Oleh :
Dosen :
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 7
1.3 Tujuan ................................................................................... 7
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar Demokrasi dalam Islam .................................................. 8
2.2 Prinsip Nilai Demokrasi ............................................................ 8
2.3 Contoh Praktek Demokrasi dalam Islam .................................. 8
2.4 Pertentangan antara Demokrasi dan Islam ................................ 13
2.5 Cara Menghadapi Perbedaan..................................................... 13
2.6 Pengertian HAM ....................................................................... 14
2.7 Sejarah HAM ............................................................................ 16
2.8 Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Barat ................................. 19
2.9 Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam ................................. 23
2.10 Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat Tentang HAM 25
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 26
3.2 Saran ...................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Saat ini, demokrasi merupakan komoditas rejim konseptual yang
paling laku di dunia ini, serta menjadi keimanan sebagian besar umat manusia
sebagai model ideal untuk mencapai tujuan perdamaian dan keadilan.
Demokrasi tidak hanya berdiri kokoh di tempat kelahirannya saia, tetapi telah
sedemikian jauh mengglobal dari Barat ke Timur, mengalir dari utara ke
selatan. Tentu saja proses perpindahan dan penyebaran demokrasi tidak seperti
yang dibayangkan, tidak semurah yang diperkirakan dan tidak semudah yang
diharapkan. Karena demokrasi tidak hanya terkait sistem yang kongkrit, tetapi
juga sarat akan muatan nilai, ide, konsepsi yang lebih abstrak sifatnya. Atau
dengan kata lain demokrasi itu tidak hanya mempermasalahkan mekanisme
perwujudan dan pembentukan sistem (prosedural) atau schumpeterian tetapi
juga terkait dengan substansi (hakekat) yang sifatnya fundamental.
5
kontrol terhadap penguasa sebagai manifest Amar ,ma'ruf nahi munkar.
Ketiga, demokrasi sebagaimana syariat bertujuan untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sedangkan mereka yang berseberangan mengaitkan
demokrasi sebagai produk sekuler dan kafir sehingga tidak mungkin cocok
dengan Islam.
1.3 Tujuan
6
1.2.3 Untuk mengetahui contoh praktek demokrasi dalam Islam.
1.2.4 Untuk memahami pertentangan antara demokrasi dan Islam.
1.2.5 Untuk mengetahui cara menghadapi perbedaan.
1.2.6 Untuk mengetahui Pengertian HAM.
1.2.7 Untuk mengetahui Sejarah HAM.
1.2.8 Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Barat.
1.2.10 Untuk mengetahui Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam.
1.2.10 Untuk mengetahui Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat
Tentang HAM.
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
antara lain, analog atau qiyas. Dengan prinsip berpikir ini, Abu Bakar dipilih
karena analog sebagai imam (pemimpin) dalam shalat jika rasul berhalangan.
Di sini ada dua tahap “sumpah setia” (baiat), yakni tahap elit (baiat khusus)
dan tahap massa (baiat ‘ammah). “Pemikiran” yang menyertai hal ini adalah
kritertia bahwa kepala negara itu berasal dari klan yang reputasunya bagus
dan terhormat demi “integrasi bangsa dan negara” (thus the unity of the
ummah could be preserved). Abu Bakar misalnya, ia dipilih karena berasal
dari klan terhormat, Quraisy. Namun demikian, hal itu hanyalah contoh
kontekstual yang sesuai dengan zamannya. Karenanya, sangat diherankan bila
di kemudian hari masih mempertimbangkan bahwa khalifah harus dari
Quraisy. Padahal besaran kehidupan berdemokrasi dalam Islam sudah
meliputi seluruh bumi.
Dalam kasus diangkatnya Umar bin Khattab,proses syura pertama, dengan
penunjukan. Penunjukan ini bersamaan dengan proses konsultasi kepada dua
elit utama. Satu elit menyangsikan ditunjuknya Umar bin Khattab karena
watak-nya keras. Abu bakar, sebaliknya merasa lebih tahu bahwa Umar juga
berhati lembut. Dari kasus kebijakan politik Abu Bakar yang keras, Umar
malah lembut. Debat elit ini dirahasiakan supaya massa tidak tahu isi diskusi
elit itu (not to tell the others, what was discussed with them). Tahap kedua,
musyawarah konsultatif kepada elit yang diperluas yakni enam orang
termasuk Ali bin Abi Thalib. Tahap ketiga, dibacakan pengangkatan Umar
sebagai pengganti khalifah Abu Bakar. Tahap keempat, sidang di Masjid
Nabawi, di mana setelah dibacakan, Abu Bakar bertanya apakah umat setuju.
Massa setuju dan melakukan baiat.
Ilustrasi tadi juga tidak kalah penting dengan ilustrasi praktek Nabi
Muhammad Saw. dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin negara,
dengan salah satu karya monumentalnya, yakni traktat perjanjian atau
konstitusi yang mengatur warga negara di negara-kota Madinah pada abad
keenam Masehi. Traktat perjanjian ini disebeut dustur madinah, mitsaq
madinah. Konstitusi itu ditulis Muhammad Saw. dan disetujui oleh
9
kelompok-kelompok masyarakat (Nasrani, Muslim dan Yahudi). Piagam ini
memuat begitu luas informasi tentang kajian-kajian modern (Zamharir, 2004).
10
kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa
disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga,
sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi,
meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan,
perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum
Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-
Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga
kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan
yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda.
Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi
sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi
menurut kelompok ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan
kedaulatan negara di tangan rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang
sebagian besar dari aktivitas demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang
bahwa prinsip pemilu secara jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu
materi yang diwakilkan didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua,
Islam berbeda dengan demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya prinsip-
prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar
Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti
yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika
demokrasi dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan
negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan
sistem politik yang demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang
membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa
Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi
demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas
merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi
sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.
11
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam.
Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi
dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai
contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad
para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari
Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: “Man baddala dinahu
faqtuluhu” mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia
boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh
terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar
hak asasi manusia (HAM).
Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara.
Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-
Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya
tentang poligami. (QS. An-nisa’ 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa’ 11)
tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat
menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat
sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan
perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama
suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan
dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur’an. Demikian juga
dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang
muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi
menjunjung nilai persamaan.
Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi
ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif
sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam
Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut
hemat, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan
hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent)
untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu
12
kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir),
toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan
sebagainya. Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya
harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi,
jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan
dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan
(tidak sejalan) dengan ajaran Islam (Alumni Pascasarjana Magister Studi
Islam UII Yogyakarta., 2016).
13
a. Secara etimolgi hak merupakan unsur normative yang berfungsi sebagai
pedoman prilaku melindumgi kebebasan, kekebalan serta menjamin
adanya peluang bagi manusia dalam menjadi harkat dan martabatnya.
Sedangkan asasi berarti yang bersifat paling mendasar yang dimiliki
manusia sebagai fitrah, sehingga tak satupun makhluk mengintervensinya
apalagi mencabutnya.
b. Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching
Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa
menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia
c. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
d. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
14
disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah MAGNA CHARTA. Tindakan
sewenang-wenang Raja Inggris mengakibatkan rasa tidak puas dari para
bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja Inggris untuk membuat
suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna
Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat
pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada
kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan
atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun
dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam
Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak
tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam
tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi
karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih
tinggi daripada kekuasaan raja.
Perjuangan di negara Inggris memicu perjuangan-perjuangan di
banyak negara untuk Hak Asasi Manusia. Seperit misalnya Amerika Serikat
dengan Presiden Flanklin D.Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang
diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941
antara lain kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of
speech and expression), kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya (freedom of religion), kebebasan dari rasa takut (freedom
from fear), kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan
piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial
ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB
membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right).
Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor
Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum
PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja
panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF
HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi
15
Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam
sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara
abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10
Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
16
sebagai HAM, bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919,
pemerintah AS menganggap Miras bukan bagian HAM, bahkan AS
menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya sama sekali.
Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras
yang sosialisasinya menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya
mencapai Rp.75 Milyar, sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan
menghabiskan 250 juta lembar kertas berbentuk selebaran. Selama 14 tahun
pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak 300 orang
peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata,
masyarakat AS justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya
memaksa pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun 1933 M, dan
membebaskan miras sama sekali. Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi
Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai belahan dunia, namun di
kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup
masa depan, sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya
sejak beberapa tahun lalu di Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja
Nusantara kepada Badan Narkotik Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar
melegalisasi ganja. Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak
memiliki kaidah dan batasan yang jelas, sehingga manakala definisi HAM
mereka berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan hawa
nafsu mereka, maka mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian
atau ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi
HAM.
Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah wewenang
yang diberikan oleh undang – undang kepada seseorang atas sesuatu tertentu
dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak asasi dibagi menjadi
dua, yaitu:
17
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagau
anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti hak memiliki,
hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan
hak persamaan dalam hak. Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda
mengenai hak asasi manusiamenurut pemikiran barat, diantaranya:
1) Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya;
hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan
hak moril, yang termasuk di dalamnya; hak beragama, hak sosial dan
berserikat.
2) Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi,
hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk
perkumpulan dan perserikatan.
3) Pembagian hak menjadi dua; kebebasan negatif yang membentuk
ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan
positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.
18
2.9 Hak Asasi Manusia Dalam Konsep Islam
a. Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Konsep Islam
Hak asasi manusia dalam islam telah dibicarakan sejak empat belas
abad yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah
(mitsaq Al- Madinah) yang terjadi pada saat nabi Muhammad berhijrah ke
kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi
antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi
itu, baik umat yahudi, umat nasrani, maupun umat islam sendiri, adalah
merupakan suatu bangsa. Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk
bekerja sama sebagai suatu bangsa, di dalam piagam itu terdapat
pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat
dalam piagam itu. Secara langsung dapat dilihat bahwa dalam piagam
Madinah itu HAM sudah mendapatkan pengakuan oleh islam. Pandangan
islam yang khas tentang hak asasi manusia sebenarnya telah hadir sebelum
deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau
bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi.
Secara internasional umat islam yang terlembagakan dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus1990 mengeluarkan
deklarasi tentang HAM dari perspektif islam. Deklarasi yang juga dikenal
sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuantentang hak
asasi manusia berdasarkan syari‟ah (Azra). Memang, terdapat prinsip-
prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif islam
universal tentang HAM (huqud al-insan), yang dalambanyak hal komatibel
dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui,
terdapat upaya-upaya dikalangan sarjana Muslim dan negara Islamdi
Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan
interpretasi tertentu dalam islam dan bahkan dengan lingkungan sosial
budaya masyarakat-masyarakat muslim tertentu pula.
b. Pandangan Islam Tentang HAM
Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri
setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak
19
tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia
(KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Inti
dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT
sebagaimana firman-Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang
terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam
wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan
Rasul-Nya, serta wajib pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan
Rasul-Nya, semata-mata hanya untuk mencari ridho-Nya. Dengan
demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM. Jadi,
definisi HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga
norma-norma agama Islam menjadi tolok ukur paling utama dalam
terminologi HAM.
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut
pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban
bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw
pernah bersabda:
"Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas
kamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak
asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin
hak-hak ini.
Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang
persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan
mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang
dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh
tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-
Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut : “Hai manusia,
sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
20
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah
yang paling takwa.”
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan
sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga
perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu
kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi
melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar
memerangi orang-orang yang tidak maumembayar zakat. Negara juga
menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu.
Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila
tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah
berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di
muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada
Allah-lah kembali semua urusan."
(QS. 22: 4)
Dalam islam, juga dikenal hak pribadi masing-masing. Jaminan
pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan
Al-Qur‟an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukanrumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya...dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Hanbal dalam Syarah
Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat
melalui celah-celah pintu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya
selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga
mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun
ia mampu membayar denda. Jika mencari aib orang dilarang kepada
individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan
21
mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw
bersabda:
“Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia
telah merusak mereka.”
Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan
ucapan Umar:
“orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah aw.
Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya
menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan
kalian”. Muhammad Ad-Daghmi dalam At- Tajassus wa Ahkamuhu fi
Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa
tindakanpenguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus
kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap
kemungkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan
kemunkaran bukan hasil dari mencari-mencari kesalahan yang dilarang
agama. Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala
muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri
seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah
kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa
setiap kemunkaran yang belum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka
kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi
pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya
pengungkapan ini termasuk termasuk tajassus yang dilarang agama.
Dasar Islam adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan
atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan
terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial
tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Pada dasarnya
HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-
dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-
islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima
hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din
22
(penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan
atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak
hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas
kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga
keturunan).
Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam
supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi,
berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara
dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.
23
Berbeda keadaanya pada dunia Timur(Islam) yang bersifat theosentris,
larangan dan perintah lebih didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an menjadi transformasi dari kualitas kesadaran
manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan bekerja diatas dunia ini dengan
kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhannya kepada
kehendak Allah swt. Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah
kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada-Nya.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
25
Hak Asasi Manusia telah di atur dalam Al-Qur’an dan Hadist dan umat
islam harus benar-benar mengetahui hak-hak yang diberikan kepadanya dan
menggunakan haknya tersebut sebaik-baiknya selama tidak bertentangan dan
melanggar hak orang lain.
3.2 Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
Khaled Abou El Fadl. Islam & Tantangan Demokrasi, terj. Ghifna Ayu Rahmani
& Ruslani. Jakarta: Ufuk Press, 2004
Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nur Kholis Madjid. Jakarta: PT. Raja grafindo, 2004.
27