentang hak asasi manusia sebenarnya telah hadir sebelum
deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau
bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi.
Secara internasional umat islam yang terlembagakan dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus1990 mengeluarkan
deklarasi tentang HAM dari perspektif islam. Deklarasi yang juga dikenal
sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuantentang hak
asasi manusia berdasarkan syari‟ah (Azra). Memang, terdapat prinsip-
prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif islam
universal tentang HAM (huqud al-insan), yang dalambanyak hal komatibel
dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui,
terdapat upaya-upaya dikalangan sarjana Muslim dan negara Islamdi
Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan
interpretasi tertentu dalam islam dan bahkan dengan lingkungan sosial
budaya masyarakat-masyarakat muslim tertentu pula.
b. Pandangan Islam Tentang HAM
Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri
setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak

19
tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia
(KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Inti
dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT
sebagaimana firman-Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang
terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam
wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan
Rasul-Nya, serta wajib pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan
Rasul-Nya, semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya. Dengan
demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM. Jadi,
definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga
norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam
terminologi HAM.
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut
pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban
bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw
pernah bersabda:
"Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas
kamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak
asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin
hak-hak ini.
Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang
persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan
mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang
dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh
tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia,
sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu

20
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah
yang paling takwa.”
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan
sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga
perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu
kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi
melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar
memerangi orang-orang yang tidak maumembayar zakat. Negara juga
menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu.
Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila
tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah
berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di
muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada
Allah-lah kembali semua urusan."
(QS. 22: 4)
Dalam islam, juga dikenal hak pribadi masing-masing. Jaminan
pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan
Al-Qur‟an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukanrumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya...dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Hanbal dalam Syarah
Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat
melalui celah-celah pintu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya
selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga
mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun
ia mampu membayar denda. Jika mencari aib orang dilarang kepada
individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan

21
mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw
bersabda:
“Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia
telah merusak mereka.”
Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan
ucapan Umar:
“orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah aw.
Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya
menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan
kalian”. Muhammad Ad-Daghmi dalam At- Tajassus wa Ahkamuhu fi
Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa
tindakanpenguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus
kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap
kemungkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan
kemunkaran bukan hasil dari mencari-mencari kesalahan yang dilarang
agama. Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala
muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri
seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah
kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa
setiap kemunkaran yang belum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka
kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi
pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya
pengungkapan ini termasuk termasuk tajassus yang dilarang agama.
Dasar Islam adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan
atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan
terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial
tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Pada dasarnya
HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-
dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-
islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima
hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din

22
(penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan
atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak
hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas
kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga
keturunan).
Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam
supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi,
berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara
dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.

2.10 Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang HAM


Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM
dalam Islam dan HAM dalam konsep Barat sebagaimana yang diterima oleh
perangkat-perangkat internasional. HAM dalam Islam didasarkan pada premis
bahwa aktivitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sedangkan
dunia Barat, bagaimanapun, percaya bahwa pola tingkah laku hanya
ditentukan oleh hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas yang mencukupi
untuk tercapainya aturan-aturan publik yang aman dan perdamaian semesta.
Selain itu, perbedaan yang mendasar juga terlihat dari cara
memandang terhadap HAM itu sendiri. Di Barat, perhatian kepada individu-
individu timbul dari pandangan-pandangan yang besifat anthroposentris,
dimana manusia merupakan ukuran terhadap gejala tertentu. Sedangkan Islam,
menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan Yang Maha
Tinggi dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Berdasarkan atas
pandangan yang bersifat anthroposentris tersebut, maka nilai-nilai utama dari
kebudayaan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan
ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi
kepada penghargaan terhadap manusia. Dengan kata lain manusia menjadi
akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.

23
Berbeda keadaanya pada dunia Timur(Islam) yang bersifat theosentris,
larangan dan perintah lebih didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an menjadi transformasi dari kualitas kesadaran
manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan bekerja diatas dunia ini dengan
kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada
kehendak Allah swt. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah
kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada-Nya.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari uraian pembahasan


diatas adalah demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya
sejalan dengan Islam. Agar demokrasi selaras dengan pandangan islam dapat
terwujud, langkah yang harus dilakukan adalah harus adanya pemahaman
yang benar tentang demokrasi dalam pandagan Islam paling tidak memahami
demokrasi dalam pandangan Islam seperti dalam tujuan yang termuat dalam
tugas ini yaitu mengetahui dasar demokrasi dalm Islam., memahami prinsip
nilai demokrasi, mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam,
memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam serta mengetahui cara
menghadapi perbedaan sehingga aspirasi yang disampaikan tidak keluar dari
ajarannya.

HAM dalam perspektif barat jauh berbeda dengan HAM dalam


perspektif Islam. Hampir disegala aspek HAM versi barat bertentangan
dengan HAM versi Islam utamanya syariat Islam. HAM versi barat
membebaskan sebebas-bebasnya manusia tanpa ada batasan. Selain itu, HAM
dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian
akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan,
karena lepas dari doktrin agama sama sekali. Sedangkan Islam itu adalah
agama yang asy-syumul (lengkap). Ajaran Islam meliputi seluruh aspek dan
sisi kehidupan manusia. Islam memberikan pengaturan dan tuntunan pada
manusia, mulai dari urusan yang paling kecil hingga urusan manusia yang
berskala besar. Dan tentu saja telah tercakup di dalamnya aturan dan
penghargaan yang tinggi terhadap HAM. Memang tidak dalam suatu dokumen
yang terstruktur, tetapi tersebar dalam ayat suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
saw.

25
Hak Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat
islam harus benar-benar mengetahui hak-hak yang diberikan kepadanya dan
menggunakan haknya tersebut sebaik-baiknya selama tidak bertentangan dan
melanggar hak orang lain.

3.2 Saran

Saran dari penulis untuk para pembaca agar dapat memahami


demokrasi dalam pandangan Islam lebih jauh maka perbanyaklah membaca
buku demokrasi yang membahas dari sudut pandang Islam. Mempelajari dari
banyak sudut pandang beberapa pakar demokrasi dalam Islam yang ilmunya
dapat dipercaya. Serta tidak lupa memahami demokrasi dalam Islam
menuntun kita kepada kebaikan hakiki.

Hendaklah kita sebagai mahasiswa menghormati hak orang lain.


Hendaklah kita sadar atas kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia.
Hendaklah kita terus mengkaji secara mendalam pengetahuan kita tentang
HAM.

Penulis mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang


sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.

Alumni Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Antara Islam


Dan Demokrasi | Magister Study Islam UII | MSI UII.
http://master.Islamic.uii.ac.id/ar/antara-Islam-dan-demokrasi/. Diakses
pada tanggal 6 April 2016 Pukul 20:41 WIB.
http://dhanielalu.blog.com/makalah-ham-dan-pandangan-islam-tentang-ham/
http://majlistalimalamin.blogspot.com/2012/10/ham-versi-barat-ham-versi-
islam.html
http://donaemons.wordpress.com/2009/01/29/pelanggaran-pelanggaran-ham-di-
indonesia
http://www.scribd.com/doc/87749066/HAM-Menurut-Islam-Dan-Barat
http://harisscivic.blogspot.com/2012/04/makalah-ham-dalam-perspektif-
islam_25.html
http://maixelsh.wordpress.com/2011/02/21/hak-asasi-manusia-universal-
declaration-of-human-rights-1948/

27

Anda mungkin juga menyukai